1.5 Konsep dan Teori yang Digunakan
1.5.2.1 Teori Fungsionalisme
Untuk menganalisis peran keteng-keteng dalam ensambel gendang telu
sendalanen dalam konteks upacara erpangir ku lau digunakan teori fungsionalisme.
Teori ini akan mengurai peran musical, dan yang lebih jauh lagi guna dan fungsi sosiobudayanya dalam kebudayaan Karo.
38
Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat. Fungsionalisme struktural atau lebih populer dengan struktural fungsional merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau “analisis sistem” pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep. Namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.
Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif, fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu. Fungsi juga menunjuk pada proses yang sedang atau yang akan berlangsung, yaitu menunjukkan pada benda tertentu yang merupakan elemen atau bagian dari proses tersebut, sehingga terdapat perkataan ”masih berfungsi” atau ”tidak berfungsi.” Fungsi tergantung pada predikatnya, misalnya pada fungsi mobil, fungsi rumah, fungsi organ tubuh, dan lain-lain--termasuk fungsi komunikasi politik yang digunakan oleh suatu partai politik. Secara kuantitatif, fungsi dapat menghasilkan sejumlah kondisi sosial
39
tertentu, sesuai dengan target, proyeksi, atau program yang telah ditentukan oleh partai politik.
Fungsi sebagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia dengan harapan dapat tercapai apa yang diinginkan (Michael J. Jucius dalam Soesanto, 1974:57). Michael J. Jucius dalam hal ini lebih menitikberatkan pada aktivitas manusia dalam mencapai tujuan. Berbeda dengan Viktor A. Thomson dalam batasan yang lebih lengkap, tidak hanya memperhatikan pada kegiatannya saja tapi juga memperhatikan terhadap nilai (value) dan menghargai nilai serta memeliharanya dan meningkatkan nilai tersebut. Berbicara masalah nilai sebagaimana dimaksud oleh Viktor, nilai yang ditujukan kepada manusia dalam melaksanakan fungsi dan aktivitas dalam berbagai bentuk persekutuan hidupnya. Sedangkan benda-benda lain melaksanakan fungsi dan aktivitas hanya sebagai alat pembantu bagi manusia dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Demikian pula fungsi komunikasi dan fungsi politik, fungsi dapat kita lihat sebagai upaya manusia. Hal ini disebabkan karena, baik komunikasi maupun politik, keduanya merupakan usaha manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Sedangkan fungsi yang didefenisikan oleh Oran Young sebagai hasil yang dituju dari suatu pola tindakan yang diarahkan bagi kepentingan (dalam hal ini sistem sosial atau sistem politik). Jika fungsi menurut Robert K. Merton merupakan akibat yang tampak yang ditujukan bagi kepentingan adaptasi dan penyetelan
(adjustments) dari suatu sistem tertentu, maka struktur menurut S.P. Varma
menunjuk kepada susunan-susunan dalam sistem yang melakukan fungsi-fungsi. Struktur dalam sistem politik adalah semua aktor (institusi atau person) yang terlibat
40
dalam proses-proses politik. Partai politik, media massa, kelompok kepentingan
(interest group), dan aktor termasuk ke dalam infrastruktur politik, sementara
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif termasuk ke dalam supra struktur politik. Dengan demikian pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan. Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri/sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin (1989:439).
Peranan merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah sistem. Misalnya, jika dalam pelaksanaan pelaksanaan upacara keagamaan, dalam hal ini pada upacara tertentu dalam etnik Karo misalnya pada upacara erpangir ku
lau, maka gendang telu sendalanen atau gendang lima sendalanen sebagai
perangkat alat musik tradisional etnik Karo wajib disertakan sebagai salah satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel gendang telu
sendalanen atau gendang lima sendalanen merupakan salah satu indikator yang
41
lau,. Bunyi dari ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang
dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran.
Mengacu pada pendapat tersebut, secara rinci dalam sisi pandang musiko-antropologis, bahwa fungsi musik dalam sebuah masyarakat berkenaan dengan berbagai kebutuhan. Di antaranya: (a) sebagai wahana ekspresi emosional, (b) sebagai kenikmatan estetik, (c) sebagai hiburan pada berbagai tingkat masyarakat (d) sebagai fungsi komunikasi, (e) sebagai referensi simbolis (f) sebagai alat respon fisikal, (g) sebagai penguat konformitas norma sosial, (h) sebagai kontribusi untuk kontinuitas dan stabilitas kultural, dan (i) sebagai penopang integrasi sosial.
Keragaman fungsi di atas, selain akan berkaitan dengan problematika teknik artistik musik yang berupa elemen melodi, ritem, timber, harmoni, tekstur, juga akan dihadapkan lagi pada pluralitas etnik dari berbagai aspek budaya lainnya. Sudah tentu akan terimbas pada tekstual dan hal-hal linguistik. Sehingga dapat kita telusuri, betapa rumitnya kajian etnomusikologis dan interdisiplin musik yang keseluruhannya bermuara pada upaya melihat esensi fenomena musikal dan kaitannya dengan dinamika kehidupan manusia, baik secara personal maupun sebagai elemen komunal sebuah masyarakat (Merriam dalam Pasaribu 2004).
Dalam konteks fungsi musik sebagai kenikmatan estetik adalah bagaimana etnik Karo menempatkan dirinya ketika berada dalam suatu suasana seremonial atau pada upacara adat yang menyertakan musik tradisional. Menari sebagai bagian dari ritual adat atau keagamaan tidak hanya dipandang sebagai suatu aturan atau kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun, namun dalam pelaksanaan aktivitas
42
menari harus menggambarkan nilai-nilai keindahan (estetika). Nilai-nilai estetika tersebut tidak hanya dapat dirasakan oleh kelompok yang sedang melaksanakan tarian, tetapi juga harus dapat dirasakan oleh partisipan lainnya yang pada saat itu tidak turut menari.
Sikap serius dalam pelaksanaan tari sangat berhubungan dengan penghayatan estetis si penari terhadap ensambel musik tradisional yang mengiringi tarian tersebut. Hubungan komposisi musik yang dibawakan oleh ragam alat musik dalam mengiringi tarian dan gerakan-gerakan tari yang dilakukan akan menampilkan nilai-nilai estetik baik bagi penari, maupun bagi partisipan lainnya dalam pelaksanan ritual adat.
Fungsi musik musik tradisional sebagai komunikasi dapat dilihat ketika ensambel musik tradisional mulai dimainkan dalam sebuah upacara baik yang bersifat religi, maupun pada upacata adat. Dalam hal ini seluruh partisipan (pendukung upacara) dapat mengetahui bahwa upacara adat telah dimulai. Dengan demikian fungsi musik tradisional sebagai alat komunikasi jelas dipahami oleh seluruh pendukung upacara.
Fungsi musik tradisional sebagai pengintegrasian masyarakat adalah bahwa musik berperan sebagai wadah atau sarana untuk berkumpul bagi masyarakatnya. Dalam hal ini pihak sukut dengan seluruh unsur kekerabatannya untuk berkumpul, serta berinteraksi, dan semakin lama terjadi dalam upacara adat.
Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga
43
bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun 1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu
44
kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily
comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari
kebudayaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar itu. Dalam pemenuhan kebutuhan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan.
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
45
Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang manjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski, Radcliffe-Brown (Ihromi, 2006), mengatakan, bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.
Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander, itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di mana pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas desa Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas.
46
Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya, dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut: 1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen
dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berprilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut;
3. Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;
4. Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu;
5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922:233-234).
Radcliffe-Brown kemudian menyarankan untuk memakai istilah “fungsi sosial” untuk menyatakan efek dari suatu keyakinan, adat, atau pranata, kepada soladaritas sosial dalam masyarakat itu, dan ia merumuskan bahwa: “… the social
function of the ceremonial customs of the Andaman Islanders is to transmit from one generation to another the emotional dispositions on which the society (as it constituted) depends for its existence.”
Radcliffe-Brown juga memiliki teori yang sama dengan Malinowski yaitu teori fungsionalisme. Menurut beliau lebih menekankan teori fungsional struktural,
47
ia mengatakan, “… bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahakan struktur sosial masyarakat dan struktur sosial masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada.”
Jadi, menurut penulis, kedua teori fungsional ini memfokuskan fungsi-fungsi sosial budaya pada apa penyebabnya. Bagi Malinowski penyebab fungsi itu adalah pada kebutuhan dasar manusia sebagai individu-individu. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi itu muncul untuk memenuhi sistem sosial yang telah dibangun berdasarkan kesepakatan bersama.
Dalam konteks penelitian ini keteng-keteng dalam kebudayaan masyarakat Karo jika dianalisis dari teori fungsionalnya Malinowski bahwa setiap individu orang Karo perlu mengekspresikan perasaan keindahannya melalui seni gendang. Jadi faktor individulah yang paling dominan menurut teori fungsionalnya Malinowski ini. Kalau menurut teori fungsionalismenya Radcliffe-Brown maka semua aktivitas budaya yang melibatkan penggunaan keteng-keteng adalah karena memenuhi sistem-sistem sosial yang dikendalikan secara bersama oleh masyarakat Karo. Jadi menurut teori fungsionalisme Radcliffe-Brown, keteng-keteng timbul karena kebutuhan masyarakat secara bersama, bukan karena individu.