HUBUNGAN ANTARA KETUBAN PECAH DINI (KPD) DAN USIA GESTASI TERHADAP KEJADIAN SEPSIS
NEONATORUM: TELAAH SISTEMATIS DAN META ANALISIS
SKRIPSI
Oleh:
NANDA ANDINI 180100033
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
NANDA ANDINI 180100033
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
i
ii
berkah, rahmat, dan hidayah-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang sangat kita harapkan syafa’atnya di yaumil akhir kelak. Skripsi yang berjudul “Hubungan antara Ketuban Pecah Dini (KPD) dan Usia Gestasi terhadap Kejadian Sepsis Neonatorum: Telaah Sistematis dan Meta Analisis” ini merupakan tugas akhir yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari penyelesaian skripsi ini tentu tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada:
1. Kedua orangtua penulis, Syahrul dan Nurjannah serta keluarga yang penulis sayangi Ir. M. Ihsan, S.T., Lamro Batubara, Marliana Nana, dan Yenny Suryani yang selalu memberikan doa, semangat, kasih sayang, keceriaan, dan kehangatan dalam kehidupan penulis.
2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K); Wakil Dekan I FK USU Dr. dr. Delyuzar, M.Ked(PA), Sp.PA(K), Wakil Dekan II FK USU Dr. dr. Muara P. Lubis, M.Ked(OG), Sp.OG(K), Wakil Dekan III FK USU dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, M.Ked(Ped), Sp.A, Ph.D yang telah memberikan dukungan dalam bentuk sarana dan prasarana, motivasi serta nasihat kepada penulis selama masa pendidikan di FK USU.
3. dr. Dwi Rita Anggraini, M.Kes, Sp.PA selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan ilmu, nasehat, masukan, dukungan, dan bimbingan selama menjalani masa pendidikan di FK USU.
4. dr. Lili Rohmawati, Sp.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan, bimbingan, masukan, ilmu, perhatian, dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
iii
6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika USU dan FK USU, MEU FK USU, serta komisi etik USU yang telah meluangkan waktu dan tenaga dalam memberikan ilmu, bantuan, nasihat, serta bimbingan bagi penulis baik selama menjalani masa pendidikan di FK USU, pengurusan akademik, serta hal-hal terkait kebutuhan penyelesaian skripsi ini.
7. Sahabat terbaik penulis di heroin dan sitou, Azhzhilla Izza Mora Lubis, Putri Rhizkikah, Ainil Aisyah, Namira Mardhiyah, Biodya Digna Philothra, Aqasha Islamy Sodi, Annesyia Aisy, Charys Rifani, Dimas Pangestu, Ahmad Aziz Multazam, Ramtry Waldi Berampu, Whyra Pratama Said, Aqyl Hanif Abdillah, dan Muhammad Fahmi Ikram yang selalu ada bersama di setiap suka dan duka perkuliahan serta selalu memberikan keceriaan dan dukungan.
8. Sahabat terbaik penulis di SMP dan SMA, Masvita, Siti Nafadaini Ekaputri, Dhiya Khaiyira, Galuh Nurul Pramesti, Azura Fadillah Hanjaya, Fitriani Limbong, Naryama Harahap, Natasya Salsabilla, Hidayatul Fatani, Amalia Fitria Nasution, dan M. Harunsyah Putra yang selalu memberikan semangat dan dukungannya meski terpisah oleh jarak dan waktu.
9. Kakanda dr. Justika Usmadhani Aulia, Nasvatia Harsyah, Ghina, Sakinah Binti Omar Low, T. Sarah Nur Khalisa, Putri Auliani Fikriana, dan Galih Dwi Shinta yang telah banyak membantu dan memberikan ilmu, semangat, motivasi, serta nasehat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
10. Adinda tersayang penulis, Fara, Pk, Tanty, Bella, Dedy, Marella, dan Alfath yang selalu memberikan semangat dan keceriaan selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
11. Kabinet Suwarna Bhumi ISMKI Wilayah 1, Bang Fahriza, Kak Puput, Kak Vina, Kak Sazia, Bang Fandi, Kak Via, Bang Ivan, Kak Selvy, Ratu, Malvin, Rohan, Putsyaw, Dhea, Fadil, Aka, Vira, Puput D, Nuri, dan Adi
iv
Olga, Vania, Tiara, Melvin, Pk, Tanty, Kemas, Ghina, Teguh, Marella, Alfath, Helena, Mila, Umar, dan Akhil yang selama ini telah bekerjasama dalam kehidupan organisasi ISMKI Wilayah 1 Periode 2021 – 2022 serta memberikan semangat serta keceriaan dalam kehidupan penulis.
13. VRCPD ISMKI Wilayah 1, Fara, Alam, Ikhwal, Fina, Dea, Uqi, dan Roihan yang telah menemani penulis dalam perjalanan VRCPD serta memberikan semangat, kehangatan, dan keceriaan.
14. Kabinet Amukti Palapa PEMA FK USU, Hakim, Fauzan, Putri Ardina, Ayak, Chalya, Lili, Dimas, Amel, Indira, Zidan, Alam, Ananda, Alfath, Bella, Nicholas, Sofi, Nami, Umam, Naomi, Fira, Rizki, Putri Rhizkikah, Nisa, Daffa, Ain, dan Uca yang telah menemani perjuangan kepengurusan PEMA serta memberikan cerita-cerita penuh suka duka.
15. Senior dan sejawat penulis di FK USU lainnya yang telah bekerjasama dalam kehidupan organisasi kampus serta memberikan ilmu dan keceriaan dalam menjalani masa pendidikan di FK USU, serta semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca untuk memperbaiki kekurangan tersebut. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca serta dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang kedokteran.
Medan, 16 November 2021 Penulis,
Nanda Andini 180100033
v
Daftar Tabel ... viii
Daftar Singkatan ...ix
Abstrak ...xiv
Abstract………xv
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...4
1.3 Tujuan Penelitian ...4
1.3.1 Tujuan Umum ...4
1.3.2 Tujuan Khusus ...4
1.4 Manfaat Penelitian ...5
1.4.1 Bagi Peneliti ...5
1.4.2 Bagi Bidang Penelitian ...5
1.4.3 Bagi Program Kesehatan ...5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6
2.1 Ketuban Pecah Dini (KPD) ...6
2.1.1 Definisi Ketuban Pecah Dini (KPD) ...6
2.1.2 Epidemiologi Ketuban Pecah Dini (KPD) ...6
2.1.3 Klasifikasi Ketuban Pecah Dini (KPD) ...11
2.1.4 Etiologi Ketuban Pecah Dini (KPD) ...13
2.1.5 Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini (KPD) ...22
2.1.6 Fisiologi Selaput Korioamnion ...22
2.1.7 Patofisiologi Ketuban Pecah Dini (KPD) ...26
2.1.8 Penegakan Diagnosis Ketuban Pecah Dini (KPD) ...30
2.1.9 Tatalaksana Ketuban Pecah Dini (KPD) ...36
2.1.10 Prognosis Ketuban Pecah Dini (KPD) ...40
2.1.11 Pencegahan Ketuban Pecah Dini (KPD) ...40
2.2 Usia Gestasi ...41
2.2.1 Definisi Usia Gestasi ...41
2.2.2 Klasifikasi Usia Gestasi ...42
2.2.3 Metode Penentuan Usia Gestasi ...43
2.3 Sepsis Neonatorum ...45
2.3.1 Definisi Sepsis Neonatorum ...45
2.3.2 Epidemiologi Sepsis Neonatorum ...45
2.3.3 Klasifikasi Sepsis Neonatorum ...48
2.3.4 Etiologi Sepsis Neonatorum ...50
2.3.5 Faktor Risiko Sepsis Neonatorum ...52
2.3.6 Patofisiologi Sepsis Neonatorum ...57
2.3.7 Penegakan Diagnosis Sepsis Neonatorum ...65
2.3.8 Tatalaksana Sepsis Neonatorum ...71
vi
2.6 Hipotesis ...82
BAB III METODE PENELITIAN ... 83
3.1 Desain Penelitian ...83
3.2 Kriteria Inklusi ...83
3.3 Strategi Penelurusan Literatur ...84
3.4 Telaah Kualitas Jurnal ...84
3.5 Metode Pengumpulan Data ...86
3.6 Metode Analisis Data ...86
3.7 Definisi Operasional ...86
3.7.1 Variabel Independen ...86
3.7.2 Variabel Dependen ...86
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 87
4.1 Hasil ...87
4.1.1 Karakteristik Studi ...90
4.1.2 Capaian Luaran Studi ...94
4.2 Pembahasan ...99
4.2.1 Keterbatasan Penelitian ...108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...109
5.1 Kesimpulan ...109
5.2 Saran ...109
DAFTAR PUSTAKA ... 110
LAMPIRAN ... 129
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Anatomi Uterus dan Penampang Histologinya... 19
2.2 Lapisan Selaput Korioamnion dan Komposisi Matriks Ekstraselulernya ... 20 2.3 Faktor yang Berperan dalam Patofisiologi KPD ... 22
2.4 Gambaran Inflamasi KPD di Tingkat Seluler... 25
2.5 Alur Penegakan Diagnosis KPD... 31
2.6 Possible Serious Bacterial Infection dan Kemiripan Gejalanya dengan Beberapa Penyakit Lain... 42 2.7 Angka Kejadian Sepsis Neonatorum berdasarkan Usia……. 43
2.8 Penyebab Kematian Neonatus di Indonesia Tahun 2019…... 44
2.9 Persentase Mikroorganisme Penyebab Sepsis Neonatorum pada Beberapa Negara... 47 2.10 Mikroorganisme Utama Penyebab Sepsis Neonatorum……. 48
2.11 Gambaran Pengenalan Pathogen-Associated Molecular Patterns (PAMPs) oleh Pathogen Recognition Receptor (PRR) di Tingkat Seluler... 55 2.12 Aktivasi Endotel akibat Proses Inflamasi Tingkat Seluler…. 58 2.13 Patofisiologi Sepsis Neonatorum……… 60
2.14 Alur Tatalaksana Sepsis Neonatorum bagi Pasien dengan Faktor Risiko Korioamnionitis atau KPD atau IAP……… 67 2.15 Alur Tatalaksana Sepsis Neonatorum bagi Pasien dengan Faktor Risiko Korioamnionitis... 68 2.16 Tatalaksana Sepsis Neonatorum bagi Pasien dengan Faktor Risiko KPD atau IAP... 68 2.17 Algoritma Evaluasi Pengobatan Antibiotik Sepsis Neonatorum... 70 2.18 Algoritma Pengobatan Infeksi Jamur pada Pasien Sepsis Neonatorum... 70 2.19 Perhitungan Skor PELOD2... 73
2.20 Kerangka Teori... 77
2.21 Kerangka Konsep... 78
4.1 Penelusuran Literatur KPD……… 84
4.2 Penelusuran Literatur Usia Gestasi ….………. 85
4.3 Forest Plot Kejadian KPD terhadap Kelompok Sepsis dan Kelompok Non-Sepsis ………... 91
4.4 Forest Plot Kejadian Usia Gestasi (Prematur) terhadap Kelompok Sepsis dan Kelompok Non-Sepsis ……… 94
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 2.1 Tatalaksana KPD menurut ACOG berdasarkan Usia
Gestasi……… 35
2.2 Fungsi dari Komponen Seluler Sistem Imun Tubuh ... 56
2.3 Tanda dan Gejala Klinis Sepsis Neonatorum ... 61
2.4 Kriteria Penegakan Diagnosis Sepsis Neonatorum... 66
2.5 Pilihan Jenis Antibiotik pada Sepsis Neonatorum…………. 69
2.6 Manajemen Penanganan Disfungsi Organ pada Sepsis Neonatorum... 71
2.7 Tindakan Pencegahan Sepsis Awitan Lambat……... 76
3.1 Kriteria Studi... 79
3.2 Newcastle-Ottawa Scale (NOS) Studi Case-Control……….. 81
4.1 Karakteristik Studi KPD... 86
4.2 Karakteristik Studi Usia Gestasi... 88
4.3 Riwayat Kejadian KPD pada Kelompok Sepsis dan Kelompok Non-Sepsis ………... 90
4.4 Riwayat Kejadian Prematur pada Kelompok Sepsis dan Kelompok Non-Sepsis ………. 93
ix
DAFTAR SINGKATAN AAP : American Academy of Pediatric
ACOG : The American College of Obstetricians and Gynecologists ADHD : Attention Deficit Hyperactivity Disorder
AKABA : Angka Kematian Balita AKB : Angka Kematian Bayi AKN : Angka Kematian Neonatus AMA : Advanced Maternal Age ANC : Ante Natal Care
APC : Antigen Presenting Cell
APP : Antimicrobial Proteins and Peptides ASI : Air Susu Ibu
BBLR : Berat Badan Lahir Rendah
BBLSR : Berat Badan Lahir Sangat Rendah Bcl-2 : B-Cell Lymphoma 2
bHCG : Beta Human Chorionic Gonadotropine BNP : Brain Natriuretic Peptide
BPI : Bactericidal Permeability-Increasing Protein CDC : Central of Disease Control
COL1A1 : Kolagen Tipe 1-A1 COL1A2 : Kolagen Tipe 1-A2 COL5A1 : Kolagen Tipe 5-A1
CONS : Coagulase Negative Staphylococcus COX-2 : Cycloxygenase-2
CPAP : Continuous Positive Airway Pressure CR3 : Complemen Receptor-3
CRH : Corticotropin Releasing Hormone CRL : Crown-Rump Length
CRP : C-Reactive Protein
x
CRTAP : Cartilage-Associated Protein CSF : Cerebro Spinal Fluid
Cu2+ : Kadmium/Tembaga
DIC : Disseminated Intravascular Coagulation DJJ : Denyut Jantung Janin
dl : Desiliter
DNA : Dioxyribonucleic Acid EMA : European Medicines Agency EONS : Early Onset Neonatal Sepsis FBN1 : Fibrillin-1
FDA : Food and Drug Administration fFN : Fetal Fibronectin
GBD : The Global Burden of Disease GBS : Group-Beta Streptococcus
GM-CSF : Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor
gr : Gram
Hp : Haptoglobin
HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir HPV : Human Papilloma Virus
HR : Heart Rate
HSP47 : Heat Shock Protein-47 HSV : Herpes Simplex Virus
Kg : Kilogram
KPD : Ketuban Pecah Dini
IaIp : Inter Alpha Inhibitory Proteins IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia IFN-y : Interferon-y
IgA : Immunoglobulin-A
IGFBP-1 : Insulin Growth Factor Binding Protein-1
xi IgG : Immunoglobulin-G IL-8 : Interleukin 8
IMD : Inisiasi Menyusui Dini IMT : Indeks Massa Tubuh
IUGR : Intra Uterine Growth Retardation
IV : Intravena
IVIG : Imunoglobulin Intravena kD : Kilodalton
LBP : Lipopolysaccharide Binding Protein LEPRE1 : Leucine Proline-enriched Proteoglycan-1 LONS : Late Onset Neonatal Sepsis
MAPK : Mitogen Activated Protein Kinase MBL : Mannose-Binding Lectin
mg : Miligram
MgSO4 : Magnesium Sulfat
mL : Mililiter
mm : Milimeter
mmHg : Milimeter Hydrargyrum (Air Raksa) MMP : Matrix Metalloproteinase
NBS : New Ballard Score
NETs : Neutrophil Extracellular Traps
ng : Nanogram
NICU : Neonatal Intensive Care Unit NLRs : NOD-like Receptors
NMDA : N-methyl-D-Aspartase NO : Nitric Oxide
NOS : Newcastle-Ottawa Scale
OR : Odds Ratio
PAMG-1 : Placental α-microglobulin-1
xii
PAMPs : Pathogen-Associated Molecular Patterns PAP : Pintu Atas Panggul
PCR : Polymerase Chain Reaction PCT : Prokalsitonin
PGE2 : Prostaglandin-E2 pH : Power of Hydrogen PLA2 : Phospolipase-A2
PPROM : Preterm Premature Rupture of Membranes
PRISMA : Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta Analysis
PROM : Premature Rupture of Membranes PRR : Pathogen Recognition Receptor PSBI : Possible Serious Bacterial Infection RDS : Respiratory Distress Syndrome
RLRs : Retinoic Acid-inducible Protein I like Receptors ROM : Rupture of Membranes
ROS : Reactive Oxygen Species RNA : Ribonucleic Acid
RR : Respiratory Rate
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah SAA : Serum Amyloid A
SAD : Sepsis Awitan Dini SAL : Sepsis Awitan Lambat
SASP : Senescence-associated Secretory Phenotype SDGs : Sustainable Development Goals
SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia SIRS : Systemic Inflammatory Response Syndrome TFU : Tinggi Fundus Uteri
Th : T-Helper
xiii
TIMPs : Tissue Inhibitor Metalloproteinase TLR : Toll Like Receptor
TNF-alpha : Tumor Necrosis Factor-Alpha
tPAI : Tissue Plasminogen Activator Inhibitor Type-1 UNICEF : United Nations Children’s Fund
UN IGME : The United Nation Interagency Group for Child Mortality Estimates
USG : Ultrasonografi WBC : White Blood Cell
WHO : World Health Organization WMD : Weighted Mean Differences ZMPSTE24 : Zinc Metallopeptidase-24
xiv ABSTRAK
Latar Belakang. Periode neonatus adalah periode yang sangat krusial untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun, angka kematian anak pada periode neonatus di Indonesia dan di seluruh dunia menunjukkan angka yang paling tinggi dibandingkan periode lainnya seperti <1 tahun atau 1-5 tahun. Salah satu penyebab utama pada kematian neonatus adalah sepsis neonatorum. Meskipun terdapat kemajuan dalam penegakan diagnosis dan tatalaksana, angka morbiditas dan mortalitas akibat sepsis neonatorum masih cukup tinggi yaitu 9-20%. Hal ini semakin diperburuk dengan banyaknya faktor risiko yang bisa memicu terjadinya sepsis, dan beberapa faktor risiko yang cukup mempengaruhi sepsis adalah Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi. Metode. Penelitian meta analisis ini menggunakan literatur online yang bersumber dari PubMed, Cochrane, dan Google Scholar. Jurnal yang digunakan adalah jurnal penelitian klinis yang menghitung kejadian sepsis neonatorum pada neonatus yang memiliki maupun tidak memiliki faktor risiko KPD dan usia gestasi tidak cukup bulan. Kualitas jurnal dinilai dengan menggunakan kriteria NOS (Newcastle-Ottawa Scale) Score. Penelitian ini menggunakan aplikasi Review Manager 5.4. Hasil. Dari 7.056 literatur tentang KPD yang ditelusuri, didapatkan 21 jurnal inklusi. Hasil menunjukkan bahwa sepsis neonatorum lebih banyak terjadi pada neonatus yang memiliki riwayat ibu mengalami KPD dengan nilai OR 2,69 dan p < 0,00001 (95% CI: 1,56 – 4,65).
Dari 5.591 literatur tentang usia gestasi yang ditelusuri, didapatkan 17 jurnal inklusi. Hasil menunjukkan bahwa sepsis neonatorum lebih banyak terjadi pada neonatus yang lahir prematur dengan nilai OR 2,55 dan p < 0,00001 (95% CI: 1,61 – 4,04). Pembahasan. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dan penelitian yang sudah ada. KPD dapat memicu sepsis karena infeksi asendens dari jalan lahir. Usia gestasi, dalam hal ini prematuritas, dapat memicu sepsis karena tidak matangnya sistem imun bayi prematur serta peningkatan kebutuhan terapi suportif yang invasif. Simpulan. Neonatus dengan riwayat ibu mengalami KPD atau lahir prematur berisiko tinggi mengalami kejadian sepsis neonatorum.
Kata Kunci: Sepsis neonatorum, infeksi, Ketuban Pecah Dini (KPD), usia gestasi, prematur
xv ABSTRACT
Background. The neonatal period is a very crucial period for the growth and development of children. However, the child mortality rate in the neonatal period in Indonesia and throughout the world shows the highest number compared to other periods such as <1 year or 1-5 years. One of the main causes of neonatal death is neonatal sepsis. Despite progress in diagnosis and treatment, the morbidity and mortality rates due to neonatal sepsis are still quite high at 9-20%. This is further exacerbated by the many risk factors that can trigger sepsis, and several risk factors that are sufficient to affect sepsis are Premature Rupture of Membranes (PROM) and gestational age.
Method. This meta-analysis research uses online literature sourced from PubMed, Cochrane, and Google Scholar. The journals used are clinical research journals that calculate the incidence of neonatal sepsis in neonates who have or do not have risk factors for PROM and gestational age at term. Journal quality was assessed using the NOS (Newcastle-Ottawa Scale) Score criteria. This research uses the Review Manager 5.4 application. Results. From 7,056 literatures on PROM that were explored, 21 inclusion journals were found. The results showed that neonatal sepsis was more common in neonates who had a maternal history of PROM with an OR value of 2.69 and p < 0.00001 (95% CI: 1.56 – 4.65). From 5,591 literatures on gestational age that were searched, 17 inclusion journals were found. The results showed that neonatal sepsis was more common in neonates born prematurely with an OR value of 2.55 and p < 0.00001 (95% CI: 1.61 – 4.04). Discussion. The results of this study are in line with existing theories and research. PROM can trigger sepsis due to ascending infection from the birth canal. Gestational age, in this case is prematurity, can trigger sepsis due to the immaturity of the immune system of premature infants and the increased need for invasive supportive therapy. Conclusion. Neonates with a maternal history of PROM or premature birth are at high risk of developing neonatal sepsis.
Keywords: Neonatal sepsis, infection, premature rupture of membranes (PROM), gestational age, premature
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Waktu yang sangat krusial untuk pertumbuhan dan perkembangan anak adalah periode neonatus yaitu 0-28 hari pertama kehidupan (Savioli et al., 2018).
Pada tahun 2019, angka kematian anak pada bulan pertama kehidupan rata-rata adalah 17/1000 kelahiran hidup, angka kematian anak <1 tahun adalah 11/1000 kelahiran hidup, dan angka kematian anak dari usia 1 – 5 tahun adalah 10/1000 kelahiran hidup. Hal ini menunjukkan bahwa risiko tertinggi kematian anak adalah pada periode neonatus (UNICEF, 2020). Beberapa penyebab kematian neonatus antara lain 35% akibat komplikasi prematuritas, 24% akibat komplikasi intrapartum, 15% akibat sepsis, 11% akibat kelainan kongenital, 7% akibat penyebab lain, 6% akibat pneumonia, 1% akibat tetanus, dan 1% akibat diare (UNICEF, 2018). Maka dari itu, sepsis neonatorum adalah penyebab kematian ketiga utama pada neonatus (Zea-Vera dan Ochoa, 2015).
Infeksi dari mikroorganisme yang menyebar sistemik dan dapat memicu terjadinya disfungsi pada banyak organ disebut dengan sepsis, dan apabila terjadi pada periode neonatus disebut dengan sepsis neonatorum. Penegakan diagnosis untuk kasus sepsis neonatorum merupakan suatu hal yang menantang bagi para praktisi klinis karena tanda klinisnya yang tidak spesifik dan sering overlap dengan beberapa penyakit lain (Popescu et al., 2020).
World Health Organization menyatakan bahwa sepsis adalah salah satu perawatan kesehatan kritis yang menjadi prioritas pada beberapa dekade mendatang. Hal ini karena angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh sepsis neonatorum masih tinggi yaitu berkisar di antara angka 9 – 20% meskipun sudah ada kemajuan dalam penegakan diagnosis dan tatalaksana (Carbone et al., 2020). 20% dari total tiga juta kasus kematian yang terjadi di seluruh dunia disebabkan oleh sepsis, dan wilayah yang punya angka tertinggi terkait hal ini adalah Afrika Sub-Sahara (Popescu et al., 2020).
Pada negara berpenghasilan tinggi seperti di Inggris ataupun di Amerika Serikat, angka kejadian sepsis neonatorum awitan cepat berkisar antara 1/1000 - 1/2000 dengan sebagian besarnya membutuhkan perawatan yang intensif dan tingkat kematian sekitar 2-3% (Puopolo, 2020). Sedangkan pada negara berpenghasilan rendah, insidennya lebih tinggi 40x lipat dan angka mortalitasnya meningkat 2x lipat (Carbone et al., 2020). Hal ini dikarenakan akses menuju pelayanan kesehatan yang masih kurang memadai serta tingkat resistensi bakteri yang tinggi (Popescu et al., 2020). Di Indonesia, berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2017 ditemukan bahwa Angka Kematian Neonatus (AKN) adalah sebesar 15/1000 (Kemenkes RI, 2020).
Kondisi-kondisi seperti prematuritas, berat badan lahir rendah, KPD, usia gestasi, jenis persalinan, serta perawatan pascalahir diketahui dapat mempengaruhi kejadian sepsis neonatorum (Adatara et al., 2019). Pada suatu penelitian, diketahui bahwa 4 dari 10 neonatus yang mengalami sepsis cenderung memiliki morbiditas yang sangat fatal, dan neonatus prematur memberikan hasil terburuk (Pek et al., 2020). Ketuban pecah dini berkaitan dengan kejadian sepsis neonatorum karena dapat meningkatkan risiko sepsis 10x lipat, sedangkan usia gestasi meningkatkan risiko sepsis 3-10x lipat (Ocviyanti dan Wahono, 2018). Penelitian yang dilakukan di RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin pada tahun 2017 juga menunjukkan bahwa faktor risiko ibu yang terjadi selama kehamilan dan terbukti dapat meningkatkan kejadian sepsis neonatorum yaitu persalinan lama (ρ=0,032 <
a=0,05), KPD (ρ=0,015 < a=0,05), dan usia kehamilan (ρ=0,022 < a=0,05). KPD serta usia gestasi adalah 2 faktor yang paling berisiko menyebabkan kejadian sepsis neonatorum (Yuliana et al., 2019).
Meskipun angka mortalitas akibat sepsis neonatorum telah menurun, konsekuensi jangka panjang menjadi perhatian utama, terutama untuk masalah perkembangan otak dan sistem saraf (Bakhuizen et al., 2014; Pek et al., 2020).
Maka dari itu, demi pencegahan peningkatan kejadian sepsis neonatorum, banyak negara di dunia yang sudah meningkatkan kualitas dan akses pelayanan kesehatan untuk kehamilan dan persalinan. Meskipun terkadang pencegahan ini terkendala dengan kurangnya faktor sumber daya ekonomi dan manusia pada beberapa negara
berpenghasilan menengah sampai rendah, terdapat sejumlah intervensi yang mudah dan berbiaya rendah namun menjanjikan dalam pencegahan sepsis, di antaranya adalah edukasi dan pengendalian faktor risiko (Edmond dan Zaidi, 2010).
Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi lebih lanjut tentang keterkaitan faktor risiko yang diketahui paling berpengaruh terhadap sepsis neonatorum yaitu KPD dan usia gestasi serta seberapa besar pengaruh kedua faktor risiko tersebut. Selanjutnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat merekomendasikan pencegahan yang efektif terhadap sepsis neonatorum dimulai dari perhitungan, analisis, dan penanganan faktor risiko sepsis yang dimiliki oleh ibu dan anak.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan antara Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi dengan kejadian sepsis neonatorum?
1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi terhadap kejadian sepsis neonatorum
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan antara Ketuban Pecah Dini (KPD) terhadap kejadian sepsis neonatorum.
2. Mengetahui hubungan antara usia gestasi terhadap kejadian sepsis neonatorum.
3. Membandingkan hubungan antara Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi terhadap kejadian sepsis neonatorum.
1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Bagi Peneliti
1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan perbandingan penelitian yang berkaitan dengan hubungan antara Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi terhadap kejadian sepsis neonatorum.
2. Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan ilmu dan pengetahuan peneliti mengenai kejadian sepsis neonatorum, dan faktor risiko yang berkaitan terutama Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi.
3. Diharapkan penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan peneliti untuk membuat suatu penelitian karya ilmiah dengan metode penelitian yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
1.4.2 Bagi Bidang Penelitian
1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi terbaru secara statistik mengenai faktor risiko yang berkaitan dengan sepsis neonatorum.
2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi lanjutan penelitian mengenai hubungan antara Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi terhadap kejadian sepsis neonatorum.
1.4.3 Bagi Program Kesehatan
1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran hubungan faktor risiko Ketuban Pecah Dini (KPD) dan usia gestasi terhadap kejadian sepsis neonatorum sehingga pencegahan sepsis melalui penangangan faktor risiko ibu dan anak dapat dilakukan sedini mungkin.
2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi para tenaga medis untuk melakukan promosi, penyuluhan edukasi, deteksi dini, dan penanganan faktor risiko sepsis yang dimiliki ibu dan anak.
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketuban Pecah Dini (KPD)
2.1.1 Definisi Ketuban Pecah Dini (KPD)
Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Premature Rupture of Membranes (PROM) adalah kejadian patologis berupa rupturnya selaput amnion sebelum proses persalinan. Penggunaan terminologi KPD ditujukan untuk pasien yang sudah mencapai usia gestasi >37 minggu (kehamilan aterm) dan pasien tersebut datang dengan selaput amnion yang pecah spontan serta tanpa ditemukannya tanda-tanda persalinan sedangkan untuk pasien dengan usia gestasi di bawah 37 minggu dan mengalami KPD disebut dengan KPD preterm atau Preterm Premature Rupture of Membranes (PPROM) (Andalas et al., 2019).
Kehamilan aterm dan preterm dapat mengalami KPD sehingga KPD menjadi suatu kondisi patologis penting di bidang obstetrik, ditambah lagi dengan adanya risiko komplikasi (Purwaningtyas dan Prameswari, 2017). Peningkatan risiko bagi ibu dan anak untuk mengalami komplikasi pasca KPD berbanding lurus dengan durasi terjadinya KPD (Rohmawati dan Fibriana, 2018).
2.1.2 Epidemiologi Ketuban Pecah Dini (KPD)
World Health Organization menyatakan bahwa sekitar 5 – 10% kelahiran mengalami KPD dan 70% dari kasus KPD terjadi pada kehamilan cukup bulan. 1%
dari semua kehamilan mengalami KPD preterm dan sekitar 30% kasus KPD adalah penyebab dari kelahiran prematur (WHO, 2015). Kejadian KPD aterm diperkirakan dapat mempersulit sekitar 8% kehamilan dan KPD preterm mempersulit sekitar 1%
persalinan secara keseluruhan (Dayal dan Hong, 2020).
Sekitar 8% - 10% kehamilan yang cukup bulan akan mengalami Rupture of Membranes (ROM) spontan sebelum onset dimulainya aktivitas uterus. Jika pasien mengalami KPD di trimester kedua, maka kemungkinan ia akan melahirkan dalam
waktu seminggu. Untuk pasien yang mengalami KPD aterm, 95% akan melahirkan dalam waktu 24 jam, tetapi hal ini berkaitan dengan sepertiga dari semua kelahiran prematur (Workineh et al., 2018).
Di Indonesia, angka kejadian KPD sekitar 4,5 – 6% dari seluruh kehamilan.
Di beberapa rumah sakit yang ada di Indonesia, terdapat variasi yaitu 5,3% di Rumah Sakit Sardjito, 5,05% di Rumah Sakit Hasan Sadikin, 11,22% di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 2,27% di Rumah Sakit Pringadi, dan 5,10% di Rumah Sakit Kariadi (Sudarto dan Tunut, 2016). Sepertiga kasus persalinan preterm serta 18 – 20% morbiditas dan mortalitas perinatal disebabkan oleh KPD (Andalas et al., 2019). Badan Pusat Statistik Indonesia menyatakan bahwa rata-rata Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 2012 sebesar 42/1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2017 sebesar 32/1000 kelahiran hidup, dan sepsis merupakan salah satu penyebab utama kematian neonatal sebesar 5,2% (Ocviyanti dan Wahono, 2018).
Komplikasi yang terjadi akibat KPD pada ibu dan janin juga cukup fatal.
Pada janin, dapat terjadi kompresi tali pusat dengan faktor risiko sebesar 73,1% dan ascending infection sebesar 28,2%. Di Amerika Serikat, 18 - 20% kematian perinatal berhubungan dengan KPD (Andalas et al., 2019). Secara umum, peningkatan 10x lipat pada infeksi neonatal terjadi pada kasus KPD tanpa komplikasi. Sebuah studi multisenter tentang KPD pada kehamilan cukup bulan, yang dilakukan di Amerika, Kanada, Inggris, dan Israel, menemukan bahwa pecah ketuban yang berkepanjangan selama ≥48 jam dan 24 - 48 jam meningkatkan risiko infeksi neonatal sebesar 2,25x lipat. Infeksi selaput ketuban merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang dapat terjadi pada kehamilan dengan KPD, baik pada kehamilan prematur maupun cukup bulan. Pada kehamilan cukup bulan, kejadian infeksi selaput ketuban bervariasi dari 6 - 10% dan terjadi pada 40% dari KPD berkepanjangan yang berlangsung selama lebih dari 24 jam. Pada tahun 2005, WHO melaporkan bahwa 37% kematian anak terjadi di bawah usia 5 tahun, dan sepsis neonatal adalah penyebab 29% kematian dalam kelompok usia tersebut.
(Ocviyanti dan Wahono, 2018).
2.1.3 Klasifikasi Ketuban Pecah Dini (KPD) a. KPD Preterm
Kejadian KPD preterm adalah KPD yang terjadi setelah 28 minggu usia kehamilan dan sebelum 37 minggu usia kehamilan (Gahwagi et al., 2015). Apabila terjadi terlalu dini, maka neonatus yang masih hidup dapat mengalami malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, enterokolitis nekrosis, gangguan neurologis, perdarahan intraventrikular, dan sindrom gangguan pernapasan (Medina dan Hill, 2006). Semakin muda usia gestasi saat terjadinya KPD preterm, maka semakin tinggi pula kejadian infeksi mikroorganisme termasuk korioamnionitis (Poma, 1996).
Kejadian KPD preterm dapat menyebabkan komplikasi pada 3%
kehamilan dan persalinan dini adalah salah satu bentuk komplikasi yang paling umum dengan insiden sekitar 30-40% (Medina dan Hill, 2006). Pada pasien ini, sekitar 1,5 kasus akan mengalami kelahiran dalam jangka waktu 1 minggu terlepas dari gejala klinis maupun intervensi obstetrik. Jika terjadi kelahiran prematur, komplikasi yang paling umum adalah gangguan pernapasan. Hal ini dikarenakan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin, pembentukan saluran udara di paru-paru terjadi pada minggu ketujuh dan jika KPD preterm terjadi terutama sebelum janin mencapai usia 24 minggu, maka cairan ketuban akan berkurang dan dapat mengganggu perkembangan paru janin karena alveolus tidak terbentuk tanpa adanya cairan ketuban bahkan setelah pemberian steroid. Jika janin menghabiskan beberapa waktu di dalam rahim tanpa cairan ketuban, maka gangguan pernapasan yang ditemukan pada anak ini setelah lahir dari KPD Preterm bisa lebih parah dari yang diperkirakan (Swiatkowska et al., 2019).
Bentuk komplikasi lainnya seperti infeksi lebih sering pada usia kehamilan awal. Di antara pasien yang mengalami KPD preterm, infeksi intraamniotik yang terbukti secara klinis terjadi pada sekitar 15-25%, dan infeksi postpartum terjadi pada sekitar 15-20% (ACOG, 2020).
b. KPD Aterm
Kejadian KPD aterm, yang selanjutnya hanya disebut KPD, merupakan KPD yang terjadi >37 minggu penuh usia kehamilan. Pada kasus aterm, KPD memberikan komplikasi yang bermakna pada 8% kasus kehamilan, namun biasanya secara umum (80%) diikuti dengan persalinan spontan. Pada sebuah penelitian randomized trial, sekitar 1,5 wanita mengalami persalinan dalam waktu 5 jam dan 95% dalam waktu 28 jam setelah terjadinya KPD (ACOG, 2020). Pada literatur lain dinyatakan bahwa 50% wanita yang mengalami KPD akan mengalami persalinan dalam waktu 24 – 48 jam dan 70 – 90% dalam waktu 7 hari (Maryuni, 2017).
Yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya risiko pasien untuk mengalami demam intrapartum jika tidak ada persalinan 24 jam pasca KPD serta meningkatnya risiko mortalitas perinatal jika tidak ada persalinan 72 jam pasca KPD. 40% wanita yang hamil cukup bulan dan mengalami KPD pada saat masuk ke rumah sakit dinyatakan positif pada pemeriksaan kultur bakteri, dan persentase ini meningkat seiring waktu. 5% dari pasien yang mengalami KPD menderita korioamnionitis setelah dilakukan pemeriksaan vagina 24 jam pasca KPD, dan ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya periode laten (Poma, 1996).
Pada KPD, kematangan serviks memegang peranan penting penting dalam penatalaksanaan. Dalam kondisi normal, proses fisiologis dari pematangan serviks membutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Serviks yang belum matang membutuhkan rata-rata 10.000 mmHg kerja uterus untuk mencapai kesiapan proses persalinan, sedangkan serviks yang matang hanya membutuhkan 1600 mmHg. Apabila pasien dengan serviks yang telah matang diberikan stimulasi oksitosin yang adekuat, maka kemungkinan berhasilnya stimulasi ini cukup tinggi dan ada harapan untuk terjadinya persalinan pervaginam. Pasien yang memiliki serviks yang belum matang, dibutuhkan stimulasi oksitosin dalam jangka waktu yang cukup lama dan justru akan terjadi peningkatan morbiditas dan persalinan caesar (Poma, 1996).
2.1.4 Etiologi Ketuban Pecah Dini (KPD) a. Inkompetensi Serviks
Inkompetensi atau insuffiensi serviks, adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan kehamilan yang ditunjukkan dengan tidak adanya tanda dan gejala kontraksi uterus atau persalinan atau keduanya (ACOG, 2014). Meskipun bergantung pada derajat keparahannya, namun inkompetensi serviks biasa terjadi pada pertengahan trimester 2 hingga awal trimester 3 (Thakur dan Mahajan, 2020).
Penyebab dan patofisiologi dari inkompetensi serviks masih belum jelas. Adanya anomali müllerian kongenital, defisiensi kolagen serviks dan elastin, paparan in utero terhadap dietilsistilbestrol, trauma bedah pada serviks akibat konisasi, prosedur eksisi bedah elektro loop, pelebaran mekanis serviks selama penghentian kehamilan, atau laserasi obstetrik diyakini sebagai beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya inkompetensi serviks (ACOG, 2014). Yang penting untuk dipahami adalah bahwasanya serviks merupakan organ kompleks yang akan mengalami perubahan-perubahan dalam mempersiapkan kehamilan dan persalinan mulai dari adanya kaskade biokimia, interaksi antara kompartemen ekstraseluler dan seluler, serta infiltrasi stroma serviks oleh sel-sel inflammatorik. Apabila terjadi gangguan pada salah satu tahapan tersebut maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya inkompetensi serviks, yang pada akhirnya akan mengarah pada pematangan serviks dini, KPD, kelahiran prematur, ataupun keguguran (Thakur dan Mahajan, 2020).
b. Faktor genetik
Kelainan genetik yang dapat memicu KPD diantaranya adalah Sindrom Ehlers-Danlos, Sindrom Marfan, dan beberapa polimorfisme gen (Romero et al., 2010). Sindrom Ehlers-Danlos adalah kelainan jaringan ikat lunak dengan karakteristik berupa hipermobilitas persendian, tekstur kulit yang abnormal, dan visceral-vascular fragility yang disebabkan karena mutasi pada kolagen tipe-V (Bregan dan Klopcic, 2018). Dengan adanya mutasi pada pemrosesan kolagen, maka ini dapat memicu pecahnya selaput
amnion. Data menunjukkan apabila dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita Sindrom Ehlers-Danlos dan janin yang normal, terdapat peningkatan 2x lipat untuk mengalami KPD (Romero et al., 2010). Adanya defek gen kolagen (COL1A1, COL1A2, dan COL5A1), cartilage- associated protein (CRTAP), leucine proline-enriched proteoglycan (leprecan) 1 (LEPRE1), dan zinc metallopeptidase STE24 (ZMPSTE24) juga berperan kuat sebagai faktor risiko KPD preterm (Lannon et al., 2014).
Sindrom Marfan adalah suatu kelainan jaringan ikat yang terkait dengan autosom dominan akibat adanya mutasi pada gen FBN1 yang berfungsi untuk coding fibrillin-1, yaitu suatu protein penting di matriks ekstraseluler yang berkontribusi dalam pembentukan struktur akhir dari mikrofibril. Kriteria klinisnya adalah aneurisma dan atau diseksi aorta torakalis, ectopia lentis, dan manifestasi sistemik (Pepe et al., 2016). Pasien akan mengalami kelainan struktur kolagen dan sintesis asam hialuronat yang berpengaruh terhadap kejadian KPD. Data menunjukkan bahwa pasien dengan Sindrom Marfan memiliki tingkat KPD preterm 6% lebih tinggi dibandingkan populasi umum (Romero et al., 2010).
Polimorfisme pada beberapa gen seperti gen MMP Tipe 1, 5, dan 9 dan HSP47 (heat-shock protein 47), yang keseluruhannya dapat mempengaruhi degradasi protein matriks ekstraseluler pada membran janin diyakini berhubungan dengan kejadian KPD meskipun hubungan fungsional langsung belum ditetapkan (Romero et al., 2010). Di literatur lain juga diteliti mengenai keterkaitan polimorfisme haptoglobin pada pasien KPD. Haptoglobin (Hp) merupakan protein fase akut yang akan berikatan dengan hemoglobin untuk melindungi sel dari kerusakan oksidatif saat terjadi inflamasi, ia diproduksi di hati, organ reproduksi wanita seperti decidua, ovarium, dan endometrium, serta dapat dideteksi di cairan amnion dan cairan vagina. Haptoglobin memiliki 2 alel utama yaitu Hp1 dan Hp2 yang diekspresikan menjadi 3 fenotip utama yaitu Hp 1-1 yang memiliki aktivitas antiinflamasi lebih tinggi, Hp 2-2 yang memiliki aktivitas angiogenik yang lebih poten, dan Hp 2-1 yang aktivitasnya lebih moderate.
Penelitian pada literatur ini menunjukkan bahwa frekuensi KPD pada wanita dengan Hp 1-1 lebih tinggi dibandingkan wanita dengan Hp 2-2. Hp 1-1 yang tidak memiliki aktivitas angiogenik menyebabkan kurang efektifnya perbaikan jaringan ikat korioamnion yang rusak dan selanjutnya dapat dengan mudah memicu terjadinya KPD (Cho et al., 2009).
c. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban (infeksi genetalia)
Infeksi genitalia adalah salah satu etiologi yang berperan dalam morbiditas wanita usia reproduktif, terutama pada saat kehamilan. Beberapa infeksi genitalia yang terkait dengan KPD adalah infeksi Chlamydia trachomatis, Human Papilloma Virus, infeksi Trichomonas vaginalis, kandidiasis, sifilis, vaginosis bakterial, Neisseria gonorrhea, dan Group B Streptococcus (Nakubulwa et al., 2015).
Saat terjadi infeksi, tubuh akan menjalankan respon inflamasi dan menyekresikan sitokin, salah satunya adalah MMP. Enzim ini akan mendegradasi matriks ekstraseluler termasuk kolagen, sehingga dapat memicu terjadinya KPD. Pada invasi kanker serviks, ternyata ditemukan bahwa MMP-2 adalah faktor yang berperan cukup penting karena melalui proses degradasi matriks ekstraseluler. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi HPV memiliki keterkaitan dengan peningkatan jumlah MMP-2 yang pada wanita hamil dapat menyebabkan KPD (Cho et al., 2013). Selain itu, GBS dinyatakan sebagai bakteri yang paling umum sebagai penyebab sepsis dan transmisi GBS yang paling sering terjadi adalah melalui kolonisasi saluran genitourinaria atau gastrointestinal ibu setelah pecahnya selaput amnion (Yaseen et al., 2021). Di beberapa negara berkembang, 20 – 30% wanita hamil positif kultur GBS, dan apabila tidak segera diobati dapat berkembang menjadi komplikasi dan sepsis neonatorum (Patel et al., 2018). Wanita hamil yang menderita bakterial vaginosis lebih berisiko untuk terjadinya KPD. Wanita hamil penderita sifilis juga memberikan prognosis yang lebih buruk terhadap prematuritas. Wanita hamil yang mengalami infeksi Neisseria gonorrhea berisiko 6 kali lebih tinggi untuk terjadinya KPD (Nakubulwa et al., 2015).
d. Overdistensi uterus
Pada kehamilan ganda, janin yang makrosomia, polihidramnion, anomali uterus seperti uterus unicornuate, dan kehamilan dengan fibroid uterus terjadi pertumbuhan uterus secara cepat sehingga ditemukan uterus yang overdistensi (membengkak). Bentuk komplikasi dari overdistensi uterus adalah KPD, prematuritas, dan prolaps tali pusat (Sharma, 2020).
Sel-sel miosit yang ada di uterus akan terus mengalami hipertrofi dan hyperplasia selama masa kehamilan, dengan tujuan untuk bisa mencukupi kebutuhan janin, plasenta, dan amnion. Namun diyakini bahwasanya terdapat limit yang membatasi kemampuan rahim untuk membesar, dan apabila rahim sudah tidak mampu beradaptasi dengan peningkatan volume yang berlebihan, maka hal inilah yang dapat memicu terjadinya KPD (Waldorf et al., 2015). Ketika terjadi peregangan mekanis pada sel-sel miometrium, maka hal ini akan memicu respon inflamasi yang kemudian akan merangsang pengeluaran sitokin (Interleukin 8/IL-8) dan kemokin, peningkatan produksi matrix metalloproteinase, peningkatan katabolisme kolagen, peningkatan ekspresi RNA pembawa dari COX-2 dan reseptor oksitosin, serta peningkatan produksi prostaglandin yang juga aktivator MMP, dan keseluruhan faktor-faktor ini akan berkontribusi terhadap kejadian KPD akibat overdistensi uterus (Lannon et al., 2014).
e. Malposisi atau malpresentase janin
95% bagian janin yang ada pada saat persalinan aterm adalah vertex dan hal ini dapat berkembang dengan baik menuju persalinan pervaginam spontan. Malposisi atau malpresentase terjadi apabila urutan perubahan posisi kepala janin berubah dan hal ini disebabkan oleh ekstensi kepala janin yang menyebabkan timbulnya alis atau wajah saat persalinan dan oksiput menetap di posisi lateral atau posterior (Talaulikar dan Arulkumaran, 2015).
Pada janin yang mengalami malposisi, bagian terbawah janin tidak menutupi jalan lahir sehingga tidak ada penahan pada membran amnion dan hal ini dapat mempermudah terjadi KPD (Maryuni, 2017). Pada sebuah penelitian, didapati bahwa presentasi noncephalic cenderung berisiko lebih
tinggi untuk mengalami solusio plasenta, oligohidramnion, endometritis, dan infeksi intraamniotik. Pasien dengan presentasi noncephalic juga lebih mungkin untuk mengalami KPD preterm pada usia gestasi lebih awal, prematur, serta peningkatan risiko kematian (Yee dan Grobman, 2016).
f. Riwayat keguguran maupun riwayat KPD sebelumnya
Keguguran atau aborsi spontan merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menyatakan kehilangan kandungan <20 minggu usia gestasi. 80% keguguran terjadi pada trimester pertama dan risikonya menurun setelah melewati 12 minggu usia gestasi (Dugas dan Slane, 2021).
Salah satu hipotesis menyatakan bahwa perdarahan akibat keguguran akan meningkatkan produksi radikal bebas di dalam membran amnion dan selanjutnya akan meningkatkan kerentanan membran untuk pecah. Jika perdarahan berlangsung berulang, hal ini akan memberikan rangsangan pada uterus untuk berkontraksi secara subklinis, dan hal ini tentunya berdampak pada perubahan serviks yang patologis dan kemudian akan memicu pecahnya selaput amnion (Weiss et al., 2004). Adanya dilatasi serviks atau pembedahan pada pasien yang mengalami keguguran dapat berujung pada inkompetensi serviks dengan risiko infeksi, dan hal ini menyebabkan pasien memiliki faktor risiko KPD yang lebih tinggi. Sebuah studi dari Moreau et al. mengatakan bahwa terdapat peningkatan risiko kelahiran prematur berat akibat KPD pada wanita yang memiliki riwayat keguguran melalui induksi kehamilan (Moreau et al., 2005).
Mekanisme kecenderungan kekambuhan KPD pada kehamilan selanjutnya masih belum diketahui secara jelas, namun adanya lingkungan inflamasi kronis pada plasenta, uterus, dan serviks mungkin terlibat. Faktor lain yang mungkin terlibat adalah ras genetik dan interval waktu kehamilan.
Hal ini ditunjukkan pada suatu penelitian yang menunjukkan bahwa interval waktu kehamilan yang pendek akan meningkatkan risiko rekurensi KPD preterm, dan rekurensi KPD preterm lebih sering pada wanita Afrika- Amerika dibandingkan wanita berkulit putih (Getahun et al., 2010).
g. Faktor yang berhubungan dengan berat badan
Obesitas adalah salah satu faktor risiko terjadinya infeksi lokal dan sistemik karena keadaan proinflamasi (Hadley et al., 2017). Obesitas akan merangsang tubuh untuk melepaskan hormon metabolik melalui sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal yang ditandai dengan tingginya pelepasan hormon CRH (Corticotropin Releasing Hormone) dan ini akan menjadi faktor risiko untuk KPD, persalinan prematur, hipertensi akibat kehamilan, dan eklampsia (Masho et al., 2013). Peningkatan produksi sitokin proinflamasi sistemik akan menimbulkan gangguan imunitas seluler yang kemudian menyebabkan infeksi subklinis seperti risiko infeksi genitalia, infeksi saluran kemih, dan korioamnionitis (Hadley et al., 2017).
Penelitian yang dilakukan pada sekelompok ibu hamil dengan KPD preterm yang terjadi di atas minggu ke-34 menemukan bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan kejadian pasca lahir yang merugikan untuk bayi seperti durasi pemberian antibiotik >72 jam, pemberian ventilasi, suplementasi oksigen, dan pemberian surfaktan (Lynch et al., 2020).
h. Merokok selama kehamilan
Asap rokok mengandung campuran kompleks nikotin, kotinin, sianida, tiosianat, karbon monoksida, kadmium, timbal, dan berbagai hidrokarbon (Stillerman et al., 2008). Asosiasi kesehatan telah memberikan rekomendasi kepada dokter agar menanyakan riwayat pemakaian tembakau secara lengkap dan menyeluruh kepada ibu hamil dan menyarankan mereka untuk menghentikan penggunaannya dengan cara pemberian motivasi dan informasi risiko perinatal yang signifikan terkait penggunaan tembakau yang diantaranya adalah celah orofasial, hambatan pertumbuhan janin, plasenta previa, solusio plasenta, KPD, BBLR, peningkatan mortalitas perinatal, kehamilan ektopik, dan penurunan fungsi tiroid (ACOG, 2020).
Rokok akan menginduksi proses pembentukan Reactive Oxygen Species (stres oksidatif) melalui apoptosis yang akhirnya akan memicu degradasi proteolitik selaput amnion. Penurunan fungsi imunitas juga terjadi akibat adanya disregulasi produksi sitokin dan kemokin, disregulasi
migrasi sel-sel inflamatorik, dan menonaktifkan fungsi fagositosis makrofag. Hal ini direspon lebih kuat oleh tubuh dengan memicu respon inflamasi melalui pengaktifan matriks ekstraseluler (pengeluran MMP) yang pada akhirnya akan menyebabkan degradasi dan ruptur membran yang lebih parah (England et al., 2013).
Pada jaringan syncytiotrophoblast manusia, terdapat suatu protein yang disebut dengan metallothionein-1 yang berfungsi sebagai pengikat logam berat seperti seng, tembaga, timbal, dan kadmium. Ibu yang merokok akan memiliki kadar kadmium yang tinggi di dalam darah dan plasentanya, karena sumber kadmium yang paling umum berasal dari lingkungan adalah dari asap rokok. Ketika terjadi peningkatan transfer kadmium ke dalam janin, maka akan menyebabkan pertumbuhan plasenta yang buruk karena kadmium mengurangi jumlah trofoblas (Lee et al., 2009).
Kadmium juga akan memicu sintesis protein metallothionein-1 di amnion. Karena fungsi protein tersebut adalah mengikat logam berat yang salah satunya adalah tembaga (Cu2+), maka kadar Cu2+ di plasenta akan meningkat dan di darah tali pusat akan menurun. Salah satu enzim yang membutuhkan Cu2+ dalam kinerjanya adalah enzim yang berkaitan dengan kolagen. Ketika terjadi kekurangan Cu2+, maka produksi kolagen berkurang, kekuatan tarik jaringan berkurang, amnion akan melemah, dan pada akhirnya memicu KPD (Cunningham et al., 2014).
Selain rokok, adanya paparan bahan pencemar udara kepada ibu hamil juga memiliki pengaruh yang berbahaya kepada ibu hamil. Dalam sebuah penelitian meta analisis, dinyatakan bahwa terdapat risiko persalinan secara prematur akibat adanya paparan bahan polusi udara berukuran <10 μm diameter aerodinamis, karbon monoksida, materi partikulat <2,5 μm diameter aerodinamis, dan sulfur dioksida selama trimester ketiga (Stieb et al., 2012). Mekanisme paparan polutan sampai menyebabkan pecahnya amnion dikaitkan dengan stres oksidatif, inflamasi, disfungsi endotel, apoptosis sel, dan respon hemodinamik, yang akhirnya bisa menyebabkan kelahiran prematur (Wallace et al., 2016).
i. Usia ibu yang lebih tua
Kebanyakan perempuan di zaman sekarang ini memilih menunda untuk melahirkan anak dikarenakan keinginan untuk menjadi seseorang yang sukses dari segi karir dan finansial (Pinheiro et al., 2019). Perempuan yang melahirkan di usia >35 tahun (disebut dengan AMA/Advanced Maternal Age) saat ini mengalami peningkatan terutama pada negara dengan pendapatan tinggi. Padahal ada banyak outcome yang dapat timbul berkaitan dengan Advanced Maternal Age (AMA) ini seperti keguguran (baik itu keguguran di trimester pertama, trimester kedua, maupun selama persalinan), kelainan kromosom janin, fetal growth restriction, pre- eklampsia, diabetes gestasional, KPD, kelahiran prematur, dan peningkatan insiden operasi caesar (Frick, 2021). AMA juga diketahui dapat berkontribusi pada adanya lesi vaskular di plasenta dan miometrium (Waldenstrom et al., 2016).
Selain itu, komplikasi obstetrik yang dapat muncul pada pasien hamil dengan usia lebih tua bisa disebabkan oleh adanya penyakit tertentu (seperti diabetes, obesitas, dan hipertensi), penurunan fungsi kardiovaskuler, dan stress fisik maupun mental. Keseluruhan mekanisme inilah yang akan memicu terjadinya KPD (Matsuda et al., 2011).
j. Riwayat hubungan seksual baru-baru ini
Adanya aktivitas seksual pada ibu hamil sudah lama diyakini sebagai salah satu penyebab KPD dan kelahiran prematur. Hal ini terjadi karena stimulasi pada puting ibu, klitoris, dan aktivitas uterus yang disebabkan oleh orgasme akan memicu pelepasan oksitosin dan prostaglandin yang akan merangsang kontraksi uterus. Sebuah penelitian dilakukan untuk menghitung kadar prostaglandin yang ada pada mukus serviks. Pada trimester ketiga kadarnya meningkat 20x lipat dan 2-4 jam setelah hubungan seksual kadarnya meningkat 50x lipat dari normal.
Prostaglandin akan merangsang remodelling matriks ekstraseluler untuk pematangan serviks dan kontraktibilitas uterus, yang selanjutnya bisa memicu rupturnya selaput amnion (Zaksek, 2015).
Pada suatu penelitian juga disebutkan bahwa adanya aktivitas seksual yang dilakukan saat hamil dengan male superior position dapat meningkatkan risiko terjadi KPD, hal ini dikaitkan dengan adanya tekanan dan trauma akibat pergerakan selama melakukan aktivitas seksual (Woolson et al., 1993). Selain itu, aktivitas seksual juga bisa menjadi salah satu pintu masuk infeksi genitalia (Sayle et al., 2001).
k. Paritas
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan bahwa banyaknya kelahiran hidup yang dimiliki oleh wanita disebut dengan paritas. Terdapat tiga klasifikasi dari paritas yaitu primipara, multipara, dan grandemultipara. Seorang ibu yang multipara dan grandemultipara memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan seperti diabetes mellitus, hipertensi gestasional, makrosomia, perdarahan antepartum, malpresentasi janin, operasi caesar, perdarahan postpartum, anemia defisiensi besi, KPD, dan mortalitas perinatal (Alsammani dan Ahmed, 2015).
Untuk KPD, insidennya mencapai 2-3 dari semua kehamilan tunggal, 7,4% dari kehamilan kembar (Raydian dan Rodiani, 2020). Hal ini dikarenakan serviks yang sudah tidak kompeten seiring dengan pertambahan usia, padahal serviks berperan penting untuk mempertahankan kehamilan (Koullali et al., 2020). Selain itu, wanita multipara atau grandemultipara biasanya sudah berasa di usia lebih tua dan mengalami penurunan fungsi uterus dan ovarium (Luo et al., 2020).
l. Anemia
Anemia adalah salah satu gejala yang mengenai sekitar 40% wanita hamil di seluruh dunia dan hampir 1/3 di Amerika Serikat. Anemia dapat menyebabkan komplikasi mortalitas dan morbiditas pada kehamilan yang cukup bervariasi tergantung dari derajat keparahan anemia. Beberapa komplikasi tersebut antara lain diabetes gestasional, preeklampsia, kelahiran prematur, KPD, KPD preterm, perdarahan postpartum, kecil masa kehamilan, dan yang paling fatal adalah kematian (Bo et al., 2016).
Berkaitan dengan kejadian KPD yang dapat disebabkan oleh anemia, hal ini dikarenakan penurunan kadar hemoglobin yang berfungsi untuk mengikat oksigen dan membawa zat besi dalam darah sehingga aliran darah menuju ke plasenta dan selaput amnion akan kurang dan berakibat pada melemahnya selaput amnion. Jika selaput amnion sudah melemah, maka faktor risiko sedikit saja dapat memicu terjadi KPD (Pratiwi, 2017).
m. Faktor sosio-ekonomi
Insiden KPD lebih tinggi pada wanita dengan status sosioekonomi dan tingkat pendidikan yang lebih rendah, hal ini karena mereka cenderung jarang melakukan konsultasi, tes laboratorium yang lebih sedikit, dan asuhan antenatal yang kurang berkualitas (Hackenhaar et al., 2014).
2.1.5 Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini (KPD)
Faktor risiko terjadinya KPD antara lain adalah adanya riwayat KPD pada kehamilan sebelumnya, panjang serviks yang pendek, perdarahan vagina pada trimester kedua atau ketiga, overdistensi uterus, defisiensi nutrisi tembaga dan asam askorbat, gangguan jaringan ikat, indeks massa tubuh rendah, status sosial ekonomi rendah, merokok, dan penggunaan obat-obatan terlarang (Dayal dan Hong, 2020).
2.1.6 Fisiologi Selaput Korioamnion a. Struktur Anatomi Selaput Korioamnion
Selama berada di dalam kandungan, janin dilindungi oleh 4 selaput yang membungkus rahim. Ada amniotic membrane yang merupakan bagian paling dalam plasenta yang langsung berhubungan dengan cairan amnion, chorion membrane yang merupakan jaringan fibrosa berisi pembuluh darah, vitelline membrane yang berada di antara amnion dan plasenta, dan allantois membrane yang menghubungkan amnion dan plasenta. Yang sering disebut sebagai selaput ketuban adalah selaput amniokorion, yaitu selaput tipis yang membentuk rongga amnion (Rocha dan Baptista, 2015).
Gambar 2.1 Anatomi Uterus dan Penampang Histologinya (Cunningham et al., 2014).
Setelah blastokista mengalami implantasi di endometrium, dindingnya akan berkembang menjadi lapisan korion. Bersamaan dengan hal tersebut, akan terjadi pemisahan sel-sel embrionik dan trofoblas sehingga terbentuklah selaput korioamnion oleh sel trofoblas paling dalam.
Proses pembentukan selaput korioamnion hampir sempurna pada minggu 14 - 17 kehamilan. Ketebalan selaput ini bervariasi mulai dari 0,02 mm – 0,05 mm. Selaput ini adalah struktur yang transparan dan tidak memiliki otot, saraf, maupun pembuluh limpa. Nutrisi dan oksigen didapat melalui difusi dari cairan korion, cairan amnion, dan pembuluh darah, dan energi didapatkan dari proses glikolisis anaerob (Mamede et al., 2012).
b. Fungsi Selaput Korioamnion
Selaput korioamnion memiliki beberapa fungsi penting, diantaranya adalah menampung dan mengatur volume cairan ketuban, mengangkut air, produksi dan tranportasi dan faktor-faktor bioaktif (peptida vasoaktif, endotelin, Brain Natriuretic Peptide, hormon pelepas kortikotropin, faktor pertumbuhan, sitokin, protein yang berhubungan dengan hormon paratiroid) secara selektif. Bahan bioaktif ini nantinya akan memasuki cairan amnion untuk dapat diserap oleh janin melalui inhalasi ataupun ditelan. Produksi BNP diatur oleh regangan mekanis yang ada di selaput dan berfungsi untuk menjaga keterangan uterus. Dan ketika sudah tiba saatnya untuk persalinan, maka epidermal growth factor (regulator negatif BNP) diproduksi sehingga bisa memicu kontraksi (Cunningham et al., 2014).
Fungsi lainnya adalah melindungi janin dari lingkungan eksternal dan mikroorganisme yang ada di vagina, menginisiasi dan memelihara kontraktilitas uterus saat persalinan melalui produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan enzim penyintesis prostaglandin (fosfolipase dan prostaglandin sintase), menjaga pH cairan ketuban, serta lentur dan kuat untuk menghasilkan kekuatan tarik janin yang apabila mekanisme ini terganggu dapat menyebabkan pecahnya selaput (Mamede et al., 2012).
c. Histologi Selaput Korioamnion
Selaput korioamnion adalah lapisan avaskular tipis yang berasal dari ektoderm ekstraembrionik dan mesoderm avaskular. Korion terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan retikularis, membran basal, dan sel trofoblas. Peran korion dalam menjaga kekuatan dan elastisitas membran didukung oleh adanya laminin yang akan melakukan stabilisasi pada membran, fibronektin yang memfasilitasi penempelan korion ke desidua, serta kontribusi dari mikrofibril, elastin, dan kolagen. Korion adalah bagian yang terus menerus mengalami remodelling sehingga rentan terhadap kerusakan apoptosis, aktivasi MMP, dan produksi prostaglandin (Lannon et al., 2014).
Gambar 2.2 Lapisan Selaput Korioamnion dan Komposisi Matriks Ekstraselulernya (Parry dan Strauss, 1998).
Amnion terdiri dari selapis epitel yang tersusun di membran basal dan lapisan mesenkim kaya kolagen. Lapisan mesenkim dapat dibagi lagi menjadi lapisan padat yang membentuk rangka fibrosa utama bagi membran amnion, lapisan fibroblas, dan lapisan spongiosa. Lapisan epitel adalah sel kuboid selapis dengan inti ireguler dan besar, nukleolus homogen, banyak organel, banyak vesikula pinositik, dan banyak mikrovili di bagian apeks untuk memudahkan fungsi sekretorik dan fungsi transpornya. Faktor penghambat MMP, prostaglandin E2 (PGE2), dan fibronektin juga aktif dihasilkan oleh sel epitel. Di dalam epitel terdapat protein sitoskeleton dan intermediate filament yang memiliki peran penting dalam menjaga kekuatan amnion. Bagian basal dari epitel memiliki lipatan yang dalam untuk membentuk ikatan ketat dengan membran basal melalui descending filament berupa kolagen tipe-I dan tipe-III yang ada dibawahnya, namun filamen ini sangat rentan terhadap degradasi MMP. Membran basal pada lapisan amnion terdiri dari laminin, fibronektin, kolagen tipe IV dan VII yang penting untuk integritas membran. Lapisan padat terdiri dari kolagen tipe I, III, V, dan VI. Lapisan fibroblas akan menghasilkan kolagen interstisial dan sitokin yang mencakup IL-6, IL-8, dan monosit kemoaktraktan protein-1. Lapisan spongiosa tersusun atas jaringan nonfibril yang mengandung banyak kolagen tipe III (Rocha dan Baptista, 2015).
Sel dan matriks ekstraseluler adalah komponen utama dari membran korioamnion. Kolagen pada lapisan padat akan memberikan kekuatan tarik yang utama untuk selaput amnion, dan kolagen di bagian lainnya sebagai tambahan. Proteoglikan berfungsi untuk proliferasi dan diferensiasi sel untuk remodelling, serta bersama dengan kolagen akan membentuk cross- linking network untuk mempertahankan integritas jaringan. Fibronektin berperan layaknya lem yang akan merekat pada amniotic sac, dan turun serta menstabilisasi matriks. Laminin berperan dalam merekatkan sel epitel dengan stroma yang ada di bawahnya. Elastin berperan untuk sifat elastisitas membran (Rocha dan Baptista, 2015).
d. Biomekanik pada Selaput Korioamnion
Kolagen dan kompleksitas lapisan menjadi kunci utama kemampuan biomekanik membran korioamnion, dan selaput korioamnion adalah yang paling kuat meskipun berada di tekanan paling tinggi. Namun ternyata ada area pada selaput korioamnion yang paling lemah dibandingkan area lainnya, yaitu bagian yang menutupi serviks (paracervical weak zone) karena terus terpapar dengan kondisi lingkungan yang berbeda-beda, dan area ini hanya memerlukan 20 – 50% dari kekuatan yang dibutuhkan untuk merobek area selaput lainnya sehingga sering menjadi initial breakpoint.
Amnion lebih kuat dibanding korion, dan kekuatan korion menetap. Maka, hal-hal yang berisiko merusak area dekat serviks ataupun memperlemah bagian korion bisa menjadi pencetus paling awal KPD (Lannon et al., 2014).
2.1.7 Patofisiologi Ketuban Pecah Dini (KPD)
Berbagai etiologi dari KPD bisa menjadi patofisiologi. Namun secara umum dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Lannon et al., 2014).
Gambar 2.3 Faktor yang Berperan dalam Patofisiologi KPD (Lannon et al., 2014).
a. Apoptosis
Apoptosis merupakan kematian sel yang terencana secara fisiologis dan berhubungan dengan sitokin Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF- alpha). Jika terjadi sebelum waktunya, maka hal ini dapat memicu KPD.
Infeksi dan paparan asap rokok adalah faktor yang dapat memicu terjadinya apoptosis dini. Apoptosis dapat terjadi melalui jalur intrinsik ataupun ekstrinsik yaitu dengan aktivasi p53, Bax, maupun TNF-alpha factor receptor. Pada jalur p53, Bax akan teraktivasi dan Bcl-2 (protein antiapoptosis) akan disupresi. Hal ini berakibat pada kerusakan membran mitokondria, pelepasan sitokrom-c, dan aktivasi kaspase-9 yang berujung pada matinya sel (Lannon et al., 2014). Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa pada kejadian KPD aterm lebih sering melalui apoptosis jalur intrinsik, dan laju apoptosis di area paracervical adalah yang paling tinggi dibandingkan area lainnya (Reti et al., 2007).
b. Stres Oksidatif
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara produksi dan akumulasi Reactive Oxygen Species (ROS) pada sel dengan kemampuan tubuh untuk mendetoksifikasi (Pizzino et al., 2017). Dalam patofisiologinya terhadap kejadian KPD, ROS akan merusak membran melalui beberapa mekanisme seperti degradasi kolagen, menginduksi MMP, merusak DNA sel secara langsung, melepaskan enzim katalitik, aktivasi peroksidasi lipid, dan mengganggu mekanisme imun tubuh. Stress oksidatif akan menyebabkan tubuh untuk mengaktifkan dua jalur yang dimediasi oleh aktivasi Ras-GTPase dan atau p38 MAPK. Aktivitas jalur p38 MAPK berperan cukup penting karena ia akan menginisiasi proses penuaan dini pada membran melalui SASP. SASP atau Senescence- associated Secretory Phenotype mengandung sitokin proinflamasi dan MMP (Lannon et al., 2014).
c. Infeksi/Inflamasi
Hampir setengah dari seluruh kasus KPD preterm adalah akibat adanya peradangan akibat infeksi pada selaput korioamnion maupun pada
cairan ketuban, dan 18 – 38% menunjukkan kultur bakteri yang positif.
Mekanisme bakteri untuk bisa masuk sampai kepada uterus masih belum jelas, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal ini dapat terjadi melalui saluran genitalia bawah ataupun transplasenta, yang didukung dengan faktor patogenisitas mikroba, faktor virulensi, usia kehamilan, dan nutrisi ibu yang dapat mempengaruhi perubahan metabolik dan imunologis pada area genitalia (Lannon et al., 2014).
Ketika mikroorganisme memasuki choriodecidua, maka akan terjadi degradasi kolagen akibat adanya aktivasi MMP (Matrix Metallo Proteinase), yaitu sebuah enzim proteolitik yang bergantung pada seng.
Respon imun tubuh akan mengeluarkan berbagai jenis sitokin proinflamasi.
Endotoksin bakteri, TNF-Alpha dan Interleukin-1b adalah mediator terkuat aktivasi MMP (Lannon et al., 2014). Endotoksin bakteri bersama dengan TNF-Alpha akan memicu pelapasan fibronektin janin (fFN) oleh sel epitel amnion, fFN kemudian akan mengikat Toll-like Receptor 4 di mesenkim yang akan memicu kaskade sinyal untuk aktivasi lebih lanjut MMP dan sintesis PGE2. Ketika MMP teraktivasi, maka ia bisa melepaskan ligan untuk menstimulasi apoptosis, aktivasi kemokin dan sitokin, mendegradasi reseptor permukaan sel, dan mendegradasi berbagai jenis protein ekstraseluler termasuk kolagen, padahal kolagen (terutama tipe I dan III) pada jaringan padat yang diproduksi oleh sel mesenkim adalah penyedia utama kekuatan tarik membran. Pada selaput dan cairan amnion wanita yang mengalami KPD, ditemukan peningkatan aktivitas berbagai jenis MMP mulai dari MMP-1, 2, 3, 9, 10, 11, 13, dan 14. Dari berbagai jenis MMP, yang diduga berperan besar pada KPD adalah MMP-2 yang diekspresikan oleh stroma dan MMP-9 yang diekspresikan oleh sel epitel (Sukhikh et al., 2015). Aktivitas MMP pada dasarnya dihambat oleh TIMPs (Tissue Inhibitor Metalloproteinase), namun pada wanita yang mengalami KPD ditemukan kadar TIMPs yang lebih rendah sehingga akan semakin mendukung aktivitas MMP (Cunningham et al., 2014). Selain itu, sebagai respon terhadap inflamasi selaput korioamnion juga akan memicu secara