• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMAJI (KOLONIAL) ATAS PEREMPUAN PRIBUMI: Potret Perempuan Jawa dan Bali dalam Arsip Foto,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMAJI (KOLONIAL) ATAS PEREMPUAN PRIBUMI: Potret Perempuan Jawa dan Bali dalam Arsip Foto,"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

IMAJI (KOLONIAL) ATAS PEREMPUAN PRIBUMI:

Potret Perempuan Jawa dan Bali dalam Arsip Foto, 1850-1912

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelas Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh: Dyah Indrawati

156322012

Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2020

(2)

KATA PENGANTAR

Tesis ini bermula dari aktivitas saya yang sering menjumpai dan menggunakan arsip-arsip, termasuk arsip kolonial, dalam penulisan di bidang sejarah. Foto adalah salah satunya. Perjalanan menuju ke penulisan tesis ini melalui banyak “onak dan duri” tapi bagaimana pun setelah mendapatkan buku-buku referensi dan pemilihan fokus atas karya foto yang diteliti, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.

Tentu tanpa bimbingan dan kesabaran Mbak Katrin Bandel, saya tidak yakin bisa merampungkan tesis ini—“saya mengucapkan banyak terima kasih, Mbak!”

Bukan hanya itu, proses pembelajaran di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma—sebagai almamater saya sebelumnya di Ilmu Sejarah—awalnya tanpa perhitungan yang cermat hingga di tengah jalan saya kehabisan “amunisi”. Perjalanan itu tidak mungkin berlanjut tanpa “infus” dari orang-orang baik yang saya jumpai—seorang donatur beasiswa anonim dari Jakarta (terima kasih); pekerjaan-pekerjaan di antara masa studi berkat kebaikan hati Romo G. Budi Subanar (terima kasih), Romo Baskara T. Wardaya (terima kasih) dan pilihan untuk kembali ‘melanglang’ di tengah tagihan tesis yang belum kunjung usai—Mas Dedy (terima kasih).

Pengetahuan dari para Guru: Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, SJ., Dr. Albertus Budi Susanto, SJ., Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ., Dr. Katrin Bandel, Dr. Tri Subagya, M.A., Ph.D., Dr. Yustina Devi Ardhiani, Prof. Dr. A. Supratiknya, Dr. phil. Vissia Ita Yulianto, kesemuanya saya ucapkan terima kasih. Tentu ruang dan IRB tidak akan indah tanpa Mbak Desy, Mbak Dhita, Mas Mul yang melahirkan kehangatan. Juga Angkatan 2015—saya yang terakhir ya jadi jangan ada “cemburu” di antara kita!

Dukungan terbesar dalam hidup saya adalah keluarga besar saya: Bapak Moelyono, Edy Susilo, Yeni Puspitasari, Ibu Suyati almr. (kalian adalah berkah terbesar yang aku miliki dalam kehidupan ini: terima kasih telah mencintaiku dan menjagaku!).

(3)

Saya berharap penelitian ini dapat memberi secercah arti dalam bidang sejarah dan fotografi. Saya sadar bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan.

Yogyakarta, 24 Juli 2020 Dyah Indrawati

(4)

ABSTRAK

Fotografi pada masa kolonial merepresentasikan perempuan pribumi dalam berbagai citra. Arsip-arsip foto perempuan dari masa kolonial menyimpan citra yang dibangun oleh para operator pada masa kolonial, termasuk perempuan Jawa dan Bali yang menjadi fokus di sini. Arsip seringkali dipandang menyimpan kebenaran atas suatu peristiwa di masa lalu. Hingga hari ini sebagian besar orang menilai foto-foto perempuan pribumi dalam arsip kolonial dianggap sebagai kebenaran. Fenomena itu cukup mengganggu dan menggelisahkan saya. Kenyataannya, sebuah foto tidak bisa dilepaskan dari operator yang mengoperasikan kamera dengan segala kuasanya.

Pada awal masuknya teknologi fotografi di Hindia Belanda, hanya orang-orang Eropa yang bisa mengoperasikan kamera. Melalui kamera pemerintah kolonial Belanda dapat melihat lebih dekat tanah koloninya. Kamera dan foto menjadi alat legitimasi baru sebagai bagian dari aparatus kolonialisme. Penelitian ini mengemukakan tiga rumusan masalah (1) bagaimana fotografer pada masa kolonial (1850-1912) mengimajikan tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali); (2) bagaimana imaji/ citra yang diproduksi tersebut berhasil mengkonstruksi tubuh perempuan hingga dipahami sebagai sesuatu yang bersifat natural; dan (3) Bagaimana relasi kuasa kolonial mempengaruhi performativitas gender dalam foto?

Ada tiga operator yang 10 karya fotonya digunakan dalam analisis ini, yaitu Isidore van Kindsbergen, Kassian Cephas, dan “Woodbury & Page”. Di tangan operator bermain kode-kode kultural yang ditempatkan secara sadar guna membentuk konotasi yang dapat dengan mudah dipahami oleh spectator Barat. Melalui studium dan punctum dalam “Camera Lucida” Roland Barthes, gagasan pada foto diuraikan. Makna fotografis diungkapkan. Yang dijumpai tentu serangkaian wacana Orientalisme yang “dilekatkan” pada foto-foto perempuan pribumi.

Melalui teori performativitas gender karya Judith Butler yang saya peroleh dari kajian Reina Lewis tentang Rethinking Orientalisme, saya memahami ada ketimpangan relasi kuasa dalam kaitan antara operator dan subjek dalam foto.

Operator membentuk citra perempuan pribumi lebih pada apa yang diimajikan operator atas subjek, bukan bagaimana subjek “ingin tampil” seperti apa dan

sebagai siapa. Subjek hanya “perform” sesuai arahan operator. Ia mem-“perform”-kan subjek yang bukan diri mereka hingga performativitas yang dihadirkan adalah performativitas yang “direkayasa”. Namun melalui teori ambivalensi Homi K. Bhabha dapat diketahui bahwa sesungguhnya baik dari pihak “colonizer” maupun “colonized”, pada masing-masing subjek terjadi tarik menarik sikap yang memunculkan kemampuan mimikri dan hibrid, termasuk dalam mem-“perform”-kan citra subjek sesuai dengan identitas yang hendak dibentuk oleh operator.

Kata Kunci:

(5)

ABSTRACT

Photography in the colonial era represented indigenous women in various images. Women’s photo archives from the colonial era preserve images which built by operators in the colonial period, including Javanese and Balinese women whose are our focus in here. Archives are often considered to keeping the truth of an event in the past. Today most people seen the photographs of indigenous women in the colonial archives to be regarded as the truth. This phenomenon is quite disturbing and unsettling me. In fact, a photo cannot be released from the operator who operates the camera with all his power.

At the beginning of the coming of photography technology in the Dutch East Indies, only Europeans could operate the cameras. Through the camera the Dutch colonial government can get a look at the land of its colonies closer. Cameras and photos became new tools of legitimacy as part of the colonialism apparatus. This study presents three problems: (1) how photographers during the colonial period (1850-1912) presented the bodies of indigenous women (Javanese and Balinese); (2) how the image produced constructs a woman’s body successfully to be understood as something that is natural; and (3) How does the relations of colonially power affect gender performative in the photographs?

There are three operators whose 10 photographic works are used in this analysis, namely Isidore van Kindsbergen, Kassian Cephas, and “Woodbury & Page”. Operator playing cultural codes consciously to form connotations that can be easily understood by Western spectators. Through the “studium” and “punctum” of Roland Barthes in “Camera Lucida”, the ideas in the photo are elaborated. The meaning of photography is expressed. What I found is of course a series of discourses of Orientalisme which are “attached” to photograph of indigenous women.

Through the theory of gender performative by Judith Butler that I obtained from Reina Lewis's research in “Rethinking Orientalisme”, I understood that there was an imbalance of power relations in between operators and subjects in the photos. Operators form the image of indigenous women more on what his believe on the subject, not on how the subject “wants to appear” as what and as who she is. Subjects only “perform” according to the direction of the operator. They “performs” subjects that are not themselves until the performative presented it is a “engineered” performativity. However, through the theory of Homi K. Bhabha's ambivalence it could be seeing that in fact both from the "colonizer" and "colonized", in each subject there is a tug of war that raises the abilities of mimicry and hybrid, including in "performing" the image of the subject by accordance with the identity to formed by the operator.

Keywords:

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR ILUSTRASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tema ... 11 C. Rumusan Masalah ... 11 D. Tujuan Penelitian ... 11 E. Manfaat Penelitian ... 11 F. Kajian Pustaka ... 12 G. Kerangka Teori ... 16

1. Teori “Orientalisme” Edward W. Said ... 17

2. Teori “Male Gaze” ... 18

3. Teori “Camera Lucida” Roland Barthes ... 19

4. Teori “Performative Gender” Judith Butler dalam Reina Lewis “Rethinking Orientalisme” ... 22

5. Teori“Ambivalensi” Homi K. Bhabha ... 25

H. Metode Penelitian ... 26

1. Sumber Data ... 26

2. Seleksi Foto ... 26

(7)

I. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II FOTOGRAFI DI JAWA DAN BALI KURUN 1850-1912 ... 30

A. Ketika Daguerreotype Tiba di Hindia Belanda ... 30

B. Kisah Tiga Fotografer ... 36

1. Kassian Cephas (1845-1912) ... 36

2. Isidore van Kindsbergen (1821-1905) ... 39

3. “Woodbury & Page” ... 40

C. Jejaring: dari Lembaga Pemerintah ke Studio Foto, Kartu Pos, hingga Ruang-ruang Pameran ... 42

D. Rangkuman ... 47

BAB III MENGUNGKAP MAKNA DALAM ARSIP FOTO ... 49

A. Fotografi Orientalis dan Male Gaze ... 49

B. Wacana Orientalisme dalam Foto Perempuan Pribumi ... 50

1. Erotisme Perempuan Pribumi ... 51

2. Eksotisme Perempuan Pribumi ... 61

3. Figur yang Terdomestikasi ... 65

4. “Liyan”, Sisi Lain Potret Perempuan Pribumi ... 72

C. Rangkuman ... 73

BAB IV PERFORMATIVITAS GENDER DAN AMBIVALENSI WACANA KOLONIAL ... 76

A. Mengurai Kode-kode Kultural dalam Arsip Foto Perempuan Pribumi ... 76

B. Performativitas Gender dalam Arsip Foto ... 96

C. Ambivalensi Wacana Kolonial ... 102

D. Rangkuman ... 110 BAB V PENUTUP ... 111 A. Kesimpulan ... 111 B. Rekomendasi ... 115 DAFTAR PUSTAKA ... 116 LAMPIRAN ... 119

(8)

DAFTAR ILUSTRASI

Gambar 1. Women in Traditional Javanese dress ... 3

Gambar 2. Het Meisje met de Parel atau “Girl with a Pearl Earring” ... 4

Gambar 3. “Demi Mondaine”: Perempuan muda keturunan campuran (nonna) berbaring di sofa ... 50

Gambar 4. Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen ... 53

Gambar 5. Iloeh Sari, budak raja Buleleng, Bali ... 56

Gambar 6. Dua budak Raja Buleleng: I Luh Sari dan I Mriyakti ... 57

Gambar 7. Foto studio gadis Jawa duduk di atas dedaunan, jerami, dan batang pohon ... 62

Gambar 8. Foto studio gadis Jawa dengan latar kanvas berlukiskan bunga dan pohon ... 63

Gambar 9. Tiga Putri dari Sultan Hamengku Buwana VI ... 65

Gambar 10. Dua istri Raja Buleleng, Singaraja: Djero Trena dan I Djampiring ... 67

Gambar 11. Gusti Kangjeng Ratu Hemas, permaisuri Sultan Hamengku Buwana VII sejak 1883 ... 69

Gambar 12. Albert John Leonard Woodbury dengan baboe-nya ... 71

Gambar 13. “Odalisque” karya Edouard Manet ca. 1862-1866 ... 81

Gambar 14. Visualisasi perempuan Jawa dalam “Serat Damar Wulan” yang dibuat orang Jawa ... 108

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Abad ke-19 adalah zaman kolonisasi dan imperialisme yang diiringi dengan temuan berbagai teknologi modern. Fotografi adalah salah satunya. Perkembangan teknologi memungkinkan negeri-negeri koloni yang jauh dapat dihadirkan dalam beragam gambar. Dalam fotografi Orientalis, salah satu tema yang paling sering dihadirkan adalah perempuan pribumi.

Gambaran visual tentang perempuan pribumi seolah-olah sebagai representasi netral atau apa adanya namun sebenarnya perempuan-perempuan itu dipandang secara rasis. Mereka ditatap sebagai “the Orient” yang identik dengan penggoda, liar, terbelakang atau bahkan dipandang sebagai “liyan”. Begitu pun tanah jajahan yang merupakan Timur secara geografis yang dimetaforakan sebagai perempuan. Untuk itu, fotografi dari masa kolonial yang menggambarkan gagasan-gagasan semacam itu layak dibicarakan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Edward Said bahwa Timur yang tampak dalam Orientalisme tak lain merupakan sejenis sistem representasi yang dirangkai oleh seluruh kekuatan yang membawa Timur itu sendiri ke dalam keilmuan Barat, kesadaran Barat, dan kemudian, keimperiuman Barat.1 Gagasan itu dipertegas Said dengan mengemukakan bahwa Orientalisme tak lain adalah produk-produk dari kekuatan-kekuatan dan kegiatan-kegiatan politis tertentu.

Fotografi menjadi salah satu produk Orientalisme yang mengimajikan Timur dan peradabannya, orang-orangnya, lokalitasnya sebagai objek dengan kesan tertentu dan berhasil menghadirkan detail yang memikat saban orang yang melihatnya. Kehadiran produk fotografi di Hindia Belanda pada awalnya “dikontrol” dalam berbagai bentuk, seperti: melalui serangkaian penelitian peradaban eksotik, dokumen antropologi, pelengkap kajian etnografi hingga bergerak ke arah turisme, konsumerisme, dan sebagainya.

1 Edward W. Said. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur

(10)

Hal tersebut menciptakan relasi antara “Timur” dan “Barat”, antara penjajah dan yang terjajah, tidak seimbang. Hasil penelitian Sarah Graham-Brown terkait fotografi Orientalis di wilayah Timur Tengah pada masa kolonial mengungkapkan bahwa yang mendasari semua tema itu adalah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara penjajah dan yang terjajah.2 “Timur” direpresentasikan dan dijadikan subjek yang menyokong superioritas identitas “Barat”. Yang terjajah seringkali dilihat oleh penjajah sebagai subjek yang lemah atau inferior. Fotografi Orientalis seolah melengkapi gambaran keilmuan, laporan-laporan dan cerita-cerita yang telah disusun oleh “Barat”. Sistem representasi memperkuat Orientalisme sebagai aparatus kebudayaan dan mempersembahkan “Timur yang diciptakan untuk Barat.”3

Arsip foto kolonial menyimpan banyak representasi atas sejumlah perempuan pribumi. Gagasan penelitian ini salah satunya dipantik oleh sebuah kejadian viral di media sosial. Dea, seorang aktivis dan feminis, pada sekitar awal tahun 2016 mengunggah 22 foto perempuan pribumi di laman Facebook. Akun yang ia buat langsung booming namun kemudian dilarang tayang oleh Facebook. Bukan hanya itu, akun Dea dihapus. “22 Pictures of The Real Culture of Indonesian Women”, demikian foto-foto itu diberi label, mengandung apa yang menurut Facebook ketelanjangan dalam taraf ringan sehingga dianggap tidak pantas tayang. Foto-foto tersebut dipahami sebagai representasi realitas kehidupan perempuan pribumi dari masa lalu. Tidak sebatas itu, foto-foto perempuan Bali misalnya, seringkali diasumsikan sebagai potret kebebasan perempuan di masa lalu yang paling sering dibandingkan dengan kebebasan perempuan di masa kini. Bukan itu saja, foto-foto perempuan pribumi dari masa kolonial juga kerap menghiasi sampul buku, misalnya dalam buku “Bila Perempuan Tidak Ada Dokter”, “Sejarah Perempuan Indonesia”, “Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh”, dan sebagainya, yang dihadirkan sekadar visual.

2 Sarah Graham-Brown. Images of Women: The Portrayal of Women in Photography of

the Middle East 1860-1950, hlm. 4

(11)

Gambar 1. Women in Traditional Javanese dress, ca. 19344

Kasus Dea pada mulanya belum “mengganggu” saya. Foto 1. di atas adalah satu di antara 22 foto yang ditayangkan. Sebagai spectator kesan yang saya dapat, betapa eloknya gambaran perempuan Jawa dengan punggung setengah terbuka berdandan ayu, terkesan anggun dan natural. Namun semakin saya amati, ada rasa bahwa pose5-nya itu tidak biasa. Pada foto, ia terlihat berkacak pinggang,

duduk dengan membelakangi kamera sambil memperlihatkan separuh wajahnya yang seakan-akan hendak berpaling. Ia mengenakan kain jarik tulis denganan giwang yang menyolok, merias wajah dan bersanggul rapi. Dari sorot matanya, saya menangkap sekilas ia sadar akan kehadiran operator. Asumsi saya, ia adalah seorang model. Foto itu hasil karya fotografer P.N. de Leeuw yang dibuat ca. 1928-1932.

4 Diunduh dari

https://www.wowshack.com/the-real-culture-of-indonesian-woman-historical-pictures-facebook-didnt-want-you-to-see/

5 Pose adalah hasil penangkapan dari proyeksi imobilitas foto pada tembakan terakhir,

(12)

Gambar 2. Het Meisje met de Parel atau “Girl with a Pearl Earring”6 karya Johannes Vermeer, koleksi Museum Maurithuis

Pose perempuan Jawa itu mengingatkan saya pada lukisan Het Meisje met de Parel (“Girl with a Pearl Earring”)7 karya Johannes Vermeeer yang dibuat pelukisnya sekitar tahun 1665—karya monumental dari periode Barok, Masa Keemasan dalam seni rupa Belanda. “Girl with a Pearl Earring” ini lebih sering disebut dengan Mona Lisa Belanda. Pose pada foto dengan di lukisan tidak sama persis memang, tetapi giwang yang dikenakan model di foto terasa paling menarik mata, seperti halnya anting mutiara yang dipakai sosok si gadis dalam lukisan. Pose dalam lukisan itu, rasa-rasanya pun mirip, hingga saya merasa bahwa apa yang saya lihat seperti diturunkan dari seni rupa ke seni fotografi.

Menurut Roger Benjamin, seni lukis dan fotografi adalah impor kolonial, yang praktiknya penting untuk mewakili yang dijajah dan karenanya membawa mereka ke ruang lingkup orang Eropa.8 Termasuk perkara selera. Produk impor itu lantas digunakan untuk membentuk persepsi masyarakat terjajah dan yang digarisbawahi oleh Benjamin sebagai prejudices informing the typical Orientalist

6 Diunduh dari

https://www.mauritshuis.nl/en/explore/the-collection/artworks/girl-with-a-pearl-earring-670/

7 Lukisan tersebut saat ini menjadi koleksi Museum Maurithuis di Den Haag

8 “The arts of painting and photography were colonial imports, whose practice was

central to representing the colonized and hence bringing them into the purview of Europeans” dalam Roger Benjamin. Orientalist Aesthetics: Art, Colonialism, and French North Africa, 1880-1930, hlm. 221

(13)

picture9, atau menjadi semacam prasangka yang menginformasikan tentang bagaimana gambaran khas Orientalis.

Gagasan itu dipertegas oleh Ali Behdad terkait pandangannya atas fotografi Orientalis dalam Camera Orientalist: Reflections on Photography of the Middle East sebagai berikut:

“An Orientalist photograph is an imaginary construct, through always historically and aesthetically contingent; it is marked by iconic fractures and ideological fissures yet is nonetheless regulated by a visual regime that naturalizes its particular mode of representation.10

Fotografi Orientalis adalah bentuk konstruksi imajiner yang secara historis dan estetis, ditandai dengan potongan-potongan ikonik dan celah ideologis yang diatur sedemikian rupa oleh rezim visual, yakni operator, yang menaturalisasikan dengan serangkaian mode representasi khusus. Hasil dari konstruksi imajiner itu akan menampakkan hasil yang tampak natural, alami, seolah begitulah adanya. Sebagaimana pose pada gambar di Gambar 1. yang tertangkap dalam sekali tatapan mata, tentu tidak akan menimbulkan kegelisahan, karena bagaimana pun mata kita telah terbiasa melihat pose-pose sejenis, terlebih dalam perkembangan fotografi modern pose itu masih sering dipertahankan. Namun mengingat bahwa foto adalah produk yang berbasis waktu, maka nalar saya mempertanyakan, apakah pose semacam itu pada waktu itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah bagi perempuan Jawa?

Satu hal yang menarik, gagasan yang setidaknya bisa saya contoh adalah ulasan yang cukup mendetail dari Adrian Vickers dalam paparannya yang menjelaskan pose “The Dancing Girl”11, foto yang dipotret oleh Thilly Weissenborn. Foto Thilly Weissenborn terkait gadis penari Bali, menurut Vickers menunjukkan bagian Bali yang misterius. Ia bak memberi iming-iming spectator agar datang ke Bali. Tangan gadis itu seolah mengisyaratkan kita untuk ke sana, tapi pada saat yang bersamaan si gadis tidak melihat langsung ke arah kamera. Ia tampak indah, sekaligus rumit. Ia mengenakan kostum penari dan tidak topless,

9 Roger Benjamin. Op.Cit, hlm. 221

10 Ali Behdad. Camera Orientalis: Reflections on Photography of the Middle East, hlm.

17-18

(14)

sebagaimana gambaran umum potret perempuan Bali yang dipresentasikan secara terus menerus ke publik “Barat”. Pose gadis itu pun tidak biasa. Gadis-gadis Bali tidak duduk bersila. Tapi ia bersila. Apakah ia bersila atas inisiatif sendiri atau Weissenborn mengatur posenya untuk tampil seperti itu? Meski terasa ganjil, foto sejenis itu menjadi foto yang cukup sering direproduksi untuk pamflet wisata Bali di kemudian hari.

Fokus tulisan ini berupaya mengetahui imaji apa yang dilekatkan oleh operator atau fotografer atas perempuan pribumi, khususnya Jawa dan Bali, dalam arsip foto yang diproduksi pada era 1850-1912. Pertanyaannya kemudian, mengapa penelitian ini membatasi diri pada potret perempuan Jawa dan Bali, sementara persentuhan wilayah di Nusantara dengan kolonialisme nyaris meliputi seluruh kepulauannya? Bukankah sudah banyak foto perempuan di pelosok lain dari wilayah di Nusantara yang telah dibuat oleh para operator?

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia lahir dari gagasan yang “dibayangkan” pada awal abad ke-20 mengacu pada pandangan Imagined Community12, Benedict Anderson. Komunitas terbayang tercipta berkat “kapitalisme percetakan” (print-capitalism): mulai dari penerbitan koran, buku-buku, dan perkembangan pasar berhasil mempercepat laju komunitas yang dibayangkan ini hingga nasionalisme muncul sebagai fenomena atas kolonialisme.

Sebelum fenomena nasionalisme mengemuka, Jawa dan Bali sebagai sebuah wilayah dengan sistem pemerintahan berbasis kraton, telah mewakili perjumpaan dengan kolonialisme dalam rentang waktu yang cukup panjang. Perjumpaan itu jelas telah berebut ruang secara kultural untuk kemudian melahirkan wacana-wacana baru melalui beragam produk budaya.

Jawa terhitung telah bersinggungan dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sejak era Panembahan Senapati Ingalaga (ca. 1584-1601) dengan kedatangan Rijklof van Goens, duta VOC yang mengunjungi Mataram, pada pertengahan abad ke-17.13 Orang Belanda sendiri tiba di Jawa pada akhir abad ke-16. Hubungan yang terjalin pada waktu itu lebih berelasi pada kontrak-kontrak dagang dan perijinan antara Kongsi Dagang dari Belanda itu dengan

12 Benedict Anderson. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of

Nationalism, hlm. 127

(15)

Mataram. Hingga pada tahun 1625, muncul suatu kekuatan baru di Jawa, yaitu VOC di Batavia.14 Mataram yang awalnya melakukan penaklukan atas beberapa kerajaan di Jawa mulai beralih menghadapi orang-orang Eropa itu. Mataram menyerang Batavia dua kali, yakni pada tahun 1625 dan 1629. Pada serangan kedua, Gubernur Jendral VOC, Jan Pieterszoon Coen meninggal karena kolera— akibat taktik perang Mataram yang mengusung siasat wabah. Kedua serangan itu tidak berhasil mematahkan kekuatan VOC di Batavia hingga kemudian yang terjalin adalah hubungan dagang antara Mataram dan VOC.

Fase selanjutnya, VOC lebih agresif melihat kekuatan Jawa yang tidak begitu saja bisa diremehkan. Mereka mulai mengembangkan kekuatan militer. Kondisi politik Jawa pada masa Amangkurat I (ca. 1646-1677) yang otoriter dan banyak pembantaian atas rakyatnya sendiri menyebabkan munculnya pemberontakan atas kekuasaanya sebagai penguasa Jawa. Ia sampai melarikan diri ke Tegal Wangi. Berkat kerja sama dengan VOC, tampuk kekuasaannya bisa dikembalikan kepada anaknya. Sejak saat itu, VOC seolah-olah tidak bisa dilepaskan dari perjalanan kraton-kraton di Jawa hingga masa-masa berikutnya.

Perjumpaan yang cukup lama dengan kolonialisme berwajah kongsi dagang itu menampilkan Jawa sebagai wilayah yang memiliki historisitas panjang dengan Eropa. Demikian kiranya mengapa kemudian Jawa dengan peradabannya yang panjang dan memiliki nilai—salah satunya dilabeli Javanese antiquarian— menjadi representasi Hindia Belanda di Eropa. Pada tahun 1799, VOC sebagai perusahaan dagang berhenti beroperasi karena bangkrut dan digantikan dengan kolonialisme resmi Belanda atas Hindia Belanda.

Berbeda halnya dengan Bali. Pulau di seberang Jawa ini pada awal perjumpaan dengan Belanda sebagai pemberontak. Bali bahkan memiliki sejarah sebagai pemasok prajurit-prajurit Belanda telah menghadapi prajurit-prajurit Bali di Jawa pada abad ke-18 dan juga menjadi pembeli utama budak-budak Bali, yang banyak di antaranya bertugas dalam pasukan VOC dan angkatan perang kolonial.15 Bali sebagai wilayah yang dekat dengan Jawa memiliki posisi unik. Mereka sering melakukan perampokan dan perampasan kapal-kapal kolonial Belanda dan itu membuat geram. Pada akhir tahun 1840 ada dua faktor yang meyakinkan pihak

14 M.C. Ricklefs. Op.Cit, hlm. 67

(16)

Belanda bahwa Bali harus ditempatkan di bawah pengaruh mereka (kolonial), yaitu perampokan dan perampasan yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap kapal-kapal yang terdampar dan adanya kemungkinan kekuatan Eropa lainnya akan menguasai Bali.16 Pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan duta Belanda kepada raja-raja Bali guna membuat perjanjian. Namun ketegangan masih terus terjadi setelah itu hingga puncaknya adalah aksi puputan—tindakan menyongsong kematian dalam pertempuran yang terakhir—dari raja-raja Bali beserta keluarga dan pengikutnya. Bali yang pemberontak perlahan diubah citranya oleh Belanda sebagai pulau eksotis.

Dua wilayah tersebut jelas memiliki ruang geo-politik yang berbeda dan menjadi daya tarik tersendiri sehingga imaji kolonial tentang perempuannya pun ditampilkan secara berbeda. Kedua wilayah itu dalam masa kemunculan daguerreotype telah dikunjungi oleh para fotografer yang “mengabadikan” manusia dan budayanya, termasuk para perempuannya.

Melalui tulisan ini saya hendak merunut pemahaman tentang bagaimana sebuah wacana Orientalisme bekerja melalui produk budaya seperti foto. Gagasan ini mengambil pijakan penelitian sejenis dari wilayah di Timur Tengah sebagai karya-karya pendahulu. Dalam konteks Timur Tengah, perjumpaan kolonialisme dan teknologi fotografi menandai perkembangan Orientalisme visual modern. Ali Behdad dalam “Camera Orientalis” mengemukakan bahwa asal fotografi adalah “the Orient” atau “Timur”17. Pandangan Ali Behdad tersebut dikemukakannya untuk memberi perhatian lebih atas sentralitas Timur Tengah sebagai “the Orient”. Namun “the Orient” atau “Timur” yang disebut Behdad adalah “Timur” yang memainkan peran penting bukan semata dalam pengembangan teknologi fotografi, tetapi juga sebagai objek penting dalam imajinasi fotografi Orientalisme. Di sini dapat dipahami “Timur” yang dimaksud Behdad adalah objek sekaligus subjek.

Kajian atas pandangan Orientalisme fotografi di Hindia Belanda memang tidak sekaya hasil penelitian sejenis di Timur Tengah. Teknologi yang dipatenkan atas nama Jean Louis Daguerre, seorang Prancis, yang mendapatkan haknya pada Agustus 1839, kemudian dikenal luas dengan daguerreotype akhirnya memasuki

16 M.C. Ricklefs. Op.Cit, hlm. 203

17 “At the Origin of photography is ‘the Orient’,” dalam Introduction, Ali Behdad.

(17)

wilayah Hindia Belanda. Isidore van Kindsbergen adalah salah satu “pioner” fotografi di Hindia Belanda yang meletakkan jejak karya fotografis yang berhasil mendokumentasikan Hindia Belanda dalam kaitannya dengan bidang antropologi, antiquarian, etnografi, budaya dan sebagainya.

Mengapa arsip fotografi pada masa kolonial dipandang penting untuk diselidiki kembali? Meminjam gagasan Walter Benjamin, “Dalam fotografi, proses reproduksi dapat memunculkan aspek-aspek asli yang tidak dapat dicapai ke mata telanjang namun dapat diakses oleh lensa, yang dapat disesuaikan dan memilih sudutnya sesuka hati. Reproduksi foto, dengan bantuan proses-proses tertentu, seperti argumentasi atau gerak lamban, dapat menangkap gambar yang luput dari penglihatan alami.”18 Artinya, foto dapat dipandang memiliki kemampuan membuat salinan dari yang “asli” bahkan ke dalam bentuk dan situasi di luar jangkauan dari yang “asli” itu sendiri.

Sebelum itu, arsip visual lebih banyak dibuat dalam bentuk sketsa, lukisan atau litografi. Kedatangan teknologi fotografi mengubah wajah arsip kemudian. Foto mampu menyajikan detail meski pada awal kehadirannya hanya menyajikan warna hitam dan putih. Foto-foto perempuan pribumi dari masa kolonial adalah salah satu yang “memukau” dan “mengikat” mata saya. Saya bisa berlama-lama memperhatikannya. Sebagai spectator pengamatan saya tidak lagi tanpa dasar dan tanpa tanya. Ada beberapa hal yang “mengganggu” ketika saya merasai studium, seolah saya berada di satu zaman tertentu. Foto seperti memiliki kekuatan untuk membawa spectator menembus sekat waktu, sesuatu yang sepertinya ingin dibagikan oleh operator, mata fotografer yang seolah berubah sebagai lensa. Tapi rasanya bukan itu saja. Semakin diperhatikan, kadang ada foto yang semakin “mengganggu” pikiran saya.

Berbekal atas asumsi dan kegelisahan itu, saya berniat mengkaji lebih mendalam karya foto dari tiga fotografer yang ketiganya pernah bekerja di Hindia Belanda. Mereka adalah: Isidore van Kindsbergen, Kassian Cephas, dan “Woodbury & Page”—yang terakhir ini sebenarnya adalah satu merek firma studio foto yang dikelola oleh Woodbury dan Page (dua orang).

(18)

Dalam foto, tubuh perempuan diartikulasikan bukan oleh perempuan itu sendiri, melainkan oleh operator. Di sini, perempuan dalam arsip foto tidak memiliki kapasitas untuk membebaskan diri. Ia tampil dan ditampilkan atas hasrat si maskulin—rerata teknologi fotografi pada masa kolonial dioperasikan oleh laki-laki.

Sayangnya, di negeri bekas jajahan ini, arsip foto perempuan dari masa kolonial masih dianggap sebagai sebuah kebenaran tanpa dilandasi pikiran kritis bahwa foto adalah produk budaya, yang dalam hal ini produk budaya kolonial, dan sudah tentu menjadi kepanjangan tangan dari kolonialisme. Tanpa bekal pemahaman atas kode-kode visual yang ada pada sebuah foto, kita bisa saja menganggap arsip foto sebagai sebuah kebenaran hakiki hingga kemudian tidak mempersoalkan, tampak natural, dan begitulah adanya.

Dengan mengamati fenomena itu, saban produk budaya (kolonial) layak untuk dikritisi supaya sebagai konsumen, kita tidak “terjebak” dalam wacana yang sama terus menerus. Mengapa? Karena beberapa arsip foto tersebut masih terus direproduksi hingga hari ini misalnya sebagai sampul buku, pelengkap arsip hingga pemanis belaka.

Dengan teknologi fotografi, tanah koloni kian mudah dilihat. Reproduksi foto secara massal telah membuat visibilitas koloni meningkat secara drastis khususnya pada tahun 1900-an. Sirkulasi itu semakin berkembang melalui kartu pos bergambar, koran, majalah bergambar hingga buku panduan perjalanan.

Pada era eksploitasi dan kolonisasi, imaji/ citra tanah jajahan digambarkan sebagai sosok inferior dengan gambaran “budaya asli” dan sering dianggap sebagai objek seksual yang eksotis. Gagasan tentang eksotisme sendiri memiliki dua dimensi, salah satunya ruang—daya tarik tanah dan orang-orang yang jauh; dan waktu—pencarian akan sejarah yang “lain”19. Pengalaman menjumpai perempuan dengan “rasa” (taste) pribumi, berkulit cokelat, berambut hitam dan bermata hitam adalah sebagian imaji yang ingin diabadikan setelah perjalanan yang panjang mengarungi lautan dan melampaui waktu yang lama. Imaji eksotik memberikan bayang-bayang perjumpaan nan elok nun jauh di sana—begitu kiranya tanah koloni Hindia Belanda ingin dijumpai.

(19)

B. Tema

Tema penelitian ini membahas seputar “Imaji (Kolonial) atas Perempuan Pribumi: Potret Perempuan Jawa dan Bali dalam Arsip Foto, 1850-1912”.

C. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, ada tiga rumusan masalah yang digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan penelitian, yakni:

1. Bagaimana fotografer pada masa kolonial (1850-1912) mengimajikan tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali)?

2. Bagaimana imaji/ citra yang diproduksi tersebut berhasil mengkonstruksi tubuh perempuan hingga dipahami sebagai sesuatu yang bersifat natural?

3. Bagaimana relasi kuasa kolonial mempengaruhi performativitas gender dalam foto?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis secara spesifik bagaimana tubuh perempuan pribumi (Jawa dan Bali) diimajikan oleh para fotografer pada rentang masa 1850-1912.

2. Melakukan analisis “teks visual” terhadap arsip foto perempuan pribumi (Jawa dan Bali) dalam masa 1850-1912 dengan teori fotografi “Camera Lucida” karya Roland Barthes, berikut analisis Reina Lewis dalam “Rethinking Orientalisme” yang berbasis pada teori performativitas gender Judith Butler.

3. Memahami identitas yang ditampilkan oleh subjek dalam arsip foto kolonial di bawah relasi kuasa operator.

E. Manfaat Penelitian

(20)

1. Penelitian ini menambah sumbangsih pada wacana mengenai perempuan dan fotografi yang sudah ada dalam bidang Kajian Budaya di Indonesia.

2. Penelitian ini menambah sumbangan wacana dalam Kajian Perempuan mengenai konstruksi imaji atas perempuan pribumi pada masa kolonial.

3. Penelitian ini memberikan sumbangan kritis bagi bidang Arsip dan Ilmu Sejarah, khususnya dalam pemanfaatan arsip-arsip foto kolonial sehingga peneliti bersikap lebih jeli dan kritis ketika berhadapan dengan arsip-arsip.

4. Penelitian ini bagi masyarakat secara umum berguna sebagai informasi dan media refleksi atas masa lalu perempuan pribumi.

F. Kajian Pustaka

Sudah ada peneliti-peneliti pendahulu yang telah bekerja dalam bidang dan tema sejenis. Berikut adalah informasi tentang kajian bidang yang saya teliti dan menjadi bahan rujukan pembelajaran dalam penelitian saya ini. Sebagian besar kajian pustaka tersebut saya peroleh dari hasil penelitian terkait arsip-arsip foto di kawasan Timur Tengah.

1. Sarah Graham-Brown dalam buku Images of Women: The Portrayal of Women in Photography of the Middle East 1860-1950 (1988) menulis tentang sejarah fotografi di Timur Tengah. Graham-Brown menunjukkan detail foto-foto yang memotret perempuan di Timur Tengah dalam berbagai citra, “Timur eksotis”, di antara citra Orientalisme yang paling dominan yang dapat ditangkap dari foto-foto perempuan Timur Tengah: lingkup harem, burkah, terasing hingga terpenjara. Ia mengeksplorasi kajian tentang imaji/ citra perempuan Timur Tengah dalam foto pada rentang waktu tersebut dan menjumpai bagaimana stereotip dibentuk dan diabadikan dalam foto, di antaranya melalui studio foto komersial, pelancong, misionaris, dan antropolog. Foto-foto mereka banyak yang mendokumentasikan perempuan pribumi (indigenous).

Poin menarik dari penelitian Graham-Brown adalah ia menekankan bagaimana melalui “Mata/ Lensa Barat”, fotografer Eropa memotret objeknya dalam stereotip tertentu. Guna kepentingan turisme dibangunlah beberapa studio

(21)

foto yang melahirkan fantasi-fantasi atas objek yang dipotretnya, utamanya foto perempuan sebagian sebagai oleh-oleh yang dijual di pasar foto komersial di Timur Tengah.

Perempuan sebagai subjek foto: kuasa dan patriarki, kuasa dan persuasi (kemampuan mempengaruhi), harem—pengasingan & pemisahan, perempuan yang tersembunyi dari dunia, perempuan dalam potret keluarga, imaji perempuan atas perkawinan, kehidupan berkeluarga, hingga potret hubungan antara ibu dan anak, sampai pada kostum (dressing the part), pekerjaan, kehidupan perempuan di muka publik, sebagai entertainment/ penghibur hingga pendidikan adalah detail yang dikupas tuntas oleh Graham-Brown.

Penelitian Graham-Brown mendudukkan perempuan dalam ruang yang tidak sempit, perempuan pun hadir dalam ruang publik dan mampu menentukan nasib mereka sendiri dalam skala lebih luas dan modern, seperti peran perempuan berpendidikan, dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa meski melepaskan stereotip masa lalu tidaklah mudah.

Karya Graham-Brown membuka cakrawala terkait cara melihat arsip foto sekaligus membangun cara pandang atas arsip-arsip tersebut. Tentu ini adalah gagasan yang sangat menarik untuk bisa dikerjakan dalam konteks arsip foto perempuan di Indonesia. Gagasan Graham-Brown sangat sejalan dengan penelitian ini meski dalam wilayah yang berbeda. Setidaknya karya Graham-Brown cukup menginspirasi dan memandu akan ke arah mana penelitian saya.

2. Roger Benjamin dalam bukunya yang berjudul Oriental Aesthetics: Art, Colonialism and French North Africa, 1880-1930 (2003) dengan perspektif Frantz Fanon, Edward Said dan Homi Bhabha, menguraikan wacana estetika Orientalis dengan menganalisis lukisan-lukisan orang Prancis di Afrika Utara. Benjamin juga meneliti lembaga, masyarakat hingga museum yang diasosiasasikan dengan estetika Orientalis yang dinaturalisasi dari warisan Prancis. Benjamin meneliti peran negara dalam memproduksi seni, termasuk bagaimana pameran, museum dan sekolah digunakan untuk menyebarkan ideologi kolonial melalui sarana estetika.

(22)

Gagasan Benjamin adalah untuk mempertimbangkan kembali seni Orientalis di tangan subjek atau “the Orient” sendiri sebagai siasat untuk membebaskan mereka dari interpretasi sebagaimana yang dipakai Edward Said saat mempelajari literatur Orientalis. Namun di sini, Orientalisme bukan lagi perjalanan satu-arah, sebagaimana yang dibekukan oleh petualang Eropa dan diangkut pulang lantas dikonsumsi tanpa referensi terhadap tanggapan objektif dalam proses tersebut. Seperti halnya bahasa, Benjamin mengungkapkan bahwa lukisan atau foto bisa berbicara balik pada pihak kolonial.

Pada tahun 1893, The Society for French Orientalist Painters didirikan untuk menegaskan seni estetika Orientalis yang menempatkan Orientalisme dalam sejarah lukisan di Prancis. Pelukis Orientalis pun memiliki komitmen untuk mempromosikan kesadaran akan negeri koloni. Untuk menyelenggarakan hal itu, beasiswa diberikan kepada para pematung, arsitek hingga pelukis untuk singgah selama satu tahun di Afrika Utara. Sementara lembaga seperti The National Museum of Antiquities and Muslim Art (didirikan pada tahun 1892) dan Ecole des Beaux-Arts (didirikan pada tahun 1880-an) bekerja dalam rangka mendorong produk seni tersebut agar dipamerkan di Paris. Di titik ini, Benjamin mengungkap bahwa sebuah lembaga dan seni saling terkait dalam agenda Orientalisme.

Adapun metodologinya, ia berhasil mencatat adanya keterkaitan antara kepribadian kolonial, organisasi seni yang bekerja sama dalam aktivitas kolonial. Benjamin melakukan pemetaan atas patronase konstitusional, pendidikan, asosiasi pekerja profesional, pasar, hingga penonton untuk seni Orientalis, bahkan dalam brosur pariwisata. Prancis juga menjual kolonialisme. Buku Benjamin cukup mengesankan sekaligus dapat dijadikan rujukan dalam kecenderungan wacana kolonial dengan lokus yang berbeda.

Meskipun karya Roger Benjamin berfokus pada penelitian seni rupa Orientalis, setidaknya itu membantu saya dalam memetakan jejaring foto di wilayah kolonial. Pemetaan jejaring fotografi ini memang bukan yang menjadi fokus utama dalam penelitian saya tetapi dengan memahami jejaring tersebut, setidaknya dapat diketahui bagaimana sebuah produk budaya dalam konteks ini foto diproduksi dan disebarluaskan pada masa kolonial.

(23)

3. Ali Behdad dalam Camera Orientalis: Reflection on Photography of the Middle East (2016) menghubungkan gagasan Orientalisme dengan sejarah fotografi dan kondisi politik di Timur Tengah. Behdad menempatkan posisi foto dalam dinamika lintas budaya yang memainkan fungsi performatif dalam menghasilkan makna budaya dan politik tertentu. Tulisan Behdad berkontribusi dalam bidang sejarah, yakni sejarah seni dan sains, juga antropologi.

Behdad menempatkan foto-foto dari Timur Tengah untuk menggerakkan pembicaraan tentang gambaran eksotis, ilmiah, dan melampaui batas-batas wacana kanonik yang menjadikan pengalaman fotografi dan Orientalisme yang berpusat pada sejarah Timur Tengah. Behdad menggunakan pendekatan Edward W. Said dan teksnya yang sangat penting adalah teori relasi kuasa ideologis yang membuat Orientalisme memiliki semacam jejaring seni, ekonomi, dan hubungan politik yang melampaui negara dan batas-batas historis.

Ia mengungkapkan bahwa peredaran foto-foto secara internasional yang muncul dari turisme memicu ide-ide fantastik tentang Timur Tengah. Termasuk, studi biografi atas fotografer dan konsumen foto. Cara fotografer melihat objek juga dikaji Behdad, seperti ketika teknik pengambilan foto lebih banyak diambil dari ketinggian seperti dari menara Galata atau Beyazit, semacam ada proses (penciptaan) hubungan hierarkis antara penonton dengan apa yang dilihatnya— yang memposisikan diri sebagai penonton Eropa. Behdad juga mengemukakan persoalan terkait sirkulasi fotografi yang menterjemahkan gambar dengan fragmen, reinterpretasi, dan agensi yang menyajikan “pandangan yang tetap dan stabil tentang subjek”. Itu seperti melihat gambar yang sama, berulang-ulang, yang mengaktifkan wacana kekuasaan, erotisme, hingga perbedaan pada diri penonton Eropa.

Kelebihan Behdad, ia memiliki kemampuan dalam menampilkan citra Orientalis Iran yang mencerminkan praktik politik yang juga mirip di seluruh dunia, baik di Ottoman, Belanda, dan Amerika. Keistimewaan lokal ini, yang diperlukan, setidaknya untuk mengarahkan kembali narasi Eurosentris yang dominan dalam sejarah fotografi, yang cenderung membuat medium fotografi terasa homogen dan dapat mengaburkan koneksi transnasional yang terhubung antara berbagai sejarah fotografi di seluruh dunia. Sayangnya, Behdad tidak

(24)

menggunakan teknik analisis visual untuk mencari petunjuk tentang apa yang dapat dimaknai dari foto-foto itu. Camera Orientalis berhasil mengikuti jaringan foto-foto Orientalisme—tentang bagaimana mereka melakukan perjalanan lintas batas dan melampaui waktu, hingga membentuk kesadaran populer. Namun pada akhirnya, masih ada pertanyaan: Apakah foto-foto itu, baik dari dan di Timur Tengah selalu menyimpan gagasan Orientalisme? Apakah ada logika fotografis pada kode optik global (cara melihat dan dilihat) atau (ways of seeing and being seen)? Jika begitu, mengapa foto-foto Orientalisme begitu fasih dengan gambar yang nyaris serupa di seluruh dunia? Di sinilah titik penting mengapa penelitian semacam ini masih perlu untuk terus dikembangkan.

Karya Ali Behdad dalam konteks penelitian ini berguna untuk memahami bagaimana konstruksi foto pada masa kolonial, termasuk atas relasi kuasa yang digambarkannya saling berkelindan antara “Barat” dan “Timur”.

Adapun dalam penelitian saya, objek yang saya teliti berbeda dengan kajian-kajian yang sudah ada. Pertama, karena foto-foto yang saya teliti bersumber dari arsip foto kolonial Belanda pada masa kolonialisasi Belanda di Hindia Belanda. Kedua, teori yang saya kembangkan untuk mengurai persoalan dalam penelitian ini sebagian memang merujuk pada penelitian tersebut tetapi tidak secara keseluruhan melainkan dikembangkan lagi sesuai dengan rumusan masalah yang mendasari penelitian ini.

G. Kerangka Teori

Teori sebagai sebuah perangkat ilmiah digunakan untuk membantu melihat data secara unik sekaligus untuk menganalisis data. Untuk membahas rumusan masalah di atas, penelitian ini menggunakan beberapa kerangka teori sebagai pisau analisis yang berfungsi untuk membantu saya dalam melakukan analisa. Berikut adalah teori-teori yang dikembangkan sebagai argumentasi serta alat analisis atas sumber data dalam penelitian ini:

(25)

1. Teori “Orientalisme” Edward W. Said

Edward W. Said dalam Orientalism mengemukakan bahwa:

“The term Orient nor the concept of the West has any ontological stability; each is m a d e up of human effort, partly affirmation, partly identification of the Other.”20

Istilah “Orient” atau konsep “Barat” tidak memiliki stabilitas ontologis; masing-masing adalah upaya manusia, sebagian sebagai penegasan, sebagian untuk identifikasi “liyan”. Hal terpenting yang saya garis bawahi dari gagasan Said adalah identifikasi atas “the Other”—atau “liyan”. Proses identifikasi tentu menuntut serangkaian daftar. Daftar yang disusun tersebut bertujuan untuk menegaskan “Barat” sebagai subordinat. Maka, produk-produk Orientalisme selalu memiliki maksud tertentu. Pengalaman perjumpaan dengan “Timur” membangun apa yang disebut Said sebagai “kebenaran-kebenaran” dari sistem Orientalisme. Label-label lantas ditempelkan atas “Timur”: yang lemah, barbar, aneh, liar, eksotis, telanjang, dan banyak lagi. Maka, dalam tesis ini gagasan Edward W. Said saya gunakan untuk mengkategorisasikan atau sebagai alat identifikasi atas serangkaian identitas yang dibuat oleh operator atas subjek perempuan pribumi.

Sebagaimana diungkapkan Said, “Orientalism as a Western style for dominating, restructuring, and having authority over the Orient.” Orientalisme menjadi gaya “Barat” untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan memiliki otoritas atas “Timur”. Foto-foto yang diproduksi oleh operator pada masa kolonial merupakan bagian dari produk Orientalisme, yang menciptakan “Timur” dalam citra tertentu yang diperuntukkan bagi spectator Eropa.

“Timur” dalam konteks ini Hindia Belanda, dihadirkan menurut etnisnya dan diidentifikasi secara rasial, misalnya berkulit gelap, berambut hitam hingga prasangka tertentu seperti perempuan penggoda dan liar yang layak untuk diperadabkan dalam mission civilizatrice.21 Celakanya, identifikasi yang dibuat “Barat” atas “Timur” itu dipandang sebagai representasi “Timur” yang sebenarnya, sehingga “Timur” diterima dalam pengetahuan dan wacana “Barat” dan investasi itu telah berlangsung lama. Sebagaimana yang dikemukakan Said:

20 Edward W. Said. 2003. Orientalism, hlm. xi

(26)

“Orientalism, therefore, is not an airy European fantasy about the Orient, but a created body of theory and practice in which, for many generations, there has been a considerable material investment. Continued investment made Orientalism, as a system of knowledge about the Orient, an accepted grid for filtering through the Orient into Western consciousness, just as that same investment multiplied—indeed, made truly productive—the statements proliferating out from Orientalism into the general culture.”22 Jadi, Orientalisme itu bukan fantasi Eropa tentang “Timur”, tetapi serangkaian teori dan praktik yang dibuat dengan investasi material yang besar. Investasi terus-menerus membuat Orientalisme, sebagai sistem pengetahuan tentang “Timur”, sebuah jaringan yang diterima untuk menyaring “Timur” ke dalam kesadaran “Barat”.

2. Teori Male Gaze

Laura Mulvey dalam Visual and Other Pleasures (1989) mengemukakan:

In a world ordered by sexual imbalance, pleasure in looking has been split between active/male and passive/female. The determining male gaze projects its fantasy onto the female figure, which is styled accordingly. In their traditional exhibitionist role women are simultaneously looked at and displayed, with their appearance coded for strong visual and erotic impact so that they can be said to connote to-be-looked-at-ness.23

Singkatnya, pandangan laki-laki menentukan dalam memproyeksikan fantasinya ke sosok perempuan. Perempuan ditata dan ditampilkan sedemikian rupa secara simultan. Tampilan itu “dikodekan” hingga menimbulkan dampak visual sekaligus erotis.

The actual image of woman as (passive) raw material for the (active) gaze of man takes the argument a step further into the content and structure of representation, adding a further layer of ideological significance demanded by the patriarchal order24 ... yang dalam penelitian ini terdapat dalam bentuk foto.

22 Edward W. Said. 2003. Op.Cit, hlm. 6

23 Laura Mulvey. Visual and Other Pleasures, hlm. 19

(27)

Foto menjadi satu bentuk representasi dalam mencitrakan sosok perempuan yang di dalamnya terdapat lapisan-lapisan penanda dari tuntutan tatapan laki-laki. Atau sederhananya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Margherita Abbozzo, bahwa secara substansi, male gaze menggambarkan perempuan dan dunia dari perspektif heteroseksual maskulin yang menghadirkan dan mewakili perempuan sebagai objek seksual untuk kesenangan spectator laki-laki.25 Male gaze menampilkan diri perempuan sesuai yang dibayangkan oleh operator. Foto-foto dalam penelitian ini pun akan sulit terbebas dari cara pandang itu karena ketiga operator tersebut adalah laki-laki.

Dalam konteks penelitian ini teori male gaze dapat digunakan untuk menemukan kode-kode atau substansi apa saja yang kiranya terdapat dalam sumber data, yang menimbulkan dampak erotis dan memiliki kecenderungan memberi kesenangan untuk spectator laki-laki. Kode-kode yang cenderung menonjolkan sisi sensualitas perempuan.

3. Teori “Camera Lucida” Roland Barthes

Roland Barthes, filsuf Prancis, mengungkapkan “cara” untuk membaca foto dalam “Camera Lucida: Reflections on Photography”. Ada tiga tahap yang dilalui oleh spectator di saat melihat foto, yakni studium, punctum, dan satori. Studium adalah selera, antusiasme, menerima dan menikmatinya. Dalam tahap ini, spectator menemukan apa yang dimaksud oleh operator. Konotasi yang hadir dalam studium dapat dijumpai melalui tokoh, wajah, gestur, latar dan aksi. Studium adalah keinginan yang sangat luas, dari berbagai minat, dengan rasa: aku suka/ tidak suka. Studium menarik spectator, tertarik secara simpatik. Mengenali studium sama halnya menemukan niat operator—sang fotografer, memperdebatkan karyanya sehingga menjadi semacam wadah perjumpaan antara operator dan spectator. Meski begitu, spectator tidak mesti percaya pada operator, karena bagaimana pun, operator menyimpan alibi atas informasi yang dibuatnya sendiri, termasuk representasi yang dibangun hingga kejutan yang ia tawarkan, misalnya sampai pada taraf provokatif. Beberapa foto memiliki daya tarik seperti itu.

25 Margherita Abbozzo. Male and Female Gaze in Photography, ANNO LXXIV, 2019-N.

(28)

Studium menunjukkan makna historis, sosial atau budaya yang dapat diekstraksi melalui analisis semiotik. Foto sekali pun itu tiruan dari realitas memiliki pesan analogis yang menurut Barthes mengandung dua pesan, denotatif dan konotatif.26 Lapis pesan denotatif adalah analogon itu sendiri. Namun pada lapis pesan konotatif, ada pandangan tertentu yang sengaja disodorkan oleh operator kepada spectator. Pesan pada lapis kedua ini membutuhkan konvensi kode-kode tertentu yang dapat dipahami oleh masyarakat.

Dalam konteks penelitian ini, studium berguna untuk meneliti detail yang disajikan dalam foto, meliputi gestur subjek dalam foto, bagaimana ia berpose, menampilkan ekspresi wajah, hingga pada ornamen, properti, dan busana yang dikenakannya. Pada lapis makna denotatif, proses pembacaan dilakukan dari apa yang tampak oleh mata. Namun pada lapis konotatif, sebagai peneliti saya perlu melakukan studi pustaka guna memahami kode-kode yang digunakan oleh operator yang mungkin secara kultural tidak saya pahami.

Adapun punctum ibarat luka, lubang kecil, kecelakaan yang menusuk, kejutan tertentu yang membuat trauma, menyakiti, menyayat. “Very often the Punctum is a ‘detail,’ i.e., a partial object.”27 Punctum adalah detail. Punctum menunjuk ke fitur-fitur foto yang tampaknya menghasilkan atau menyampaikan makna tanpa menerapkan sistem simbolik yang bisa dikenali. Makna semacam ini unik, tergantung pada respons individu yang melihat gambar. Punctum menusuk spectator bukan sekadar seberapa banyak itu diproyeksikan oleh operator ke dalam foto. Sebaliknya, itu muncul dari detail yang tidak disengaja atau tidak terkendali oleh fotografer. Ini menjelaskan betapa pentingnya emosi dan subjektivitas dalam berinteraksi dengan foto.

Foto sebagaimana diungkapkan Barthes berkutat pada “yang-sudah-ada” (that-has-been). Spectator berhubungan langsung dengan “flat death”, yang mengungkapkan sifat fana dari kehidupan sekaligus membuat kita mengenali singularitas keberadaan, sekali dan tidak berulang, begitulah “the referent” sebagai “yang-sudah-ada” itu lantas terbingkai dalam foto. Dalam konteks fotografi historis, terdapat punctum yang lain selain detail yakni stigmatum. Stigmatum

26 Roland Barthes. Imaji, Musik, Teks: Analisis Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film,

Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan serta Kritik Sastra, hlm. 2

(29)

bukan lagi bentuk melainkan intensitas, yaitu waktu sebagai representasi murni. Stigmatum dari “yang-sudah-ada” itu secara fisik telah remuk dan tidak berbentuk melainkan hanya menawarkan semacam “titik-titik” untuk dibaca oleh mata. Tubuh yang nyata di foto, secara harfiah tidak ada. Tapi ada semacam gelombang yang menyentuh saya selaku spectator seperti ada penghubung dan itu yang membangun hubungan khusus antara subjek dalam foto dengan spectator-nya. Dalam konteks penelitian ini, stigmatum semacam jembatan bagi peneliti untuk memahami kesadaran waktu yakni kesadaran historis sekaligus keberjarakan antara peneliti dan subjek dalam foto.

Sementara satori adalah pengalaman subjektif spectator. Satori menjadi tahap melihat foto dengan mata tertutup, tahap setelah melewati luka, bagian dari kekosongan. Tahap ketika spectator tak lagi melihat foto. Ia sudah melampauinya.

“The photograph is no longer in front of me and I think back on it. I may know better a photograph I remember than a photograph I am looking at, as if direct vision oriented its language wrongly”28.

Di situlah kekuatan fase satori. Ketika foto itu tidak lagi ada di depan spectator, ia mungkin tahu lebih baik foto yang ia ingat daripada yang ia lihat. Ada waktu berpikir kembali. Fase ini memungkinkan guna menemukan “bahasa” yang ditangkap sebelumnya salah. Satori dalam penelitian ini digunakan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan atas pemaknaan baru.

Barthes juga mengemukakan bahwa foto tidak sebatas merepresentasikan pesan denotatif melainkan juga pesan konotatif. Salah satu cara untuk memahami lapis konotatif adalah dengan mengenali kode-kode kultural yang tersedia dari sebuah foto. Pada lapis pesan konotatif ini, operator mengkomunikasikan apa yang dipikirkannya, apa yang dibayangkannya, termasuk imajinya terkait perempuan pribumi ke publik spectator Eropa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Roland Barthes:

In short, all these ‘imitative’ arts comprise two messages: a denoted message, which is the analogon itself, and a connoted message, which is

(30)

the manner in which the society to a certain extent communicates what it thinks of it.29

Foto sebagai seni “imitasi”' terdiri dari dua pesan: pesan yang dilambangkan, yang merupakan analog itu sendiri, atau pesan yang dikonotasikan, yang menjadi cara bagi satu masyarakat mengkomunikasikan apa yang mereka pikirkan hingga pada batas tertentu. Konotasi itu dibangun dengan “bahasa” atau “kode-kode” yang di sini saya sebut dengan kode kultural yang dapat dipahami oleh komunitas tersebut hingga terjadi komunikasi.

Kode-kode itu, masih menurut Barthes, kemungkinan didasari oleh tatanan simbolik universal atau retorika tertentu, yang ada dalam stok stereotip (seperti skema, warna, grafik, gestur, ekspresi hingga pengaturan elemen-elemen tertentu).30 Dalam operasionalnya, operator biasanya akan menambahkan detail/ elemen tertentu ketika ia menampilkan subjek dalam foto, termasuk saat menghadirkan serangkaian identitas perempuan Hindia Belanda.

4. Teori “Performative Gender” Judith Butler dalam Reina Lewis “Rethinking Orientalisme”

Reina Lewis, seorang ahli sejarah seni dari Inggris, dalam bab “Eroticised Bodies: Representing Other Women31 pada Rethinking Orientalisme: Women, Travel, and Ottoman Harem (2004) mengemukakan gagasannya terkait kodifikasi/ penggolongan tubuh perempuan Oriental yang cantik dengan mempertimbangkan bagaimana perempuan dilihat menurut ras dan seksual dari saat produksi hingga penerimaan.

Lewis menggunakan perspektif Judith Butler terkait identitas performativitas gender yang diterapkan berdasarkan ras dan etnis. Identitas performativitas gender digunakan sebagai mekanisme untuk memasukkan subjek ke tatanan sosial, frasa performatif seperti: ungkapan seorang bidan ketika melihat anak yang baru lahir, “Oh, ini perempuan!” di mana kualitas pengulangan itu yang dilihat Judith Butler sebagai identifikasi yang didapatkan melalui kinerja berulang

29 Roland Barthes. 1977. Op.Cit, hlm. 17

30 Ibid, hlm. 17

31 Reina Lewis. Rethinking Orientalisme: Women, Travel and the Ottoman Harem, hlm.

(31)

secara terus-menerus atas tanda-tanda maskulinitas atau feminitas yang diterima secara sosial.32

Kinerja berulang tersebut lantas diperformatifkan oleh subjek secara terus menerus sehingga ia diakui sebagai “perempuan”. Misalnya diperlihatkan dengan cara berbusana. Hal serupa dapat diterapkan ketika melihat perempuan pribumi saat mereka memperformatifkan diri hingga dikenali sebagai perempuan Jawa, misalnya. Dalam hal ini, Butler mengemukakan teori performativitas untuk menekankan bagaimana gender dikonstruksi dan itu tidak bersifat alami.

Performativitas gender awalnya lebih banyak dikembangkan untuk menganalisis seni teater, film hingga seni pertunjukan. Reina Lewis menggunakan penekanan pada ketidakstabilan identitas yang dilatarbelakangi oleh teori-teori performativitas untuk memikirkan konstruksi identitas rasial dan etnis dalam teks sastra, di antaranya dalam Haremlik: Some Page from the Life of Turkish Women karya penulis Demetra Vaka Brown (1877-1946). Vaka Brown terlahir sebagai Turki dan menjadi diaspora di Amerika Serikat. Ia menceritakan tiga kisah interaksinya dengan wanita Turki ketika pulang ke kampung halamannya. Ia mengajak teman-temannya melakukan perjalanan dengan gaya “lama”, berbusana sebagaimana dulu perempuan Turki yang pernah hidup dalam masa empat puluh tahun akhir Kekaisaran Utsmani. Kisah Vaka Brown mencatat performativitas-performativitas itu sebagai bagian dari upaya penulisnya untuk membangun wacana “perempuan Turki” yang bebas dari wacana Orientalisme. Namun di sinilah keterlibatan performativitas penulis dan teman-teman Turkinya yang didalami Lewis memperlihatkan ketidakstabilan identitas, misalnya pada Vaka Brown yang kemudian menilai, “Orang ‘Timur’ lebih baik daripada orang ‘Barat’,” namun di sisi lain ketika ia ditanya, “Apa kau dari Turki?”, ia menjawab, “Tidak, aku orang Yunani Bizantium, lahir dan besar di Konstantinopel. Dua gadis itu adalah temanku.”33

Dalam konteks penelitian ini, saya akan menggunakan penekanan teori performativitas gender untuk memahami performativitas subjek dalam foto. Foto tentu tidak seterbuka teks, namun sebagaimana diungkapkan Lewis, “Fotografi tidak hanya mendokumentasikan, tetapi memainkan peran penting dalam

32 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 142-143

(32)

klasifikasi, konseptualisasi, dan visualisasi masyarakat “liyan” menurut protokol dari disiplin yang tengah melambung, meski itu bukannya tanpa masalah dan rasa was-was.”34

Untuk mengurai itu, konsep performativitas gender dipandang relevan dalam membongkar stereotip, pandangan rasial dan etnis tadi. “The concept of performativity is helpful for thinking through these varieties of racial and ethnic identity.”35 Atas gagasan itu, dengan meminjam perspektif Judith Butler, “Tindakan performatif hanya memiliki peluang sukses jika mereka telah mengumpulkan ‘kekuatan otoritas melalui pengulangan atau kutipan seperangkat praktik sebelumnya, otoritatif’.”36 Elemen berulang dari tindakan performatif harus terus dilakukan oleh subjek bagi pemirsanya/ spectator sebelum hal itu masuk akal, “otentik”, sehingga penampilannya mudah dikenali oleh Barat. Hal itu bisa dihubungkan dengan serangkaian stereotip yang sudah tersedia yang beroperasi dalam sistem klasifikasi yang sudah ada sebelumnya. Karena setiap pengulangan performatif adalah peristiwa intersubjektif dan dinamis, keberhasilan atau kegagalannya tergantung pada siapa yang terlibat, sejarah dan kualitas individu seperti apa yang mereka “perform”-kan dalam aktivitas tersebut. Tindakan performatif itu dikodekan sehingga dapat dikenali dan dipahami oleh komunitas interpretatif, yakni konsumen foto. Stereotip di sini adalah kode-kode kultural yang ada pada sistem klasifikasi. Kode-kode-kode kultural tersebut menyimpan serangkaian pengetahuan yang sudah ada yang disampaikan oleh operator tidak semata dalam detail melainkan dalam tindakan performatif subjek dalam foto. Pertanyaannya kemudian, tindakan performativitas gender dalam foto tersebut apakah tindakan performatif subjek atau tindakan yang di-“perform”-kan atas arahan operator?

Teori performativitas gender digunakan untuk memahami bagaimana subjek melakukan tindakan performatif atas kesadarannya sendiri. Performativitas menurut Butler bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual yang dampaknya adalah naturalisasi dalam konteks tubuh, dipahami, sebagian, dalam durasi yang berkelanjutan secara budaya.37 Gender bersifat performatif karena

34 Reina Lewis. Op.Cit, hlm. 209

35 Ibid, hlm. 144

36 Judith Butler (1993: 19) dalam Ibid, hlm. 166

(33)

diproduksi melalui serangkaian tindakan. Tindakan performatif itu dilakukan dalam bentuk stilisasi gender dari tubuh, yakni gerakan yang telah mengalami proses penghalusan sehingga tampak indah. Intinya, gender adalah “stylized repetition of acts”38 atau serangkaian pengulangan tindakan yang penuh gaya.

5. Teori “Ambivalensi” Homi K. Bhabha

Homi K. Bhabha dalam The Postcolonial and The Postmodern: the Question of Agency pada “The Location of Culture” (1991) mengemukakan:

“... political positioning is ambivalently grounded in an acting-out of political fantasies that require repeated passages across the differential boundaries between one symbolic bloc and an other, and the positions available to each.”39

Tindakan yang dibuat dari posisi ambivalen ini membutuhkan kecakapan melintasi batas-batas diferensial, antara “colonizer” dan “colonized” secara simbolis dan masing-masing bisa memposisikan diri di situ.

Teori ini digunakan untuk melengkapi gagasan posisi agency dalam relasi kuasa yang terjalin antara operator dan subjek dalam foto. Ambivalensi memunculkan agency pada kedua belah pihak—“colonizer” atau “colonized”— yang melahirkan “anxiety” atau kecemasan dari pihak penjajah dan “resistence” atau resistensi dari yang dijajah. Ini juga yang kemudian menghadirkan sikap hibrid dan mimikri, sebagai bentuk representasi yang tumpang tindih, yang dalam perspektif Bhabha sebagai suatu strategi agar “survive”. Hal tersebut diperjelas Bhabha sebagai berikut:

“The metonymic strategy produces the signifier of colonial mimicry as the affect of hybridity - at once a mode of appropriation and of resistance, from the disciplined to the desiring.”40

Bahwa, strategi metonimik yang berawal dari perubahan kebiasaan tersebut menghasilkan penanda mimikri sebagai pengaruh hibriditas, sekaligus modus apropriasi dan resistensi, dari disiplin hingga hasrat. Ketika mereka yang terdiskriminasi, dalam hal ini pribumi, berubah menegaskan diri hibrid, lambang 38 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 191

39 Homi K. Bhabha. The Location of Culture, hlm. 29

(34)

otoritas justru menjadi topeng, ejekan—“the insignia of authority becomes a mask, a mockery41.” Di situlah, relasi kuasa bekerja dalam simbol-simbol yang terkadang hanya diketahui oleh masyarakat penggunanya.

H. Metode Penelitian 1. Sumber Data

Sumber foto dipilah dari tiga buku karya tiga fotografer dari masa itu yaitu (1) Isidore van Kindsbergen, (2) Kassian Cephas, dan (3) “Woodbury & Page”. Seleksi foto dipilah yang mewakili wacana yang hendak dibahas dalam tulisan ini. Foto-foto yang diseleksi diperoleh dari 3 buku yang membahas ketiga fotografer dimaksud, yaitu: (1) Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies (Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser, 2005); (2) Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (Gerrit Knaap, 1999); dan (3) Woodbury & Page: Photographers Java (Steven Wachlin, 1994).

2. Seleksi Foto

Pemilahan/ seleksi foto didasarkan pada fenomenologi sinis Roland Barthes, di mana:

“As Spectator I was interested in Photography only for “sentimental” reasons; I wanted to explore it not as a question (a theme) but as a wound: I see, I feel, hence I notice, I observe, and I think.”42

Pemilahan itu tentu berdasar atas alasan “sentimental”. Dari keseluruhan foto-foto perempuan pribumi Jawa dan Bali yang terdapat dalam ketiga sumber data tersebut saya seleksi berdasarkan atas foto-foto yang paling membuat pikiran dan perasaan saya tergerak untuk menelisik dan memikirkan foto itu lebih jauh. Hal tersebut memang sangat subyektif, namun rasanya akan sulit melakukan penelitian tanpa unsur ketertarikan atas objek. Pilihan atas foto-foto itu bisa jadi sangat “sentimental”, seperti didorong oleh “luka” masa lalu yang membuat saya mengamati, merasakan, memperhatikan secara seksama, mengobservasi lantas

41 Homi K. Bhabha. Op.Cit, hlm. 120

(35)

memikirkannya. Dari memikirkan “luka” itu muncul pertanyaan-pertanyaan yang menjadi daya tersendiri dalam mengembangkan penelitian ini.

3. Kategorisasi dan Analisis

Foto yang dianalisis dalam penelitian ini keseluruhannya berjumlah 10 (sepuluh) foto yang saya kategorikan dalam tema-tema yang menyangkut wacana Orientalisme yang mewakili kecenderungan umum yang muncul dari keseluruhan foto perempuan pribumi yang saya amati dari ketiga buku tersebut. Pertimbangan lain adalah kesadaran akan male gaze yang menjadi bagian penting dalam seleksi foto karena foto-foto itu diproduksi oleh operator laki-laki. Fase selanjutnya adalah pembacaan foto berdasarkan logika berpikir yang merujuk pada gagasan Barthes. Saya urai bagian termudah terlebih dahulu, yakni studium sehingga analisis saya terfokus pada detail yang ditampilkan dalam foto. Pada tahap selanjutnya adalah punctum. Namun tidak semua foto menyimpan “luka” bagi spectator.

Intinya, sebagai spectator, saya cenderung mengamati foto dan menjawab keingintahuan melalui apa yang tersaji dari foto. Keterpukauan saya itu pun lebih didorong oleh perasaan bahwa saya seperti melihat sepotong “realitas” dari masa lalu, entah karena gaya berbusananya, detail asesorisnya, posenya atau “luka” yang ditimbulkan akibat menatapnya. Pada tahapan ini saya juga menggali makna denotatif dan konotatif yang terdapat dalam foto dengan mempertimbangkan kode-kode kultural dengan diimbangi studi pustaka yang memiliki relevansi dengan gagasan yang dibicarakan.

Analisis lanjutan adalah membahas hasil temuan dari “pembacaan foto” dengan teori “performativitas gender” yang telah dikembangkan oleh Reina Lewis dalam Rethinking Orientalisme berbasis pada teori Judith Butler dalam Gender Trouble termasuk bagaimana foto menjadi medium guna mengkonstruksi identitas secara gender, rasial, dan etnis. Pada tahap lebih lanjut, analisis secara spesifik dseperti stereotip dan gaya berbusana sebagai bagian dari kode-kode kultural yang membentuk konstruksi identitas rasial, etnis, dan Orientalisme digunakan untuk mengurai kode-kode dalam foto guna menjadi bukti pendukung penelitian.

Gambar

Gambar 1. Women in Traditional Javanese dress, ca.  1934 4
Gambar 2. Het Meisje met de Parel atau “Girl with a Pearl Earring” 6 karya Johannes Vermeer, koleksi Museum Maurithuis
Gambar 3. “Demi Mondaine”: Perempuan muda keturunan campuran (nonna)  berbaring di sofa
Gambar 4. Dua Perempuan Telanjang di Studio Foto Van Kindsbergen Foto Isidore van Kindsbergen ca
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan sanksi / hukuman terhadap seseorang yang telah melanggar Undang-Undang merupakan urutan dari kaedah hukum suatu Negara yang bersifat hirarkis penerapan sanksi

Sebagai kegunaan untuk directional finder, polaradiasi menjadi hal yang sangat mempengaruhi proses pendeteksian gelombang elektomagnetik dari transmitter, karena dibutuhkan

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih dan juga bentuk pembagian ide atau pikiran dengan menggunakan

Taraf signifikansi biaya obat-obatan (X4) sebesar 0,013 lebih kecil dari 0,05 yang artinya signifikan secara statistik terhadap keuntungan petani.Dengan menggunakan uji

Belanja modal diperoleh berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap indeks pembangunan manusia dalam horizon waktu 2 periode, hal ini ditunjukkan oleh

Pedoman kurikulum satuan tingkat pendidikan (KTSP) tahun 2006 menjelaskan, bahwa guru harus menetapkan target yang akan dicapai dalam pembelajaran atau disebut

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja media komunikasi yang digunakan PKPA, pesan apa yang disampaikan melalui media komunikasi PKPA, penggunaan