TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketuban Pecah Dini (KPD)
2.1.2 Epidemiologi Ketuban Pecah Dini (KPD)
World Health Organization menyatakan bahwa sekitar 5 – 10% kelahiran mengalami KPD dan 70% dari kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. 1%
dari semua kehamilan mengalami KPD preterm dan sekitar 30% kasus KPD adalah penyebab dari kelahiran prematur (WHO, 2015). Kejadian KPD aterm diperkirakan dapat mempersulit sekitar 8% kehamilan dan KPD preterm mempersulit sekitar 1%
persalinan secara keseluruhan (Dayal dan Hong, 2020).
Sekitar 8% - 10% kehamilan yang cukup bulan akan mengalami Rupture of Membranes (ROM) spontan sebelum onset dimulainya aktivitas uterus. Jika pasien mengalami KPD di trimester kedua, maka kemungkinan ia akan melahirkan dalam
waktu seminggu. Untuk pasien yang mengalami KPD aterm, 95% akan melahirkan dalam waktu 24 jam, tetapi hal ini berkaitan dengan sepertiga dari semua kelahiran prematur (Workineh et al., 2018).
Di Indonesia, angka kejadian KPD sekitar 4,5 – 6% dari seluruh kehamilan.
Di beberapa rumah sakit yang ada di Indonesia, terdapat variasi yaitu 5,3% di Rumah Sakit Sardjito, 5,05% di Rumah Sakit Hasan Sadikin, 11,22% di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 2,27% di Rumah Sakit Pringadi, dan 5,10% di Rumah Sakit Kariadi (Sudarto dan Tunut, 2016). Sepertiga kasus persalinan preterm serta 18 – 20% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh KPD (Andalas et al., 2019). Badan Pusat Statistik Indonesia menyatakan bahwa rata-rata Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 42/1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2017 sebesar 32/1000 kelahiran hidup, dan sepsis merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatal sebesar 5,2% (Ocviyanti dan Wahono, 2018).
Komplikasi yang terjadi akibat KPD pada ibu dan janin juga cukup fatal.
Pada janin, dapat terjadi kompresi tali pusat dengan faktor risiko sebesar 73,1% dan ascending infection sebesar 28,2%. Di Amerika Serikat, 18 - 20% kematian perinatal berhubungan dengan KPD (Andalas et al., 2019). Secara umum, peningkatan 10x lipat pada infeksi neonatal terjadi pada kasus KPD tanpa komplikasi. Sebuah studi multisenter tentang KPD pada kehamilan cukup bulan, yang dilakukan di Amerika, Kanada, Inggris, dan Israel, menemukan bahwa pecah ketuban yang berkepanjangan selama ≥48 jam dan 24 - 48 jam meningkatkan risiko infeksi neonatal sebesar 2,25x lipat. Infeksi selaput ketuban merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang dapat terjadi pada kehamilan dengan KPD, baik pada kehamilan prematur maupun cukup bulan. Pada kehamilan cukup bulan, kejadian infeksi selaput ketuban bervariasi dari 6 - 10% dan terjadi pada 40% dari KPD berkepanjangan yang berlangsung selama lebih dari 24 jam. Pada tahun 2005, WHO melaporkan bahwa 37% kematian anak terjadi di bawah usia 5 tahun, dan sepsis neonatal adalah penyebab 29% kematian dalam kelompok usia tersebut.
(Ocviyanti dan Wahono, 2018).
2.1.3 Klasifikasi Ketuban Pecah Dini (KPD) a. KPD Preterm
Kejadian KPD preterm adalah KPD yang terjadi setelah 28 minggu usia kehamilan dan sebelum 37 minggu usia kehamilan (Gahwagi et al., 2015). Apabila terjadi terlalu dini, maka neonatus yang masih hidup dapat mengalami malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, enterokolitis nekrosis, gangguan neurologis, perdarahan intraventrikular, dan sindrom gangguan pernapasan (Medina dan Hill, 2006). Semakin muda usia gestasi saat terjadinya KPD preterm, maka semakin tinggi pula kejadian infeksi mikroorganisme termasuk korioamnionitis (Poma, 1996).
Kejadian KPD preterm dapat menyebabkan komplikasi pada 3%
kehamilan dan persalinan dini adalah salah satu bentuk komplikasi yang paling umum dengan insiden sekitar 30-40% (Medina dan Hill, 2006). Pada pasien ini, sekitar 1,5 kasus akan mengalami kelahiran dalam jangka waktu 1 minggu terlepas dari gejala klinis maupun intervensi obstetrik. Jika terjadi kelahiran prematur, komplikasi yang paling umum adalah gangguan pernapasan. Hal ini dikarenakan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin, pembentukan saluran udara di paru-paru terjadi pada minggu ketujuh dan jika KPD preterm terjadi terutama sebelum janin mencapai usia 24 minggu, maka cairan ketuban akan berkurang dan dapat mengganggu perkembangan paru janin karena alveolus tidak terbentuk tanpa adanya cairan ketuban bahkan setelah pemberian steroid. Jika janin menghabiskan beberapa waktu di dalam rahim tanpa cairan ketuban, maka gangguan pernapasan yang ditemukan pada anak ini setelah lahir dari KPD Preterm bisa lebih parah dari yang diperkirakan (Swiatkowska et al., 2019).
Bentuk komplikasi lainnya seperti infeksi lebih sering pada usia kehamilan awal. Di antara pasien yang mengalami KPD preterm, infeksi intraamniotik yang terbukti secara klinis terjadi pada sekitar 15-25%, dan infeksi postpartum terjadi pada sekitar 15-20% (ACOG, 2020).
b. KPD Aterm
Kejadian KPD aterm, yang selanjutnya hanya disebut KPD, merupakan KPD yang terjadi >37 minggu penuh usia kehamilan. Pada kasus aterm, KPD memberikan komplikasi yang bermakna pada 8% kasus kehamilan, namun biasanya secara umum (80%) diikuti dengan persalinan spontan. Pada sebuah penelitian randomized trial, sekitar 1,5 wanita mengalami persalinan dalam waktu 5 jam dan 95% dalam waktu 28 jam setelah terjadinya KPD (ACOG, 2020). Pada literatur lain dinyatakan bahwa 50% wanita yang mengalami KPD akan mengalami persalinan dalam waktu 24 – 48 jam dan 70 – 90% dalam waktu 7 hari (Maryuni, 2017).
Yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya risiko pasien untuk mengalami demam intrapartum jika tidak ada persalinan 24 jam pasca KPD serta meningkatnya risiko mortalitas perinatal jika tidak ada persalinan 72 jam pasca KPD. 40% wanita yang hamil cukup bulan dan mengalami KPD pada saat masuk ke rumah sakit dinyatakan positif pada pemeriksaan kultur bakteri, dan persentase ini meningkat seiring waktu. 5% dari pasien yang mengalami KPD menderita korioamnionitis setelah dilakukan pemeriksaan vagina 24 jam pasca KPD, dan ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya periode laten (Poma, 1996).
Pada KPD, kematangan serviks memegang peranan penting penting dalam penatalaksanaan. Dalam kondisi normal, proses fisiologis dari pematangan serviks membutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Serviks yang belum matang membutuhkan rata-rata 10.000 mmHg kerja uterus untuk mencapai kesiapan proses persalinan, sedangkan serviks yang matang hanya membutuhkan 1600 mmHg. Apabila pasien dengan serviks yang telah matang diberikan stimulasi oksitosin yang adekuat, maka kemungkinan berhasilnya stimulasi ini cukup tinggi dan ada harapan untuk terjadinya persalinan pervaginam. Pasien yang memiliki serviks yang belum matang, dibutuhkan stimulasi oksitosin dalam jangka waktu yang cukup lama dan justru akan terjadi peningkatan morbiditas dan persalinan caesar (Poma, 1996).
2.1.4 Etiologi Ketuban Pecah Dini (KPD) a. Inkompetensi Serviks
Inkompetensi atau insuffiensi serviks, adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan kehamilan yang ditunjukkan dengan tidak adanya tanda dan gejala kontraksi uterus atau persalinan atau keduanya (ACOG, 2014). Meskipun bergantung pada derajat keparahannya, namun inkompetensi serviks biasa terjadi pada pertengahan trimester 2 hingga awal trimester 3 (Thakur dan Mahajan, 2020).
Penyebab dan patofisiologi dari inkompetensi serviks masih belum jelas. Adanya anomali müllerian kongenital, defisiensi kolagen serviks dan elastin, paparan in utero terhadap dietilsistilbestrol, trauma bedah pada serviks akibat konisasi, prosedur eksisi bedah elektro loop, pelebaran mekanis serviks selama penghentian kehamilan, atau laserasi obstetrik diyakini sebagai beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya inkompetensi serviks (ACOG, 2014). Yang penting untuk dipahami adalah bahwasanya serviks merupakan organ kompleks yang akan mengalami perubahan-perubahan dalam mempersiapkan kehamilan dan persalinan mulai dari adanya kaskade biokimia, interaksi antara kompartemen ekstraseluler dan seluler, serta infiltrasi stroma serviks oleh sel-sel inflammatorik. Apabila terjadi gangguan pada salah satu tahapan tersebut maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya inkompetensi serviks, yang pada akhirnya akan mengarah pada pematangan serviks dini, KPD, kelahiran prematur, ataupun keguguran (Thakur dan Mahajan, 2020).
b. Faktor genetik
Kelainan genetik yang dapat memicu KPD diantaranya adalah Sindrom Ehlers-Danlos, Sindrom Marfan, dan beberapa polimorfisme gen (Romero et al., 2010). Sindrom Ehlers-Danlos adalah kelainan jaringan ikat lunak dengan karakteristik berupa hipermobilitas persendian, tekstur kulit yang abnormal, dan visceral-vascular fragility yang disebabkan karena mutasi pada kolagen tipe-V (Bregan dan Klopcic, 2018). Dengan adanya mutasi pada pemrosesan kolagen, maka ini dapat memicu pecahnya selaput
amnion. Data menunjukkan apabila dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita Sindrom Ehlers-Danlos dan janin yang normal, terdapat peningkatan 2x lipat untuk mengalami KPD (Romero et al., 2010). Adanya defek gen kolagen (COL1A1, COL1A2, dan COL5A1), cartilage- associated protein (CRTAP), leucine proline-enriched proteoglycan (leprecan) 1 (LEPRE1), dan zinc metallopeptidase STE24 (ZMPSTE24) juga berperan kuat sebagai faktor risiko KPD preterm (Lannon et al., 2014).
Sindrom Marfan adalah suatu kelainan jaringan ikat yang terkait dengan autosom dominan akibat adanya mutasi pada gen FBN1 yang berfungsi untuk coding fibrillin-1, yaitu suatu protein penting di matriks ekstraseluler yang berkontribusi dalam pembentukan struktur akhir dari mikrofibril. Kriteria klinisnya adalah aneurisma dan atau diseksi aorta torakalis, ectopia lentis, dan manifestasi sistemik (Pepe et al., 2016). Pasien akan mengalami kelainan struktur kolagen dan sintesis asam hialuronat yang berpengaruh terhadap kejadian KPD. Data menunjukkan bahwa pasien dengan Sindrom Marfan memiliki tingkat KPD preterm 6% lebih tinggi dibandingkan populasi umum (Romero et al., 2010).
Polimorfisme pada beberapa gen seperti gen MMP Tipe 1, 5, dan 9 dan HSP47 (heat-shock protein 47), yang keseluruhannya dapat mempengaruhi degradasi protein matriks ekstraseluler pada membran janin diyakini berhubungan dengan kejadian KPD meskipun hubungan fungsional langsung belum ditetapkan (Romero et al., 2010). Di literatur lain juga diteliti mengenai keterkaitan polimorfisme haptoglobin pada pasien KPD. Haptoglobin (Hp) merupakan protein fase akut yang akan berikatan dengan hemoglobin untuk melindungi sel dari kerusakan oksidatif saat terjadi inflamasi, ia diproduksi di hati, organ reproduksi wanita seperti decidua, ovarium, dan endometrium, serta dapat dideteksi di cairan amnion dan cairan vagina. Haptoglobin memiliki 2 alel utama yaitu Hp1 dan Hp2 yang diekspresikan menjadi 3 fenotip utama yaitu Hp 1-1 yang memiliki aktivitas antiinflamasi lebih tinggi, Hp 2-2 yang memiliki aktivitas angiogenik yang lebih poten, dan Hp 2-1 yang aktivitasnya lebih moderate.
Penelitian pada literatur ini menunjukkan bahwa frekuensi KPD pada wanita dengan Hp 1-1 lebih tinggi dibandingkan wanita dengan Hp 2-2. Hp 1-1 yang tidak memiliki aktivitas angiogenik menyebabkan kurang efektifnya perbaikan jaringan ikat korioamnion yang rusak dan selanjutnya dapat dengan mudah memicu terjadinya KPD (Cho et al., 2009).
c. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban (infeksi genetalia)
Infeksi genitalia adalah salah satu etiologi yang berperan dalam morbiditas wanita usia reproduktif, terutama pada saat kehamilan. Beberapa infeksi genitalia yang terkait dengan KPD adalah infeksi Chlamydia trachomatis, Human Papilloma Virus, infeksi Trichomonas vaginalis, kandidiasis, sifilis, vaginosis bakterial, Neisseria gonorrhea, dan Group B Streptococcus (Nakubulwa et al., 2015).
Saat terjadi infeksi, tubuh akan menjalankan respon inflamasi dan menyekresikan sitokin, salah satunya adalah MMP. Enzim ini akan mendegradasi matriks ekstraseluler termasuk kolagen, sehingga dapat memicu terjadinya KPD. Pada invasi kanker serviks, ternyata ditemukan bahwa MMP-2 adalah faktor yang berperan cukup penting karena melalui proses degradasi matriks ekstraseluler. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi HPV memiliki keterkaitan dengan peningkatan jumlah MMP-2 yang pada wanita hamil dapat menyebabkan KPD (Cho et al., 2013). Selain itu, GBS dinyatakan sebagai bakteri yang paling umum sebagai penyebab sepsis dan transmisi GBS yang paling sering terjadi adalah melalui kolonisasi saluran genitourinaria atau gastrointestinal ibu setelah pecahnya selaput amnion (Yaseen et al., 2021). Di beberapa negara berkembang, 20 – 30% wanita hamil positif kultur GBS, dan apabila tidak segera diobati dapat berkembang menjadi komplikasi dan sepsis neonatorum (Patel et al., 2018). Wanita hamil yang menderita bakterial vaginosis lebih berisiko untuk terjadinya KPD. Wanita hamil penderita sifilis juga memberikan prognosis yang lebih buruk terhadap prematuritas. Wanita hamil yang mengalami infeksi Neisseria gonorrhea berisiko 6 kali lebih tinggi untuk terjadinya KPD (Nakubulwa et al., 2015).
d. Overdistensi uterus
Pada kehamilan ganda, janin yang makrosomia, polihidramnion, anomali uterus seperti uterus unicornuate, dan kehamilan dengan fibroid uterus terjadi pertumbuhan uterus secara cepat sehingga ditemukan uterus yang overdistensi (membengkak). Bentuk komplikasi dari overdistensi uterus adalah KPD, prematuritas, dan prolaps tali pusat (Sharma, 2020).
Sel-sel miosit yang ada di uterus akan terus mengalami hipertrofi dan hyperplasia selama masa kehamilan, dengan tujuan untuk bisa mencukupi kebutuhan janin, plasenta, dan amnion. Namun diyakini bahwasanya terdapat limit yang membatasi kemampuan rahim untuk membesar, dan apabila rahim sudah tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan volume yang berlebihan, maka hal inilah yang dapat memicu terjadinya KPD (Waldorf et al., 2015). Ketika terjadi peregangan mekanis pada sel-sel miometrium, maka hal ini akan memicu respon inflamasi yang kemudian akan merangsang pengeluaran sitokin (Interleukin 8/IL-8) dan kemokin, peningkatan produksi matrix metalloproteinase, peningkatan katabolisme kolagen, peningkatan ekspresi RNA pembawa dari COX-2 dan reseptor oksitosin, serta peningkatan produksi prostaglandin yang juga aktivator MMP, dan keseluruhan faktor-faktor ini akan berkontribusi terhadap kejadian KPD akibat overdistensi uterus (Lannon et al., 2014).
e. Malposisi atau malpresentase janin
95% bagian janin yang ada pada saat persalinan aterm adalah vertex dan hal ini dapat berkembang dengan baik menuju persalinan pervaginam spontan. Malposisi atau malpresentase terjadi apabila urutan perubahan posisi kepala janin berubah dan hal ini disebabkan oleh ekstensi kepala janin yang menyebabkan timbulnya alis atau wajah saat persalinan dan oksiput menetap di posisi lateral atau posterior (Talaulikar dan Arulkumaran, 2015).
Pada janin yang mengalami malposisi, bagian terbawah janin tidak menutupi jalan lahir sehingga tidak ada penahan pada membran amnion dan hal ini dapat mempermudah terjadi KPD (Maryuni, 2017). Pada sebuah penelitian, didapati bahwa presentasi noncephalic cenderung berisiko lebih
tinggi untuk mengalami solusio plasenta, oligohidramnion, endometritis, dan infeksi intraamniotik. Pasien dengan presentasi noncephalic juga lebih mungkin untuk mengalami KPD preterm pada usia gestasi lebih awal, prematur, serta peningkatan risiko kematian (Yee dan Grobman, 2016).
f. Riwayat keguguran maupun riwayat KPD sebelumnya
Keguguran atau aborsi spontan merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menyatakan kehilangan kandungan <20 minggu usia gestasi. 80% keguguran terjadi pada trimester pertama dan risikonya menurun setelah melewati 12 minggu usia gestasi (Dugas dan Slane, 2021).
Salah satu hipotesis menyatakan bahwa perdarahan akibat keguguran akan meningkatkan produksi radikal bebas di dalam membran amnion dan selanjutnya akan meningkatkan kerentanan membran untuk pecah. Jika perdarahan berlangsung berulang, hal ini akan memberikan rangsangan pada uterus untuk berkontraksi secara subklinis, dan hal ini tentunya berdampak pada perubahan serviks yang patologis dan kemudian akan memicu pecahnya selaput amnion (Weiss et al., 2004). Adanya dilatasi serviks atau pembedahan pada pasien yang mengalami keguguran dapat berujung pada inkompetensi serviks dengan risiko infeksi, dan hal ini menyebabkan pasien memiliki faktor risiko KPD yang lebih tinggi. Sebuah studi dari Moreau et al. mengatakan bahwa terdapat peningkatan risiko kelahiran prematur berat akibat KPD pada wanita yang memiliki riwayat keguguran melalui induksi kehamilan (Moreau et al., 2005).
Mekanisme kecenderungan kekambuhan KPD pada kehamilan selanjutnya masih belum diketahui secara jelas, namun adanya lingkungan inflamasi kronis pada plasenta, uterus, dan serviks mungkin terlibat. Faktor lain yang mungkin terlibat adalah ras genetik dan interval waktu kehamilan.
Hal ini ditunjukkan pada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa interval waktu kehamilan yang pendek akan meningkatkan risiko rekurensi KPD preterm, dan rekurensi KPD preterm lebih sering pada wanita Afrika-Amerika dibandingkan wanita berkulit putih (Getahun et al., 2010).
g. Faktor yang berhubungan dengan berat badan
Obesitas adalah salah satu faktor risiko terjadinya infeksi lokal dan sistemik karena keadaan proinflamasi (Hadley et al., 2017). Obesitas akan merangsang tubuh untuk melepaskan hormon metabolik melalui sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal yang ditandai dengan tingginya pelepasan hormon CRH (Corticotropin Releasing Hormone) dan ini akan menjadi faktor risiko untuk KPD, persalinan prematur, hipertensi akibat kehamilan, dan eklampsia (Masho et al., 2013). Peningkatan produksi sitokin proinflamasi sistemik akan menimbulkan gangguan imunitas seluler yang kemudian menyebabkan infeksi subklinis seperti risiko infeksi genitalia, infeksi saluran kemih, dan korioamnionitis (Hadley et al., 2017).
Penelitian yang dilakukan pada sekelompok ibu hamil dengan KPD preterm yang terjadi di atas minggu ke-34 menemukan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan kejadian pasca lahir yang merugikan untuk bayi seperti durasi pemberian antibiotik >72 jam, pemberian ventilasi, suplementasi oksigen, dan pemberian surfaktan (Lynch et al., 2020).
h. Merokok selama kehamilan
Asap rokok mengandung campuran kompleks nikotin, kotinin, sianida, tiosianat, karbon monoksida, kadmium, timbal, dan berbagai hidrokarbon (Stillerman et al., 2008). Asosiasi kesehatan telah memberikan rekomendasi kepada dokter agar menanyakan riwayat pemakaian tembakau secara lengkap dan menyeluruh kepada ibu hamil dan menyarankan mereka untuk menghentikan penggunaannya dengan cara pemberian motivasi dan informasi risiko perinatal yang signifikan terkait penggunaan tembakau yang diantaranya adalah celah orofasial, hambatan pertumbuhan janin, plasenta previa, solusio plasenta, KPD, BBLR, peningkatan mortalitas perinatal, kehamilan ektopik, dan penurunan fungsi tiroid (ACOG, 2020).
Rokok akan menginduksi proses pembentukan Reactive Oxygen Species (stres oksidatif) melalui apoptosis yang akhirnya akan memicu degradasi proteolitik selaput amnion. Penurunan fungsi imunitas juga terjadi akibat adanya disregulasi produksi sitokin dan kemokin, disregulasi
migrasi sel-sel inflamatorik, dan menonaktifkan fungsi fagositosis makrofag. Hal ini direspon lebih kuat oleh tubuh dengan memicu respon inflamasi melalui pengaktifan matriks ekstraseluler (pengeluran MMP) yang pada akhirnya akan menyebabkan degradasi dan ruptur membran yang lebih parah (England et al., 2013).
Pada jaringan syncytiotrophoblast manusia, terdapat suatu protein yang disebut dengan metallothionein-1 yang berfungsi sebagai pengikat logam berat seperti seng, tembaga, timbal, dan kadmium. Ibu yang merokok akan memiliki kadar kadmium yang tinggi di dalam darah dan plasentanya, karena sumber kadmium yang paling umum berasal dari lingkungan adalah dari asap rokok. Ketika terjadi peningkatan transfer kadmium ke dalam janin, maka akan menyebabkan pertumbuhan plasenta yang buruk karena kadmium mengurangi jumlah trofoblas (Lee et al., 2009).
Kadmium juga akan memicu sintesis protein metallothionein-1 di amnion. Karena fungsi protein tersebut adalah mengikat logam berat yang salah satunya adalah tembaga (Cu2+), maka kadar Cu2+ di plasenta akan meningkat dan di darah tali pusat akan menurun. Salah satu enzim yang membutuhkan Cu2+ dalam kinerjanya adalah enzim yang berkaitan dengan kolagen. Ketika terjadi kekurangan Cu2+, maka produksi kolagen berkurang, kekuatan tarik jaringan berkurang, amnion akan melemah, dan pada akhirnya memicu KPD (Cunningham et al., 2014).
Selain rokok, adanya paparan bahan pencemar udara kepada ibu hamil juga memiliki pengaruh yang berbahaya kepada ibu hamil. Dalam sebuah penelitian meta analisis, dinyatakan bahwa terdapat risiko persalinan secara prematur akibat adanya paparan bahan polusi udara berukuran <10 μm diameter aerodinamis, karbon monoksida, materi partikulat <2,5 μm diameter aerodinamis, dan sulfur dioksida selama trimester ketiga (Stieb et al., 2012). Mekanisme paparan polutan sampai menyebabkan pecahnya amnion dikaitkan dengan stres oksidatif, inflamasi, disfungsi endotel, apoptosis sel, dan respon hemodinamik, yang akhirnya bisa menyebabkan kelahiran prematur (Wallace et al., 2016).
i. Usia ibu yang lebih tua
Kebanyakan perempuan di zaman sekarang ini memilih menunda untuk melahirkan anak dikarenakan keinginan untuk menjadi seseorang yang sukses dari segi karir dan finansial (Pinheiro et al., 2019). Perempuan yang melahirkan di usia >35 tahun (disebut dengan AMA/Advanced Maternal Age) saat ini mengalami peningkatan terutama pada negara dengan pendapatan tinggi. Padahal ada banyak outcome yang dapat timbul berkaitan dengan Advanced Maternal Age (AMA) ini seperti keguguran (baik itu keguguran di trimester pertama, trimester kedua, maupun selama persalinan), kelainan kromosom janin, fetal growth restriction, pre-eklampsia, diabetes gestasional, KPD, kelahiran prematur, dan peningkatan insiden operasi caesar (Frick, 2021). AMA juga diketahui dapat berkontribusi pada adanya lesi vaskular di plasenta dan miometrium (Waldenstrom et al., 2016).
Selain itu, komplikasi obstetrik yang dapat muncul pada pasien hamil dengan usia lebih tua bisa disebabkan oleh adanya penyakit tertentu (seperti diabetes, obesitas, dan hipertensi), penurunan fungsi kardiovaskuler, dan stress fisik maupun mental. Keseluruhan mekanisme inilah yang akan memicu terjadinya KPD (Matsuda et al., 2011).
j. Riwayat hubungan seksual baru-baru ini
Adanya aktivitas seksual pada ibu hamil sudah lama diyakini sebagai salah satu penyebab KPD dan kelahiran prematur. Hal ini terjadi karena stimulasi pada puting ibu, klitoris, dan aktivitas uterus yang disebabkan oleh orgasme akan memicu pelepasan oksitosin dan prostaglandin yang akan merangsang kontraksi uterus. Sebuah penelitian dilakukan untuk menghitung kadar prostaglandin yang ada pada mukus serviks. Pada trimester ketiga kadarnya meningkat 20x lipat dan 2-4 jam setelah hubungan seksual kadarnya meningkat 50x lipat dari normal.
Prostaglandin akan merangsang remodelling matriks ekstraseluler untuk pematangan serviks dan kontraktibilitas uterus, yang selanjutnya bisa memicu rupturnya selaput amnion (Zaksek, 2015).
Pada suatu penelitian juga disebutkan bahwa adanya aktivitas seksual yang dilakukan saat hamil dengan male superior position dapat meningkatkan risiko terjadi KPD, hal ini dikaitkan dengan adanya tekanan dan trauma akibat pergerakan selama melakukan aktivitas seksual (Woolson et al., 1993). Selain itu, aktivitas seksual juga bisa menjadi salah satu pintu masuk infeksi genitalia (Sayle et al., 2001).
k. Paritas
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa banyaknya kelahiran hidup yang dimiliki oleh wanita disebut dengan paritas. Terdapat tiga klasifikasi dari paritas yaitu primipara, multipara, dan grandemultipara. Seorang ibu yang multipara dan grandemultipara memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan seperti diabetes mellitus, hipertensi gestasional, makrosomia, perdarahan antepartum, malpresentasi janin, operasi caesar, perdarahan postpartum, anemia defisiensi besi, KPD, dan mortalitas perinatal (Alsammani dan Ahmed, 2015).
Untuk KPD, insidennya mencapai 2-3 dari semua kehamilan tunggal, 7,4% dari kehamilan kembar (Raydian dan Rodiani, 2020). Hal ini dikarenakan serviks yang sudah tidak kompeten seiring dengan pertambahan usia, padahal serviks berperan penting untuk mempertahankan kehamilan (Koullali et al., 2020). Selain itu, wanita multipara atau grandemultipara biasanya sudah berasa di usia lebih tua dan mengalami penurunan fungsi uterus dan ovarium (Luo et al., 2020).
l. Anemia
Anemia adalah salah satu gejala yang mengenai sekitar 40% wanita hamil di seluruh dunia dan hampir 1/3 di Amerika Serikat. Anemia dapat menyebabkan komplikasi mortalitas dan morbiditas pada kehamilan yang cukup bervariasi tergantung dari derajat keparahan anemia. Beberapa komplikasi tersebut antara lain diabetes gestasional, preeklampsia, kelahiran prematur, KPD, KPD preterm, perdarahan postpartum, kecil masa
Anemia adalah salah satu gejala yang mengenai sekitar 40% wanita hamil di seluruh dunia dan hampir 1/3 di Amerika Serikat. Anemia dapat menyebabkan komplikasi mortalitas dan morbiditas pada kehamilan yang cukup bervariasi tergantung dari derajat keparahan anemia. Beberapa komplikasi tersebut antara lain diabetes gestasional, preeklampsia, kelahiran prematur, KPD, KPD preterm, perdarahan postpartum, kecil masa