• Tidak ada hasil yang ditemukan

POKOK-POKOK PEMIKIRAN PARA FILSUF ANALITIS

C. Ludwig Wittgenstein I (1889 – 1951)

5. Teori Gambar (The Picture Theory)

Teori gambar adalah suatu pandangan yang menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa dengan realitas atau dunia fakta. Teori ini serupa dengan prinsip isomorfi (kesepadanan) dari Bertrand Russell. Memang di sinilah letak kesamaan yang paling jelas antar kedua tokoh Atomisme Logis ini. Kendatipun dalam penguraian selanjutnya akan dijumpai beberapa

titik perbedaan di antara keduanya. Namun pada prinsipnya keduanya sependapat bahwa ada paralel mutlak antara bahasa dengan realitas.

Unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung sebuah ungkapan yang bermakna –dengan sendirinya merupakan proposisi— adalah suatu bentuk peristiwa ataupun suatu keadaan faktual (states of affairs). Wittgenstein menegaskan bahwa proposisi adalah gambaran realitas, jika seseorang memahami proposisi itu berarti ia mengetahui bentuk peristiwa atau keadaan faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut. Seseorang dengan mudah dapat memahami proposisi itu tanpa perlu diberitahu lagi pengertian yang terkandung di dalamnya (Wittgenstein, 1995: 67).

Sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada posisi seperti itu hanya perlu mengatakan ‖ya‖ atau ‖tidak‖ untuk menyetujui realitas yang dikandungnya (Wittgenstein, 1995: 67). Di sini terlihat adanya upaya Wittgenstein untuk menempatkan kembali pengertian proposisi sesuai dengan pengertian semula dalam lingkup logika sebagaimana yang pernah

diajukan oleh Aristoteles dalam prinsip logika. Selama ini kebanyakan filsuf telah menyalahgunakan pemakaian proposisi untuk mengungkapkan sesuatu yang tak terkatakan, sehingga sulit bagi seseorang untuk dapat mengatakan ‖ya‖ atau ‖tidak‖ terhadap kemungkinan realitas yang dikandungnya. Oleh karena itu ungkapan dalam filsafat terdahulu itu tidak dapat dikategorikan sebagai suatu proposisi, karena tidak mencerminkan realitas apa pun. Dalam pandangan Wittgenstein, pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang digambarkan atau dihadirkan di dalamnya (Pitcher, 1964 : 45).

G.H. Von Wright, salah seorang sahabat Wittgenstein, memberikan penjelasan tentang ‖teori gambar‖. Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi,

struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu suatu kemungkinan mengenai keadaan faktual atau bentuk suatu peristiwa (Pitcher, 1964 : 78).

Unsur-unsur gambar adalah alat-alat dalam bahasa, seperti kata dalam kalimat, sedangkan unsur realitas adalah suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian ada dua faktor utama yang mendukung teori gambar ini, yaitu proposisi yang menggunakan alat dalam bahasa filsafat dan fakta yang ada dalam realitas. Jenis proposisi yang paling sederhana dinamakan proposisi elementer yang merupakan penjelasan keberadaan suatu bentuk peristiwa. Keseluruhan proposisi elementer itu tadi merupakan bayangan seperangkat benda atau hubungan antar-benda di dunia, dan bayang-bayang itu kemudian menggiring benda atau hubungan antar-benda itu menjadi suatu gambar timbul (Sokolowski, 1964 : 179).

Meskipun Wittgenstein tidak pernah memberikan contoh tentang proposisi elementer, namun dalam pengantar Tractatus yang ditulis Russell itu dapat dijumpai contoh tentang proposisi elementer, karena

Wittgenstein berkeyakinan bahwa ia mempunyai alasan baik untuk menentukan adanya proposisi elementer biarpun contohnya tidak mungkin diberikan (Bertens, 1981 : 44). Proposisi elementer tidak dapat diajukan contohnya, maka keberadaan suatu bentuk peristiwa yang dungkapkan melalui proposisi elementer itu pun tidak diberikan contohnya oleh Wittgenstein. Proposisi elementer hanya mengatakan suatu bentuk peristiwa merupakan suatu gabungan objek atau sesuatu yang konkret (Wittgenstein, 1995: 31). Bentuk peristiwa itu merupakan bagian terkecil (elementer atau atomis) yang sesuai dengan proposisi elementer (Pitcher, 1964: 46). Wittgenstein sendiri mengatakan bahwa jenis proposisi yang paling sederhana –suatu proposisi elementer— menjelaskan keberadaan suatu bentuk peristiwa (Wittgenstein,1995: 89).

Suatu bentuk peristiwa yang dianggap sebagai suatu situasi atomis tidak mengandung kemungkinan untuk benar atau salah, tetapi proposisi elementer sebagai alat bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa itu kepada seseorang, dapat diperiksa benar atau salahnya. Setiap proposisi pada hakikatnya bersifat benar

atau salah, sehingga sebuah proposisi mempunyai dua kutub dalam arti ia mengandung kebenaran jika bersesuaian dengan suatu peristiwa dan mengandung kesalahan jika tidak bersesuaian dengan suatu peristiwa.

Pengertian situasi atomis dianggap sebagai suatu bentuk peristiwa, karena Wittgenstein sendiri tidak menjelaskan secara lebih rinci tentang apa yang dimaksudkannya dengan situasi atomis tersebut. Sokolowski menafsirkan tentang situasi atomis bahwa istilah ‘atom‘ dipergunakan Wittgenstein serupa halnya dengan istilah ‘Archai‘ yang dipakai para filsuf Yunani, yaitu suatu keharusan prinsip filsafat. Alasan Wittgenstein, sesuai dengan apa yang disimpulkannya bahwa seseorang mengalami realitas material sebagai bentuk keluasan, oleh karena itu harus ada beberapa bagian benda yang sifatnya terbatas, yakni atom, yang dapat memperluas dirinya sendiri dan sebagai komponen dasar bagi pembentukan benda dalam lingkup yang luas (Sokolowski, 1964: 179).

Wittgenstein sebagaimana halnya dengan Russell juga memiliki pandangan yang bercorak metafisis, sebab dengan meletakkan fakta atomis sebagai komponen

dasar realitas, berarti kedua filsuf tersebut telah menunjukkan asal dunia dari fakta atomis. Bahkan dalil pertama dan kedua yang termuat dalam Tractatus pun sesungguhnya merupakan titik-tolak pemikiran Wittgenstein untuk menyusun pandangan metafisis. ‖The world is everything that is the case. The world is the totality of facts, not of things. What is the case, the fact, is the existence of atomic facts‖ (Wittgenstein, 1995: 31). (‖Dunia adalah segala sesuatu yang sedemikian. Dunia adalah keseluruhan fakta, bukan benda-benda. Apa yang sedemikian itu, fakta, yaitu keberadaan fakta atomis‖).

Pitcher menjelaskan bahwa suatu bentuk peristiwa (a state of affairs yang dialihbahasakan dari bahasa Jerman (Sachverhalten) adalah suatu fakta atomis yang diungkapkan ke dalam proposisi elementer, sedangkan dunia dalam pandangan Wittgenstein terdiri dari berbagai fakta atomis. Kendatipun bila dipandang secara umum, buku Tractatus Logico-Philosophicus tampaknya bercorak anti metafisis, sebab Wittgenstein menolak pandangan metafisikus terdahulu lantaran menurutnya para filsuf itu tidak memberikan tanda-tanda yang pasti

dalam ungkapan-ungkapan metafisis itu. Tractatus sendiri jelas merupakan sebuah karya metafisis, dan itu bukanlah kecenderungan yang kecil dari buku tersebut. Tetapi dalam hal ini, Wittgenstein bukan membangkitkan kembali metafisika seperti yang terlihat dalam pandangan filsuf terdahulu, ia hanya hanya ingin membangkitkan kembali kemungkinan untuk menerangkan metafisika (Edwards, 1967 : 331). Penjelasan tentang dunia atau realitas, sebagai salah satu masalah utama dalam metafisika yang coba diatasi Wittgenstein dengan cara terlebih dahulu meletakkan situasi atomis itu sebagai prinsip filsafatnya. Secara logis, kemungkinan mengenai situasi atomis (bentuk- bentuk peristiwa) itu di dalam sesuatu yang bersifat konkret memang dapat diterima sebagai pertimbangan awal, karena dalam logika tak ada sesuatu yang bersifat kebetulan (Wittgenstein, 1995: 31). Proposisi elementer sebagai pencerminan penggunaan bahasa logika, jelas merupakan ungkapan yang mengacu pada sesuatu yang bersifat logis yaitu, situasi atomis atau bentuk peristiwa. Atau dengan kata lain, kecenderungan teori gambar ini

ke arah metafisika merupakan sesuatu yang tak terbantahkan.