• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MENGUNGKAP MAKNA DALAM ARSIP FOTO

B. Wacana Orientalisme dalam Foto Perempuan Pribumi

1. Erotisme Perempuan Pribumi

Dalam foto-foto Isidore van Kindsbergen saya menjumpai beberapa foto dengan gagasan erotis, baik itu pada perempuan Jawa maupun Bali. Misalnya pada foto berikut, saya melihat posenya yang sensual dan menggoda namun bernuansa elegan.

Gambar 3. “Demi Mondaine”: Perempuan muda keturunan campuran (nonna) berbaring di sofa

Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1870

Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 166

Ia rebahan, meski tidak di atas kasur, melainkan di sofa dengan punggung dialasi bantal bermotif dengan tangan kanan bertumpu pada lengan sofa guna menyangga kepalanya biar tetap tegak menatap kamera.

Saya terpesona melihatnya. Ia muda, cantik alami, dan hanya mengenakan rias wajah tipis. Rambutnya yang hitam ikal dibiarkannya tergerai di bahu kiri. Ia

memakai perhiasan: kalung, subang dan cincin yang melingkari jemari tangan kanan dan kiri menandakan ia cukup berpunya.

Sofa itu sengaja dilapisi kain tebal seakan membiarkan tubuhnya bakal nyaman dalam pose seperti itu. Operator sepertinya memikirkan detail properti untuk mendukung hasil fotonya secara maksimal. Sendal selop bordir berhias bunga terlihat hanya sebelah di sisi bawah sofa, setidaknya itu menambah kualitas selera “fashion”-nya. Mata gadis itu tajam menatap ke arah kamera. Ia menawarkan senyum tipis tidak berlebih. Mendadak mata saya mengarah pada bagian dadanya yang ternyata polos tanpa kemban.

Pose sensual terbit manakala tatapan mata kita, spectator, jatuh pada bagian dadanya yang nir-kemban itu, hanya disampiri selendang sedemikian rupa. Betis sisi kanannya menyemburat di balik kain jarik motif udan liris yang melilit pinggangnya, menambah efek menggoda. Gagasan erotis muncul manakala beberapa lapis kain itu, yang secara sengaja dilucuti atau tidak dipakai atau dibiarkan tersingkap oleh subjek, hingga memperlihatkan bagian-bagian dari tubuhnya. Bagian tubuh yang dibiarkan terekspos umumnya yang cenderung menimbulkan rangsangan. Hal itu masih didukung dengan pose rebahan. Pose itu memiliki konotasi negatif, mengandung makna “mengundang” hasrat. Erotisme yang dihadirkan Van Kindsbergen dari foto itu sebenarnya masih menampakkan sisi kelembutan sekaligus sisi menggoda dari perempuan Jawa yang tampil tidak buka-bukaan tetapi mengundang hasrat.

Tidak cukup itu, operator menempelkan pesan tersembunyi atas subjek. Pesan tersembunyi yang disampaikan dari visualisasi subjek itu muncul pada judul foto yakni, “Demi Mondaine”: perempuan muda keturunan campuran (nonna) berbaring di sofa. Siapa Demi Mondaine? Mengapa Demi Mondaine dilekatkan atas subjek dalam foto? Apa kaitannya subjek dengan Demi Mondaine? Sedang sebutan Nonna, umumnya merujuk pada sapaan untuk perempuan muda yang belum menikah. Bukankah itu kian menggoda? Dia adalah gadis muda, belum menikah, sosoknya lekat dengan Demi Mondaine dan tampil sensual di depan kamera.

Demi Mondaine adalah istilah yang diambil dari bahasa Prancis yang berarti perempuan yang melakukan hubungan seks bebas—sinonim untuk pelacur

atau perempuan simpanan. Demi Mondaine adalah judul drama yang terkenal karya Alexander Dumas yang pernah dipentaskan di Prancis pada tahun 1855. Paris adalah salah satu tempat Van Kindsbergen pernah tinggal dan mendalami ketrampilan melukis untuk dekor opera.88 Gagasan itu semakin menegaskan bahwa wacana dan referensi dalam pikiran operator berpengaruh dalam setiap bidikannya dan dalam konteks ini terlihat dari pose, pemilihan model hingga judul foto. Cerita “Demi Mondaine” sendiri mengisahkan tentang pelacuran yang mengancam institusi pernikahan.

Imaji itu sangat berbeda dengan foto berikutnya: Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen89. Entah mengapa saat menatap foto sepasang model yang bugil itu saya cukup terganggu. Bukan karena ketelanjangannya, tetapi karena kecanggungan model yang saya rasakan. Berbeda dengan model Demi Mondaine yang jauh lebih rileks dan nyaman—senyaman sofa tempat ia rebahan, kedua perempuan itu tampil telanjang namun berpose membelakangi kamera. Perempuan yang di sebelah kiri mengangkat kaki kirinya dan menumpukannya pada kursi dengan kain jarik menggantung, sementara lengan kanannya merangkul perempuan di sebelahnya yang menyilangkan kaki kirinya ke belakang seolah menyiratkan keragu-raguan.

88 Lihat Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, Op.Cit, hlm. 14

Gambar 4. Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1870

Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 167

Foto Van Kindsbergen menimbulkan “rasa malu” pada diri saya sebagai spectator, perasaan ini bisa jadi sangat subjektif. Ada “luka” dalam konteks Barthes dan itu susah hilang. Apa penyebabnya? Saya pun bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Efek perasaan itu barangkali didorong oleh perilaku sepasang perempuan dalam foto—menyaksikan mereka telanjang, berangkulan, tapi ada kesan canggung atas adegan di mana mereka terlibat—sehingga kesan yang saya dapatkan dari foto itu saya tidak mendapatkan kenikmatan saat memandangnya. Berulangkali saya coba, hasilnya tetap merisaukan.

Ketidaknyamanan pada diri subjek itu salah satunya dapat dilihat dari ekor mata mereka yang sadar bahwa ada yang sedang mengamati adegan tersebut: kamera dan operator. Lokasi pemotretan sebagaimana disebut dari judul foto berada di studio foto Van Kindsbergern. Foto berlatar polos itu berhasil menonjolkan subjek yang difoto sebagai fokus utama.

Jika menilik dari postur tubuh model, keduanya perempuan dewasa dan matang secara fisik atau cenderung kekar, kemungkinan dalam rentang usia sekitar

20-an tahun. Rambut hitam yang dibiarkan tergerai mengundang kesan santai atau ingin tampil apa adanya. Jika ditilik dari properti yang ditampilkan oleh Van Kindsbergen, operator menempatkan kursi di sebelah kiri. Kursi adalah simbol status sosial. Penempatan kursi di situ menegaskan status sosial perempuan tersebut bukan dari kalangan biasa. Perempuan di sebelah kiri, menempatkan kaki kiri jigang atau mengangkat sebelah kakinya, memperlihatkan ia memiliki kuasa baik secara kelas sosial atau pun usia dan tampak lebih mendominasi dibandingkan perempuan di sebelah kanan.

Jika merujuk pada upacara adat Jawa, ada prosesi “nontoni” sebelum dilangsungkan suatu pernikahan. “Nontoni” berarti saling melihat. Prosesi ini biasanya diwakilkan kepada kerabat perempuan guna menilai dari dekat calon yang akan dilamar sebagai istri, termasuk secara fisik. Dari proses tersebut akan menentukan apakah tahap lamaran akan dilangsungkan atau tidak.

Selembar kain jarik yang tidak dikenakan itu kemungkinan dari pihak yang “nontoni”, supaya pihak yang “ditontoni” merasa lebih rileks dalam prosesi tersebut. Dari situ dapat diketahui tubuh mereka yang tampak gemuk berarti mereka dari kalangan yang berkecukupan, sedang panggul lebar sebagai simbol kesuburan karena memiliki peluang melahirkan secara normal. Tampak di situ figur perempuan yang di sebelah kiri bersikap melindungi perempuan di sebelahnya—semacam sikap maskulin merujuk pada keluarga calon suami— dengan rangkulan yang menunjukkan kedekatan satu sama lain meski dalam sikap ini sebenarnya tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat intim tetapi lebih tampak sebagai sikap menguatkan atau menenangkan kegelisahan si perempuan yang “ditontoni” tersebut. Dalam konteks “nontoni” kehadiran Van Kindsbergen dan kamera memang semestinya tidak ada dan di situlah letak “gangguan” yang saya maksud yang menghasilkan “luka”. Replikasi atas adat Jawa yang semestinya berlangsung dalam ruang tertutup dan hanya disaksikan oleh pihak yang dipercaya dari keluarga laki-laki ke dalam studio foto atau ruang yang disulap sedemikian rupa semacam studio dengan kanvas di belakang model menghadirkan “kecanggungan” dari model.

Van Kindsbergen memang memiliki keahlian dramaturgi dalam foto-fotonya. Hal itu didasari oleh latar belakang dan kapasitasnya malang melintang di

dunia opera. Adegan dalam foto itu seperti sebuah “scene” yang ingin menampilkan sisi lain dari perempuan Jawa dan adatnya. Namun pada “scene” itu keduanya ditampilkan dengan saling merapatkan badan. Dalam konteks penonton “Barat” yang tidak memiliki referensi kultural Jawa, sisi erotis yang ditangkap dari foto itu adalah keduanya tampak seperti pasangan lesbian. Bagaimana pun kemampuan dramaturgi Van Kindsbergen memberikan masing-masing foto tafsir dan pemaknaan yang unik, dan tentu membuat saya kian berhati-hati saat berhadapan dengan foto-fotonya. Pose-pose yang ditawarkan pun beberapa terasa sangat tidak familiar bahkan hingga kini.

Kedua foto di atas mewakili potret erotisme perempuan Jawa. Beda lagi dengan yang ditawarkan Van Kindsbergen dari perempuan Bali. Sebenarnya sangat disayangkan dari ketiga buku itu hanya buku Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies yang menampilkan foto perempuan Bali, meski sebenarnya “Woodbury & Page” juga pernah berkunjung ke sana, namun dalam Woodbury & Page: Photographers Java tidak ditemukan satu pun foto-foto mereka terkait Bali padahal foto ketika mereka berkunjung ke Aceh dimunculkan.

Foto-foto Van Kindsbergen di Bali diambil saat ia mengikuti perjalanan resmi Gubernur Jenderal Sloet van de Beele pada tahun 1865-1866. Selama di Bali, Van Kindbergen berperan sebagai operator. Selain memotret beberapa situs kuno, ia mengambil foto Gusti Ngurah Ketut Jilantik—Raja Buleleng, dan beberapa orang di dalam puri Singaraja, termasuk putri raja dan istrinya. Menariknya, Van Kindsbergen juga sempat mengambil foto budak-budak raja.

Gadis Bali itu, awalnya saya anggap sebagaimana umumnya citra perempuan Bali yang telah terekam dari berbagai foto yang diabadikan oleh sejumlah fotografer tentang mereka yang umumnya tampil bertelanjang dada. Imaji itu juga yang saya tangkap dari foto Van Kindsbergen. Tapi tunggu dulu, cerita menjadi berbeda ketika saya baca judul foto yang menuliskan bahwa ia adalah Iloeh Sari, budak Raja Buleleng. Sepertinya Van Kindsbergen sengaja menawarkan sesuatu yang berbeda yang jarang dijumpai tentang Bali—yakni budak, termasuk budak perempuan.

Gambar 5. Iloeh Sari, budak raja Buleleng, Bali Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1865-1866 Sumber: Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005: 62

KITLV, Leiden 4390

Saat melihatnya, saya menangkap citra perempuan Bali di masa lalu sebagaimana referensi visual yang saya miliki tentang perempuan Bali yang umumnya bertelanjang dada. Referensi pengetahuan saya tentang perempuan Bali telah terkontaminasi oleh wacana yang umum beredar dan saya konsumsi. Jadi penampilan Iloeh Sari tampak biasa dan tidak mengejutkan.

Operator memasang latar kanvas polos di belakangnya, menampilkan figur lebih menonjol persis di tengah bidang foto. Teknik pengambilan foto seperti itu menampakkan ia sebagai pusat objek. Gaya berbusananya mencitrakan ia dari kelas biasa. Antingnya unik berukuran besar tapi sepertinya tidak dibuat dari emas. Cara ia mengenakan kain sarung pun kelewat sederhana.

Rambut Iloeh Sari diikat ke belakang, tampak tidak tertata dengan rapi. Ada kesan digelung dengan terburu-buru atau memang tatanan itu sudah mulai serawutan setelah ia bekerja. Tubuhnya tidak kekar. Duduknya pun dengan punggung melengkung ke depan. Pose duduk itu menegaskan bahwa ia sedang tidak berdaya. Ia duduk di atas tenggok—kotak anyaman bambu yang berfungsi sebagai wadah atau alat angkut—yang dilapisi tatakan kayu. Selendangnya, yang

di situ berfungsi sebagai alat kerja, ditaruhnya di atas paha. Pose ini menyiratkan Iloeh Sari sedang beristirahat. Properti yang digunakan Van Kindsbergen mendukung pose figur yang dipotretnya. Ekspresi wajahnya biasa, dengan bibir tertutup. Ada kesan percaya diri di raut wajahnya yang masih remaja. Usianya kemungkinan di rentang 14-an tahun dengan buah dada yang baru tumbuh.

Pada foto berikutnya, ada Iloeh Sari dan I Mriyakti yang ditampil bersama. Kain selendang tadi justru digeletakkan begitu saja di lantai oleh Iloeh Sari. Artinya, ia sedang tidak bekerja. Ia berdiri di sebelah I Mriyakti dengan tangan mengarah ke I Mriyakti. I Mriyakti berpose mengenakan kemban sebagai penutup dada. Ia duduk sambil membelakangi kamera, menyisakan kesan misterius dari sosok budak, berkebalikan halnya dengan Iloeh Sari. I Mriyakti tampil tanpa memperlihatkan wajah. Hanya geraian rambut hitam dengan hiasan kepala seperti jengger, besar kemungkinan dari emas, di atas kepala. Hiasan pada rambut umumnya dikenakan perempuan Bali pada upacara atau acara-acara resmi. Sayangnya rambut itu tidak digelung. Apa Iloeh Sari berencana mendandaninya?

Gambar 6. Dua budak Raja Buleleng: I Luh Sari dan I Mriyakti Foto Isidore van Kindsbergen ca. 1865-1866

Punggung I Mriyakti lebih kekar, begitu pun postur duduknya lebih tegak dibandingkan Iloeh Sari. Pasti ia lebih spesial. Tapi siapa I Mriyakti? Mengapa ia ditampilkan secara misterius? Subjek misterius selalu terkait dengan identitasnya yang tersamarkan. Secara psikologis, posenya menimbulkan tanda tanya. Menilik detail busana yang ia kenakan, ia seperti sedang dipersiapkan untuk sesuatu.

Dari dua pose yang berlawanan itu, barangkali Van Kindsbergen hanya ingin menonjolkan sosok budak Iloeh Sari. Atau operator sengaja ingin menampakkan sisi misterius atau yang tak terpahami dari si budak. Di satu sisi, budak Iloeh Sari memperlihatkan wajah yang menyenangkan, percaya diri, badan berpenampakan gesit karena tangannya memegangi selendangnya yang menunjukkan ia siap kerja. Tapi apa yang tampak dari I Mriyakti dalam posisi duduk, pasif, membelakangi kamera, tak tampak sama sekali wajahnya, rambut yang terurai seakan menyimpan sisi liar, meski ia mengenakan kemban. Di sini misteri ditawarkan oleh operator. Bahwa memiliki budak seperti memiliki dua sisi mata uang—seperti ada hal-hal yang tidak diketahui dari asal muasal budak-budak itu dan bagaimana karakter mereka sesungguhnya. Sekali pun ada sisi erotis yang ditawarkan, ada sisi lain—dengan konotasi negatif, gelap, misterius yang dipresentasikan Van Kindsbergen untuk menjadi pengingat bagi spectator.

Dari dua foto yang sama-sama menampilkan dua perempuan tersebut jika dibandingkan, Gambar 6. dapat dimaknai bahwa dalam kultur Bali, perempuan sudah disiapkan “sebagai pekerja” bahkan ketika fisiknya bahkan belum siap, seperti tidak kekar dan belum berdaya. Semacam ada asumsi nanti postur itu akan terbentuk seiring dengan aktivitas fisik. Hal itu merujuk pada maraknya praktek perbudakan, termasuk perbudakan di Bali masih pada masa yang sama.

Pada Gambar 4. tampilan “Dua Perempuan Telanjang” dengan profesi yang tidak jelas memperlihatkan fisik perempuan matang, kekar, rumahan, dan siap untuk diperistri. Detail fisik kekar barangkali tidak sepenuhnya merujuk pada aktivitas sebagai “pekerja”, tetapi berkat olah tubuh yang baik. Kesadaran olah tubuh dan cara berbusana lambat laun bisa membentuk fisik seseorang. Praktik ini ada dalam tradisi Jawa.

Van Kindsbergen seperti menyiratkan bahwa ada dua kesan sekaligus dari sosok budak perempuan yang perlu dicermati: kecantikan dan daya kerja, serta

ketidaktahuan majikan atas masa lalu budak yang membuatnya menjadi tidak dikenali secara baik seperti konotasi yang dihadirkan oleh Van Kindsbergen melalui pose I Mriyakti. Dan sekali lagi, di sini, adegan dan pose itu ditata dengan apik oleh sang operator sehingga menyimpan makna-makna konotatif. Meski begitu, foto budak perempuan itu berhasil memperlihatkan kesan mengapa budak perempuan Bali dihargai mahal di pasar budak kala itu. Terlebih, keduanya, Iloeh Sari dan I Mriyakti, adalah budak perempuan Raja Buleleng.

Semua foto-foto yang ditampilkan Van Kindsbergen terkait perempuan Bali hadir dengan penutup dada, kecuali foto para budak perempuan. Sejarah perbudakan di Hindia Belanda sendiri termasuk jarang sekali disinggung dalam penelitian sejarah, namun foto Van Kindsbergen dengan jelas menunjukkan bahwa perdagangan budak pernah terjadi selama kurun kolonialisme Belanda. Bali adalah salah satu wilayah pemasok budak, selain menyediakan budak-budak dari Bali, pulau itu juga menjadi tempat transit bagi budak-budak lain dari luar Bali, seperti terekam dalam kamera Van Kindsbergen ada budak perempuan dari Papua. ‘Brit’90, si budak Papua itu, berdandan layaknya perempuan Bali—ia bertelanjang dada. Budak Bali di pasar dikenal memiliki harga tinggi, utamanya budak perempuan. Barangkali tampilan “Brit” ditujukan supaya ia memiliki harga setinggi budak perempuan Bali.

Sejak abad ke-10, Bali telah menjual budaknya sendiri dan dari wilayah Indonesia Timur lain, tetapi dengan adanya Batavia dan kondisi perdagangan baru memungkinkan perdagangan budak tumbuh subur sampai orang Bali menjual hingga dua ribu orang, perempuan dan anak-anak dalam setahun.91 Perempuan Bali, sebagaimana diungkapkan Vickers, memiliki harga tinggi dalam pasar budak di Batavia, bukan sebatas dijual sebagai pembantu atau pekerja kasar, mereka ada yang dibeli untuk dijadikan istri, yang di masa begitu laku bukan karena citra erotisnya tetapi karena ketrampilan kuliner mereka hingga perempuan Bali kadang ada yang memiliki posisi sebagai Nyai, istri simpanan pria Belanda.

Lalu mulai pertengahan abad ke-17, perdagangan budak membuat Bali tampak menarik sekaligus mengancam, tempat untuk memperoleh perempuan

90 Foto budak “Brit” karya Van Kindsbergen ca. 1865 terdapat dalam Adrian Vickers.

Op.Cit, hlm. 51

yang berguna, tapi budak laki-lakinya seringkali menunjukkan temperamen gampang memberontak.92 Budak-budak dari Bali dan wilayah Indonesia Timur diperdagangkan tidak hanya ke Batavia, tetapi hingga mencapai belahan bumi yang lain sebagaimana halnya budak-budak dari Jawa yang diperdagangkan dan dibawa hingga ke Suriname sebagai buruh perkebunan.

Belanda berangsur-angsur menerima bahwa perbudakan melanggar kebebasan dasar manusia. Pada tahun 1830-an Belanda telah menghentikan semua perdagangan budak, meskipun perdagangan budak di Bali masih berlanjut hingga 1860-an.93 Perdagangan budak itu baru dihentikan sejak awal abad ke-19 ketika ada pelarangan memperjualbelikan budak, termasuk praktik satia atau pengorbanan janda sebagai tanda setia pada suaminya.

Di balik citra eksotisme Bali, ada cerita tentang perdagangan budak yang memiliki sejarah panjang dengan kolonialisme. Bahkan budak-budak dari Jawa yang dibawa ke Suriname pun kisahnya seakan menghilang bersama kapal-kapal yang membawa mereka berlayar jauh dari tanah asal. Belanda paling akhir memberlakukan pelarangan perdagangan budak di antara negara-negara di Eropa, yakni pada tahun 1860-an. Perbudakan secara resmi dihapuskan di Hindia Belanda pada tahun 1860.94

Imaji erotis yang paling menonjol dari para fotografer di Hindia Belanda atas perempuan pribumi umumnya muncul dari citra perempuan Bali. Sayangnya, dari ketiga buku itu, foto perempuan Bali yang ditampilkan jauh dari kesan erotis sebagaimana yang muncul di buku-buku lain, misalnya dari karya-karya Gregor Krause dalam Bali 1912, atau dapat diamati dari karya sepasang suami-istri etnografer Gregory Bateson & Margaret Mead dalam Balinese Character: a Photographic Analysis (1942).