• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semiotika merupakan sebuah kajian ilmiah yang mendapat perhatian serius dari banyak peminat budaya dan filsafat dewasa ini. Semiotika bersumber dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda (sign). Gorny dalam sebuah artikel ilmiah, mendefinisikan semiotika sebagai sebuah ilmu tentang tanda dan atau sistem tanda. Dalam definisi tersebut ada dua asumsi, yaitu tanda, dan sesuatu yang diketahui tentang tanda itu. Dalam penjelasannya Gorny menggambarkan pemikiran St. Augustine yang menyadari sulitnya membedakan sesuatu dari tanda. Oleh karena itu menurut Augustine, seseorang harus mampu mengetahui sesuatu dan membicarakan tentang sesuatu hanya dengan bantuan tanda, yakni melalui penempatan kembali sesuatu dengan tanda-tandanya. Selanjutnya oleh Peirce, seorang pelopor semiotika modern, hal tersebut dinamakannya dengan terminologi fixed idea, gagasan yang pasti.

(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm: h.1).

Ada pula yang mendefinisikan semiotika sebagai bentuk penerapan metode linguistik atas objek selain bahasa alami, artinya semiotika terkait dengan bahasa dalam pengertian artifisial. Dengan demikian semiotika adalah suatu cara pandang atas segala sesuatu sebagaimana hal tersebut dibentuk dan berfungsi sesuai dengan bahasa. Semiotika mencakup segala hal yang dapat digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem kekeluargaan, permainan kartu, bahasa isyarat, ekspresi wajah, seni memasak, ritual agama, dan lain-lain. (http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm: h.2).

Chandler memberikan julukan khusus kepada manusia sebagai homo significans, artinya manusia adalah mahluk pembuat tanda dan selalu terkait dengan pemahaman makna tanda. Manusia menyadari bahwa kehidupan di sekitarnya dipenuhi dengan berbagai macam tanda, baik yang dapat ditafsir langsung maupun yang membutuhkan pemahaman secara lebih mendalam.

Tanda selalu melibatkan aktivitas mental dan pikiran manusia, sehingga pemikiran manusia mengalami pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan

memaknai tanda. (Chandler,

http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02.ht m1, page 1).

Tanda itu sendiri dapat mengambil berbagai bentuk dalam kata, suara, bau, rasa, tindakan, atau objek. Namun bukan berarti setiap tanda mengandung makna secara intrinsik, ia mengandung makna manakala kita menanamkan itu ke dalamnya. Segala sesuatu dapat menjadi sebuah tanda sepanjang seseorang menafsirkan itu sebagai bermakna, mengacu atau menggantikan sesuatu yang lain. Manusia hanya berpikir dalam tanda, ujar Peirce dalam Elements of Logic (1998: 169). Namun penafsiran makna suatu tanda terkait dengan sistem konvensi yang dikenal luas, hal ini dikenal dengan istilah simbol..

Van Zoest mengajukan dua pengertian tentang semiotika, yaitu pengertian sederhana dan pengertian

yang luas. Semiotika dalam pengertian yang sederhana adalah studi penggunaan dan proses tanda (Zoest, 1991: 54). Semiotika dalam pengertian yang lebih luas adalah studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda; cara berfungsi tanda, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, pengiriman dan penerimaan oleh mereka yang menggunakan tanda (van Zoest, 1992: 5).

John Locke mengungkapkan pemikiran tentang tanda ke dalam filsafat melalui karyanya Essay Concerning Human Understanding. Ia menjelaskan bahwa bentuk wicara bahasa yang kabur dan tidak berarti, dan penyalahgunaan bahasa merupakan hal yang bersifat misteri bagi ilmu, sehingga kata-kata menjadi sukar dipahami dan diterapkan. Ada kata-kata yang sedikit mengandung makna, namun ada pula kata-kata yang tidak mengandung makna apa pun. Setiap kata dapat dipelajari dan dipahami secara keliru, sehingga menimbulkan spekulasi yang tinggi, menurut Locke memang tidak mudah untuk meyakinkan bagi seseorang yang mengatakan atau yang mendengarkan, bahwa sesungguhnya mereka menutupi ketidaktahuan dan hal ini jelas merupakan rintangan untuk mendapatkan

pengetahuan yang benar (Locke, 1910: 8-9). Tuhan menurut Locke dalam sebuah artikelnya yang berjudul Meaning and Reference, merancang manusia untuk menjadi mahluk sosial yang mampu mencipta bahasa. Kemampuan bahasa terlihat dalam kemampuan berbagai organ yang dapat mengartikulasikan suara, yang dinamakan kata (Locke, 1965: 53). Salah satu butir penting dalam sumbangsih Locke terhadap pemikiran tentang tanda adalah penegasannya tentang perlunya ide yang jelas dan terpilah (clear and distinct) dalam pemikiran dan pernyataan setiap orang, meskipun ia menyadari bahwa tidak setiap orang dapat mengungkapkan pengertian secara sempurna. Pemahaman atas sesuatu hal dalam pikiran seseorang menurut Locke, sangat ditentukan dari apa yang seseorang lihat dan persepsi, ini yang dinamakannya sebagai bentuk gagasan yang sudah ditentukan (determined idea), yakni di saat gagasan itu secara objektif ada dalam pikiran seseorang setiap saat, dan kemudian digabungkan pada nama atau suara yang diartikulasikan. Gagasan yang sudah diwujudkan ke dalam bentuk kata atau suara, menurut Locke merupakan

tanda (sign) yang terus menerus hadir dalam pikiran seseorang untuk mewakili objek yang sama (Locke, 1910: 12).

Eugene Gorny dalam artikelnya yang berjudul

What is Semiotics?

(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm: hal. 2-3) mengajukan tiga definisi mengenai semiotika. Pertama, semiotika adalah sebuah ilmu tentang tanda dan atau sistem tanda. Dalam definisi ini Gorny menjelaskan bahwa seseorang mampu mengetahui dan membicarakan tentang sesuatu hanya dengan bantuan tanda, yaitu melalui penempatan kembali sesuatu objek dengan tandanya. Oleh karena itu Gorny menegaskan semiotika adalah sebuah sarana yang mempertimbangkan sesuatu sebagai tanda dan sistem tanda. Kedua; semiotika adalah sebuah penerapan metode linguistik pada objek selain bahasa alami. Disini semiotika merupakan suatu cara pandang atas sesuatu sebagaimana halnya fungsi bahasa. Segala sesuatu dapat digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem kekerabatan, permainan kartu, gerak tubuh dan ekspresi wajah, seni kuliner, ritual keagamaan. Lebih lanjut Gorny

menyatakan bahwa semiotika adalah sebuah transfer dari bahasa metafor ke dalam fenomena yang non-linguistik. Ketiga; semiotika sebagai suatu ilmu yang dilembagakan oleh para semiotikawan. Tanda orientasi semiotika sebagai karya yang diterima adalah penggunaan terminologi semiotika konvensional (seperti: sign, code, signification, semiosis, etc) bersama dengan acuan pada karya semiotika lainnya. Dengan demikian definisi semiotika yang ketiga ini adalah semiotika sebagaimana yang dimaksudkan oleh para semiotikawan.

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda merupakan sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati dapat disebut tanda, karena itu tanda tidak hanya terbatas pada benda, namun bisa berupa peristiwa. Sebagai contoh: sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga,

rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

Jack Solomon dalam bukunya The Signs of Our Time menjelaskan bahwa semiotika merupakan ilmu tentang tanda yang erat kaitannya dengan kehidupan budaya dan ditentukan oleh enam prinsip sebagai berikut. Pertama; semiotika selalu mempertanyakan pandangan umum hal-hal tertentu, karena pandangan tersebut merupakan ―pandangan komunal‖. Kedua; semiotika merupakan pandangan orang awam yang biasanya dimotivasi oleh ketertarikan kultural yang mempengaruhi kesadaran yang terkait dengan alasan ideologis. Ketiga; semiotika merupakan sebuah sikap budaya yang cenderung untuk menyembunyikan ideologinya di belakang perlindungan alam, memberikan keyakinan bahwa yang mereka lakukan adalah biasa dan alamiah serta mengutuk praktik kebudayaan yang berseberangan sebagai hal yang tidak alamiah. Keempat; semiotika merupakan sebuah cara

mengevaluasi sistem dalam praktik kebudayaan, seseorang harus memiliki latar belakang ketertarikan. Kelima; Semiotika merupakan sebuah kerangka mitis, artinya manusia tidak memersepsikan dunianya secara langsung, namun melihatnya lewat saringan berupa mode semiotik atau kerangka mitis. Keenam; semiotika merupakan sebuah barometer kebudayaan yang menandakan adanya pergerakan dinamis dari sejarah sosial (Solomon, 1988: 10).

Deborah L.Smith-Shank yang menerapkan pendekatan semiotika dalam bidang pendidikan menyatakan bahwa semiotika merupakan sebuah pendekatan yang memahami kodrat makna, pengetahuan, budaya, bahkan kehidupan (termasuk manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam). Oleh karena itu semiotika dapat dipergunakan pula sebagai pendekatan terhadap landasan filsofis pendidikan. Sebuah tanda, lanjut Deborah, dapat bersifat verbal, visual, isyarat, musik, dan lain-lain. Sebuah tanda menggantikan sesuatu yang dinamakan objek melalui penciptaan interpretan yang merupakan sebuah tanda ekstra (tambahan) yang menggantikan beberapa aspek

objek. Interpretan itu boleh jadi sebuah pemikiran atau notasi yang menghadirkan kembali suatu objek, tetapi interpretan bukan merupakan objek itu sendiri. Lebih lanjut Deborah menegaskan pemikiran salah seorang tokoh semiotika, yakni Peirce tentang tanda dalam pengalaman manusia di dunia ini selalu diperantarai melalui tanda, sehingga seseorang tidak pernah mengetahui objek secara penuh dan langsung. Seseorang hanya dapat mengetahui objek secara parsial, hanya melalui penafsiran atas tanda-tanda dari objek yang memberikan kepadanya pandangan sekilas pada beberapa hal atau kapasitas objek (Deborah, 2005: 225- 226).

Semiotika sebagai teori tentang tanda sangat terkait dengan interpretasi dan klasifikasi. Interpretasi diperlukan dalam kaitannya dengan menafsirkan makna dari sebuah tanda. Klasifikasi diperlukan dalam kaitannya dengan kemampuan untuk memilah-milahkan dan menempatkan tanda dalam kategori yang tepat. Sebagai contoh seorang ahli zoologi mengetahui klasifikasi hewan yang dapat diinterpretasi berdasarkan bahasa objek (object-language) yang khusus. Misalnya:

apabila seorang zoologis membicarakan tentang ‖mamalia‘, maka kemampuan ahli zoologi tersebut untuk melakukan klasifikasi kategori atas ‖mamalia‖ menjadi sangat penting. Misalnya: penelusuran tentang asal mula seekor anjing mulai dari species, family hingga genus. (Eco, 1984: 54-55). Semiotika juga dapat dipergunakan untuk menginterpretasi dan mengklasifikasi perihal budaya, termasuk wayang. Misalnya interpretasi atas tokoh-tokoh film sebagai simbol kebaikan dan kejahatan; simbol kejujuran dan kelicikan; simbol keteguhan prinsip dan keraguan, dan seterusnya.

Tanda dan logika adalah dua hal yang saling terkait dalam rangka membentuk penafsiran pemikiran manusia. Oleh karena itu sebuah momen pikiran akan memperlihatkan bahwa berbagai fakta yang sudah siap untuk diasumsikan manakala persoalan logis atau tidaknya suatu tanda dipertanyakan. Dengan demikian setiap bentuk transformasi pikiran dari sangsi menjadi percaya merupakan hal yang mungkin terjadi. Subjek dalam transformasi terarah pada beberapa aturan yang mengikat seluruh pikiran seseorang. Objek penalaran itu ditemukan berdasarkan pertimbangan dari sesuatu yang

sudah siap untuk diketahui, bukan dari sesuatu yang tidak diketahui. Konsekuensinya, sebuah penalaran dianggap baik manakala menghasilkan sebuah kesimpulan yang benar dari premis-premis yang benar pula. Dengan demikian persoalan validitas murni bertitik tolak dari fakta, bukan pemikiran, dan fakta itu dibentuk dan disusun dalam premis (Buchler, 1955:7-9). Relasi timbal balik antara logika dan tanda identik dengan relasi antara premis atau pernyataan dengan fakta, karena premis atau pernyataan merepresentasikan logika, sedangkan fakta merepresentasikan tanda.

Namun untuk mendapatkan artikulasi tanda yang tepat dibutuhkan kejernihan pikiran, sehingga hal pertama yang penting diketahui adalah bahwasanya logika mengajarkan kepada seseorang bagaimana cara membuat gagasan atau pikiran dalam diri seseorang sehingga menjadi terang atau jernih. Seseorang yang mengetahui dengan baik apa yang dipikirkannya berarti ia memiliki pemahaman tentang makna, hal tersebut memberikan dasar yang kuat bagi pikiran yang baik (Buchler, 1955: 25).

BAB III

POKOK-POKOK PEMIKIRAN PARA