• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Semiotika

Dalam dokumen ANALISIS PERAN KETENG-KETENG (Halaman 64-70)

1.5 Konsep dan Teori yang Digunakan

1.5.4 Teori Semiotika

Untuk mengkaji makna simbol dan berbagai bentuk benda atau tatacara yang ada dalam pelaksanaan erpangir ku lau, penulis menggunakan teori semiotika. Menurut Encyclopedia Brittanica (2007), semiotika atau semiologi adalah kajian

63

terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam prilaku manusia. Sejalan dengan pemahaman ini, Ferdinan de Sausurre seorang pendiri teori semiotika dari Swiss mengatakan, bahwa semiotika merupakan kajian mengenai kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu. Gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi.

Roland Barthes (1915-1980), mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dengan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Konotasi adalah tingkan pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dengan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323).

64

Bagan 1.1: Segitiga Makna Objek

Representamen Interpretan

Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut.

65

Bagan 1.2: Pembagian Tanda

Ground/ representamen : tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.

Objek/ referent: yaitu apa yang diacu.

Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.

Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.

Ikon: tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.

Rheme: tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.

Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.

Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.

Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.

Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam pelanggaran.

Symbol: hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer

konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.

Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.

66

Bagan 1.3: Hubungan Tanda

Sumber: Erni Yunita (2011)

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang

menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R),

67

secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara (R) dan (O).

Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang disitu” (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotika yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif” (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya

68

Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis dari yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.

Teori semiotika ini penulis gunakan untuk menganalisis makna-makna yang terdapat di sebalik pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Seterusnya mencakup makna upacara itu sendiri, benda-benda upacara, alat-alat musik dalam gendang telu

sendalanen yang digunakan sebagai media upacara, makna komunikasi verbal dan

nonverbal, makna bunyi musik (yang mencakup ritem dan meelodi), gerak-gerik peserta upacara dan si erjabaten, dan lain-lainnya.

Dalam dokumen ANALISIS PERAN KETENG-KETENG (Halaman 64-70)