ANALISIS PERAN KETENG-KETENG DALAM ENSAMBEL
GENDANG TELU SENDALANEN SEBAGAI MEDIA
DALAM KONTEKS UPACARA ERPANGIR KU LAU
DI DESA KUTA MBELIN KECAMATAN
LAU BALENG KABUPATEN KARO
TESIS
Oleh
JAMAL KARO-KARO
NIM 107037001PROGRAM STUDI MAGISTER (S2)
PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2012
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan atau budaya merupakan keseluruhan hasil budi dan daya manusia, yang mencakup ragam ilmu pengetahuan, kepercayaan atau sistem religi, kesenian, organisasi sosial (yang mencakup sistem kekerabatan atau adat-istiadat), teknologi, mata pencaharian hidup atau ekonomi, dan bahasa--yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Lazimnya, kebudayaan diwujudkan mulai dari tahap gagasan atau ide, kemudian dilanjutkan dalam bentuk kehidupan yang mencerminkan nila-nilai yang dikandungnya, dan juga dalam bentuk artefak atau benda-benda budaya. Pada dasarnya tata kehidupan dalam masyarakat tersebut tertentu merupakan pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang bersifat abstrak.1 Demikian juga yang terjadi pada kebudayaan masyarakat Karo di Sumatera Utara.
Keseluruhan fase dari tumbuh dan berkembangnya kebudayaan tersebut, sangat erat hubungannya dengan pendidikan. Semua materi yang terkandung dalam
1
Koentjaraningrat (1980) membagi kebudayaan dalam dua dimensi yaitu isi dan wujud. Dimensi isi disebutnya juga dengan tujuh unsur kebudayaan universal. Yang terdiri dari: sistem religi, bahasa, organisasi sosial, teknologi, pendidikan, ekonomi, dan kesenian. Sementera di sisi lain, dimensi wujud budaya ada tiga, yaitu wujud: (a) ide atau gagasan, (b) aktivitas atau kegiatan, dan (c) artefak atau benda-benda. Kedua dimensi ini saling berhubungan. Misalnya dalam konteks Sumatera Utara, ulos adalah artefak pakaian dalam kebudayaan Batak Toba dan Mandailing, yang di dalamnya terdapat gagasan tentang alam dan kosmologi. Di dalamnya juga terkandung bagaimana teknologi tradisional Batak Toba dan Mandailing membuat kain ini. Di dalam ulos ini juga tercermin status sosial seseorang, dan berbagai ekspresi kebudayaan lainnya.
2
suatu kebudayaan pada dasarnya diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar yang relatif panjang. Melalui kegiatan inilah kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu ke generasi selanjutnya secara berkesinambungan. Dengan demikian, kebudayaan manusia diteruskan dari waktu ke waktu sepanjang masa. Kebudayaan yang telah lalu akan bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa kini akan disampaikan ke masa yang akan datang (Suriasumantri, 1982:27).
Dinamika kebudayaan selalu beorientasi kepada kemajuan sebuah zaman sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak. Biasanya setiap suku bangsa (etnik) yang ada di dunia ini, memiliki kecenderungan menyisihkan waktunya untuk memenuhi kepuasan akan rasa keindahan (estetika) yang merupakan sebuah kebutuhan dasarnya. Betapa pun sulitnya kehidupan suatu suku bangsa, mereka tidak akan serta merta menghabiskan seluruh waktunya itu hanya untuk mencari makan, dan melakukan perlindungan semata-mata dari ancaman bahaya. Sebaliknya, bagi masyarakat yang hidup di lingkungan yang lebih menguntungkan secara material dan sosial budaya, dengan segala kemudahannya akan lebih banyak menyisihkan waktunya terhadap karya-karya yang mengungkapkan rasa keindahan. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesenian sebagai ungkapan rasa keindahan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang bersifat universal. Hal itu dapat terlihat pada bagunan tradisional seperti pada rumah adat dengan segala ornamen pada bagian tertentu dari bangunan, serta benda-benda tradisional yang dihias sedemikian rupa sebagai perwujudan rasa keindahan tersebut.
Seluruh aspek kesenian, termasuk kelompok seni pertunjukan yang hidup dan berkembang pada etnik tertentu dapat disikapi dalam dua aspek yaitu, aspek
3
estetika dan aspek fungsional. Aspek estetika mengkaji berbagai hal tentang keindahan dari sebuah karya yang mencakup bentuk (proporsi), kehalusan, warna, harmonisasi, dan sebagainya yang berkaitan dengan konsep estetika. Di sisi lain, aspek fungsi kesenian berkaitan dengan sejauh apa kesenian itu dapat melayani kehidupan masyarakat. Kesenian ini juga berperan sebagai media dalam pelaksanaan berbagai ragam ritual, yang biasanya selaras dengan sistem religi yang diyakini atau sistem adat istiadat yang yang berlaku.
Pada etnik Karo, terdapat ragam kesenian sebagai bagian dari hasil budaya masyarakatnya. Kesenian ini mencakup seni: musik, rupa, tari, sastra, teater, dan lain-lainnya. Masing-masing jenis kesenian tersebut memiliki peranan dalam berbagai siklus kehidupan dan struktur masyarakatnya. Di sisi lain, kendati etnik Karo telah membaur dengan berbagai etnik di daerah perantauan di luar daerah asal mereka, etnik ini selalu menjalankan tradisi yang berlaku di daerah asalnya.2 Kebiasaan tersebut mencakup sistem religi, adat istiadat, maupun hiburan. Mereka berupaya menjaga kelestarian konsepsi budaya tersebut dan selalu mengembangkan
2
Etnik Karo secara wilayah budaya dibagi menjadi dua bahagian yaitu Karo Gugung (Karo Pegunungan) dan Karo Jahe (Karo Pesisir). Masyarakat Karo Gugung menentap di wilayah Bukit Barisan dan sekitarnya yang kini berada di daerah Kabupaten Karo, sementara Karo Jahe sebahagian besar berada di Kabupaten Langkat, di kawasan pesisir Timur Sumatera Utara. Etnik Karo Gugung dianggap tidak banyak mengalami akulturasi dengan budaya luar, dibanding dengan Karo Jahe yang lebih banyak melakukan adaptasi dan akulturasi dengan budaya Melayu Sumatera Timur, di Langkat sebahagian di antara mereka disebut Mekarlang (Melayu Karo Langkat). Pada masa sekarang ini, dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) etnik Karo banyak merantau ke berbagai wilayah di Nusantara, seperti di Kota Medan, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, dan lainnya. Yang menyatukan orang-orang Karo ini adalah faktor budaya dan juga agama. Di antara pejabat-pejabat Indonesia yang merupakan etnik Karo yang cukup terkenal adalah Tihfatul Sembiring, M.S. Kaban, dan lain-lain.
4
keberadaan kesenian tradisionalnya agar tidak lekang oleh gelombang arus perkembangan zaman.
Selain itu, etnik Karo memiliki sistem religi yang khas, yakni percaya akan adanya pencipta dan penguasa alam semesta yang memiliki kekuasaan yang tidak terhingga. Dewa pencipta dan penguasa itu disebut dengan Dibata Kaci-Kaci. Pada etnik Karo secara tradisional terdapat religi yang memadukan sistem kepercayaannya ke “serba roh” dengan sistem kedewataan secara serasi, dan saling melengkapi. Dalam konsep dinamisme dan animisme, etnik Karo berpikir secara mistis, hidupnya dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis, menggunakan mitos untuk memahami hidup dan lingkungannya. Agama suku ini disebut dengan, agama
Pemena yang disebut juga dengan agama Perbegu. Dalam kaitannya dengan
keyakinan masyarakat dalam konsep “serba roh,” maka dengan sendirinya aktivitas masyarakat diwarnai oleh ragam ritual dalam rangka menyembah roh-roh yang dianggap sebagai penguasa alam semesta agar kehidupan mereka terhindar dari marabahaya yang mengancam kehidupannya, serta untuk mendatangkan keberuntungan, dan berbagai hal yang menyangkut kehidupan manusia.
Pada tingkat yang lebih tinggi, muncul konsep guru sibaso3 yang menjadi perantara orang hidup dengan yang telah mati. Guru sibaso diyakini dapat melihat hal-hal gaib dan dapat mengetahui dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh
3Dalam beberapa tradisi religi Nusantara, terdapat persamaan, bahwa untuk
berhubungan dengan alam dewa atau makhluk gaib, mereka membutuhkan dukun sebagai media berbentuk manusia. Di dalam kebudayaan Karo disebut guru sibaso, dalam masyarakat Batak Toba disebut datu, dalam masyarakat Mandailing disebut sibaso, dalam kebudayaan Melayu disebut bomoh, dalam budaya Jawa dan Sunda disebut dukun atau mbah dukun, dan masih banyak suku-suku lain di Nusantara menyebut medium ini.
5
(Ginting, 1999:1). Hal ini menunjukkan bahwa dalam dinamika kehidupan pada etnik Karo secara tradisional selalu berkaiatan dengan hal-hal gaib, dan oleh karena itu, aktivitas seperti pelaksanaan upacara ritual pada hal tertentu seperti meminta rezeki, menjauhkan penyakit, dan berbagai hal lainnya selalu dilaksanakan.
Dengan demikian ritual merupakan merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan bebrapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti suatu pengalaman yang suci. Pengalaman tersebut mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan dewa tertinggi pencipta dan penguasa alam semesta. Hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi merupakan sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama.
Dalam ritual agama dipandang dari bentuknya secara lahiriah merupakan suatu hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah “pengungkapan iman” (Jacobs dalam Hadi, 2006:31). Oleh karena itu, upacara atau ritual agama diselenggarakan pada beberapa tempat dan waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa, yang dilengkapi dengan berbagai peralatan ritus lain yang bersifat sakral.
Dalam sistem kekerabatan, etnik Karo memiliki kelompok merga yang terdiri dari lima merga induk yaitu, (1) Karo-karo, (2) Ginting, (3) Tarigan, (4) Sembiring, dan (5) Perangin-angin. Kelima merga induk ini disebut dengan merga
6
merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk perempuan. Hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah sistem kekerabatan yang disebut dengan, rakut sitelu (ikat yang tiga).
Rakut sitelu ini mirip dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat
Batak Toba dan Mandailing.4 Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah dalam sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pelaksanaan upacara adat seperti, upacara perkawinan, kematian, dan berbagai upacara ritual lainnya. Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah, (a) Senina, (b) Anak beru, dan (c) Kalimbubu.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa orang Karo selalu sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan atau adat-istiadat yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maupun pada pelaksanaan upacara adat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut sitelu. Sehingga
4
Dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, konsep dalihan na tolu (DNT) berdasarkan kepada hubungan darah secara patrilineal dan hubungan perkawinan. DNT dapat diartikan secara harfiah adalah tungku yang tiga, yang pada sejarah awal masyarakat Batak Toba selalu menank nasi dengan tiga tumpuan ini. DNT tersebut terdiri dari unsur: (a) dongan sabutuha yaitu teman satu marga yang ditarik dari garis keturunan ayah; (b) hula-hula adalah pihak pemberi isteri; dan (c) anak boru, yaitu piohak keluarga yang menerima isteri. Labih jauh lagi filsafat yang terkandung dalam DNT adalah manat mardongan tubu (kasihilah teman semarga), somba marhula-hula (sembahlah hula-hula), dan elek marboru (sayangilah pihak boru). Dalam kebudayaan Mandailing dan Angkola ketiga unsur dalian na tolu itu adalah: (a) kahanggi yaitu teman satu marga, (b) mora, yaitu pihak pemberi isteri, dan (c) anak boru, yaitu pihak penerima isteri. Selain itu, dalam masyarakat Mandailing dan Angkola ini ketiga unsur DNT ini diperluas lagi menjadi lima yaitu ditambah dengan boru ni boru dan mora ni mora. Konsep yang mirip dengan rakut sitelu ini adalah mencakup juga daliken sitelu pada etnik Pakpak-Dairi di Sumatera Utara.
7
dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu atau keluarga telah mengetahui posisinya.
Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda dalam berbagai kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu, selalu disarankan agar para remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan yang tercakup dalam rakut sitelu.
Orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus pada masa yang akan datang tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina, anak
beru, atau kalimbubu.
Berkaitan dengan pelaksanaan ragam ritual, musik tradisional berperan sebagai media yang memiliki peran dan fungsi pada etnik Karo. Pada masyarakat Karo terdapat musik tradisional yang terdiri dari musik vokal dan instrumental, dimana penggunaannya berkaitan dengan upacara ritual baik yang bersifat religi,
8
adat-istiadat, maupun sebagai hiburan. Penggunaan musik tradisional tersebut disesuaikan dengan situasi-situasi tertentu, yang menempatkan musik sebagai bagian dan berperan sebagai media dari situasi-situasi tersebut dengan fungsi yang tertentu pula.
Pelaksanaan aktivitas musik dalam kebudayaan Karo dikenal dengan dua istilah yaitu, ergendang, dan rende. Ergendang terdiri dari dua kata (er yang artinya melakukan sesuatu) dan (gendang yang secara sederhana dapat diartikan sebagai musik). Jadi ergendang dapat diartikan, bermain musik. Sedangkan kata gendang pada etnik Karo memiliki beberapa pengertian yang menyatakan jenis ensambel musik tradisional, nama komposisi, dan beberapa istilah lainnya, dan rende diartikan sebagai bernyanyi.
Penggunaan musik tradisional pada masyarakat Karo di di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, sebagaimana dikemukakan di atas, digunakan sebagai media atau dalam pelaksanaan berbagai upacara seperti:
erpangir ku lau, kerja nereh empo (pesta perkawinan), mengket rumah embaru
(memasuki rumah baru), nurun-nurun (upacara penguburan jenazah), cewir metua (upacara kematian) dan beberapa upacara adat Karo lainnya. Dalam pelaksanaan ragam upacara tersebut, biasanya menggunakan ensambel gendang lima sendalanen atau gendang telu sendalanen sebagai media atau bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upacara tersebut.
Media musik adalah bahagian dari kesenian. Di lain sisi, kesenian adalah sebagai salah satu unsur kebudayaan. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup, belajar, berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang sesuai menurut
9
budayanya. Budaya yang dilakukan oleh seseorang, secara pasti mempengaruhinya sejak dalam masa alam kandungan hingga mati. Bahkan tata cara dalam kematian pun, dilakukan menurut norma dan nilai yang sesuai dengan budaya dan agamanya. Budaya sebagai pedoman dan komunikasi sebagai alat interaksi sosial masyarakat. Budaya dan komunikasi tidak bisa dipisahkan. Budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menafsirkan pesan, tetapi juga kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan makna yang terkandung dalam pesan. Ini bermakna seluruh perbendaharaan prilaku manusia sangat tergantung pada budaya tempat dia dibesarkan.
Setiap bentuk budaya mempunyai maksud, nilai serta gagasan-gagasan penciptanya. Selaras dengan pendapat Walter Lipmann, musik merupakan cerminan dari kenyataan. Selanjutnya, sebagaiamana dijelaskan oleh A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn (1960) bahwa musik dapat dikategorikan sebagai bentuk atau pola-pola prilaku yang nyata dari individu dan kelompok manusia. Kemudian dipindahkan dalam bentuk simbol-simbol, yang dibangun dan dipilih oleh para penciptanya berdasarkan referensi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman hidupnya.
Tampilan lisan dan bukan lisan dalam media musik (termasuk musik etnik Karo) adalah simbol. Istilah simbol yang berakar dari bahasa Yunani symbolos, berarti tanda atau yang mencirikan tentang sesuatu hal, dengan berbagai tujuan tertentu. Simbol lebih merupakan keadaan yang berada pada objek, berupa sesuatu yang nyata (benda), kejadian atau tindakan sebagai media untuk memahami subjek. Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dimengerti bahwa perwujudan lisan dan bukan lisan dalam musik Karo adalah tanda-tanda yang dibuat oleh manusia Karo.
10
Perwujudan ini menunjuk kepada sesuatu yang bersifat arbitrer (bebas nilai) meskipun makna tersebut dibatasi oleh konsep yang melekat pada objek.
Dalam konteks penelitian ini peneliti akan menguraikan peran alat musik
keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang memiliki pengertian tiga alat
musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama. Adapun alat-alat musik yang tergabung dalam ensambel gendang telu sendalanen pada dasarnya terdiri dari beberapa jenis—seperti: (a) 2 keteng-keteng dan 1 alat musik balobat. (b) Ada juga yang terdiri dari keteng-keteng, kulcapi, dan belobat, (c) ada yang terdiri dari
keteng-keteng, kulcapi, dan mangkok. Selanjutnya penulis juga akan mengkaji
peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam upacara erpangir ku lau.5
Sebagai seorang ilmuwan musik Karo, penulis sangat tertarik terhadap keberadaan alat musik keteng-keteng dalam kebudayaan Karo, terutama dalam konteks ensambel gendang telu sendalanen, sebagai media dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Ketertarikan itu adalah sebagai berikut: (a) alat musik
keteng-keteng secara etnomusikologis selalu diklasifikasikan sebagai alat musik
idiokord, artinya masuk ke dalam idiofon dan kordofon sekali gus.
Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi keteng-keteng bersumber dari 2 senar yang dibuat dari kulit bambu itu sendiri. Pada
5
Keteng-keteng adalah alat musik tradisional Karo yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok alat musik idikord yang terbuat dari bambu. Secara musikal alat musik ini berfungsi membawa ritme variatif dan konstan. Selanjutnya balobat adalah alat musik tradisional Karo yang termasuk ke dalam klasifikasi alat musik whistle aerofon atau recorder. Fungsi musikal alat muaik balobat adalah membawakan melodi. Kemudian kulcapi adalah alat musik lute petik berleher pendek dengan dua senanr berbentuk boat, termasuk ke dalam klasifikasi alat musik kordofon, yaitu penggetar utamanya senar. Alat musik mangkok atau lebih rinci mangkok michiho adalah berbentuk cawan yang diisi ioleh air kemudian dipukul dengan pemukul, termasuk alat musik perkusi dan fungsi musikalnya membawa ketukan dasar.
11
ruas bambu tersebut di buat satu lobang resonator dan tepat di atasnya diletakkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar
keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut dengan gung, karena peran musikal dan
bunyinya menyerupai gung dalam ensambel gendang lima sendalanen. Bunyi yang dihasilkan keteng-keteng merupakan penggabungan dari alat-alat musik pengiring pada gendang lima sendalanen karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan pola ritem gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung yang dimainkan oleh seorang pemain keteng-keteng (Tarigan, 2004:61-62).
Belobat merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bambu (block flute).
Alat musik ini mirip dengan alat musik rekorder pada alat musik Barat. Balobat memiliki 6 buah lobang nada, berperan sebagai pembawa melodi untuk setiap repertoar dalam ensambel gendang telu sendalanen.
Di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo, dalam berbagai kegiatan yang mencakup upacara dalam aspek religi, adat atau hiburan, selalu menggunakan ensambel musik tradisional sebagai media. Jenis ensambel musik tradisional pada etnik ini yang terdiri dari ensambel gendang lima
sendalanen, dan ensambel gendang telu sendalanen. Dalam kaitan ini penulis ingin
melakukan penelitian yaitu analisis terhadap peranan keteng-keteng sebagai salah satu alat musik dalam ensambel telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo.
Kerja erpangir ku lau merupakan satu ritual pembersihan diri yang di
12
ku lau). Ritual erpangir ku lau sampai saat ini masih sering dilakukan terutama oleh
kelompok guru sibaso pada waktu-waktu tertentu. Setiap guru sibaso akan melaksanakan erpangir ku lau secara rutin, dalam sebulan sekali atau setahun sekali sebagai penghormatan kepada jinujung (kekualan supernatural yang menyertainya dalam melakukan kegiatan sebagai guru sibaso). Sebagian musisi tradisional yang mempercayai silengguri (kekuatan supernatural yang menyertainya dalam profesi sebagai seniman tradisional Karo juga akan melakukan erpangir ku lau pada waktu tertentu). Selain diiringi dengan gendang lima sedalanen, erpangir ku lau juga dapat menggunakan gendang telu sedalanen. Beberapa motif dilaksanakannya upacara ritual erpangir ku lau misalnya, agar jumpa rejeki (keberuntungan), karena baru terlepas dari bahaya misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit, mengukuhkan prestise, mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah keluarga (sangkep geluh), agar orang lain melihat keluarganya banyak jumlah dan kekuatan sosialnya (show
force).
Kenyataan sosiobudaya tentang keteng-keteng dalam gendang telu
sendalanen pada upacara erpangir ku lau tersebut sangatlah menarik untuk dikaji
dengan menggunakan disiplin etnomusikologi. Menurut I Made Bandem (2001:1-2), etnomusikologi merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandang sosial dan budaya. Sebagai disiplin yang sangat populer saat ini (baik di tingkat internasional atau Indonesia), etnomusikologi merupakan ilmu pengetahuan yang relatif muda umurnya. Walaupun umurnya baru sekitar satu abad, namun uraian-uraian tentang musik
13
eksotik (yang merupakan dasar-dasar munculnya etnomusikologi) sudah dijumpai jauh sebelumnya. Uraian-raian tersebut ditulis oleh para penjelajah dunia, utusan-utusan agama, orang-orang yang suka berziarah dan para ahli filologi. Pengenalan musik Asia di Dunia Barat, pada awal-awalnya dilakukan oleh Marco Polo, pengenalan musik China oleh Jean-Babtise Halde tahun 1735, dan Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh Guillaume-Andre Villoeau hun 1809. Periode ini dipandang sebagai awal perkembangan etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan Ensiklopedi Musik oleh Jean-Jaques Rousseau, tepatnya tahun 1768, yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi. Penelitian tentang musik rakyat dari berbagai bangsa di Eropa dilakukan oleh Grin dan Herder dan kawan-kawannya, yang akhirnya menjadi tumbuhnya benih kesadaran akan perbedaan budaya dalam persamaan universal makhluk manusia.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, etnomusikologi dengan terang-terangan dinobatkan sebagai dua kelompok disiplin, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial
sekali gus. Selain itu pula, sangat dirasakan perlunya memanfaatkan ilmu eksakta di
bidang disiplin ini, terutama yang berkaitan dengan organologi, akustik, dan artefak. Etnomusikologi, pada waktu ini, memberikan kontribusi keunikannya dalam hubungannya bersama aspek-aspek ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu humaniora, dalam caranya untuk melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh kedua pengetahuan itu. Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya sendiri; keduanya dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas (Merriam, 1964).
14
Etnomusikologi biasanya secara tentatif paling tidak menjangkau lapangan-lapangan studi lain sebagai suatu sumber stimulasi baik terhadap etnomusikologi itu sendiri maupun disiplin saudaranya, dan ada beberapa cara yang dapat dijadikan nilai pemecahan terhadap masalah-masalah ini. Studi teknis dapat memberitahukan kita banyak tentang sejarah kebudayaan. Fungsi dan penggunaan musik adalah sebagai suatu yang penting dari berbagai aspek lainnya pada kebudayaan, untuk mengetahui kerja suatu masyarakat. Musik mempunyai interelasi dengan berbagai tumpuan budaya; ia dapat membentuk, menguatkan, saluran sosial, politik, ekonomi, linguistik, religi, dan beberapa jenis tata tingkah laku lainnya. Teks nyanyian melahirkan beberapa pemikiran tentang suatu masyarakat, dan musik secara luas dipergunakan sebagaimana analisis makna terhadap prinsip struktur sosial. Etnomusikolog seharusnya tidak dapat menghindarkan diri terhadap dirinya sendiri dengan masalah-masalah simbolisme di dalam musik, pertanyaan tentang hubungan antara berbagai seni, dan semua kesulitan pengetahuan apa itu estetika dan bagaimana strukturnya. Ringkasnya, masalah-masalah etnomusikologi bukan hanya terbatas kepada teknik semata--tetapi juga tentang tata tingkah laku manusia. Etnomusikologi juga tidak sebagai sebuah disiplin yang terisolasi, yang memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoterisnya saja, yang tidak dapat diketahui oleh orang selain yang melakukan studi etnomusikologi itu sendiri. Tentu saja, etnomusikologi berusaha mengkombinasikan dua jenis studi, untuk mendukung hasil penelitian, untuk memecahkan masalah-masalah spektrum yang lebih luas, yang mencakup baik ilmu humaniora ataupun sosial.
15
Ilmu pengetahuan humaniora lebih memfokuskan perhatian kepada nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan sosial, dan lebih menaruh perhatian kepada nilai kebebasan dalam mendeskripsikan perilaku manusia. Pernyataan ini, secara umum memang benar, yang kembali mendiskusikan dan menanyakan metode-metode dari menanyakan muatan lapangan studinya. Begitu juga, penting untuk menyatakan bahwa ilmu pengetahuan humaniora sangat melibatkan nilai-nilai, dan ini menjadi titik kuncinya. Dengan demikian, fokus ilmu-ilmu humaniora dibangun di atas kritik pengujian dan evaluasi dari produk manusia di dalam urusan kebudayaan (seni, musik, sastra, filsafat, dan religi), sedangkan fokus ilmu pengetahuan sosial adalah cara manusia hidup bersama, termasuk aktivitas-aktivitas kreatif mereka.
Dalam sejarah perkembangan etnomusikologi, terjadi gabungan dua disiplin yaitu muskologi dan etnologi. Musikologi selalu digunakan dalam mendeskrip-sikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other
16
scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).
Dari kutipan di atas, menurut Merriam, para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada pembahagian bidang kajian ilmu. Oleh karena itu, selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampurkan kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai
17
dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.
Demikian juga dalam konteks studi peran keteng-keteng dalam gendang telu
sendalanen pada upacara erpangir ku lau di Tanah Karo, penulis merujuk kepada
pendekatan struktural dan fungsional. Studi struktural akan melibatkan bagaimana bentuk atau gaya musik yang dihasilkan, struktur organologi dan akustik
keteng-keteng, dan hal-hal sejenis. Sedangkan pendekatan fungsional akan menitikberatkan
pada kajian bagaimana peran musikal dan kegunaan serta fungsi alat musik ini dan musik yang dihasilkan dalam konteks upacara erpangir ku lau. Kedua hal ini amat menarik untuk dikaji secara bersama-sama.
Ketertarikan penulis untuk mengkaji keteng-keteng dalam gendang telu sendalanen yang difungsikan untuk upacara erpangir ku lau didasari oleh dasar-dasar pemikiran saintifik dan realitas sosiobudaya. Di antaranya adalah: (a) bahwa
keteng-keteng itu sendiri secara etnomusikologis sangat unik yaitu diklasifikasikan kepada
alat musik idiokord artinya alat musik ini masuk ke dalam golongan idiofon dan kordofon sekali gus, (b) bahwa keteng-keteng memiliki peran musikal yang penting dalam gendang telu sendalanen yaitu membawakan ritem ostinato baik itu membawakan ritem dasar dan ritem peningkah. Selain itu keteng-keteng juga memiliki suara gung yang menggantikan fungsi gung dan penganak yang terdapat dalam gendang lima sendalanen. (c) Alat musik keteng-keteng juga berfungsi
18
sosiomusikal yaitu untuk hiburan, untuk kontinuitas dan stabilitas budaya Karo, komunikasi, integrasi masyarakat, ketahanan budaya, perlambangan atau simbolik, dan lainnya. (d) Alat musik keteng-keteng juga digunakan sebagai media antara alam nyata dengan alam supernatural, alat musik ini dipandang memiliki kekuatan supernatural penghubung atau komunikasi antara alam nyata dan alam gaib yang merupakan salah satu kepercayaan tradisional Karo, sebagai ekspresi kosmologinya.
Selain guru sibaso atau pemain musik tradisional Karo (erjabaten), anggota masyarakat sebagai individu, juga dapat melakukan kerja erpangir ku lau dengan alasan tertentu sebagaimana dikemukakan di atas. Fenomena ini merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi penulis untuk dijadikan sebagai fokus penelitian.
1.2 Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: (a) bagaimana
peran alat musik keteng-keteng dalam konteks ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam upacara erpangir ku lau. Peranan yang
dimasudkan dalam tulisan ini adalah peranan musikal dan lebih jauh peranan sosiomusikalnya. Selanjutnya pokok permasalahan utama ini akan dibantu oleh beberapa pokok permasalahan lainnya untuk memperkuat analisis secara etnomusikologis, sesuai dengan judul yang telah penulis tentukan. Adapun pokok-pokok masalah lainnya untuk mendukung pokok-pokok permasalahan di atas adalah mencakup: (a.1) bagaimana eksistensi pelaksanaan upacara erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo. (a.2)
19
Bagaimana peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam siklus adat-istiadat etnik Karo. (a.3) Bagaimana struktur organologis dan teknik bermain keteng-keteng sebagai salah satu alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah seperti yang diuraikan berikut ini.
1. Untuk mendeskripsikan eksistensi pelaksanaan upacara erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo.
2. Untuk mendeskripsikan peranan ensambel gendang telu sendalanen dalam siklus adat-istiadat etnik Karo.
3. Untuk menganalisis peran alat musik keteng-keteng dalam konteks ensambel
gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam upacara erpangir ku lau.
4. Untuk mendeskripsikan struktur organologi dan teknik bermain keteng-keteng sebagai salah satu alat musik dalam ensambel gendang telu sendalanen.
1.4 Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari pengulangan kajian yang sama, perlu dilakukan serangkaian studi terdahulu yang berada dalam lingkup yang sama tapi pada fokus yang berbeda yakni mengkaji berbagai literatur yang membahas tentang alat musik
keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen serta aktivitas adat etnik
20
tentang topik ini, sebahagian besar adalah berupa skripsi di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra (kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Sumatera Utara, Medan.
Dalam bentuk skripsi sarjana etnomusikologi antara lain adalah sebagai berikut. (1) Kumalo Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1985) mengkaji tentang gendang telu sedalanen dalam konteks kebudayaan Karo. Dalam skripsi ini Kumalo Tarigan mengkaji ensambel gendang telu sendalanen Karo secara etnomusikologis dengan pendekatan fungsional dan struktural.
(2) Perikuten Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1986) mengkaji tentang gendang lima sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak berbeda dengan Kumalo Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada ensambel gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki hubungan fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang lima sendalanen juga melalui pendekatan fungsional dan struktural.
(3) Rini Rumiyanti (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1988) mengkaji tentang studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam pengobatan tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan struktural juga mengkaji sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan masyarakat Karo.
(4) Jamal Karo-Karo (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1991) mengkaji tentang studi deskriptif keteng-keteng sebagai instrumen tradisional Karo. Penulis skripsi ini melakukan deskripsi organologis dan akustik terhadap alat musik
21
klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Pendekatan organologis yang digunakan adalah struktural dan fungsional alat-alat musik.
(5) Fariana (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1992) melakukan penelitian berupa deskripsi peranan gendang kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di Berastagi. Dalam skripsi ini, Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang terjadi di Berastagi pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu dalam gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan para seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan struktural.
(6) Sinar (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1992) mengkaji tentang studi deskriptif musik vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar melakukan pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan menganalisis salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang disebut dengan Gendang Keramat.
(7) Julianus Limbeng (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1994) mengkaji tentang analisis tekstual dan musikal erpola pada masyarakat Karo. Dalam skripsi ini Julianus Limbeng mengkaji makna syair yang dinyanyikan oleh penyadap enau untuk diambil niranya dalam kegiatan erpola di Karo. Teksnya penuh dengan makna-makna simbolis. Selain itu juga Julianus Limbeng mentranskripsi nyanyian erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot tangga nada (weighted scale).
(8) Ivy Irawaty Daulay (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1995) mengkaji tentang studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di Berastagi. Dalam skripsi ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo yang disebut
22
dengan surdam rumaris. Bagaimana pun skripsi ini menjadi bahan rujukan bagi penulis untuk melakukan kajian organologis terhadap musik keteng-keteng Karo.
(9) Perdata Peranginangin (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1999) melakukan kajian organologis terhadap alat musik gung dan penganak pada masyarakat Karo, dengan studi kasus teknik pembuatan gung dan penganak oleh Lebut Sembiring. Skripsi ini amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa etnomuskologi USU lebih senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat musik pembawa melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya melakukan kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik. Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai besi pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring.
(10) Popo Marince (Etnomusikologi Fak. Sastra USU,1999) tentang studi deskripsi dan musikologis upacara ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup pada masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang Empat Karo. Skripsi ini sebagai mana yang termaktub pada judulnya menitikberatkan kepada kajian ritual
pajuhpajuhen nini lau tungkup dengan pendekatan teori upacara dan fungsional.
(11) Bahtiar Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1999) tentang kajian tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa Tanah Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara tradisi Karo yang disebut
perumah begu (yaitu berkaitan dengan alam gaib).
(12) Roy Jimny N. Sebayang (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,2004) tentang kendang keyboard terhadap perilaku sosial masyarakat Karo dalam upacara
23
adat perk (erdemu bayu) di Medan. Skripsi ini berisikan data etnografis tentang bagaimana perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo dari alam pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada
gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu bayu.
(13) Roberta Sinurat (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2004) tentang studi deskriptif adu perkolong-kolong pada upacara gendang guro-guro aron di Jambur Namaken and Son Medan. Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara penyanyi tradisi Karo yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang
guro-guro aron. Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan
pembaca.
(14) Saidul Irfan Hutabarat (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010) tentang peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo. Skripsi ini memfokuskan perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik kenamaan Tanah Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan Jasa Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa transisi. Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke dalam kehidupan musik Karo.
(15) Tri Syahputra Sitepu (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010) melakukan penelitian tentang studi deskriptif penggabungan alat musik kibod dengan gendang lima sedalanen pada upacara perayaan hari ulang tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Dalam skripsi ini Tri Syahputra Sitepu mendeskripsikan bagaimana proses penggabungan atau akulturasi antara alat musik kibod yang merupakan ikon musik
24
modern dunia dengan ensambel tradisional Karo yaitu gendang lima sedalanen. Menurutnya terjadi adaptasi yang saling melengkapi dalam proses akulturasu tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka “pemodernan” musik Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman.
(16) Agus Tarigan (Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2011) melakukan penelitian yang ditulis ke dalam bentuk skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi
gendang keyboard dalam gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini
menurut penulis lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus Tarigan menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame.
(17) Perikuten Tarigan (Tesis Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, 2004) membahas tentang perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian terhadap peubahan dan kontinuitas alat musik tradisional Karo dari masa ke masa. Perikuten Tarigan melihat perubahan ini dari sisi dalam dan luar budaya Karo yang mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan musik yang terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya dalam masyarakat Karo.
Dari beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan kajian musik tradisional Karo sebagaimana dikemukakan di atas, selanjutnya akan penulis gunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini dalam upaya untuk lebih memperkuat landasan teoretis dan berbagi pengalaman dengan para penulis dan peneliti lain. Kendati memiliki keterkaitan, namun fokus kajian dalam penelitian ini jelas berbeda
25
dengan kajian yang terdapat pada sejumlah hasil penelitian yang dijadikan sebagai bahan literatur. Adapun fokus yang dikaji dalam penelitian ini adalah analisis peran (musikal dan sosiomusikal) keteng-keteng dalam konteks gendang telu sendalanen sebagai media dalam upacara erpangir ku lau pada etnik Karo di desa Kuta Mbelin Kecamatan Lau Baleng Kabupaten Karo.
Untuk mendukung penelitian ini, selain menggunakan tulisan-tulisan terdahulu seperti terurai di atas, penulis juga menggunakan bahan-bahan literatur lainnya seperti buku, surat kabar, artikel tentang kebudayaan, situs web, blog, dan lain-lainnya seperti yang dapat dilihat pada bibliografi tesis ini. Tujuannya adalah untuk memberikan wawasan yang luas dan mendalam sesuai dengan standar tesis magister penciptaan dan pengkajian seni di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.5 Konsep dan Teori yang Digunakan
Untuk memperjerlas makna-makna terminologi yang digunakan dan berhubungan dengan topik tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsep-konsep dan teori. Untuk itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pendistorsian makna. Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588). Selanjutnya yang dimaksud
dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa
26
Dari dua pengertian di atas, maka ada perbedaan mendasar antara konsep dan teori. Konsep baru sampai ke tahap pengertian yang diabstrakan peristiwa sesungguhnya. Kalau penulis boleh memberi contoh, dalam kebudayaan Karo terdapat konsep tentang pembagian wilayah budaya yaitu Karo Gugung dan Karo
Jahe. Masyarakat Karo, berdasarkan etnosains mereka, membagi wilayah
budayanya ke dalam dua kategori: (a) Karo Gugung atau orang-orang Karo yang berada di wilayah pegunungan, terutama di kawasan Kabupaten Karo, Langkat, dan Deliserdang; (b) Karo Jahe, yaitu mereka yang berada di kawasan pesisir terutama di wilayah Kabupaten Deliserdang, Serdang Bedagai, dan Langkat. Masyarakat
Karo Gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo, sedangkan Karo
Jahe lebih banyak mengalami akulturasi dengan kebudayaan sekitarnya terutama dengan etnik Melayu. Misalnya Guru Patimpus yang mendirikan Medan.
Sementara di sisi lain, teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Jadi teori sifatnya lebih ke arah telah terbukti secara saintifik dan pendapat keilmuan itu digunakan untuk memecahkan permasalah atau fenomena alam maupun sosiobudaya. Contoh teori dalam ilmu pengetahuan adalah teori difusi, akulturasi, evolusi, gravitasi, relativisme, bobot tangga nada (weighted scale), kantometrik, dan lain-lain. Kedua hal tersebut (konsep dan teori) akan diaplikasikan dalam penelitian dalam bentuk analisis peran keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen yang digunakan sebagai media dalam konteks upcara erpangir ku lau di Desa Kuta Mbelin, Kecamatan Lau Beleng, Kabupaten Karo.
27 1.5.1 Konsep
Adapun konsep yang perlu diuraikan dalam tesis ini adalah: (a) analisis, (b) peran, (c) keteng-keteng, (d) ensambel gendang telu sendalanen, (e) media, dan (f) upacara erpangir ku lau.
(a) Konsep tentang analisis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah: (1) penyelidikan terhadap suatu peristiwa karangan, perbuatan dan lain sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan lain sebagainya), (2) penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, (3) penyelidikan kimia dengan menguraikan sesuatu untuk mengetahui zat-zat bagiannya dan sebagainya, (4) penjabaran sesuadah dikaji sebaik-baiknya, (5) proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya, (6) penguaraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antara unsur-unsur tersebut, (7) proses akal yang memecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya menurut metode yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya (Poerwadarminta, 1990:32).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan analisis adalah uraian terhadap suatu objek, karangan atau karya cipta (seperti karya musik, sastra, dan sebagainya) atas beberapa bagian, dan penelaahan setiap bagian untuk mencari hubungan di antara bagian-bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang tepat dalam memahami arti dari keseluruhannya. Dalam kaitan ini, dalam
28
dimensi dunia musik, konsep tentang analisis itu menurut Siegmeister (1985:368) adalah sebagai berikut.
Together with perceptive listening, musical analysis provides insight intro the structure of music. By focusing on subtleties of construction, on the fine details of composer’s craftsmanship, and above all on interrelationships of the constituent elements, analysis reveals aspects of a composition not apparent to the casual listener. Distinguishing the individual roles of melody, harmony, and rhythm, it reveals their organic interplay in the creation of musical structure. Analysis of short pieces can proceed in four stages : (1) an over-all view of the form, (2) a study of melodic and rhythmic patterns, (3) a study of harmonic structures, and (4) a synthesis of all elements forming the whole.
Menurut Seigmeister seperti dikutip di atas, cara yang mudah untuk difahami dalam analisis musik adalah menyediakan wawasan mengenai struktur musik dengan berfokus pada konstruksi yang paling kecil, pada penyelesaian yang dikuasai oleh seorang komponis. Juga di atas hubungan timbal balik pada elemen-elemennya, menganalisis aspek seni yang terdapat pada komposisi yang tidak kelihatan bagi pendengar awam, yang menitikberatkan pada peranan melodi, harmoni,dan ritem adalah hal yang saling mempengaruhi dalam sebuah struktur musik. Analisis dalam bagian kecil dapat memproses 4 bagian yang mencakup: (1) garis besar bentuk lagu, (2) pelajaran pada pola melodi dan ritem, (3) pelajaran tentang struktur harmoni, dan (4) perpaduan dari bentuk keseluruhan elemen.
Konsep ini memberi petunjuk bahwa dalam menganalisis sebuah komposisi musik dibutuhkan wawasan yang mendalam tentang struktur musik hingga pada bagian-bagian terkecil dari sebuah komposisi dan mampu mengungkapkan berbagai hal tentang efek tertentu dari perpaduan antara melodi, harmoni, dan ritem secara menyeluruh, setelah menganalisis bagian demi bagian dari sebuah komposisi musik.
29
Dalam kaitannya dengan pendapat ini, Alan P Meriam dalam Siagian (1998:45) mengatakan sebagai berikut.
Salah satu sumber yang paling jelas untuk tata tingkah laku manusia dalam satu kebudayaan yang berkaitan dengan musik ialah melalui teks nyanyian. Teknis penggunaan bahasa dalam teks nyanyian adalah melalui pendekatan dengan teknik eufonis, yaitu teknik yang bertujuan untuk mencapai efek musikal dan memberikan kesan menyenangkan melalui penambahan atau pengurangan sillabel pada sebuah kata.
Berdasarkan pendapat tersebut, dalam konteks analisis musik yang menggunakan teks atau syair lagu, selain menganalisis struktur sebuah komposisi musik hingga pada bagian-bagian terkecil, keberadaan teks atau sair lagu dapat dijadikan sebagai salah satu indikator dalam menganalisis komposisi musik.
Dalam kaitannya dengan penulisan tesis ini, maka kerja analisis akan difokuskan kepada dua hal. (a) Yang pertama adalah analisis terhadap peran musikal
keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen. Pada proses ini, yang
penulis analisis adalah bagaimana peran keteng-keteng dalam musik yang mencakup, perannya sebagai pembawa ritem konstan oleh keteng-keteng singindungi dan pembawa ritem variabel yang dibawa oleh keteng-keteng singanaki. Lebih jauh penulis akan melihat meter, birama, tanda birama, arsis, tesis, siklus, kecepatan (tempo), dan sejenisnya. Kemudian juga akan dilihat bagaimana peran musikal alat musik balobat yang membawakan melodi berjalan seiring dengan keteng-keteng. Ketiga alat musik ini membentuk jalinan ritem dan melodi yang harmoni. Untuk itu perlu juga dianalisis lagu yang dibawakan oleh belobat, yang kemudian dianalisis mencakup unsur-unsurnya seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, distribusi
30
interval, formula melodi, kontur, dan sejenisnya dengan menggunakan teori
weighted scale.
Selanjutnya analisis yang (b) kedua mencakup peran sosiobudaya yang mencakup guna dan fungsi keteng-keteng dalam ensambel gendang telu sendalanen dalam konteks upacara erpangir kulau dalam kebudayaan masyarakat Karo, khususnya di daerah penelitian. Dalam melakukan analisis yang kedua ini penulis menggunakan teori fungsionalisme. Analisis guna dan fungsi sosiobudaya
keteng-keteng ini melibatkan interpretasi sosial dan budaya terhadap fenomena yang terjadi
di dalam penelitian.
(b) Selanjutnya dijelaskan konsep peran. Pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan. Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439).
Peran merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah sistem. Misalnya, dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau, cewir metua, atau
31
upacara lainnya pada etnik Karo, ensambel musik lima sendalanen atau telu
sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional, wajib disertakan sebagai salah
satu media dalam pelaksanaan upacara tersebut. Dalam hal ini ensambel musik tradisional merupakan salah satu indikator yang memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau upacara adat tersebut. Bunyi ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran.
Pengertian antara fungsi dan peran dapat dibedakan. Fungsi menunjuk pada kegunaan, sedangkan peran menunjuk pada bagian yang dimainkan dalam sebuah sistem. Kendati memiliki perbedaan, namun antara fungsi dan peran merupakan sebuah kesatuan dalam pemahaman bahwa peran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi. Selanjutnya peranan dapat merupakan fungsi dari satu variabel ke variabel lainnya dalam satu kesatuan. Artinya setiap variabel dalam kesatuan itu memiliki peranan tertentu. Peranan (role) adalah: (1) fungsi individu atau peranannya dalam satu kelompok atau institusi, (2) fungsi atau tingkah laku yang diharapkan ada pada individu, atau yang menjadi ciri atau sifat dari dirinya, (3) fungsi sembarang variabel dalam satu kaitan sebab akibat (Chaplin,1989:439).
Peran merupakan fungsi dari sebuah variabel dalam satu kesatuan sistem yang dapat memberi dampak atau pengaruh kepada variabel lainnya dalam sebuah sistem. Misalnya, dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau, cewir metua, atau upacara lainnya pada etnik Karo, ensambel musik lima sendalanen atau telu
sendalanen sebagai perangkat alat musik tradisional, wajib disertakan sebagai salah
32
tradisional merupakan salah satu indikator yang memiliki peranan kepada indikator lainnya dalam pelaksanaan upacara religi atau upacara adat tersebut. Bunyi ragam instrumen musik dalam setiap komposisi musik yang dimainkan dalam pelaksanaan upacara keagamaan tersebut, diyakini memiliki fungsi dan peran.
(c) Adapun yang dimaksud dengan keteng-keteng dalam tulisan ini adalah alat musik tradisional Karo yang dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok alat musik idikord yang terbuat dari bambu. Secara musikal alat musik ini berfungsi membawa ritem variatif dan konstan. Bunyi keteng-keteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri (bamboo idiochord). Pada ruas bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu ke salah satu senar
keteng-keteng. Secara taksonomis tradisional, bilahan bambu ini disebut gung,
karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam gendang lima
sendalanen. Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari
alat-alat musik pengiring gendang lima sendalanen (kecuali sarune) karena pola permainan keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki,
gendang singindungi, penganak, dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang atau
dua orang pemain keteng-keteng.
(d) Selanjutnya dijelaskan mengenai konsep ensambel gendang telu
sendalanen. Dalam kebudayaan etnik Karo, terdapat sebuah istilah yang lazim
digunakan yaitu gendang Karo. Istilah ini maknanya adalah merujuk kepada perangkat ensambel musik yang dibutuhkan sebagai musik pengiring atau media dalam pelaksanaan berbagai aktivitas budaya Karo; Secara umum, etnik Karo selalu
33
menyebut hal yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Dalam realitas sosial dan budaya pada masyarakat Karo, istilah gendang ini memiliki makna yang jamak, yaitu lebih dari satu, sesuai dengan konteks apa ia digunakan. Menurut pengematan penulis setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut, yaitu: (1) gendang sebagai nama atau judul lagu, contohnya Gendang Simalungun Rayat, Gendang
Persentabin, Gendang Mulih-mulih, dan lainnya: (2) gendang sebagai ensambel
musik, yang biasanya disebut dengan gendang lima sendalanen, gendang telu
sendalanen, dan gendang kulcapi, ; (3) gendang sebagai instrumen atau alat musik,
yaitu gendang tradisional Karo yang berbentuk konis ganda, yang dipukul dengan dua stik oleh pemainnya, terdiri dari gendang singindungi dan singanaki, juga
gendang binge di Karo Jahe; (4) gendang sebagai repertoar, dan (5) gendang
sebagai nama upacara.
Dalam konteks penelitian ini, gendang yang dimaksud dalam upacara
erpangir ku lau adalah gendang sebagai ensambel musik, yang terdiri dari tiga alat
music gabungan. Ensambel musik yang digunakan dalam erpangir ku lau adalah
gendang telu sedalanen. yaitu sering juga disebut dengan gendang kulcapi.
Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang diberi gelar si
erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrumen musik, yaitu (1) kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu alat musik lute petik tradisional
Karo dengan senar dua buah yang dilaras dengan menggunakan interval kuin; (2)
keteng-keteng (idiokordofon), yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini
terbuat dari satu ruas bambu betung, dan dari badan bambu itu sendiri dibuat senar dua buah sebagai pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3)
34
mangkuk mbentar, yaitu mangkok putih yang dipukul sebagai pembawa tempo
utama.
(e) Selanjutnya dijelaskan tentang konsep media. Istilah ini lazim digunakan dalam ilmu komunikasi. Yang dimaksud dengan media menurut George N. Gordon dalam Encyclopaedia Britanica (2007), adalah sarana transmisi komunikasi antara manusia dengan manusia, dengan makhluk, dengan alam, atau dengan Tuhan. Komunikasi adalah the exchange of meanings between individuals through a
common system of symbols, artinya adalah pertukaran makna-makna antara individu
melalui sebuah sistem umum yang berbentuk simbol-simbol.
Dalam Wikipedia Indonesia (2007) pula dikonsepkan bahwa komunikasi ialah sejenis proses pemindahan informasi melalui sistem simbol yang sama. Komunikasi juga salah satu disiplin akademik. Definisi komunikasi ialah satu proses perpindahan informasi, perasaan, ide, dan fikiran seseorang kepada individu atau sekumpulan individu yang lain. Pada umumnnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan media kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada media bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, maka komunikasi masih bisa dilakukan dengan menggunakan media gerak-gerik badan atau menunjukkan sikap tertentu. Misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, dan mengangkat bahu. Cara menggunakan media seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa bukan lisan atau bahasa isyarat.
Manusia berkomunikasi untuk bertukar pengetahuan dan pengalaman. Bentuk biasa media komunikasi manusia ialah percakapan, bahasa isyarat, penulisan, sikap, dan broadcasting (aktivitas dalam dunia radio). Komunikasi bisa
35
berbentuk interaktif, transaktif, disengaja, atau tidak disengaja. Ia juga boleh jadi lisan atau tanpa lisan. Melalui media komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.
Proses komunikasi dan penggunaan media secara ringkas adalah sebagai berikut. (a) Komunikator (sender) yang mempunyai maksud berkomunikasi dengan orang lain mengirimkan suatu pesan kepada orang yang dimaksud. (b) Pesan yang disampaikan itu boleh berupa informasi dalam bentuk bahasa ataupun melalui simbol-simbol yang boleh dimengerti kedua pihak. (c) Pesan (message) itu disampaikan atau dibawa melalui suatu media atau saluran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya berbicara langsung melalui telefon, surat, e-mail,6 atau media lainnya. (d) Komunikan (receiver) menerima pesan yang
disampaikan dan menerjemahkan isi pesan yang diterimanya ke dalam bahasa yang dimengerti kedua belah pihak. (e) Komunikan memberikan umpan balik (feedback)
6
Setelah ditemukannya teknologi komputer dan internet, maka manusia di dunia sudah mulai mengirim surat sesama mereka melalui dunia maya ini. Pertama, seseorang membuka e-mail (electronic mail atau surat elektronik) dengan cara-cara tertentu, seperti mengetik nama dan kata kunci (password). Sesudah itu, ia dapat menulis surat elektronik dan mengirimkan kepada teman e-mailnya di seluruh dunia. Beberapa perusahaan internet dunia menyediakan ruang untuk pengguna e-mail, baik yang bebas biaya maupun yang meminta biaya. Di antara perusahaan itu adalah yahoo, msn, gmail, atau juga kini bermunculan berbagai instansi yang bisa membuat e-mail sendiri, misalnya Universitas Sumatera Utara yang memberikan ruang kepada segenap warganya untuk membuat e-mail, dengan kode ujung @usu.ac.id. Perkembangan di dunia maya ini, telah pula menyediakan perangkat-perangkat yang bisa membuat website atau blog web. Sehingga dengan mudah setiap pengguna internet bisa melihat situs-situs web di seluruh dunia, dengan menggunakan mesin pencari website seperti google, blink, dan lain-lain.
36
atau tanggapan atas pesan yang dikirimkan kepadanya, apakah dia mengerti atau memahami pesan yang dimaksud oleh si pengirim.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud media adalah sarana untuk komunikasi antara manusia dengan alam supernatural, dalam bentuk alat musik yang tergabung ke dalam gendang telu sendalanen seperti sudah diuraikan di atas. Media ini menjadi pendukung penting berjalannya upacara erpangir ku lau. Tanpa adanya alat-alat musik ini biasanya tidak akan terjadi komunikasi antara pelaku upacara dengan dunia gaib, berdasar pada kebudayaan Karo. Selain alat musik, maka media yang menyertainya adalah suara-suara yang dihasilkan oleh alat-alat musik itu sendiri, baik dalam bentuk ritem maupun melodi. Keduanya adalah media pendukung komunikasi antara peserta upacara dengan dunia alam gaib.
(f) Selanjutnya dijelaskan secara umum tentang konsep upacara erpangir ku
lau. Erpangir ku lau merupakan salah satu bagian dari sistem religi, pada etnik Karo
yaitu kegiatan erlangir atau keramas ke sungai. Pada zaman dahulu kala, orang Karo melakukan pesta erpangir ku lau (berpangir) untuk hajatan, antara lain: (1) Sukut yaitu berencana agar jumpa rejeki (keberuntungan), (2) karena baru terlepas dari mara bahaya, misalnya ada yang baru sembuh dari penyakit tertentu, (3) mengukuhkan prestise sosial, yaitu mengakui kedudukan seseorang di tengah-tengah keluarga (sangkep geluh), (4) agar orang lain melihat keluarganya banyak (Ginting, 1999:38). Untuk maksud dari tujuan-tujuan tersebut, kemudian ditanyalah guru
Sibaso si meteh wari telu puluh (yaitu, guru yang tahu membaca hari baik dan
buruk). Bila sudah didapat hari yang baik, semua keluarga diundang karena pesta
37
erpangir kulau adalah suatu upacara religi berdasarkan kepercayaan tradisional yang
masih dilakukan di Karo yaitu oleh penganut Pemena, dimana sesorang/keluarga tertentu melakukan upacara berlangir dengan atau tanpa bantuan dari guru, dengan maksud tertentu. (Selanjutnya lebih detil lihat pada deskripsi upacara erpangir ku
lau di Bab III tesis ini)
1.5.2 Teori
Landasan teori adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa terjadi. Teori merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu (Lauer, 2001:35). Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis peran keteng-keteng dalam konteks ansambel
gendang telu sendalanen sebagai media dalam upacara erpangir ku lau, dengan
demikian untuk menguraikan topik ini dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai dengan fenomena yang diamati. Beberapa teori yang digunakan dalam kerangka penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1.5.2.1 Teori Fungsionalisme
Untuk menganalisis peran keteng-keteng dalam ensambel gendang telu
sendalanen dalam konteks upacara erpangir ku lau digunakan teori fungsionalisme.
Teori ini akan mengurai peran musical, dan yang lebih jauh lagi guna dan fungsi sosiobudayanya dalam kebudayaan Karo.