• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PERFORMATIVITAS GENDER DAN AMBIVALENSI WACANA

B. Performativitas Gender dalam Arsip Foto

Gagasan utama dari pemikiran Judith Butler yang digunakan dalam kajian ini adalah performativitas gender. Dalam pandangan Butler, gender adalah performativitas atau “pertunjukan”, bukan esensi biologis. Setiap tindakan subjek menjadi bentuk material dari performativitas tersebut. Sehingga untuk membuktikan kualitas feminitasnya, subjek mesti menunjukkannya melalui serangkaian tindakan, misalnya dari gerak-gerik yang luwes, sikap yang anggun, lembut sekaligus kecantikannya. Subjek akan terus menerus berproses hingga menjadi subjek yang utuh atau dipandang sempurna sebagaimana idealnya yang diterima oleh masyarakat. Hal itu diungkapkan Butler dengan menegaskan perbedaan antara seks dan gender sebagaimana berikut:

“Awalnya (seks dan gender—pen.) dimaksudkan untuk membantah rumusan biologi-adalah-takdir (“the biology-is-destiny”), perbedaan antara seks dan gender mendukung argumen apapun terkait jenis kelamin yang dimiliki yang tidak dapat dipraktikkan secara biologis, gender dikonstruksi secara budaya: karenanya, gender bukanlah hasil kausal seks atau terlihat pasti sebagai seks.”155

Gender dikonstruksi secara budaya juga dapat dilihat dalam kultur Jawa. Performativitas perempuan, khususnya perempuan elite bangsawan bahkan sudah diatur melalui Paugeran, misalnya dalam bertindak laku dan berbusana. Alhasil,

154 H.M.J. Maier, From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch

in the Indies, Indonesia Vol 56 (Oktober, 1993), hlm. 38

performativitas subjek tidak pernah bebas melainkan berada dalam lingkar kuasa kultural. Tatanan itu sudah dibuat secara tertulis sejak masa Sultan Hamengku Buwana II yang naik tahta ca. 1792. paugeran itu dibuat sebagai bagian dari pembentukan identitas orang Jawa yang secara instruksional diturunkan lagi ke dalam 18 prakara dengan detail-detail yang mengatur bukan sebatas orang dewasa (laki-laki dan perempuan) tetapi hingga anak-anak dan kuda.

Terkait untuk kawula atau masyarakat umum di luar istana, tidak ada catatan baku—termasuk dalam cara bertindak dan berbusana. Namun dalam kultur Jawa umumnya kawula atau rakyat selalu merujuk pada kedudukan “yang lebih tinggi” dalam hal ini yang menjadi rujukan adalah para bangsawan. Ini dapat kita lihat melalui performativitas subjek dalam foto karya Isidore van Kindsbergen atas subjek di dalam istana, yakni para perempuan elite bangsawan (lihat Gambar 9 dan Gambar 11) dan foto karya Kassian Cephas atas subjek (model) di studio foto (lihat Gambar 7 dan Gambar 8), cara berbusana mereka dapat dianalisis menurut tata berbusana yang umum dikenakan menurut paugeran meski subjek Cephas hanya seorang model dan bukan dari kelas bangsawan.

Subjek perempuan Jawa sejak anak-anak ketika ia mem-“perform”-kan diri sebagai perempuan telah dihadapkan dengan serangkaian tatanan agar diakui sebagai perempuan Jawa, utamanya pada kelas bangsawan. Performativitas itu merupakan tindakan yang dilakukan oleh subjek untuk memperlihatkan diri mereka. Di sini, sebagai perempuan pribumi, umumnya subjek tampil dalam balutan wastra—kain tradisional dengan makna dan simbol tersendiri, yang mengacu pada kultur, corak, warna, ukuran hingga bahan. Pakaian yang dikenakan akan menjelaskan subjek adalah perempuan. Lazimnya perempuan Jawa, memakai kain jarik atau sarung batik dengan berkemban atau berkebaya. Mereka tampil dalam normativitas atau mengacu pada umumnya perempuan pada masa itu. Termasuk dalam ritual berdandan. Perempuan Jawa pada masa itu umumnya tampil dengan rambut digerai bagi mereka yang belum menikah. Berbeda halnya bagi yang sudah menikah, rambutnya dikonde, disanggul atau diukel tekuk dengan berbagai asesoris dan hiasan pendukung, utamanya dalam acara-acara resmi.

Namun tidak berhenti di situ, performativitas subjek juga diikuti oleh sikap tubuh. Performativitas subjek perempuan Jawa dan Bali menghadirkan detail

karakterisasi yang berbeda jika ditinjau dari sikap atau gestur mereka. Sikap dan tindakan perempuan Jawa misalnya, cenderung memperlihatkan gestur tubuh yang lebih kalem dibandingkan perempuan Bali. Hal itu dipengaruhi oleh konstruksi tubuh, contohnya dalam tari. Lirikan mata perempuan Bali lebih tajam dan berani sekaligus menggoda sebagaimana di-“perform”-kan oleh penari Bali. Sikap tubuh itu tentu dipengaruhi oleh kultur mereka. Tari Bali sebagian besar menghadirkan gerak cepat dan tangan terangkat tinggi hingga bahu ikut terangkat. Sedang dalam tarian Jawa, khususnya tari klasik, sikap tubuh seringkali hadir melalui gerakan-gerakan lambat dan teknik mengangkat tangan yang berbeda dari tarian Bali. Maka gerak-gerik perempuan Jawa dapat dimaknai lebih lamban dibandingkan dengan gerak-gerik perempuan Bali—dalam konteks “budak”, nilai perempuan Bali lebih tinggi dibandingkan budak perempuan Jawa, bisa merujuk pada kecapakan dan kesigapan dalam bertindak. Performativitas itu menampilkan kualitas feminitas dari perempuan Jawa dan Bali. Artinya, dalam mem-“perform”-kan diri, subjek tidak pernah bebas dari lingkup dia berada. Karena imbal baliknya berupa pengakuan yang berasal dari lingkungan dan kultur di mana ia terus menerus mengulang tindakannya. Namun dalam konteks kajian ini, performativitas tersebut harus dikritisi karena bukan sepenuhnya dihasilkan oleh tindakan subjek. Operator yang memproduksi foto memiliki kuasa dalam mengarahkan subjek agar melakukan tindakan, gaya, gestur sesuai dengan yang diinginkannya. Bahkan dalam menentukan bagaimana cara mereka berbusana— hal ini dapat jelas disaksikan dalam Gambar 3. “Demi Mondaine”. Gagasan untuk menyampirkan kain selendang untuk menutupi sebagian dari dada si gadis yang tak berkemban tentu bukan tindakan yang dirancang oleh subjek, melainkan gagasan operator.

Lalu bagaimana subjek dalam foto melakukan tindakan performatif? Apakah tindakan performatif tersebut atas kesadarannya sendiri? Performativitas menurut Butler bukan tindakan tunggal, tetapi pengulangan dan ritual yang dampaknya adalah naturalisasi dalam konteks tubuh, dipahami, sebagian, dalam durasi yang berkelanjutan secara budaya.156 Gender bersifat performatif karena diproduksi melalui serangkaian tindakan. Tindakan performatif itu dilakukan

dalam bentuk stilisasi gender dari tubuh, yakni gerakan yang telah mengalami proses penghalusan sehingga tampak indah. Intinya, gender adalah “stylized repetition of acts”157 atau serangkaian pengulangan tindakan yang penuh gaya. Tindakan, ekspresi, gestur, mengimplikasikan identitas gender yang paling esensial. Femininitas pun merupakan tindakan meniru—dan itu tidak hanya dapat dilakukan oleh perempuan menurut perspektif biologis. Tindakan performatif, misalnya, dalam pementasan Ludruk ditampilkan oleh laki-laki yang meniru sikap, perilaku, hingga cara berbusana feminin. Kinerja berulang tersebut lantas diperformatifkan oleh subjek secara terus menerus sehingga ia diakui sebagai “perempuan”. Hal serupa, misalnya, dapat diterapkan ketika melihat perempuan pribumi saat mereka memperformatifkan diri hingga dikenali sebagai perempuan Jawa. Tentu konteks performativitas ini juga mengacu pada zaman. Di sinilah, teori Butler terkait performativitas untuk menekankan bagaimana gender dikonstruksi dan itu tidak bersifat alami menemukan bukti-buktinya.

Tindakan performatif dalam produksi foto sekilas tampaknya dihasilkan oleh subjek dalam foto. Namun dalam produksi foto, subjek dihadapkan dengan operator sebagai pencipta foto. Di situ ada dominasi kuasa yang dimiliki oleh operator. Judith Butler mengemukakan:

Tindakan, gerak tubuh, diberlakukan, umumnya ditafsirkan bersifat performatif dalam arti bahwa esensi atau identitas yang ingin mereka ungkapkan untuk diekspresikan adalah rekayasa yang dibuat dan dan dipertahankan melalui tanda-tanda tubuh dan cara diskursif lainnya.158 Citra perempuan pribumi yang ditampilkan dalam foto memperlihatkan serangkaian aksi, gestur tubuh, cara tersenyum, melirik, yang kesemuanya bersifat performatif. Dalam konteks Butler, performativitas itu dilakukan oleh subjek sebagai bagian dari identitas yang ingin diekspresikannya melalui detail gerak-gerik tersebut.

Namun dalam memproduksi foto, operator memproduksi performativitas itu “secara palsu” atau “direkayasa” guna mendapatkan identitas yang mereka inginkan—terkait imaji atas perempuan pribumi dalam masa kolonial—yang terus

157 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 191

dipertahankan dan disusun dengan berbagai kode-kode kultural sebagai sarana diskursifnya, baik visual maupun didukung wacana tekstual.

Butler menegaskan jika tubuh yang ber-gender itu secara performatif menunjukkan bahwa ia tidak memiliki status ontologis selain dari tindakannya yang membentuk realitas.159 Namun realitas sebagai efek dari wacana publik yang diserap oleh operator yang dilahirkan lagi dalam bentuk foto melalui subjek, sepenuhnya dikendalikan oleh operator. Subjek di situ pun bertindak dalam kontrol, yakni di bawah pengawasan operator. Performativitasnya sebagai perempuan pribumi dicitrakan, dikodekan, dikategorisasikan hingga membentuk identitas yang berkonotasi erotis, eksotis, rendahan, namun sekaligus mereka juga diposisikan sebagai “liyan” dan kurang beradab. Mereka tak lebih dari tanah koloni yang butuh diperadabkan oleh Barat, sebagaimana yang dikemukakan Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas:

“Melalui kekuasaan mereka atas tata budaya dalam kehidupan keseharian masyarakat kolonial, orang Eropa menciptakan sejumlah klise yang berbeda tentang ‘liyan’ pribumi, baik di Jawa atau di tempat lain. Orientalisme yang semula ‘tak terduga’ mereka ubah menjadi Orientalisme yang secara hakiki mempunyai ‘ciri utama, tetapi mudah ditebak’: percaya takhayul, berbelit-belit, tidak berkepribadian, atau banci.”160

Pengulangan performatif tersebut dibuat untuk menegaskan stereotip-stereotip yang telah ditetapkan bagi perempuan pribumi. Mereka dianggap “liyan”, terbelakang, banal, tidak terpuji, sementara dari kelas aristokrat ditampilkan lembut, ayu, bersahaja namun tanpa kuasa. Tindakan performatif yang cukup jelas justru ketika saya merasakan keganjilan dari foto Dua Perempuan Telanjang, betapa kecangungan dan kekikukan mereka adalah bahasa tubuh yang tidak bisa didustakan bahwa ada rasa tidak pas dengan apa yang sedang mereka lakukan, semacam ungkapan, “Kami tidak seperti ini!” Jadi, foto yang terkesan ganjil dan membuat perasaan saya tidak nyaman itu bukan karena mereka berpose telanjang tetapi dari dalam diri subjek dalam foto ada “kecanggungan performativitas” yang lantas melahirkan perlawanan sebagaimana diungkapkan melalui bahasa tubuh mereka. Mereka hanya “perform” sesuai arahan Van

159 Judith Butler. Op.Cit, hlm. 185

Kindsbergen untuk mengkonstruksi identitas pribumi “lesbian” dalam perspektif “Barat”, anggaplah mereka begitu, tetapi kenyataan mengungkapkan performativitas yang dalam kultur dipandang aib bisa sangat mengganggu pemikiran subjek. Terlebih saat mereka sadar ada kamera yang mendokumentasikan tindakan mereka. Sementara para model yang telah terbiasa “perform” tentu akan menampilkan “subjek” yang diperankannya demi memuaskan harapan operator yang dalam arti yang lebih luas memuaskan fantasi spectator Eropa atas “the Orient”. Mereka tentu berhasil sebagai “performance”.

Penelitian ini justru menjumpai performativitas-performativitas yang “direkayasa”. Hal yang juga tampak dalam foto baboe, budak Iloeh Sari, dan potret para aristokrat perempuan yang hadir seolah tanpa beban yang seakan-akan itu adalah performativitas nyata atau yang sehari-hari mereka tampilkan sebagai perempuan pribumi, namun mereka tetap tidak bisa membebaskan diri dari mem-“perform”-kan apa yang dikehendaki oleh operator. Hal itu terbaca dari ulasan saya pada bab sebelumnya, terkait bagaimana operator memiliki kelihaian untuk menyisipkan makna-makna ganda (konotatif) bagi spectator Eropa. Misal, budak Iloeh Sari—dengan tampil bertelanjang dada meski itu merupakan bagian dari performativitas keseharian sebagian perempuan Bali, dan tentu itu bukan masalah, namun ketika ia berpose dengan I Mriyakti, performativitas keduanya melahirkan wacana yang hanya dimiliki oleh operator dan kedua subjek itu lagi-lagi hanya muncul sebatas sebagai “performance”.

Performativitas subjek dalam foto-foto tersebut alhasil adalah performativitas yang “direkayasa” karena bukan subjek dalam foto yang menghendaki penampilan semacam itu, melainkan ia hadir melalui serangkaian arahan. Operator mengkonstruksi citra yang ingin dimunculkan dalam foto. Operator, meski dalam hal ini Kassian Cephas yang “pribumi” namun ia bergender laki-laki tidak sepenuhnya bebas, dalam teknik ia merepresentasikan perempuan pribumi tetap menggunakan perspektif male gaze, seperti bagaimana imajinya atas citra perempuan pribumi ideal—yang ayu, lembut dan santun. Performativitas itu masih merupakan performativitas ideal perempuan pribumi Jawa namun di bawah tatap mata maskulin. Lapis dari lapis performativitas itu

membentuk efek yang kemudian dianggap alamiah atau begitulah adanya. Padahal secara historis performativitas itu tidak pernah tetap.