• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jejaring: dari Lembaga Pemerintah ke Studio Foto, Kartu Pos, hingga Ruang-

BAB II FOTOGRAFI DI JAWA DAN BALI KURUN 1850-1912

C. Jejaring: dari Lembaga Pemerintah ke Studio Foto, Kartu Pos, hingga Ruang-

Harus dicatat bahwa kerja-kerja fotografi pada masa kemunculan teknologi reproduksi mekanik ini di Hindia Belanda melibatkan Batavian Society of Arts and Sciences yang didirikan oleh Jacob Cornelis Radermacher pada tahun 1778. Lembaga ini melibatkan fotografer dalam pendokumentasian objek penelitian mereka.

Baru setelah tahun 1851, sekitar lima dasawarsa setelah kekuasaan pemerintah Belanda secara resmi mengambil-alih peran VOC (Vereenigde

73 Steven Wachlin. Op.Cit, hlm. 25

Oostindische Compagnie) yang berhenti beroperasi di Hindia Belanda pada 31 Desember 1799, didirikanlah sebuah lembaga resmi yang dinamai KITLV atau Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi yang berkantor pusat di Leiden. Lembaga ini menggunakan dokumentasi fotografi sebagai salah satu bentuk dokumen dan arsip. Beberapa fotografer dipekerjakan untuk merampungkan pendokumentasian situs, candi, etnis, bangunan, hingga kultur masyarakat di tanah jajahan. KITLV mengkhususkan pada pengumpulan informasi dan memajukan penelitian mengenai keadaan masa kini dan lampau daerah-daerah bekas koloni Belanda dan wilayah sekitarnya.75 Di abad ke-21 ini, karena isu pendanaan, sejak 1 Juli 2014, Perpustakaan KILTV di Leiden bergabung dengan Perpustakaan Universitas Leiden, begitu pun keberadaan kantor KITLV di Jakarta juga dialihkan di bawah naungan lembaga yang sama. Lembaga ini hingga saat ini masih memiliki kantor perwakilan di Jakarta.

Ketiga buku yang menjadi sumber utama penelitian ini diterbitkan oleh KITLV Press, Leiden. Buku Woodbury & Page: Photographers Java yang ditulis oleh Steven Wachlin, terbit pada tahun 1994. Untuk kurasi foto, melibatkan kontribusi dari Marianne Fluitsma dan Gerrit Knaap. “Woodbury & Page” barangkali yang memproduksi dan mencetak foto-foto Orientalis dari Hindia Belanda di studionya secara masif. Sayangnya dalam buku itu, foto-foto tersebut tidak banyak dijumpai—melainkan lebih mengunggulkan bangunan Indies yang secara arsitektur dibangun oleh kolonial, lanskap di Hindia Belanda, perjalanan yang menyertai pejabat kolonial dan kehidupan masyarakat kolonial yang dipotret dari kejauhan.

Buku Cephas, Yogyakarta: Photograph in the service of the Sultan terbit pada tahun 1999, ditulis oleh Gerrit Knaap, sejarawan dan alumni Utrecht University. Minat penelitian Gerrit Knaap menyangkut sejarah Belanda di Asia dan Atlantik Selatan, khususnya pada masa kolonial, dalam konteks sejarah global.76 Buku ini dikerjakan dengan kurasi foto dilakukan oleh Yudhi Soerjoatmodjo. Dalam buku tersebut, Yudhi Soerjoatmodjo menulis The 75 https://kitlv.universiteitleiden.id/tentang-kami/ diakses pada 12 Maret 2020

Transfixed Spectator: The World as a Stage in the Photograph of Kassian Cephas77 yang menganalisa gaya Cephas memotret, menurut Yudhi, “dia memposisikan diri sebagai a spectator”, meski dalam konsep Barthes, Cephas adalah operator.

Empat puluh foto Cephas—termasuk yang terbit dalam buku tersebut— pernah dipamerkan di Kraton Yogyakarta atas kerjasama Kraton, KITLV, dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), dan diresmikan oleh Sultan Hamengku Buwana X.78 Pameran digelar sejak awal bulan Juni 1999 mengiringi kehadiran buku tersebut.

Buku Isidore van Kindsbergen (1821-1905): Photo Pioneer and Theatre Maker in the Dutch East Indies yang ditulis oleh Gerda Theuns-de Boer & Saskia Asser terbit pada tahun 2005. Buku ini tergolong yang paling ambisius karena disusun dalam dua bahasa, Inggris dan Belanda, dan pengerjaannya didahului oleh seminar Searching for and researching Isidore van Kindsbergen, 19th Century photography and drama in the Netherlands Indies79 yang diselenggarakan pada 14-15 Oktober 2004 dan dihelat oleh IIAS (International Institute for Asian Studies, Leiden) dan Huis Marseille, Foundation for Photography di Amsterdam. Foto-foto Van Kindsbergen juga dipamerkan di Huis Marseille pada 10 Desember 2005 hingga 26 Februari 2006 dengan tajuk sama persis dengan judul buku.

Awal abad ke-20, kunjungan orang-orang Eropa tidak lagi terkait kolonialisme belaka tetapi juga turisme. Di masa ini beberapa pelancong pulang membawa foto sebagai oleh-oleh. Sedang mereka yang tinggal sedikit lebih lama memilih untuk mengirimkan kartu pos. Kartu pos menjadi medium baru dalam memperkenalkan Hindia Belanda ke Belanda dan masyarakat lain di luar sana. Kartu pos tertua yang dikoleksi oleh Olivier Johannes Raap, peneliti kartu pos Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe, berasal dari tahun 1870-an yang diterbitkan oleh pos negara. Kartu pos dari periode itu belum bergambar. Baru sekitar 1900-an kartu pos bergambar mulai diterbitkan.80 Kartu pos bergambar itu menampilkan

77 Gerrit Knaap. Op.Cit, hlm. 25-27

78 https://majalah.tempo.co/read/layar/95455/cephas-fondasi-awal-fotografi-indonesia

diakses pada 11 Februari 2020

79 https://www.iias.asia/event/searching-researching-isidore-van-kinsbergen-19th-century-photography-drama-netherlands-indies diakses pada 20 Maret 2020

berbagai gambar indah, beberapa berwarna, bahkan penerbitnya tidak lagi pos negara tetapi juga penerbit-penerbit swasta. Kartu pos itu dibuat untuk memenuhi keinginan para pembeli yang sebagian besar peminatnya adalah orang asing sehingga sudut pandang yang ditawarkan adalah pandangan spectator asing. Tema yang diusung memang luas, meski tidak bisa dipungkiri bahwa foto-foto perempuan pribumi, di antara yang dihasilkan oleh para operator yang pernah bekerja di Hindia Belanda turut meramaikan “pasar” kartu pos—utamanya yang menunjukkan citra kehidupan eksotisme Timur dan hal-hal yang tidak ditemui di negeri mereka. Foto-foto karya Chepas, Van Kindsbergen, dan “Woodbury & Page” bertransformasi ke dalam bentuk kartu pos, beberapa dengan diberi sentuhan warna.

Wajah-wajah “pribumi”, begitu pun perempuan mulai beredar dalam skala global dan ternyata sangat diminati. Kartu pos memperluas lagi skala persebaran wajah-wajah “pribumi” di pasar global. Olivier Johannes Raap, mengungkapkan bahwa tradisi itu, yang semula mengoleksi foto atau album foto terkait potret orang-orang pribumi berlanjut beberapa dasawarsa kemudian dalam wujud kartu pos yang mempunyai pasar lebih luas dan harga lebih murah.81 Kehadiran studio foto mempermudah produksi foto-foto yang mampu memenuhi pangsa pasar tersebut.

Di luar proyek pemerintah Belanda di Hindia Belanda, para fotografer pun secara mandiri membuka studio foto. Beberapa teknik marketing dan upaya komersialisasi foto saat itu telah didukung oleh media cetak seperti koran. Iklan terkait studio foto dan tawaran pemotretan menghiasi koran-koran. Harga pun diusung. Elitisme foto mulai berkembang ke arah komersial. Siapa yang memiliki uang dapat mengaksesnya.

Pada tahun 1862 jumlah fotografer di Batavia meningkat berlipat ganda.82 Nama dan studio foto para fotografer itu seringkali muncul di koran-koran, beberapa masih bertetangga dengan Isidore van Kindsbergen. Van Kindsbergen sendiri tidak beriklan, ia memiliki jaringan dan kontak yang cukup untuk mendapatkan mandat dan penugasan secara resmi dari pemerintah kolonial, salah satunya melalui jaringan Alexis Loudon, Sekretaris Jenderal Hindia Belanda, yang

81 Olivier Johannes Raap. Op.Cit, hlm. xiv

memainkan peran cukup besar. Liputan dari media massa atau koran lokal yang menyertai perjalanan petinggi kolonial Hindia Belanda saat berkunjung ke daerah seringkali memperlihatkan foto-foto Van Kindsbergen. Tentu itu memperkuat nama Van Kindsbergen sebagai fotografer terkemuka dibandingkan iklan di satu kolom khusus dan memberinya keuntungan tersendiri. Meski begitu, Van Kindsbergen tetap membuka studio foto di Batavia dan di Surabaya.

Saat Cephas membuka studio di dekat rumahnya di Loji Ketjil, di Yogyakarta beroperasi juga dua studio foto lain yang dioperasikan oleh orang Tionghoa. Sementara ketika Woodbury membuka studio foto, ia pernah mengungkapkan dalam salah satu suratnya tertanggal 2 September 185783, bahwa di Batavia sudah ada beberapa fotografer yang bekerja dan datang lebih dulu sebelum mereka membuka studio, yakni: C. Duben dan A.F. Lecouteux. Dua fotografer ini juga mengiklankan bisnis mereka di koran. Iklan di koran menjadi salah satu daya tarik dan daya jual bagi studio foto. Iklan pendek itu biasanya mencantumkan nama studio foto, tempat/ alamat pemotretan atau studio foto, hingga harga cetak foto. Masa ini menandai komersialisasi foto. Komersialisasi fotografi dimulai pada 1850-an, termasuk halnya iklan. Konsumen terbesar “Woodbury & Page” yang paling utama adalah orang Belanda, beberapa orang Inggris dan Prancis, beberapa dari orang Tionghoa dari kelas kaya—sedang orang Melayu dipandang terlalu miskin untuk bisa membayarnya.84 Sebaliknya, orang-orang “Orient” itu justru banyak mengisi lensanya untuk kemudian dijual dan laris manis di pasaran.

Tak jarang, nama fotografer menjadi merek dagang tersendiri dalam bisnis ini—dan ini dibuktikan oleh firma “Woodbury & Page” yang pernah berganti kepemilikan ketika dijual kepada Carl Kruger pada tahun 1864 dan mereka membangun merek baru yaitu “H.J. Woodbury & Co.” —yang sempat membikin pusing pemilik koran tempat mereka memasang iklan, sehingga memasang nama lama, dapat menjadi gambaran bisnis di era modern. Klien fotografer keliling ini, yang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, untuk mencari klien baru, terutama pejabat kolonial Eropa yang kaya, kelas atas orang Tionghoa, dan penguasa lokal masih terus bertahan sampai awal abad ke-20.

83 Steven Wachlin. Op.Cit, hlm 11

Pada akhir 1850-an, teknologi fotografi telah berkembang menggunakan proses collodion yang jauh lebih efektif—dengan negatif dari plat kaca tunggal sehingga foto dapat dicetak dalam jumlah yang banyak dan bisa menekan harga— dibandingkan dengan daguerreotype.85 Penjualan negatif foto tidak hanya dilakukan Woodbury di dalam negeri tetapi hingga ke firma Negretti & Zambra, satu firma yang beroperasi di London. Dari sini potret ‘Timur’ Jawa terlihat nyata di mata para konsumennya yang diliputi rasa ingin tahu—dan hasrat itu terbayarkan secara visual melalui foto. Selain itu, karya-karya fotografi “Woodbury & Page” juga dipublikasikan di British Journal of Photography pada akhir tahun 1860 dan awal tahun 1861.86 Jurnal ini kini hadir dalam versi online dan masih bisa diakses hingga hari ini.

Perkembangan fotografi komersial kian meningkat drastis pada periode 1900-an, harga sesi pemotretan pun merosot tajam. Beberapa studio foto gulung tikar, termasuk di antaranya “Woodbury & Page”. Firma “Woodbury & Page” di masa paling akhir dikelola oleh Busenbender dan beralih nama “Busenbender & Co.” pun gulung tikar dan menutup operasinya pada 27 Februari 1908. Seluruh aset dijual, termasuk peralatan di ruang gelap hingga keseluruhan isi studio foto.

Cephas pensiun lebih dini dan bisnis dilanjutkan oleh anaknya, Sam Cephas—sayang bisnis ini kandas oleh kematiannya pada tahun 1912. Isidore van Kindsbergen telah lebih dulu meninggal pada 10 September 1905 di Batavia. Sebagian besar fotografer itu banyak yang kembali ke negeri asalnya, namun teknologi fotografi tetap berkembang di negeri koloni dan terus beralih tangan serta tetap memproduksi foto.