• Tidak ada hasil yang ditemukan

POKOK-POKOK PEMIKIRAN PARA FILSUF ANALITIS

D. Alfred Jules Ayer (1910-1989)

3. Eliminasi Metafisika

Ayer sebagaimana halnya kaum Positivisme Logis pada umumnya secara tegas menolak metafisika. Alasan yang dkemukakannya saat itu sekaligus menampakkan konsekuensi tugas filsafat menurut kacamata Positivisme Logis. Ayer menggabungkan pandangan Moore yang bertitik-tolak dari penggunaan bahasa sehari-hari, dengan pandangan Atomisme Logis yang didasarkan

pada kerangka bahasa logika. Kendatipun tampak kecenderungan yang lebih kuat dalam pemikiran Ayer itu untuk menerapkan teknik-teknik analisis bahasa dari Atomisme Logis, namun analisis bahasa sehari-hari seperti dalam pandangan Moore digunakan dengan maksud untuk mencegah atau menilai sejumlah pandangan metafisis (Charlesworth,1959: 135).

Konsekuensi utama yang ditimbulkan oleh prinsip verifikasi menurut pandangan Ayer, baik verifiable dalam arti yang ketat maupun verifiable dalam arti yang lunak, dan proposisi-proposisi analitis yang mengungkapkan bahasa lain yaitu, pengeliminasian terhadap metafisika (the elemination of metaphysics). Proposisi-proposisi metafisika yang mencoba mengungkapkan tentang ‖Substansi‖, ‖Eksistensi‖, ‖Keabadian jiwa‖, dan lain sebagainya, itu tidak bermakna atau tidak mengandung pengertian apa pun, nonsensical (Ayer, 1952: 42, 127). Proposisi-proposisi seperti itu bagi Ayer tidak dapat dianalisis bukan hanya lantaran tidak dapat diverifikasian secara empirik, tetapi juga lantaran bentuk-bentuk peristiwa tidak mungkin relevan untuk dikatakan benar atau salahnya (Ayer,

1952: 41). Tugas filsafat yang paling utama dan mendasar adalah menyingkap dan menghapuskan kekacauan metafisika yang dianggap sebagai parasit dalam pemikiran ilmiah, dan juga dalam pemikiran kita sehari-hari (Ayer,1952 : 48).

Fungsi filsafat dalam pandangan Ayer itu bersifat kritik, artinya kritik yang dilancarkan oleh filsafat itu memang berguna untuk mengantar seseorang ke arah pintu gerbang ilmiah, namun itu bukan berarti filsafat merupakan suatu jenis Super sciences, ilmu yang paling hebat. Tugas filsafat bukanlah menetapkan praandaian- praandaian bagi ilmu pengetahuan. Filsafat tidak mengandung tugas positif seperti yang dimiliki ilmu pengetahuan empiris, fungsi filsafat itu semata-mata bersifat kritik (Ayer,1952: 48). Kritik tersebut diarahkan pada ungkapan metafisis dan segala bentuk penafsiran metafisis yang dapat menjerumuskan seseorang kepada pernyataan yang tidak bermakna (meaningless).

Kajian yang terkait dengan bidang etika termasuk hal yang dianggap tidak bermakna oleh Ayer. Istilah moral atau etik mempunyai hubungan erat dengan arti asalnya, yaitu berasal dari kata Latin: moralis, dan istilah

ethics berasal dari bahasa Yunani: ethos. Keduanya berarti kebiasaan atau cara hidup, akhlak, moril (Prent, dkk, 1969: 56). Istilah-istilah tersebut kadang dipakai sebagai sinonim. Dewasa ini orang condong untuk memakai istilah moralitas untuk menunjukkan tingkah laku itu sendiri, sedang istilah etika, menunjuk kepada penyelidikan tentang tingkah laku (Titus, Smith & Nolan, 1979 : 141). Etika adalah salah satu cabang filsafat yang menyelidiki tentang tingkah laku manusia yang dilakukan secara sadar, sehingga dapat dibedakan mana tingkah laku yang baik, mana yang buruk. Tanggapan Positivisme Logis terhadap pernyataan dalam bidang etika tidak jauh berbeda dengan tanggapan mereka terhadap bidang metafisika. Apabila seseorang mengungkapkan perasaan moral tertentu ataupun berpura-pura menentang pengungkapan perasaan moral pihak lain, maka sesungguhnya secara sederhana tidak ada pengertian yang perlu dipersoalkan dalam hal itu. Pernyataan yang mengungkapkan perasaan moral dikategorikan sebagai pernyataan yang tidak bermakna, karena tidak dapat diuji benar atau salahnya berdasarkan fakta (Ayer, 1952: 107-108).

Pernyataan dalam theologis menurut Positivisme Logis, hanya mengungkapkan reaksi emosional terhadap kehidupan, tetapi tidak menyatakan apa-apa yang ada atau yang terjadi; dengan kata lain, tidak mengkomunikasikan informasi (Liek Wilardjo, 1987 : 49). Apabila seorang theolog mengatakan bahwa ‘Tuhan itu menciptakan alam semesta dalam enam masa‘, maka seorang penganut Positivisme Logis menganggap pernyataan semacam itu tidak menghadirkan informasi apa pun. Pernyataan demikian itu terletak di luar wilayah berlakunya prinsip verifikasi, karena manusia sebagai subjek dalam kehidupan di dunia ini tidak mampu melakukan verifikasi atas pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, ucapan-ucapan itu tidak mempunyai ‘factual content‘, tidak mempunyai kandungan faktual. Ucapan semacam itu tidak mempunyai makna kognitif, tidak berbicara tentang sesuatu fakta. Nilai pernyataan yang nonkognitif, emosional, atau ekspresif, berarti ucapan tersebut secara faktual tidak mengandung arti apa pun, semuanya tidak bermakna (Bertens,1987 : 146).

Alasan utama penghapusan metafisika oleh kaum Positivisme Logis ini bukan saja lantaran ungkapan-

ungkapan metafisis itu tidak dapat diverifikasi secara empiris, dan bukan pula sekadar tidak dapat dikategorikan sebagai proposisi-proposisi analitis. Hal yang lebih penting adalah upaya kaum Positivisme Logis ini untuk menjadikan filsafat sebagai pendamping utama atau pengantar ke arah bidang ilmiah dalam rangka menyusun pandangan yang positivistik mengenai dunia. Cara untuk mencapai tujuan itu salah satu syarat utamanya adalah menyingkirkan permasalahan- permasalahan semu (pseudo problems) yang ditimbulkan para metafisikus. Alasan utama menentang para metafisikus itu bukan lantaran sang metafisikus itu mencoba menggunakan pengertian dalam suatu bidang yang tidak dapat mendatangkan manfaat apa pun, melainkan lantaran sang metafisikus itu mengajukan kalimat yang gagal atau tidak memenuhi syarat tertentu untuk dikatakan kalimat yang benar-benar mengandung makna secara harafiah. Oleh karena itu diperlukan suatu tolok ukur yang pasti atas pernyataan semacam itu. Ayer menegaskan bahwa kriteria yang dipergunakan untuk menguji keaslian pernyataan yang didasarkan atas fakta adalah tolok ukur dapat diverifikasi atau tidaknya

pernyataan tersebut. Seseorang yang mengatakan bahwa sebuah kalimat mengandung makna faktual kepada orang lain berarti, jika dan hanya jika, ia mengetahui bagaimana cara menguji proposisi yang ia ungkapkan tersebut. Ia juga harus mengetahui bentuk pengamatan yang mengarahkannya di bawah kondisi yang pasti, sehingga ia mengakui proposisi itu benar atau menolaknya karena proposisi itu salah (Ayer, 1952 : 35).

Penolakan Ayer pada khususnya, atau kaum Positivisme Logis pada umumnya, terhadap metafisika itu lebih didasarkan pada kriteria-kriteria logis yang tidak dimiliki ungkapan-ungkapan metafisika. Penerapan prinsip verifikasi (verification principle) untuk menguji apakah suatu pernyataan itu dapat dikatakan sebagai bermakna atau tidak, diterima sebagai suatu cara yang paling tepat atau memadai untuk menghapus metafisika dalam bidang filsafat.