• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FOTOGRAFI DI JAWA DAN BALI KURUN 1850-1912

A. Ketika Daguerreotype Tiba di Hindia Belanda

Nicephore Niepce (1765-1833) dengan kamera Obscura dan teknik “sun drawing” pada tahun 1826 menemukan metode untuk menghasilkan gambar permanen pada pelat tembaga yang dilapisi bitumen setelah dieksposur selama delapan jam. Louis Jacques Mande Daguerre (1787-1851) bermitra dengan Niepce dan terus melakukan eksperimen atas kamera Obscura guna mendapatkan teknik fotografi terbaik. Niepce meninggal pada tahun 1833. Daguerre kemudian mengajukan hak paten atas karya dan mendapatkannya pada tahun 1838.

Pemerintah kolonial Belanda dengan cepat menyadari bahwa fotografi bisa digunakan untuk merekam tanah koloni. Hanya berselang setahun saja setelah daguerreotype dipatenkan pada 1839, seorang fotografer dikirim ke Hindia Belanda. Jurriaan Munnich (1817-1865)43, sebenarnya berprofesi sebagai petugas medis, namun berkat keahlian amatir mampu mengoperasikan daguerreotype, maka Munnich diminta Kementerian Koloni Belanda melakukan ujicoba pemotretan di wilayah tropis, “tes dan gunakan fotografi di wilayah kami!”44 Begitu perintah yang disampaikan kepadanya. Pada prinsipnya, ia diminta mengumpulkan representasi foto-foto dari wilayah koloni, seperti ragam

43John Hannavy. (ed.). Encyclopedia of Nineteenth-Century Photography, hlm. 739-740

tanamannya yang khas, memotret bangunan hingga temuan atas barang-barang antik. Ia juga diminta untuk membantu seorang arkeolog, W.A. Van Den Ham, yang pada saat itu tengah melakukan penelitian di Jawa dengan memotret benda-benda kuno dan prasasti.

Di Hindia Belanda, Munnich menghadapi banyak kendala teknis dalam mengoperasikan daguerreotype, diperparah lagi dengan kondisi cuaca tropis. Hasilnya, foto-foto yang dibuatnya dinilai kurang maksimal. Namun begitu secara historis, ia tetap dikenal sebagai “toekang potret” pertama di Hindia Belanda.

Lalu pada tahun 1844, Adolf Schaefer45, pria kelahiran Jerman yang bisnis studio fotonya di Den Haag kurang berhasil, mengajukan diri untuk ditugaskan sebagai fotografer di Hindia Belanda. Kementerian Koloni Belanda kemudian mengirimnya ke Bogor (Buitenzorg). Pada 1845, Batavian Society of Arts and Sciences46 di Batavia memintanya untuk memotret koleksi barang-barang antik mereka. Setahun kemudian, ia diminta mendokumentasikan Candi Borobudur. Berbekal daguerreotype, Scaefer menghasilkan 58 foto-foto pertama dari candi tersebut.

Proyek-proyek antiquarian—ketertarikan atas benda-benda antik & kuno memicu karya fotografi pertama di tanah koloni yang sebagian besar didanai oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam perkembangannya, pada tahun 1850-an, beberapa fotografer mulai membuka studio foto dan itu semakin menarik minat para fotografer untuk kemudian berdatangan ke Hindia Belanda, di antaranya L. Saurman, C. Duben, Antoine Francois Lecouteux, dan lain sebagainya.

Isidore van Kindsbergen47 yang tiba di Hindia Belanda pada tahun 1851 adalah fotografer pertama yang secara resmi ditugaskan mengikuti kunjungan

45 John Hannavy. (ed.). Op.Cit, hlm. 739

46 Batavian Society of Arts and Sciences atau Bataviaasch Genootschap van Kunsten en

Wetenschappen adalah lembaga kebudayaan yang didirikan atas inisiatif Jacob

Cornelis Radermacher pada 1778, di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1777-1780). Lembaga itu bertujuan untuk menganalisis aspek budaya dan sains di Hindia Belanda, termasuk memfasilitasi berbagai penelitian para ahli. Hasil penelitian kemudian diterbitkan dalam bentuk artikel dan jurnal, di antaranya melalui Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG, yang dipublikasikan antara tahun 1779-1950) dan Tidjschrift voor Indische taal-land en volkenkunde (TBG, yang dipublikasikan antara tahun 1853-1952). Lembaga ini sekarang yang kita kenal sebagai Museum Nasional. Lihat:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/munas/542/

Gubernur Jenderal dalam misi diplomatik ke negara Siam (Thailand) pada tahun 1862. Kedekatannya dengan beberapa petinggi Hindia Belanda yang sudah ia jalin selama beberapa kurun waktu dan hasil foto-fotonya yang memikat, membuatnya dipercaya mengikuti berbagai kunjungan resmi pemerintah kolonial hingga ke berbagai pelosok di Hindia Belanda.

Awalnya, fotografi di Hindia Belanda digunakan untuk pendokumentasian situs-situs kuno, candi, barang antik, arca dan prasasti. Proyek antiquarian memang yang paling mengemuka dari bidang fotografi. Mekanisme kerja dan minat ini saya jumpai hampir mirip di berbagai belahan lain dunia, sebagaimana yang digambarkan oleh Nissan N. Perez dalam Focus East: Early Photography in the Near East, 1839-1885 (1988) tentang bagaimana bangunan-bangunan kuno dan bernilai historis didokumentasikan oleh para fotografer dan penjelajah, seperti di kawasan Timur Tengah hingga Afrika. Francois Arago, sebagaimana dikutip Perez, pernah berbicara di depan French Academy of Sciences pada Januari tahun 1839 terkait nilai fantastis yang dapat diperoleh berkat kehadiran teknologi fotografi:

“To copy the millions and millions of hieroglyphs covering only the exterior of the great monumen of Thebes, Memphis, Karnak, twenty years and scores of draughtsmen are required. With the daguerreotype, a single man could execute this immense task ... (and) the new images will surpass in fidelity and local color the work of the most capable among our painters.”48

Sebelumnya, untuk menyalin jutaan hieroglif dari kuil-kuil besar seperti di Thebes, Memphis, dan Karnak dapat dibayangkan hal itu bisa dikerjakan dalam waktu dua puluh tahun oleh sejumlah ahli gambar. Tapi hanya dengan daguerreotype, satu pria saja bisa melakukan pekerjaan besar itu dengan kualitas gambar yang bahkan setara dengan hasil karya seorang pelukis paling mumpuni yang ada.

Kehadiran teknologi mekanik ini benar-benar mendapatkan momentumnya seiring gelombang wacana “the Orient” atau “Timur”. Distribusi teknologi fotografi diiringi juga dengan penelitian di bidang arkeologi dan berkembang ke

48 Nissan N. Peres. Focus East: Early Photography in the Near East, 1839-1885, hlm.

minat-minat penelitian yang lain. Cukup dengan mengirim seseorang yang bisa mengoperasikan daguerreotype dan beberapa peneliti saja, mereka akan membawa pulang hasil penelitian dan foto-foto dari tanah koloni yang memberikan informasi tak ternilai. Begitu pun praktik yang diselenggarakan di Hindia Belanda.

Teknologi fotografi kian berkembang pesat. Fotografer tidak perlu lagi mengangkat daguerreotype atau kamera Mammoth yang berat. Fotografer pun tidak hanya berkarya di dalam studio foto. Kemudahan teknologi memungkinkan eksposure cahaya tropis yang tajam mulai bisa diredam dan fotografer bisa melakukan pemotretan di luar ruangan dengan latar yang lebih alami. Salah satunya dengan kemunculan kamera Kodak pada pada tahun 1892 yang menciptakan fenomena jamuan minum teh dengan disertai foto di rumah-rumah Indies di Hindia Belanda.

Kemajuan itu seiring dengan kehadiran studio foto menciptakan pasar baru dalam bidang fotografi. Operator menjadi lebih leluasa. Ia memiliki kapasitas untuk memasang latar pada foto secara lebih bebas—biasanya berupa lukisan kanvas dalam ukuran besar untuk menutup sebagian atau keseluruhan latar dengan berbagai ornamen tambahan. Hal itu misalnya, dapat kita lihat dalam foto-foto karya Kassian Cephas, ketika memotret perempuan Jawa. Latar yang kita jumpai adalah kanvas yang dilukisi bunga-bunga. Masa “booming” studio foto memunculkan foto-foto yang melibatkan “pribumi” pun kian banyak yang kemudian memasok perempuan berada di bingkai dalam bidikan lensa.

Lantas mengapa penelitian ini hanya berfokus pada foto perempuan Jawa dan Bali? Adrian Vickers mengungkapkan bahwa Bali telah menjadi pulau yang paling eksotis dari tempat eksotis lain di dunia—fantasi semua kemegahan ‘Orient’ dan keindahan Pasifik.49 Eksotisme Pulau Bali ini bukan semata karena tanahnya yang elok tetapi didukung oleh cita rasa seni yang dimiliki masyarakat Bali. Vickers mengatakan:

“Gambaran tentang Bali dengan sifat-sifatnya muncul gambar-gambar visual—foto, lukisan, dan sketsa yang menunjukkan pohon-pohon palem dan sawah yang subur; para wanita bertelanjang dada yang tak terhindarkan, dan pria-pria muda yang tampan dengan tubuh lentur; dan,

seni eksotis, tarian kesurupan yang aneh, dan imam besar Brahman yang melakukan upacara esoterik.”50

“Bali adalah ‘pulau mempesona’, ‘surga terakhir’, salah satu mimpi romantis terbaik di dunia51,” gagasan itu seakan melengkapi imaji tentang bagaimana Bali dibayangkan. Imaji itu ditawarkan ke para pelancong, ke orang-orang “Barat”, atas Bali yang sekaligus diikuti dengan pembentukan Bali sedemikian rupa—mewujudkannya sebagaimana konstruksi imajinasi tersebut. Perubahan-perubahan di Bali kemudian dipercepat salah satunya oleh kolonialisme, khususnya terkait proyek Bali sebagai “surga terakhir”.52 Imaji yang paling mengemuka di antara gagasan penciptaan Bali sebagai “surga terakhir” itu adalah visualisasi perempuan Bali dalam foto. Potret perempuan Bali adalah yang paling fenomenal dalam sejarah fotografi di Hindia Belanda dan paling laris manis di pasaran. Mengapa? Banyak foto-foto perempuan Bali yang beredar luas adalah foto-foto mereka yang bertelanjang dada, memperlihatkan sepasang payudara, tanpa rasa sungkan. Jika ada tolok-ukur yang jelas, barangkali ini bisa disejajarkan popularitasnya dengan imaji “Barat” atas perempuan-perempuan harem di Timur Tengah—yang justru hadir sebaliknya—sangat tertutup, misterius, penuh wacana poligami, berhijab dan terkekang, sebagaimana diungkapkan Sarah Graham-Brown:

“The power of the harem image lay in the notion of a forbidden world of women, of sexuality caged and inaccessible, at least to Western men, except by a leap of imagination.”53

Kekuatan imaji atas harem justru terletak pada gagasan tentang dunia perempuan yang terlarang, seksualitas yang dikurung dan tidak dapat diakses, setidaknya bagi pria Barat. Sedang Bali seperti menawarkan imaji yang sepenuhnya berbeda. Perempuan Bali sebagaimana ditampilkan oleh Gregor Krause (1883-1960) dalam Bali 1912, adalah perempuan yang bertelanjang dada.

50 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 136

51 “Bali is the “enchanted isle,” “the last paradise,”one of the world’s great romantic

dreams.” Ibid, hlm. 16

52 Loc.Cit.

Foto-foto Krause adalah yang pertama dari banyak foto yang pernah dipublikasikan tentang Bali.54 Bagian-bagian tubuh yang terbuka—terutama payudara yang terbuka—ibarat kunci atas hasrat yang dibuat untuk menginformasikan dan diproduksi oleh pariwisata di Bali.55

Bali yang hadir dan ditawarkan adalah sebentuk imaji/ citra yang diseleksi demi menarik minat para pengunjung untuk datang ke “surga terakhir” yang ada di Bumi. Hal yang tentu berbeda dari perspektif orang Bali sendiri. “The Balinese images have been different in kind from the western images of Bali.”56 Demi memperkuat imaji tentang “surga terakhir” itu, dari tahun 1920 dan seterusnya ada sejumlah studio foto yang berbasis di Jawa dan Bali yang menghasilkan kartu pos dan foto pertama untuk promosi biro wisata resmi pemerintah.57 Dan yang paling menarik adalah pembingkaian atas perempuan Jawa dan Bali melalui foto hingga kemudian menjadi kartu pos—produk yang secara oplah berlipat ganda dan tersebar ke pasar dengan harga murah yang kemudian turut menyemarakkan fenomena tersebut.

Pada tahun 1900, Jawa berada dalam keadaan peralihan dengan zaman lama yang telah berakhir tetapi bentuk zaman baru pun belum jelas.58 Jawa yang disimbolkan dengan dua tatanan kraton yang terbagi dua yakni, Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta, pasca Perjanjian Giyanti (1755) tengah bergerak memasuki fase “modern” dengan munculnya sekolah dan media cetak yang sayangnya, tidak banyak mencatat peristiwa yang melibatkan perempuan sebagai aktor utama. Pendokumentasian perempuan Jawa secara visual dapat dijumpai dari arsip litografi yang dikerjakan oleh para litografer dari Eropa. Kedatangan teknologi fotografi pada pertengahan abad ke-19 adalah salah satu bentuk “modernisasi” yang dialami Jawa dan kian kentara memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam arsip visual. Isidore van Kindsbergen salah satu yang ditugasi untuk melakukan dokumentasi atas “antiquarian” Jawa, termasuk di antaranya di lingkup Kraton Yogyakarta dan Kraton Surakarta. Selain Kassian Cephas, Van

54 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 138

55 Adeline Marie Masquelier (ed.). Dirt, Undress, and Difference: Critical Perspectives

on the Body’s Surface, hlm. 62

56 Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 21

57 Ibid, hlm. 138-139

Kindsbergen, dan “Woodbury & Page” ada beberapa fotografer lain yang pernah memasuki istana. Mereka juga melakukan pemotretan atas bangsawan-bangsawan Jawa termasuk berbagai ritual dan prosesi adat yang terkait dengan aktivitas kultural di dalam istana. Wajah-wajah perempuan pribumi baik masyarakat umum maupun mereka para putri yang tinggal di istana menjadi bagian dari objek fotografi pada masa itu. Namun fokus penelitian ini hanya berbasis pada ketiga fotografer yang sudah disebut di muka tanpa menafikkan karya-karya dari fotografer lain, agar dijumpai kajian dengan hasil yang lebih spesifik.

B. Kisah Tiga Fotografer