• Tidak ada hasil yang ditemukan

Erpangir Ku Lau dalam Budaya Karo dan Dimensi Difusinya

Dalam dokumen ANALISIS PERAN KETENG-KETENG (Halaman 153-158)

UPACARA ERPANGIR KU LAU DAN MAKNA-MAKNA SEMIOTIKANYA

4.1 Erpangir Ku Lau dalam Budaya Karo dan Dimensi Difusinya

Erpangir ku lau merupakan salah satu bagian dari aktivitas sistem religi

pada etnik Karo yaitu, erpangir atau keramas ke sungai. Pada zaman dahulu, orang Karo melakukan pesta erpangir ku lau untuk hajatan, antara lain: (1) Sukut yaitu berencana agar jumpa rejeki (keberuntungan), (2) karena baru terlepas dari bahaya misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit, (3) mengukuhkan prestise, mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah keluarga (sangkep geluh), (4) agar orang lain melihat keluarganya banyak (show force) (Ginting, 1999:38).

Untuk maksud dari tujuan-tujuan tersebut, kemudian ditanya guru Sibaso

si meteh wari telu puluh (yaitu, guru yang tahu membaca hari baik dan buruk). Bila

sudah didapat hari yang baik, semua keluarga diundang karena pesta erpangir ku lau adalah termasuk pesta besar di masyarakat masyarakat Karo. Erpangir berasal dari kata pangir, yang berarti langir. Dengan demikian erpangir, artinya berlangir (berpangir). Selain erpangir masih terdapat beberapa upacara religi yang dilakukan dalam kehidupan seseorang (keluarga) berdasarkan kepercayaan tradisional Karo. Misalnya: mukul pensakralan perkawinan ), mbaba anak ku lau (membawa anak turun mandi), juma tiga (upacara memperkenalkan anak kepada dasar pekerjaan tradisional Karo, yakni bertani), mengemabahken nakan (mengantar nasi untuk

152

orang tua), dan beberapa upacara religi alainnya. Penganut kepercayaan tradisional suku Karo tidak mengenal kewajiban demikian. Mereka hanya mengadakan upacara religi ini apabila diperlukan saja. Misalnya pada waktu mendapat nasib baik, kelahiran, perkawinan, dan lain-lain. Jadi erpangir ku lau adalah suatu upacara religi berdasarkan kepercayaan tradisional yang masih dilakukan Karo (Pemena), dimana sesorang atau keluarga tertentu melakukan upacara berlangir dengan atau tanpa bantuan dari guru, dengan maksud tertentu.

Secara difusi, ritual mandi dengan menggunakan berbagai benda upacara yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan merupakan fenomena yang umum kebudayaan masyarakat di Nusantara ini, termasuk di Tanah Karo. Di dalam kebudayaan Melayuada ritual mandi ke suangi untuk membesihkan diri yang dilakukan pada bulan Syafar, pada kalender Hijrah. Ritual ini disebut dengan mandi Syafar. Tujuan utamanya adalah membersihkan jasmani dan rohani dari kekotoran-kekotoran yang selama ini menempel dalam tubuh seseorang.

Selain itu, dalam kebudayaan Melayu juga dikenal dengan istilah tepung tawar (atau tampung tawar), yang tujuannya juga memberikan semangat atau mengembalikan semangat melalui ramuan-ramuan tumbuhan. Menurut Lah Husni telah menjadi adat kebiasaan pula, bahwa suku Melayu memakai tepung tawar pada beberapa upacara dan kejadian-kejadian penting, seperti perkawinan, pertunangan, sunatan, seseorang yang kembali dengan selamat dari suatu perjalanan, atau terlepas dari marabahaya, atau mendapat rahmat dari Tuhan di luar dugaannya. Menurut Husni istilah tepung tawar ini berasal dari kata tampung tawar yang maknanya tangan menampung penawar atau obat. Susunan tepung tawar yang biasa digunakan

153

masyarakat Melayu Sumatera Utara *yang biasa berinteraksi dengan masyarakat Karo Jahe) secara umum terdiri dari tiga bahagian pokok: (1) ramuan penabur yang terdiri daripada: a. beras putih yang melambangkan kesuburan, b. beras kuning yang melambangkan kemuliaan dan kesungguhan, c. bertih yang melambangkan perkembangan, d. bunga rampai yang melambangakan keharuman nama, e. tepung beras yang melambangkan kebersihan hati; (2) ramuan rinjisan yang terdiri dari daun kalinjuhang (silinjuhang); tangkai dan daun pohon pepulut (sipulut); daun gandarusa atau daun sitawar; daun jejerun (jerun-jerun), daun sepenuh, daun sedingin serta pohon dan akar sembau; (3) perdupaan yang terdiri dari kemenyan atau setanggi yang dibakar—yang dapat diertikan doa kepada Yang Maha Kuasa (Husni, 1977:74-79). Masyarakat karo pun menggunakan ritual tepung tawar seperti ini terutama di kawasan Karo Jahe.

Selanjutnya pada kebudayaan Batak Toba terdapat sebuah ritual yang diekspresikan dalam menari (tortor) dengan menggunakan properti cawan, yang lazim disebut dengan tortor saoan. Pada awalnya aktivitas tortor ini adalah bahagian dari ritual penyembuhan penyakit, baik itu fisik atau psikis, atau gangguan makhluk-makhluk halus kepada seseorang yang menderita sakit. Untuk mengobatinya datu atau dukun menggunakan air di dalam cawan dan memercik-mercikkannya dengan menggunakan daun ke tubuh orang yang sakit, dengan harapan semoga Tuhan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh yang sakit tersebut. Pada masa sekarang ini ritual penyembuhan penyakit melalui tortor saoan ini berkembang menjadi ritual pertunjukan budaya untuk kepentingan hiburan kepada penonton yang menekankan kepada unsur estetis, yang lazim dikenali sebagai judul tari dan gondang yang

154

disebut Tortor Saoan.

Di dalam kebudayaan Jawa, baik di Tanah Jawa atau masyarakat Jawa Deli (Pujakesuma) terdapat aktivitas membersihkan diri dengan cara mandi menggunakan air yang dicampur daun pandan yang telah direbus, yang disebut

mangiran. Aktivitas ini bertujuan untuk membersihkan diri dari segala macam

penyakit dan kotoran yang diidap oleh seseorang itu. Bahkan setiap akan menyambut bulan puasa Ramadhan, orang Jawa yang beragama Islam umumnya melakukan ritual mangiran ini.

Dengan melihat contoh-contoh tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa upacara membersihkan diri dengan cara mandi dengan air yang dicampur unsur-unsur tumbuhan, untuk menolak penyakit dan kesialan, adalah umum dijumpai di Nusantara ini. Upacara ini biasanya berhubungan dengan sistem kosmologi dan kosmogoni yang dianut mereka. Ritual ini berkait erat dengan alam gaib dan dunia supernatural. Namun setelah agama-agama besar masuk biasanya ritus tersebut disesuaikan dengan ajaran agama yang dikembangkan. Atau ada juga yang mengharamkan. Tergantung dengan cara pandangan dan landasan keagamaan yang dianut oleh para penganut agama yang bersangkutan. Jadi jelas bahwa erpangir ku lau dan sejenisnya memang mengalami difusi di Alam Nusantara ini. Hanya terjadi pembumian budaya setempat, yang membedakannya dis etiap kawasan budaya di Nusantara ini.

Selanjutnya, ada beberapa alasan mengapa seseorang/keluarga tertentu mengadakan upacara erpangir ku lau yaitu seperti uraian berikut ini.

155

(1) Untuk mengucapkan terimakasih kepada Dibata dalam hal ini erpangit ku

lau dilakukan sebagai ucapan terima kasih dan syukur kepada Dibata (Tuhan),

yang telah memberikan rahmat tertentu. Misalnya, memperoleh keberuntungan, terhindar dari kecelakaan, memperoleh hasil panen yang berlimpah, sembuh dari penyakit, dan lain sebagainya.

(2) Menghidarkan suatu malapetaka yang mungkin terjadi. Dalam hal ini orang Karo melakukan upacara erpangit ku lau sebagai upaya untuk menghindakan suatu malapetaka yang akan terjadi, itu biasanya sudah terlebih dahulu diterka melalui firasat suatu mimpi yang buruk, atau berdasarkan keterangan dan saran dari guru.

(3) Menyembuhkan suatu penyakit. Erpangit ku lau diadakan sebagai upaya untuk mengobati suatu jenis penyakit tertentu. Misalnya untuk mengobati orang gila, atau yang diserang oleh begu, sedang bela, atau jenis hantu lainnya.

(4) Mencapai maksud tertentu. Adakalanya erpangit ku lau ini dikakukan sebagai upaya untuk memohon sesuatu kepada Dibata (Tuhan). Misalnya agar cepat dapat jodoh, mendapat panenan atau keberuntungan, memperoleh kedudukan yang baik, dan sebagainya.

Pada perencanaan tersebut telah ditentukan siapa nanti menjadi guru (medium) yang akan membuat "bulung pengarkari" (penangkal kemalangan) atau dikatakan pangir (erpangir). Semua sangkep nggeluh sukut diundang untuk

erpangsr ku lau (berlangir ke sungai) atau ada pula yang melakukannya di lau sirang atau sungai yang bercabang, dan lain-lain. Dalam rangka erpangir ku lau,

156

animistis senantiasa terkait secara intens, merupakan unsur kepercayaan lama kepada begu begu melalui medium yang melakukan ritus-ritus tertentu. Tidak hanya sebagai aspek sosial tapi juga religius. Dengan demikian erpangir ku lau merupakan sebuah ucapan syukur kepada keramat yang dianggap di dalamnya bisa membantu baik dalam kehidupan keluarga, pekerjaan, rejeki, penyakit dan jabatan sebagaimana dikemukakan di atas.

Dalam dokumen ANALISIS PERAN KETENG-KETENG (Halaman 153-158)