UPACARA ERPANGIR KU LAU DAN MAKNA-MAKNA SEMIOTIKANYA
4.5 Sebab Dilakukan Upacara Erpangir Ku lau
4.6.1 Persiapan Upacara
Pelaksanaan kerja erpangir ku lau dilaksanakan pada tanggal 19 Januari 2011 di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng. Sekitar 2 minggu sebelum hari pelaksanaan, keluarga Sembiring Kembaren/Beru Ginting sebagai si man pangiren
Si man pangiren adalah orang yang hendak dikeramasi. Orang yang hendak
dikeramasi ini adalah individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang ingin melakukan upcara ritual karena berbagai latar belakang. Namun tujuannya adalah pembersihan dari hal-hal yang kotor atau yang tidak diinginkan, supaya mendapat kemalemen ate.
Dalam hal ini keluarga Sembiring Kembaren/Beru Ginting telah melakukan persiapan mengenai segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara sesuai dengan tatat cara pelaksanaan sesuai dengan adat-istiadat Karo yang tercakup ke dalam rakut si telu.
Dalam tahap perencanaan, ditentukan siapa yang menjadi guru sibaso (medium) yang akan membuat bulung pengarkari (daun penangkal) atau pangir
(erpangir). Semua sangkep nggeluh sukut diundang untuk mengikuti upacara erpangsr ku lau yakni di satu tempat air mengalir (pancur) yang tidak jauh dari
rumah keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’. Dalam hal ini pihak sukut telah mempersiapkan segala sesuatunya seperti mengundang guru sibaso, erjabaten (pemain musik), menata pancuran dalam pelaksanaan erpangir, serta ragam konsumsi yang dibutuhkan untuk menjamu tamu yang berpartisipasi dalam upacara
168
tersebut. Pada hari Sabtu pagi, tanggal 19 Januari 2011, pihak beru telah mempersiapkan bahan untuk pelaksanaan erpangir ku lau. Mengingat erpangir ini tergolong pada pangir sintua, maka bahan-bahan yang dipergunakan terdiri dari:
(1) Penguras
(2) Tujuh jenis jeruk, jeruk purut harus ada
(3) Wajan (belanga), sebagai tempat penguras (pangir)
(4) Lokasi dilakukuan di sekitar rumah keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ sebagai si man pangiren.
(5) Diletakkan atas sagak (corong bambu) dan di pinggirnya di beri berjanur (lambé)
(6) Erkata gendang (memakai peralatan alat music tradisional Karo yaitu
gendang telu sendalanen).
(7) Guru (pembimbing atau pemimpin ritual)
Dalam upacara ritual erpangir dalam ketegori jenis upacara yang besar sampai kecil (kerja sintua, kerja sintengah dan kerja singuda) peran guru sangat penting hadir dalam upacara tersebut sebagai mediator sekaligus pembimbing jalannya upacara erpangir tersebut. Guru atau kadang juga disebut orang sebagai dukun atau tabib adalah orang yang mempunyai keahlian khusus untuk melakukan berbagai macam upacara ritual. Guru inilah yang kemudian berperan sebagai juru pangir atau yang memandikan atau mengkeramasi individu-individu yang terlibat dalam upacara tersebut. Guru diyakini dapat mengobati, menghilangkan hal-hal yang tidak berkenan (kotor), penyakit yang ada pada manusia, atau juga menabalkan seseorang menjadi guru juga.
169
Gambar 4.1a dan 4.1 b
170
Gambar 4.2
171
Kerja (pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada pada
masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya hewan yang disembelih adalah sapi (lembu).
Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang dikenal dengan sangkep
nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina
(saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan anak beru (pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial tersebut mempunyai peranan masing-masing serta bagaimana mereka berlaku dalam upacara tersebut. Dalam hal ini anak
beru biasanya mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan
pelaksanaan upacara seperti, memasak makanan untuk seluruh peserta upacara, melengkapi persiapan erpangir, dan mengatur segala sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya. Demikian juga dengan pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan peranan masing-masing. Dalam kegiatan ini pihak si man
pangiren menggunakan alat musik gendang telu sedalanen serta landek (menari)
sesuai dengan peranannya masing-masing dalam upacara tersebut.
Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara berbagai persiapan telah dilakukan seperti pemberitahuan dengan mengundang famili yang berkaitan dengan sistem kekerabatan dalam rakut si telu untuk membicarakan pelaksanaan upacara
172
agar berjalan lancar sesuai dengan yang diharapkan.
Demikian halnya dengan pancuran yang berada tidak jauh dari rumah keluarga Sembiring Kembaren/Beru Ginting. Telah dibenahi dengan menambah aliran pancuran dengan menggunakan bambu agar beberapa orang sekaligus dapat melaksanakan erpangir (berpangir), termasuk membenahi jalan menuju pancuran agar peserta upacara lebih leluasa berjalan ke arah pancuran sebagi lokasi pelaksanaan erpangir. Demikian halnya lokasi sekitar pancuran turut dibenahi agar pelaksanaan erpangir dapat berjalan dengan baik.
Gambar 4.3
173 4.6.2 Pelaksanaan Upacara
Pelaksanaan upacara erpangir ku lau yang dilaksanakan oleh keluarga ‘Sembiring Kembaren/Beru Ginting’ sebagai si man pangiren. Setelah seluruh partisipan upacara (undangan) hadir, dan persiapan (bahan-bahan) dilengkapi, upacarapun dimulai.
Guru memulai dengan ucapan permohon kepada dibata kaci-kaci melalui
mantra (tabas) agar diberi kekuatan. Kemudian mantra (tabas) pangir di atas anjab (corong bambu). Kemudian mengucapkan persentabin (kata maaf) dengan menggunakan satu lembar kain putih (dagangen), belo baja (sirih dan minyak kayu besi), belo minak (sirih dan minyak makan), belo cawir (sirih tanpa cacat), dan
serpi sada (alus). Guru mencuci kaki, tangan, dan mukannya dengan air, kemudian
mencuci muka (erduhap) dengan penguras. Air penguras di tempatkan di atas kain tebal (hitam), di bawah kain tema tikar putih si sopé keliamen (belum tercemar),
guru kemudian menghadap ke timur (ku matawari) sambil berdiri, kemudian berkata
melalui mantra , “Asa sentabi aku, nembah man kam beras pati taneh.
Kamonjaken-kamundulan jelma manusia enda nembah pitu persentabinku ... dan seterusnya.”
Selanjutnya guru memanggil guru yang pernah mengajarinya melalui mantra. Lalu guru duduk, diberi sirih (ikapuri belo)/ belo yang diberikan kepadanya adalah: belo cawir (tanpa cacat) berisi kapur, tembakau, dan pinang. Kemudian guru bermantra (ertabas). Lalu guru memakai tudung kain putih (dagangen) yang diletakkan di atas kepala. Belo baja minak dan belo cawir ada di tanganya, lalu ia mengarahkan tangkai sirih itu ke sagak (ke timur).guru kemudian bermantra lagi
174
yang isinya membuang sial-sial dari badan si man pangiren.
Hal ini dilakukan sebanyak lima tahapan. Kemudian guru bermantra pada empat tempat di sekitar sagak tempat pangir. Pada masing-masing tempat itu, dibacakannya mantra pertama ditambah persentabian. Kemudian guru empat kali duduk, dan setiap ia duduk dikapuri belo (diberi sirih). Guru kemudian memberi
belo penurungi (ramuan sirih, kapur, gamber) sebanyak empat buah. Kemudian
menyelempangkan dagangen (kain putih) di atas kepalanya dan bukan lagi dibungkukkan (diletakkan saja) di atas kepala.
175
Gambar 4.4.
176
Selanjutnya guru memasukkan serpi (uang) kedalam belanga (wajan).
Guru bermantra pada setiap tempat menyemburkan air sirih (penurungi) ke belanga.
Jadi ada empat kali proses dilakukan. Kemudian dimantrai kembali, tetapi pada mantra ini persentabin dan pendilon tidak dipakai. Mulai dari tempat pertama. Setelah ini selesai sudah dapat melakukan erpangir (berlangir). Orang yang
erpangir semua menghadap ke arah aliran air (kenjahe), kemudian dipangiri
berturut-turut. Pengaturannya dapat dilakukan berbaris atau berlapis-lapis.
Gambar 4.5
177
Setelah tahapan persentabian dilakukan, selanjutnya dilakukan upacara
erpangir. Urutan erpangir di mulai dari seseorang yang mempunyai nama yang
bermakna baik (boleh siapa saja), guru kemudian menepiskan dagangen
(bulang-nya), yang tepinya telah dicelupkan ke pangir (lau penguras).
Gambar 4.6
178
Setelah selesai erpangir semua, maka sisa pangir harus dibuang. Untuk itu guru mengucapkan mantra yang berisi tentang pembuangan pangir.
Tabas si dingin Nampakken Sunu butara de sunu pemarpar Parparken, pipirken ngalah
Ngalahna antu, embuna (danak-danak) Bangsana-kelesana
Sesudah tiga kali, semua berlangir (erpangir) putar pandangan kearah timur (nengkeng), kemudian ipangiri satu kali lagi, jadi jumlah erpangir adalah sebanyak empat kali. Kemudian masing-masing dapat mandi di pancuran atau di sungai. Guru kemudian membunag sanga-sanga (sisa pangir) ke batu, sebelum membuangnya di ucapkan kata-kata:
Aloken min begu simalangsai (terimalah o hantu simalangsai) Ras nini raja kolopung (bersama nenek raja kolopung) Ras suruh-suruhenndu (bersama pelayan-pelayanmu)
Si maba, si Ari, si Tonu, si Dara (Si maba, si Ari, si Tonu, si Dara) Aloken panger persilihi (terimalah panger pengganti)
Sidang sisindu si … (anu) enda (yang sakit ini)
179
(anu) enda nini dari si … (anu) ini nenek
Bandu deraham Patamas (untukmu deraham Patamas)
Dagangen mbentar, manok Megara (kain putih, ayam merah) Nakan pelen-pelen cina (nasi semua cabai)
Datang-datangen (kurang ajar)
Upahndu megegeh ngakuken cilaka (upahmu menghindarkan celaka jahat) Man si (anu) enda, ras anak beru Dari si …(anu) ini, beserta anak beru Senina ras puang kalimbubu (senina dan puang kalimbubu)
Sumpak singari-ngari (berikut orang yang menghibur)
Kemudian guru membuang saga-saga itu. Lalu menafsirkan makna dari pangir itu. Yang terbaik maknanya apabila semua telungkup, atau sebagian besar telungkup. Biarpun terbuka, asal di sbelah kiri telungkup (langkem) sudah baik
(salan sai). Akan tetapi makna ayam waktu dipotong dan juga sanga-sanga tidak
baik, harus ditunggu selama empat hari dan empat malam, untuk mengetahui bagaimana mimpi. Kalau tidak bermimpi ini pertanda sudah baik. Namun demikian, apabila ada mimpi buruk selang waktu empat hari, maka harus dibuat persilihi (korban sebagai pengganti manusia). Kalau makna mimpi itu baik, itu sudah bagus. Seandainya makna ayam sudah baik, tetapi sanga-sanga tidak, maka harus ditunggu selama tujuh hari. Perhatikan makna mimpi dalam jangka waktu tersebut. Kalau makna ayam tidak baik, sebaliknya makna sanga-sanga baik maka sanga harus ditunggu selama tujuh hari untuk menentukan tindak lanjut berikutnya. Dalam
180
selang waktu tersebut semua persoalan-persoalan keluarga (jabu) sudah terselesaikan.
Gambar 4.7
181
Dalam masyarakat Karo kerja erpangir ku lau, tidak sekadar pelaksanaan seremoni berpangir untuk membersihkan tubuh, tetapi lebih bersifat magis, mitis, animistis senantiasa terkait secara intensif dari zaman ke zaman . Hal ini merupakan bahagian dari unsur kepercayaan lama, dimana partisipan atau peserta upacara dapat berkomunikasi kepada begu-begu melalui guru yang dilakukan melalui mantra
(tabas). Dengan demikian, upacara erpangir ku lau dalam kebudayaan masyarakat
Karo mengekspresikan sistem kosmologi, yang terdiri dari alam dunia nyata ini dan adanya alam gaib yang perlu dijaga hubungannya, agar terjadi keseimbangan kosmologis, di bawah bimbingan Yang Maha Kuasa yaitu Dibata Kaci-Kaci.
Setelah datangnya agama Kristen (Protestan dan Katolik) serta Islam, maka upacara ritual ini mengalami perubahan-perubahan bagi pengikut agama tersebut dengan berbagai polarisasi. Ada yang melarangnya dan menjauhi ritual ini. Ada pula yang mencoba menyelelaraskannya dengan ajaran-ajaran agama yang dianut. Dalam ilmu agama, proses ini biasa disebut dengan pembumian agama. Dalam ilmu antropologi disebut dengan akulturasi. Dengan demikian upacara erpangir ku lau ini masih mengalami proses perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia akan terus dilaksanakan oleh para pendukungnya yang mempercayai institusi budaya ini untuk memenuhi keinginan akan kesehatan jasmani dan rohani, untuk memperoleh keturunan, untuk memperoleh jodoh, dan berbagai keperluan budaya dan sosial lainnya.
182 4.7 Analisis Semiotika