• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengurai Kode-kode Kultural dalam Arsip Foto Perempuan

BAB IV PERFORMATIVITAS GENDER DAN AMBIVALENSI WACANA

A. Mengurai Kode-kode Kultural dalam Arsip Foto Perempuan

lukisan Orientalisme—harem, odalisque, Nyonya berkulit putih dengan budak hitamnya—semuanya itu kemudian direplikasi di studio foto.107 Replikasi mengandung arti penduplikatan, diperbanyak, sebagai cara meniru, hingga pengulangan.108 Dalam konteks Hindia Belanda, secara umum yang direplikasi di studio foto bukanlah subjek dengan detail ornamen ala harem dan budaya Timur Tengah guna menampilkannya sebagai “the Orient”, melainkan cukup melalui pose atau sikap subjek ketika dipotret atau sebagaimana dikemukakan Barthes hanya dengan menambahkan detail/ elemen dari stok stereotip. Mengapa pose menjadi salah satu elemen yang sering direplikasi?

Di studio foto, operator memiliki kemampuan untuk mengembangkan fantasinya dengan menciptakan ‘dunia baru’ guna mendukung imajinya, seperti

107 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 40

dengan membuat latar dan elemen pendukung melalui berbagai properti hingga ornamen yang mampu menghidupkan apa yang ia bayangkan. Di sini gagasan replikasi menjadi penting untuk diketahui dan dianalisis secara cermat. Gagasan replikasi menyimpan kode-kode kultural yang tidak mudah dipahami hanya melalui pemaknaan punctum. Kode-kode kultural yang ditampilkan oleh operator setidaknya sudah dipahami sebagai suara-suara kolektif oleh suatu masyarakat— sejumlah spectator yang ditujunya—yang telah memiliki pengetahuan Orientalisme melalui sastra, jurnal ilmiah, kisah-kisah pelancong, lukisan, sketsa, hingga berbagai produk budaya lainnya.

Awalnya saya mengalami sedikit kesulitan dalam memahami kode-kode kultural yang disampaikan oleh operator. Barangkali itu yang membuat beberapa foto terkesan janggal di mata saya. Kemudian dengan menggali referensi yang dimaksud oleh operator, pada akhirnya saya memiliki kemampuan memahami kode-kode kultural yang ada pada foto hingga semakin jelas apa yang dimaksudkan. Dalam analisis ini pun, saya perlu berhati-hati ketika menghadirkan referensi kultural dari budaya masyarakat penerima terkait pesan yang dimaui oleh operator.

Jadi apa yang dibayangkan oleh operator ketika mereka memotret perempuan pribumi (Jawa dan Bali)? Konsep performativitas sangat membantu untuk memikirkan varietas identitas ras dan etnis.109 Maka elemen utama dalam menampilkan perempuan pribumi (Jawa dan Bali) di antaranya dengan menonjolkan tindakan berulang-ulang atas gender, ras, dan etnis sehingga identitas itu dikenali secara baik oleh spectator. Performativitas gender di sini merupakan tindakan yang diciptakan dengan pengulangan performatif, yaitu lewat pengulangan atas kode-kode kultural yang dikonsumsi oleh Barat yang berawal dari replikasi pose-pose figur perempuan pribumi dalam foto.

Menurut Judith Butler110, kualitas pengulangan dianggap penting untuk identitas pervormativitas gender yang praktiknya dapat diterapkan pada identitas

109 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 144

110 “Their efforts to explain regional Ottoman differentiations of race and ethnicity –that are unremittingly gendered and classed– to a readership of presumed outsiders is suggestive for an analysis of how the reiterative qualities that Judith Butler (1990) sees as essential to performative gender identities can be applied to identities based on race and ethnicity.” dalam Reina Lewis, hlm. 142

berdasarkan gender, ras, dan etnis. “Lihat, seperti ini loh perempuan pribumi!”, dan itu yang dikumandangkan terus menerus, hingga diterima secara umum. Referensi atas kode-kode kultural tentu berasal dari wacana yang telah diketahui oleh operator. Konsepsi performatif tadi tunduk pada kuasa tertentu yang dalam konteks ini adalah kolonisasi Belanda di Hindia Belanda. Operator mengkonstruksinya sedemikian rupa sehingga mendapatkan performativitas ideal demi memenuhi gagasan yang hendak ia tampilkan.

Tampilan seksual tubuh perempuan ‘Orient’ adalah gagasan sentral dari Orientalisme Barat, yang sepenuhnya dikembangkan dan dikenal pada paruh kedua abad ke-19.111 Seni Orientalisme sepertinya hanya memprioritaskan kesenangan visual laki-laki. Hal itu barangkali benar, tetapi konsumen/ spectator budaya visual yang Orientalis itu juga ada yang perempuan. Mereka perempuan dan laki-laki yang memandang tubuh perempuan yang di-Orientalisasi itu bisa mengonsumsi gagasan tersebut karena telah dididik dengan wacana Orientalisme.

Guna mendukung gagasan itu, perempuan pribumi Jawa dan Bali diidentifikasi secara parsial, yakni dibedakan antara perempuan di satu wilayah dan yang ada di wilayah lain. Selain karena ras dan etnis berbeda, secara kultural juga menampilkan identitas berbeda, namun yang lebih utama adalah penegasan atas perbedaan itu menjadi bagian penting dalam membangun stereotip. Dari situ dapat dipahami bahwa konstruksi atas perempuan dan tubuhnya, benar tidak alamiah merujuk pada gagasan Butler112. Ras dan etnis dijadikan elemen pendukung dalam merepresentasikan perempuan pribumi yang dalam pandangan operator bisa memenuhi ‘selera’ specatator Barat.

Kode-kode kultural itu bukan saja memberi bahasa ke spectator Barat, tetapi meneguhkan sifat rasial atas “the Orient”. Dalam foto atau arsip visual ini, performativitas gender dihadirkan dengan ‘bahasa’ yang dipahami oleh spectator melalui serangkain kode-kode kultural, kode-kode visual hingga referensi historis dan tekstual. Artinya, tindakan performatif terlebih dahulu tetap harus mempertimbangkan apa yang telah diakrabi oleh spectator Barat sebagai

111 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 143

112 “Butler uses theories of performativity to emphasise how gender is constructed and

non-natural, seeing it as an identification that is secured through the repeated performance of socially accepted signs of masculinity or femininity.” dalam Reina Lewis, hlm. 143

konsumen. Penampilan tersebut juga dihubungkan dengan serangkaian stereotip yang telah beroperasi dalam sistem klasifikasi Barat yang sudah ada sebelumnya. Reina Lewis mengungkapkan:

Karena setiap pengulangan performatif adalah peristiwa intersubjektif yang dinamis, itu akan berhasil atau gagal tergantung pada siapa yang terlibat dan sejarah dan kualitas individu mana yang mereka bawa untuk berpartisipasi dalam acara tersebut.113

Di sini yang dibutuhkan adalah semacam skenario transkultural—di mana model melakukan tindakan performatif dengan referensi kultural yang dimiliki oleh Barat, tanpa itu, ide pengulangan tindakan performatif belum tentu berhasil diterima. Isidore van Kindsbergen adalah salah satu operator yang memiliki kemampuan mengatur model berbekal atas pengalamannya sebagai sutradara. Ia menata mereka dalam pose tertentu secara teaterikal atau semacam berada di ruang dramatik menuruti ‘selera’ dan gagasannya. Jika identifikasi itu diubah, spectator Barat mungkin tidak akan mengenali atau gagasan itu tidak lagi memiliki makna. Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Lewis, identifikasi regional apakah itu Hindia Belanda atau Jawa sekali pun tidak sama dengan identifikasi rasial yang dikonstruksi Barat dalam wacana Orientalisme.

Pengulangan secara terus menerus kode-kode kultural melalui performativitas subjek dalam foto akan melahirkan suatu gagasan bahwa apa yang dilihat spectator adalah hal yang natural, termasuk apa yang diimajikan oleh operator dari perempuan pribumi. Pengulangan itu sekaligus merupakan pengaktifan kembali dan pengeksploitasian ulang seperangkat makna yang telah diterima secara sosial, dan itu biasa, sebagai sebentuk tindakan legitimasi.114 Perempuan pribumi di Hindia Belanda dipertontonkan dalam foto secara berulang-ulang, dikonsumsi secara visual, dipandang natural dan produk itu disebarkan dengan mudah ke skala global.

Di Timur Tengah, odalisque menjadi simbol seksualitas, eksotisme dan adegan sensual dari harem sekaligus tempat telanjangnya keindahan mereka berada di hamam (pemandian umum).115 Sedang di Hindia Belanda gagasan

113 Reina Lewis. Op.Cit, 167

114 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 193

semacam itu melekat pada perempuan Bali yang dianggap secara natural tampil bertelanjang dada. Berkebalikan dengan perempuan di harem yang terpenjara, perempuan Bali hadir di depan publik tanpa ragu memperlihatkan payudara mereka.

Odalisque dalam khasanah Orientalisme seringkali menjadi metafora seksual. Posenya mudah dikenali, dikaitkan dengan aksi provokatif secara seksual. Tubuh dipresentasikan seolah-olah dalam posisi beristirahat atau rebahan namun menyimpan apa yang menurut Damian Sutton sebut sebagai “kekuatan gairah”116 hingga mudah dikodekan sebagai erotisme Orientalis.

Foto Van Kindsbergen itu diberi judul Demi Mondaine, merujuk pada kode-kode kultural yang tentu sangat familiar bagi orang-orang Prancis—Le Demi Mondaine—karya drama yang ditulis oleh Alexandre Dumas Filho, sastrawan Prancis, dan diterbitkan pada tahun 1855. Sedang pose model dibuat dengan merujuk pada pose khas odalisque. Van Kindsbergen pasti telah mempertimbangkan secara cermat gagasannya ketika memproduksi foto tersebut. Foto itu dapat dikatakan telah mengantarkan imaji sang operator terkait gagasan perempuan pribumi Jawa, seperti apa yang ingin ia perlihatkan ke spectator-nya, “Hei, di Jawa ada Demi Mondaine loh!”—atau setidaknya ia mau berkata, “Beginilah Demi Mondaine Jawa!”

Bagi spectator laki-laki, gagasan seperti itu cukup provokatif. Gagasan Demi Mondaine jelas berbeda dengan performativitas seorang Nyai—yang sama-sama pribumi tetapi sosok Nyai memiliki peran sebagai istri pengganti dari istri pegawai kolonial. Dalam praktiknya Nyai benar-benar ada di Hindia Belanda. Nyai adalah kode-kode kultural yang tercipta di tanah koloni yang belum tentu sebagian besar spectator Barat memahaminya, seperti halnya baboe, sehingga penting dibuat teks-teks pendukung. Sayangnya dalam penelitian ini tidak dijumpai foto Nyai atau yang terkait dengan itu.

116 Damian Sutton. Photography, Cinema, Memory: The Crystal Image of the Time, hlm.

Gambar 13. “Odalisque” karya Edouard Manet ca. 1862-1866 Sumber: Gerard-Georges Lemaire (2000: 256)

Kembali pada konsep foto Demi Mondaine, jika diperhatikan secara jeli sangat mirip dengan pelukisan odalisque (perempuan harem) atau selir di Timur Tengah seperti lukisan di atas. Lukisan itu berjudul Odalisque karya Edouard Manet ca. 1862-1866117, berukuran 13 x 20 cm, koleksi Musee du Louvre, Orsay Collection, Paris118. Pose yang dihadirkan dalam Odalisque—Manet, tidak jauh beda dengan Demi Mondaine—Van Kindsbergen namun dengan media yang berbeda.

Dalam Orientalism: The Orient in Western Art (2000) karya Gerard-Georges Lemaire setidaknya Lemaire mempresentasikan sekitar 300-an lukisan yang bertema Orientalisme. Dari keseluruhan jumlah itu, yang dapat diidentifikasi menggambarkan odalisque dalam pose yang mirip dengan yang dilukis oleh Manet terdapat enam lukisan, yaitu: Odalisque, Mariano Fortuny y Marsal, 1861; Odalisque with a Slave, Jean Auguste Dominique Ingres, 1842; Grande Odalisque, Jean Auguste Dominique Ingres, 1814; Odalisque (or Algerian Woman), Auguste Renoir, 1870; dan Odalisque with Red Trousers, Henri Matisse, 1922. Tema odalisque bertahan cukup lama dan terus menginspirasi para pelukis Eropa dalam rentang 1814 hingga 1922 jika didasarkan pada lukisan-lukisan tersebut. Pose-pose yang dihadirkan dalam lukisan-lukisan itu umumnya adalah

117 Gerard-Georges Lemaire. Orientalism: The Orient in Western Art, hlm. 256

perempuan rebahan dengan tubuh telanjang atau setengah telanjang, penuh kesan erotis dengan pose-pose agresif.

Dengan merujuk pada pose itu, Van Kindsbergen mengkonstruksi imaji perempuan di Hindia Belanda sebagaimana halnya di belahan Timur Tengah. Karakter odalisque menjadi replikasi sekaligus simbol figur perempuan ‘Orient’. Upaya penciptaan produk budaya sebagaimana yang dilakukan Van Kindsbergen memiliki logika internalnya sendiri yang perlu untuk dipahami secara jeli sebagaimana diungkapkan Sarah Graham-Brown:

Di dunia visual yang menampilkan gambar-gambar tentang Timur, proses peminjamannya sama, dari literatur satu dari sumber-sumber visual lain, lantas digabungkan untuk menciptakan semacam budaya semu dengan logika internalnya sendiri.119

Pada 1840-an, ada permintaan tinggi untuk gambar Orientalis di Eropa tapi tidak cukup foto asli yang tersedia.120 Meningkatnya pangsa pasar itu bertahan hingga bertahun-tahun kemudian dan mendorong "Woodbury & Page" mulai menjual foto-fotonya di pasar Eropa, di antaranya melalui beberapa agen foto di Inggris. Di antara gambar yang ditunggu-tunggu adalah gambar-gambar yang tidak dikenali, yang aneh, dan yang eksotis.121 Banyak studio foto lantas membuat foto dengan stereotip Hindia Belanda. "Woodbury & Page" adalah salah satu firma yang memiliki koleksi foto “pribumi” terbesar di Hindia Belanda.122

Berkat tingginya permintaan pasar, replikasi kode-kode kultural semakin berkembang pesat di studio foto. Spectator tanpa perlu identifikasi rasial dan etnis, akan langsung tereferensi pada wacana Orientalisme dari Hindia Belanda. Maka yang muncul kemudian adalah pengulangan tema-tema sejenis di berbagai studio foto, seperti pose odalisque yang benar-benar hadir sangat ikonik bahkan di wilayah dengan kultur yang berbeda. Hal itu senada dengan yang diungkapkan oleh Sarah Graham-Brown:

“Banyak gambar yang berubah menjadi klise, terutama dalam fotografi perempuan, diambil dari repertoar tema yang sudah ada yang telah

119 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 7

120 Nissan N. Peres. Op.Cit, hlm. 102

121 Steven Wachlin. Op.Cit, hlm. 19

dibentuk oleh genre lukisan Orientalis yang telah berkembang, terutama di Prancis dan Jerman, dari paruh pertama abad ke-19.”123

Kembali pada gagasan Barthes, foto bisa memiliki makna konotatif— bahkan hingga berlapis-lapis dan letak semua pemaknaan itu bisa dijangkau salah satunya melalui kode kultural. Kode-kode kultural dimaksud adalah kode-kode yang telah ada sebelumnya, sebagaimana yang telah saya uraikan di atas, dari lukisan lantas diturunkan ke foto atau mungkin dari bidang lain seperti sastra. Namun apakah semua pose odalisque berkonotasi negatif? Sarah Graham-Brown menunjukkan sesuatu yang berbeda dari pose Huda pada sebuah foto. Huda adalah seorang gadis di keluarga Timur Tengah yang fotonya menjadi sumber penelitian Sarah Graham-Brown. Ia mendeskripsikan begini:

“Huda bersandar, dalam pose yang hampir mengingatkan kita pada banyak gambar Orientalis, namun ekspresinya tidak menyiratkan kepasifan atau kelesuan yang terkait dengan pose-pose itu.”124

Pose Huda mirip pose odalisque. Namun sorot matanya tajam menatap kejauhan. Sarah Graham-Brown menangkap gagasan operator yang memberi visi atas tatapan mata subjek dalam foto, yakni menampilkan sisi kegigihan yang tercermin di wajahnya, membuat subjek memiliki harapan yang tinggi dalam kehidupannya, seperti kesempatan sekolah. Jika diperbandingkan dengan foto Van Kindsbergen, visi seperti itu tidak saya jumpai dalam foto Demi Mondaine. Demi Mondaine lebih menawarkan performativitas erotis.

Dalam pandangan Butler, tindakan performatif itu hanya memiliki peluang keberhasilan jika mereka telah mengakumulasi “kekuatan otoritas melalui pengulangan atau kutipan dari serangkaian praktik sebelumnya yang berwibawa”.125 Karenanya, performativitas bukan sesuatu yang mengada-ada, melainkan memiliki sejarah, kultur, dan referensi yang dapat dikenali. Penggunaan pose odalisque seringkali direplikasi karena odalisque sudah dikenal dalam kultur Barat bukan semata karena tindakan performativitasnya melainkan ia sudah dihadirkan berulang-ulang oleh banyak perupa-perupa kenamaan, dalam catatan perjalanan yang ditulis para pelancong Eropa yang pernah mengunjungi Timur

123 Sarah Graham-Brown. Op.Cit, hlm. 40

124 Ibid, hlm. 82

Tengah, dikenali simbol-simbol yang menyertainya dengan kode-kode kultural tertentu, sehingga ketika Van Kindsbergen menggunakan model untuk berpose ala odalisque, spectator Barat akan langsung memiliki referensi atas sosok perempuan harem, selir, dan ketika foto itu diberi judul Demi Mondaine, model segera teridentifikasi sebagai perempuan simpanan, pelacur, perusak rumah tangga orang dan wacana di seputaran itu.

Demi Mondaine hanya salah satu bentuk gagasan operator terkait imaji erotisnya atas perempuan pribumi. Dalam penelitian ini penulis juga menjumpai foto telanjang sepasang perempuan yang dipresentasikan bak pasangan lesbian. Judul foto itu Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen yang menampilkan sepasang perempuan telanjang seperti sedang beradegan mesra satu sama lain dan Van Kindsbergen sebagai operator seperti memergoki mereka. Gagasan adegan itu tentu berkat kepiawaian dramaturgi Van Kindsbergen.

Tidak sebatas pada aksi atau tindakan model, kostum memiliki fungsi penting dalam tindakan performatif sebagai bagian dari kode-kode kultural yang referensi dimiliki oleh subjek foto, yakni etnis Jawa. Salah satu model Van Kindsbergen dalam foto telanjang itupun dilekati kain batik yang dibiarkan menjuntai jatuh di tangan kirinya. Batik di situ menjadi alat identifikasi guna membiasakan spectator Barat akan pengulangan sejenis. Identifikasi performatif secara rasial dan etnis diperlukan untuk memperkenalkan “the Orient” ke spectator Barat. Begitu pun kehadiran para perempuan aristokrat dalam foto dimunculkan sebagaimana dalam busana keseharian mereka ketika berada di kraton atau dalam balutan busana ritual upacara adat di kraton.

Menurut Reina Lewis, identifikasi perempuan Ottoman dapat dipahami sebagai performatif, sebagai identifikasi yang bekerja melalui pengulangan dari tanda-tanda perbedaan yang dapat dikenali secara sosial dan budaya, di antaranya melalui kerudung,126 yang dalam konteks perempuan pribumi, pakaian tradisional —seperti jarik, kemban, kebaya, konde, dan sebagianya—tidak dilenyapkan karena itu bagian dari performativitas mereka.

Bagaimana pun, budaya yang berbeda tidak akan memiliki mode pengaturan dan diskursif kekuasaan yang memacu tindakan performatif yang

berulang-ulang, tetapi ketika seseorang mencoba untuk menghadirkan identitas baru, subjek yang ditampilkan akan berisiko tidak dapat dikenali jika kode itu tidak dapat diterjemahkan lintas budaya.127 Kode-kode kultural itu ada yang bereferensi pengetahuan Barat yang sudah ada atau kode-kode yang mereka jumpai di tanah koloni dan dilaporkan, dicatat, dipublikasikan sehingga itu menjadi bagian dari referensi pengetahuan baru. Namun apakah pemaknaan atas kode-kode kultural terkait pribumi sesuai dengan apa yang berlaku di Hindia Belanda? Misalnya, perempuan Bali dilekati dengan imaji perempuan bertelanjang dada—“sebagai temuan Jacobs”—sebagaimana yang dikemukakan oleh Vickers128 ketika ia tiba di Bali pada 1881, sekitar lima belas tahun setelah Isidore van Kindsbergen. Di masa Van Kindsbergen, imaji perempuan bertelanjang dada hadir melalui potret para budak perempuan, di antaranya Iloeh Sari, I Mriyakti, ‘Brit’ atau beberapa budak lain. Di kalangan perempuan aristokrat maupun penari Bali, istri pendeta, hal semacam itu tidak dijumpai.

Ketika perempuan Bali ada yang dicitrakan lesbian sebagaimana ditulis dalam catatan perjalanan Jacobs yang informasinya sebagian besar ia peroleh dari Van der Tuuk, ahli bahasa dan etnogafer yang lebih dulu bermukim di Bali dan berselibat, apakah gagasan tersebut sejalan dengan pemaknaan yang ada pada masyarakat Bali?

Julius Jacobs, dokter yang ditugaskan di Hindia Belanda, yang memunculkan disposisi rasial dalam konklusi catatan perjalanannya bahwa orang pribumi, dalam konteks ini perempuan Bali, lebih rendah dari perempuan Eropa. Mereka “primitif”, bukan saja karena payudaranya yang terbuka tetapi Jacobs dengan asumsi ilmiahnya melakukan perbandingan terkait ukuran kelamin perempuan Bali yang dihubungkan dengan kecenderungan aktivitas seksual mereka yang berlebihan. Catatan perjalanan Jacobs, menurut Vickers, adalah tonggak penting dalam transformasi citra Bali dalam imajinasi Eropa.129 Bali yang sebelumnya pemberontak dan berjiwa amok kemudian dikenal sebagai Bali yang eksotis dengan citra perempuan bertelanjang dada yang terus menerus dipelihara bahkan bagi penulis dan peneliti sesudah Jacobs. Imaji itu terus menginspirasi

127 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 167

128 Vickers menyebutnya dengan “the man who discovered the Balinese female breast”,

dalam Adrian Vickers. Op.Cit, hlm. 119

penulis yang berkunjung ke Bali kemudian. Payudara perempuan Bali adalah bagian erotis yang paling menggoda tatapan Barat. Menurut Hickman Powell dalam The Last Paradise:

“Janji erotis pulau itu menampakkan dirinya manakala ‘syal di bahu itu jatuh dengan cerobohnya dan mangkuk perunggu dari buah dada gadis itu menggambarkan bentuk segitiga, bayangan yang begitu hidup.”130

Nuansa erotis sangat kental dari catatan itu bahwa Bali adalah sebuah pulau yang menyuguhkan gadis-gadis dengan buah dada terbuka dan itu bukan bayangan. Itu adalah kenyataan yang bisa dijumpai di Bali sehari-hari. Bagi mereka yang belum mengunjungi pulau tersebut, narasi semacam itu sangat menjanjikan dan menimbulkan hasrat untuk berkunjung ke sana.

Kembali pada gagasan lesbian dalam foto Van Kindsbergen, lesbian dipandang sebagai “the third gender” atau “liyan”. Hal itu dianggap sebagai suatu praktik irasional, seperti siapa yang lantas akan berperan sebagai “ayah” dan “ibu” di antara mereka; atau gagasan bahwa perempuan mengingkari kodratnya dalam fungsi reproduksi, dan sebagainya. Butler sendiri menunjukkan barangkali itu hanya semacam “ketakutan” laki-laki dalam wilayah heteroseksual yang terancam:

Significantly, this description of lesbian experience is effected from the outside and tells us more about the fantasies that a fearful heterosexual culture produces to defend against its own homosexual possibilities than about lesbian experience itself.131

Dengan menunjukkan keberadaan lesbian dalam suatu masyarakat tertentu, imaji ‘terbelakang’, ras yang rendah, mudah dilekatkan atas kelompok mereka. Kiranya itu yang dimaui oleh operator, sebagaimana Jacobs yang memberikan alasan-alasan ilmiah, termasuk bukti-bukti fisik dari tubuh perempuan atas perilaku ‘menyimpang’ semacam itu. Dalam penelitian semacam ini fisiognomi ras bukan sekadar masalah warna kulit atau struktur tulang, tetapi dari perkembangan semua bagian tubuh, terutama payudara, organ seksual dan