• Tidak ada hasil yang ditemukan

P endidikan Kewirausahaan Di Perguruan Tinggi Antara Harapan Dan Kenyataan

Dalam dokumen PROSIDING RIEE 2016 VOL 1 (Halaman 86-99)

Wardoyo

Universitas Gunadarma, Jakarta

Liana Mangifera

2 Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta

Email : wardoyo@staff.gunadarma.ac.id; liana.mangifera@ums.ac.id Abstrak : Perguruan Tinggi sebagai agen perubahan diharapkan dapat melahirkan banyak wirausahawan.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis antara harapan dan kenyataan pada pendidikan kewirausahaan yang diselenggarakan Perguruan Tinggi.Obyek penelitian adalah mahasiswa Perguruan Tinggi yang berada di Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surakarta. Data yang digunakan adalah data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner dari 300 responden. Alat analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensi atau minat mahasiswa menjadi wirausaha besar, namun kenyataannya tidak didukung dengan kurikulum dan model pengajaran yang baik sehingga baru sebagian kecil mahasiswa yang sudah memulai berwirausaha.

Kata Kunci: pendidikan kewirausahaan, wirausaha, mahasiswa Setiap lulusan Perguruan Tinggi sudah pasti

mempunyai harapan dapat mengamalkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah didapat selama studi sebagai salah satu pilihan untuk berprofesi. Secara realistis ada tiga pilihan yang kemungkinan akan dialami lulusan Perguruan Tinggi setelah menyelesaikan studinya. Pertama, menjadi sebagai pegawai atau karyawan swasta, Badan Usaha Milik Negara atau Pegawai negeri. Kedua, kemungkinan akan menjadi pengangguran karena sulitnya mendapatkan pekerjaan dan lapangan pekerjaan pun yang semakin sedikit, karena banyak perusahaan yang bangkrut akibat krisis moneter yang pernah melanda Negara Indonesia. Ketiga, menjadi wirausaha yaitu membuka usaha sendiri sesuai dengan bidang usaha ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajari selama di Perguruan Tinggi.Atau membuka usaha sesuai kemampuan dan keinginan berwirausaha.

Pentingnya pendidikan dikemukakan oleh Holt (Rahmawati, 2000) yang mengatakan bahwa paket pendidikan kewirausahaan akan membentuk siswa untuk mengejar karir kewirausahaan. Pendidikan formal memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses kewirausahaan, tentang yang dihadapi para pendiri usaha baru dan masalah-masalah yang harus diatasi agar berhasil.Kurangnya pendidikan kewirausahaan menyebabkan rendahnya tingkat intensi berwirausaha mahasiswa (Franke dan Luthje, 2004).

Krueger dan Brazeal (1994) merekomendasikan bahwa pendidikan kewirausahaan dapat meningkatkan persepsi kelayakan untuk bisnis kewirausahaan melalui peningkatan pengetahuan dasar mahasiswa, membangun rasa percaya diri dan mempromosikan efikasi diri.Program pendidikan kewirausahaan merupakan sumber sikap kewirausahaan dan intensi keseluruhan untuk menjadi wirausaha masa depan (Souitaris et al., 2007).

Tantangan terbesar bagi dunia akademisi dalam hubungannya dengan pendidikan kewirausahaan adalah kelayakan kurikulum dan program pelatihan (Garavan dan O’Cinneide, 1994). Menurut Scharg, Adele, dan Poland (1987) wirausahawan merupakan hasil belajar. Menurut jiwa wirausahawan mungkin juga diperoleh sejak lahir sebagai bakat , namun juka tidak diasah melalui belajar dan dimotivasi dalam proses pembelajaran, mungkin laksana pisau yang tumpul.

Pendidikan kewirausahaan dapat membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku pada mahasiswa menjadi seorang wirausahawan (entrepreneur) sejati sehingga mengarahkan mereka untuk memilih berwirausaha sebagai pilihan karir. Pendidikan kewirausahaan pada umumnya mengacu pada program-program yang mempromosikan kesadaran kewirausahaan untuk tujuan karir dan memberikan pelatihan keterampilan untuk penciptaan dan pengembangan bisnis (Vesper,1990;Bechard dan Toulouse,1998). Hal ini dibedakan dari

82 PROSIDING

Seminar Nasional dan Call For Papers RIEE 2016 “Strategi Pembelajaran Kewirausahaan Untuk Membentuk Wirausaha Tangguh dan Berdaya Saing Tinggi”

bentuk-bentuk lain dari pendidikan bisnis yang tujuannya menciptakan produk atau jasa baru yang menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi (Hansemark, 1998).

Menurut penelitian Ahmad (2003) pada lulusan manajemen sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jakarta Selatan terdapat 19 persen responden yang menyatakan berminat untuk menjadi wirausahawan. Penelitian yang dilakukan Wardoyo (2012) terhadap 500 mahasiswa di Jakarta yang berminat menjadi wirausaha setelah lulus sebesar 40 persen. Berdasarkan penelitian Paulina dan Wardoyo (2012) terhadap 200 mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma diperoleh hasil 30 persen mahasiswa berminat menjadi wirausaha.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis antara harapan dan kenyataan pada pendidikan kewirausahaan yang diselenggarakan Perguruan Tinggi.

Pendidikan Kewirausahaan

Ketertarikan pada kewirausahaan telah berkembang sejak tahun 1970an, baik pada putaran akademik maupun politik, pendidikan kewirausahaan juga telah berpengalaman mengalami peningkatan yang cepat di seluruh dunia (Loucks, 1988). Teori-teori terbaru pada pembangunan ekonomi dan penyesuaian struktural dari perekonomian termasuk promosi kewirausahaan merupakan instrumen krusial mereka (Liñán dan Rodríguez, 2004). Pada pengertian ini, pendidikan kewirausahaan dapat dimaksudkan sebagai sebuah strategi yang secara potensial sangat efektif. Akan tetapi ini akan menjadi penting untuk memperkenalkan sebuah batas tertentu dari keberadaan jenis-jenis yang berbeda dari pendidikan kewirausahaan.

Bentuk pendidikan kewirausahaan yang paling sederhana adalah dengan pelatihan bagi penciptaan perusahaan. Sebagai contoh, McIntyre dan Roche (1999) menegaskan bahwa proses dari konsep dan keterampilan yang menyediakan individu-individu untuk mengenal peluang-peluang sedangkan yang lain mengabaikan, dan untuk mempunyai wawasan dan penghargaan diri untuk melakukan sementara yang lain ragu-ragu. Ini meliputi instruksi-instruksi dalam pengenalan peluang, penyusunan sumber- sumber dalam keberanian menanggung risiko, dan memulai sebuah usaha bisnis.Konsepsi yang lebih luas meliputi sejumlah tujuan dan langkah-langkah yang

berbeda yang selalu termasuk kegiatan pada sistem pendidikan secara keseluruhan.Kesepakatan mereka, pendidikan kewirausahaan harus dipertimbangkan sebagai sebuah model pembelajaran sepanjang hidup.

Alberti, Sciascia, dan Poli (2004) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai struktur formal dari kompetensi kewirausahaan, yangmana dalam gilirannya menghubungkan konsep, keterampilan dan kesadaran mental yang digunakan oleh individu selama proses memulai dan membangun usaha yang berorientasi pertumbuhan yang digunakan. Referensi untuk membuat usaha yang berorientasi pertumbuhan pada definisi ini adalah penting untuk diperhatikan bagi manfaat pendidikan dan pelatihan sebagai perbedaan dari bekerja sendiri dari kewirausahaan. Seperti yang dimaksud oleh Garavan dan O’Cinneide (1994) semua wirausahawan adalah bekerja sendiri, namun tidak semua yang bekerja sendiri adalah wirausahawan.

Komponen kritis dari pendidikan kewirausahaan menurut Alberti et al. (2004) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Hubungan diantara lima isu dalam pendidikan kewirausahaan (Alberti et al.,

2004).

Konsep berikut ini akan menjadi cukup luas untuk cakupan yang dimaksud diatas: seperangkat kegiatan pendidikan dan pelatihan yang mencoba untuk membangun intensi peserta untuk melakukan perilaku- perilaku kewirausahaan, atau beberapa elemen yang memengaruhi intensi tersebut, seperti pengetahuan kewirausahaan,

Tujuan Peserta

83 PROSIDING

Seminar Nasional dan Call For Papers RIEE 2016 “Strategi Pembelajaran Kewirausahaan Untuk Membentuk Wirausaha Tangguh dan Berdaya Saing Tinggi”

kesenangan akan aktivitas kewirausahaan, atau kelayakannya. Ini termasuk pengembangan pengetahuan, kapasitas, sikap dan kualitas pribadi yang diidentifikasi sebagai kewirausahaan. Khususnya untuk usia kerja, pendidikan kewirausahaan akan mencari ciptaan yang mengesankan dari perusahaan dan tenaga dinamis mereka yang berikut.

Definisi ini memperkenalkan sejumlah ciri-ciri karakteristik yang membuat ini berguna sebagai sebuah kerangka kerja untuk analisis dan klasifikasi dari keberadaan inisiatif yang berbeda.Pada tempat pertama, definisi ini mencoba untuk memasukkan semua aktivitas-aktivitas pendidikan dan tidak hanya pengembangan dalam sistem pendidikan.Kedua, meliputi tujuan yang besar daripada penyebaran dari sebuah iklim kewirausahaan atau pembentukan perusahaan.Ini juga mencoba untuk meningkatkan derajat kedinamisan para wirausahawan; yang dikatakan sebagai kualitas kewirausahaan (Guzmán dan Santos, 2001).Ketiga, peran pendidik akan menjadi diperkenalkan secara jelas. Para instruktur harus berkonsentrasi pada penciptaan dan penguatan intensi kewirausahaan para peserta (Fayolle, 2003).Apakah intensi ini berubah menjadi aksi atau tidak tergantung pada banyak faktor (lingkungan, kesempatan, sumberdaya, dan sebagainya) yang merupakan faktor-faktor diluar jangkauan pendidik.

Disamping itu, definisi ini menjelaskan sebuah perbedaan yang jelas antara pendidikan kewirausahaan dan pelatihan manajemen.Pelatihan manajemen biasanya tidak berhubungan dengan karakteristik, keterampilan, sikap atau intensi dari peserta, tetapi sebagian besar dengan pengetahuan teknik yang diperlukan untuk adminsistrasi bisnis. Pelatihan manajemen tidak akan tertarik pada proses pembuatan sebuah proyek kewirausahaan independen, atau secara dinamis tetapi sebagian besar pada operasi organisasi perusahaan.

Pada prisipnya, inisiatif pendidikan kewirausahaan harus sesuai dengan definisi ini, jadi ini menjadi diperlukan untuk membuat beberapa jenis klasifikasi. McMullan dan Gillin (1998), menetapkan enam elemen yang berbeda dari proyek pendidikan kewirausahaan: a) tujuan yang diikuti; b) fakultas atau tim guru yang akan menanamkan pendidikan kewirausahaan; c) mahasiswa peserta; d) isi dari kursus; e) metode pengajaran; dan f) dukungan

aktivitas khusus bagi peserta untuk memulai usaha mereka.

Alberti et al. (2004) menegaskan bahwa tujuan pendidikan tergantung pada peserta belajar (1); penilaian dapat dikerjakan hanya jika tujuan ditetapkan (2); isi dapat didefinisikan hanya setelah tujuan ditetapkan (3); dan tergantung pada peserta (4); pedagogi dapat dipilih tergatung pada isi (5) dan peserta (6); penilaian tergantung pada isi (7); dan pedagogi (8). Alberti et al. (2004) mengakhiri lima inti dasar isu penelitiannya pada pendidikan kewirausahaan dan hubungan mereka mempunyai implikasi penting bagi pengembangan sebuah proses pembelajaran yang efektif.

Rerangka kerja penelitian pendidikan kewirausahaan ini meminjam dari isu utama dari Niyonkuru(2004) pada pendidikan kewirausahaan yang meliputi isu-isu yang berhubungan dengan tujuan, isi atau materi dari pengajaran kewirausahaan, dan metode pengajaran.

Tujuan Pendidikan Kewirausahaan

Kepustakaan kewirausahaan memberikan bukti kebingungan yang ada antara kursus-kursus kewirausahaan dan kursus-kursus manajemen tradisional (Hills, 1998). Kemudian, banyak orang sebagai pemula telah menerima pendidikan manajemen bisnis dengan nama pendidikan kewirausahaan. Melalui identifikasi dari tujuan yang beragam dari kursus-kursus kewirausahaan, kebingungan ini mungkin dihindari.Garavan dan O’Cinneide (1994) menyarankan hal umum dalam menyebutkan pendidikan kewirauasahaan adalah sebagai berikut.

a. Memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan kewirausahaan; b. Memperoleh keterampilan dalam

teknik, dalam menganalisis situasi bisnis dan dalam sintesis rencana aksi;

c. Mengenali dan menstimulasi pendorong kewirausahaan, bakat dan keterampilan

d. Membuka bias risiko antagonis dari beberapa teknik analisis;

e. Mengembangkan empati dan dukungan untuk aspek-aspek khusus dari kewirausahaan;

f. Merancang perubahan sikap ke depan;

g. Mendorong terbentuknya usaha baru; dan

84 PROSIDING

Seminar Nasional dan Call For Papers RIEE 2016 “Strategi Pembelajaran Kewirausahaan Untuk Membentuk Wirausaha Tangguh dan Berdaya Saing Tinggi”

h. Menstimulasi elemen sosialisasi afektif (Alberti et al ., 2004).

Materi Pengajaran Kewirausahaan

Menurut Brown (2000) pendidikan kewirausahaan harus “ditinjau pada terminologi keterampilan yang dapat ditimbulkan oleh mahasiswa” agar supaya membantu mereka membangun rencana- rencana baru dan inovatif. Dalam hal ini Brown menyebut bahwa kurikulum harus fokus pada ciri-ciri yang dibutuhkan untuk memikirkan dan memulai bisnis baru. Alberti et al. (2004) menyebut empat jenis pengetahuan yang bermanfat bagi wirausaha: (1) pengetahuan umum tentang bisnis, (2) pengetahuan umum tentang usaha, (3) pengetahuan khusus tentang peluang, dan (4) pengetahuan khusus tentang usaha.

Mereka mengklaim bahwa pengetahuan khusus tentang peluang dan usaha merupakan hal paling penting untuk keberhasilan wirausaha.Oleh karena itu, program-program pada kewirausahaan harus membantu perkembangan dua kategori pengetahuan terakhir.

Kourilsky (1995) mendiskusikan isi apa yang harus menjadi inti dari pendidikan kewirausahaan dan dia menyebut tiga atribut yang harus merupakan isi dari apa yang ia sebut sebagai pendidikan kewirausahaan yaitu:

a. persepsi dan evaluasi peluang; b. menyusun dan tanggungjawab dari

sumber-sumber untuk mengejar peluang;

c. menciptakan dan mengoperasikan bisnis untuk mengimplementasikan motivasi peluang ide bisnis.

Gorman et al. (1997) mendukung tiga komponen dari pendidikan kewirausahaan yang efektif dengan ditunjukkan oleh:

a. kemampuan untuk mendeteksi dan mengekploitasi peluang bisnis lebih cepat;

b. kemampuan untuk merencanakan lebih rinci; dan

c. proyek lebih jauh pada masa depan dengan membedakan program kewirausahaan dari program manajemen tradisional.

Implikasinya adalah isi dari pendidikan kewirausahaan harus menekankan kemampuan mengidentikasi peluang, mengejar peluang dan mentransformsikannya ke dalam bisnis yang berorientasi pertumbuhan. Oleh karena itu

penting untuk memahami arti melampirkan setiap komponen.

Brown (2000) menegaskan bahwa pengenalan peluang meliputi identifikasi dari keinginan yang tidak ditepati dari pasar dan kreasi dari ide untuk jasa atau produk yang sesuai antara kebutuhan dengan harga yang dapat diterima. Pengenalan peluang mensyaratkan observasi pasar, mengerti keinginan dan kebutuhan konsumen, dan hasil penemuan dan adaptasi.

Metode Pengajaran Kewirausahaan

Berbagai peneliti telah menekankan isu- isu yang berhubungan dengan pedagogi untuk pendidikan kewirausahaan. Sexton dan Upton (1988) menyarankan agar program-program kewirausahaan dirancang seperti sebuah cara untuk membuat wirausahawan potensial menyadari tentang hambatan masuk pada aktivitas kewirausahaan dan juga pada kenyataan hidup mereka dapat mampu untuk merencanakan strategi-strategi untuk menguasainya. Intinya adalah bahwa pendidik tidak hanya harus menaikkan kesadaran mahasiswa tentang kewirausahaan tetapi mereka juga harus melibatkan pemula untuk mengalami frustasi yang dihubungkan dengan aktivitas kewirausahaan. Untuk menyempurnakan ini, Sexton dan Upton (1984) mengajukan sebuah struktur, dalam mana kursus-kursus menekankan aktivitas individu diatas tugas kelompok, secara relatif tidak terstruktur, dan menampilkan masalah-masalah yang mensyaratkan sebuah solusi cerita dibawah kondisi ambiguitas dan risiko.

Garavan dan O’Cinneide (1994) mendiskusikan proses pengajaran yang paling tepat dan pedagogi untuk mentransfer keterampilan dan pengetahuan kewirausahaan. Mereka maksudkan bahwa wirausaha, adalah orang yang baru mulai usaha yang membutuhkan gaya pengajaran yang berbeda – pengalaman kongkrit, merefleksikan observasi, konseptualisasi abstrak dan eksperimen aktif.

METODE Sampel dan Data Penelitian

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling. Jumlah sampel untuk penelitian ini diperkirakan sebesar kurang lebih 300 responden dengan alasan penentuan jumlah berdasarkan pendapat Sugiyono (2009), bahwa dalam pengambilan sampel untuk

85 PROSIDING

Seminar Nasional dan Call For Papers RIEE 2016 “Strategi Pembelajaran Kewirausahaan Untuk Membentuk Wirausaha Tangguh dan Berdaya Saing Tinggi”

populasi yang tidak terhingga dan tidak diketahui dapat diambil sampel sebanyak 100 orang dengan asumsi populasi tersebut berdistribusi normal. Jumlah sampel 300 diperkuat oleh pendapat Roscoe (Sekaran,2006) yang menyatakan bahwa jumlah sampel lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 pada kebanyakan penelitian sudah terwakili.

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari jawaban atau tanggapan atas pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner,sehingga peneliti tidak mempengaruhi jawaban responden terhadap kuesioner tersebut. Penelitian difokuskan pada penyelenggaraan Pendidikan Kewirausahaan. Penelitian ini tidak menggunakan benchmarking agar tidak memperluas permasalahan yang sedang diteliti, sehingga penelitian lebih terfokus kepada intern obyek yang diteliti yaitu penyelenggaraan Pendidikan Kewirausahaan.

Pengambilan sampel dilakukan menggunakan kuesioner yang disebarkan kepada 300 responden yang terdiri dari mahasiswa yang sedang menempuh kuliah di wilayah Jakarta, Bandung, Bogor, Depokdan Surakarta. Dari 300 kuesioner yang disebarkan yang kembali semua, sedangkan data yang lengkap dan diolah ada 293.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang berusaha menggambarkan obyek atau subyek yang diteliti sesuai dengan apa adanya, dengan tujuan menggambarkan secara sistematis, fakta dan karakteristik obyek yang diteliti secara tepat. Metode deskriptif menurut Sugiyono (2009) adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Menurut Nasir (2003), metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Jadi metode penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang menggunakan satu variable tanpa menggunakan variabel lain sebagai pembanding.

HASIL & PEMBAHASAN

Kewirausahaan Sebagai Sebuah Harapan

Untuk menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan dan meningkatkan aktivitas kewirausahaan agar para lulusan perguruan tinggi lebih menjadi pencipta lapangan kerja dari pada pencari kerja, maka diperlukan suatu usaha nyata.Departemen Pendidikan Nasional telah mengembangkan berbagai kebijakan dan program untuk mendukung terciptanya lulusan perguruan tinggi yang lebih siap bekerja dan menciptakan pekerjaan.Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dan Cooperative Education (Co-op) telah banyak menghasilkan alumni yang terbukti lebih kompetitif di dunia kerja, dan hasil-hasil karya invosi mahasiswa melalui PKM potensial untuk ditindaklanjuti secara komersial menjadi sebuah embrio bisnis berbasis Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (Ipteks).Kebijakan dan program penguatan kelembagaan yang mendorong peningkatan aktivitas berwirausaha dan percepatan pertumbuhan wirausaha– wirausaha baru dengan basis IPTEKS sangat diperlukan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengembangkan sebuah Program Mahasiswa Wirausaha yang merupakan kelanjutan dari program-program sebelumnya untuk menjembatani para mahasiswa memasuki dunia bisnis riil melalui fasilitasi start-up bussines.Program Mahasiswa Wirausaha (PMW), sebagai bagian dari strategi pendidikan di Perguruan Tinggi, dimaksudkan untuk memfasilitasi para mahasiswa yang mempunyai minat dan bakat kewirausahaan untuk memulai berwirausaha dengan basis ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang sedang dipelajarinya.Fasilitas yang diberikan meliputi pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, magang, penyusunan rencana bisnis, dukungan permodalan dan pendampingan usaha.Program ini diharapkan mampu mendukung visi-misi pemerintah dalam mewujudkan kemandirian bangsa melalui penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan UKM.

Pada penelitian ini responden terdiri atas laki-laki dan perempuan yang kesemuanya adalah mahasiswa yang sudah mendapatkan matakuliah Kewirausahaan. Responden berasal dari mahasiswa yang sedang menempuh kuliah di Jakarta, Bandung, Bogor, dan Surakarta. Tempat tinggal responden ada di Jakarta, Bandung, Bogor, Depok, Tangerang, dan Surakarta.

Mahasiswa yang menjadi responden adalah mahasiswa jurusan atau program studi Manajemen, Akuntansi, dan

86 PROSIDING

Seminar Nasional dan Call For Papers RIEE 2016 “Strategi Pembelajaran Kewirausahaan Untuk Membentuk Wirausaha Tangguh dan Berdaya Saing Tinggi”

Administrasi Keuangan. Etnografi responden terdiri dari Padang, Jawa, Tionghoa, Sunda, Betawi, dan lainnya. Pekerjaan orangtua responden terdiri dari wirausaha atau pengusaha, Pengawai Negeri Sipil, pegawai swasta, dan lainnya. Pekerjaan yang akan dipilih setelah lulus dan dalam jangka panjang meliputi wirausaha atau pengusaha, Pengawai Negeri Sipil (PNS), pegawai swasta, dan pekerjaan lainnya. Wirausa ha 42% PNS 34% Pegawai Swasta 20% Lainnya 4%

Gambar 2 Pilihan Pekerjaan Responden Setelah Lulus

Gambar 2 menunjukkan pekerjaan yang dipilih oleh responden setelah lulus kuliah. Pekerjaan yang paling banyak dipilih oleh responden adalah wirausaha sebanyak 124 (42%), disusul Pegawai Negeri Sipil (PNS) 99 (34%), pegawai swasta 59 (20%), dan sisanya 11 (4%) memilih pekerjaan lainnya. Berdasarkan pekerjaan yang dipilih mahasiswa setelah lulus paling banyak adalah wirausaha atau pengusaha. Hal ini berarti ada harapan bagi bangsa Indonesia ke depan untuk menjadi negara maju karena generasi mudanya paling banyak memilih bekerja mandiri sebagai wirausaha daripada pekerjaan yang lain.

Gambar 3 Pilihan Pekerjaan Responden Berdasarkan Jurusan

Gambar 3 menunjukkan jumlah responden yang memilih pekerjaan sebagai wirausaha adalah 124 (42%) responden yang terdiri dari 71 orang jurusan Manajemen, 51 orang jurusan Akuntansi, dan 2 orang jurusan Administrasi Keuangan. Responden yang memilih bekerja sebagai PNS sebanyak 99 (34%) yang terdiri dari 46 orang jurusan Manajemen, 44 orang jurusan Akuntansi, dan 9 orang jurusan Administrasi Keuangan. Reponden yang memilih menjadi pegawai swasta sebanyak 59 (20%) terdiri dari 29 orang jurusan Manajemen, 23 orang jurusan Akuntansi, dan 7 orang jurusan Administrasi Keuangan. Sisanya 11 (4%) responden memilih pekerjaan lainnya terdiri dari 5 orang jurusan Manajemen, 5 orang jurusan Akuntansi, dan 1 orang jurusan Administrasi Keuangan.

Perbandingan responden yang memilih pekerjaan sebagai wirausaha atau pengusaha setelah lulus kuliah berdasarkan jurusan atau program studi lebih banyak jurusan Manajemen, yaitu 20 responden atau 28 persen. Perbedaan ini dapat dijelaskan karena jurusan atau program studi Manajemen lebih banyak mendapatkan matakuliah yang mendukung kompetensi kewirausahaan dibandingkan jurusan Akuntansi. Matakuliah pendukung kompetensi kewirausahaan yang ditawarkan pada jurusan Manajemen tetapi tidak ditawarkan pada jurusan Akuntansi antara lain: Perilaku Konsumen, Riset Pasar, dan Komunikasi Pemasaran.

Gambar 4 menunjukkan jumlah responden yang memilih pekerjaan sebagai wirausaha adalah 124 (42%) responden yang terdiri dari 77 orang laki-laki dan 57 orang perempuan. Responden memilih menjadi PNS sebanyak 99 (34%) terdiri dari 37 orang laki-laki dan 62 orang perempuan. Responden yang memilih bekerja sebagai pegawai swasta sebanyak 59 (20%) terdiri dari 17 orang laki-laki dan 42 orang perempuan. Sisanya 11 (4%) responden memilih pekerjaan lainnya.

87 PROSIDING

Seminar Nasional dan Call For Papers RIEE 2016 “Strategi Pembelajaran Kewirausahaan Untuk Membentuk Wirausaha Tangguh dan Berdaya Saing Tinggi”

Gambar 4 Pilihan Pekerjaan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Pilihan pekerjaan sebagai wirausaha atau pengusaha lebih banyak dipilih oleh laki-laki daripada perempuan. Laki-laki lebih suka mengambil risiko dibandingkan dengan perempuan. Pengalaman peneliti dalam mengampu matakuliah Kewirausahaan laki-laki lebih memiliki intensi berwirausaha. Hal ini dibuktikan laki-laki lebih banyak yang sudah memiliki usaha kecil disamping kegiatan perkuliahan. Perempuan lebih banyak memilih pekerjaan sebagai PNS. Perempuan lebih senang kenyamanan dan kepastian dalam pekerjaan karena menjadi PNS mendapatkan penghasilan tetap dan relatif aman dari pemutusan hubungan kerja.

Gambar 5 Pilihan Pekerjaan Responden Berdasarkan Tempat Tinggal

Gambar 5 menunjukkan responden yang bertempat tinggal di Jakarta sebanyak 41 (14%) responden. Dari jumlah tersebut 13 (32%) responden memilih pekerjaan sebagai wirausaha atau pengusaha setelah lulus kuliah. Sebanyak 80 (27%) responden tinggal di Bandung 29 (36%) diantaranya berintensi menjadi wirausaha. Sebanyak 37 (13%) responden tinggal di Bogor 16 (43%) diantaranya berintensi menjadi wirausaha. Sebanyak 11 (4%) responden tinggal di Depok 4 (36%) diantaranya berintensi menjadi wirausaha. Responden yang tinggal di Tangerang sebanyak 15 (5%), 5 (33%)

diantaranya berintensi menjadi wirausaha. Sebanyak 19 (6%) responden tinggal di Bekasi 6 (42%) diantaranya memilih menjadi wirausaha. Sisanya 90 (31%) responden tinggal di Surakarta 49 (54%) diantaranya memilih menjadi wirausaha.

Berdasarkan pilihan pekerjaan sebagai wirausaha responden yang berdomisili di Surakarta menempati peringkat pertama. Surakarta sebagai kota menengah yang merupakan pusat bisnis dan budaya menarik minat reponden untuk berwirausaha.

Dalam dokumen PROSIDING RIEE 2016 VOL 1 (Halaman 86-99)