• Tidak ada hasil yang ditemukan

ESTIMASI NILAI EKONOMI DARI KEBIJAKSANAAN LINGKUNGAN SASARAN PEMBELAJARAN

Dalam dokumen Hj.st. Rohani Tdk (Halaman 113-122)

Mahasiswa dapat memahami dan mengaplikasikan nilai ekonomi dari kebijaksanaan lingkungan STRATEGI PEMBELAJARAN  Kuliah interaktif  Diskusi  Praktek  Presentasi DESKRIPSI MATERI

Materi ini menjelaskan pengaplikasian nilai ekonomi dari kebijaksanaan lingkungan.

PENDAHULUAN

Untuk memahami analisis ekonomi sumber daya alam dan lingkungan secara utuh, perlu diketahui terlebih dahulu beberapa prinsip dasar ekonomi, khususnya ekonomi mikro. Pemahaman mengenai ekonomi mikro ini diperlukan karena basis dari ekonomi sumber daya alam adalah pendekatan utilitarian, yang dikembangkan pada prinsip-prinsip ekonomi mikro. Pada dasarnya, konsep ekonomi makro juga diperlukan terutama untuk memahami keterkaitan antara sumber daya alam dan kesejahteraan nasional.

Salah satu masalah penting yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi adalah bagaimana menghadapi trade-off antara pemenuhan kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan di sisi lain. Pembangunan ekonomi yang berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan kemandekan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, pada bab ini akan dibahas mengenai pengaplikasian nilai ekonomi dari kebijaksanaan lingkungan.

URAIAN MATERI

Pengertian nilai atau value, khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan, memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Dari sisi ekologi, misalnya, nilai dari

reproduksi spesies ikan tertentu atau untuk fungsi ekologis lainnya. Dari sisi teknik, nilai hutan mangrove bisa sebagai pencegah abrasi atau banjir dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman mengenai pentingnya suatu ekosistem. Karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu tersebut adalah pemberian price tag (harga) pada barang dan jasa yang dihasilkan sumber daya alam dan lingkungan. Dengan demikian, kita menggunakan apa yang disebut dengan nilai ekonomi sumber daya alam.

Secara umum, nilai ekonomi didefenisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang dan jasa. Sebagai contoh, jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi indifferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga (misalnya akibat sumber daya makin langka) atau karena perubahan kualitas usmber daya. Dengan demikian konsep WTP ini terkait erat dengan konsep Compensating Variation dan Equivalent

Variation dalam teori permintaan. WTP dapat juga diartikan sebagai jumlah

maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu.

Sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran Willingness To Accept (WTA) yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktik pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukran yang berdasarkan intensif (intensive based) sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (behavioural model).

Adapun rumus WTP jika terjadi perubahan harga dari P0 ke P akibat perubahan lingkungan, maka WTP didefenisikan sebagai berikut :

WTP = ∫ h (P, u) dP = M (P, u) – M (P0 , u)

Dimana M (P , u) adalah pendapatan setelah terjadi perubahan dengan utilitas konstan dan M (P0, u) adalah pendapatan awal. Persamaan di atas mengatakan bahwa WTP merupakan daerah (digambrakan dengan tanda integral) di bawah kurva permintaan Hicks yang dibatasi oleh harga pada kondisi baseline (P0) dan harga akibat perubahan (P). Berdasarkan teori ekonomi neo-klasik, ini setara dengan selisih pendapatan (M) yang dibutuhkan agar utilitas seseorang tetap setelah adanya perubahan.

Ekstraksi sumber daya tidak terbarukan memberikan manfaat ekonomi yang sangat signifikan bagi pelaku ekstraksi. Keuntungan yang diperoleh dari usaha minyak, gas bumi, pertambangan, dan sejenisnya bisa menghasilkan jutaan dolar

bagi pelaku usaha, sehingga sering terjadi apa yang disebut “Gold Rush” manakala deposit sumber daya ditemukan. Orang dating berduyun-duyun untuk mengadu keuntungan, sehingga sering kota-kota besar seperti California, Amerika Serikat misalnya tumbuha karena Gold Rush pada awal tahun 1900-an. Bagaimana kemudian pemerintah memperoleh manfaat dari ekstraksi sumber daya alam ini ?. Salah satu mekanisme yang bisa digunakan adalah melalui mekanisme rent transfer (transfer rente) dengan memberlakukan pajak pada usaha pertambangan. Pajak tersebut dapat berbentuk royalti maupun pajak per unit

output. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika pemerintah memberlakukan

royalti terhadap ekstraksi sumber daya, royalti tersebut tidak akan mempengaruhi pengambilan keputusan dari pelaku ekstraksi. Royalti akan mempengaruhi

Present Value dari sumber daya yang sedang diekstraksi namun tidak akan

mempengaruhi laju ekstraksi. Hal ini dapat dibuktikan dengan menggunakan prinsip Hotelling yang telah dikemukakan di atas.

Jika kita sederhanakan notasi harga bersih atau net price pt – c sebagai t , jika royalti sebesar T diberlakukan, prinsip Hotelling pada persamaan berikut :

( 1 – T ) t = ( 1 – T ) ( 1 - ∂ )t 0

Sehingga secara matematis, persamaan di atas tidak mengalami perubahan karena hokum Hotelling mengharuskan bahwa rente ekonomi setelah royalti harus meningkat sebesar ∂ seperti ditunjukkan oleh persamaan di atas. Dengan demikian, royalti berdampak netral terhadap laju ekstraksi, namun royalti bisa menimbulkan disinsentif terhadap pelaku usaha untuk menemukan deposit baru karena akan mengurangi nilai harapan atas manfaat yang diperoleh dari deposit baru.

Jika pajak per satuan output sebesar T diberlakukan, rente atau net price setelah pajak menjadi :

[ ( 1 – T ) pt- c ] = [ ( 1 – T ) p0- c ] ( 1 + ∂ )t atau dapat disederhanaka menjadi :

pt - = p0 - ( 1 + ∂ )t

Jika kita ingat kembali bahwa tanpa pajak rente ekonomi hanya didefenisikan sebagai pt – c, karena c / ( 1 – T ) > c hal ini berimplikasi bahwa pajak per satuan output menyebabkan meningkatnya biaya ekstraksi sehingga akan memperpanjang laju ekstraksi.

Selain pajak, pemerintah dapat saja memberikan subsidi untuk meningkatkan produksi dari sumber daya alam tersebut. Karena subsidi merupakan kebalikan dari pajak (negative tax), mekanisme analisis dampak dari subsidi terhadap ekstraksi optimal sama dengan mekanisme pada pajak, hanya tanda negatif berubah menjadi tanda positif, dari (1 – T) menjadi (1 + ∂), dimana ∂ adalah tingkat subsidiyang diberikan oleh pemerintah. Oleh karena mekanismenya berlawanan arah, dampak subsidi per satuan output misalnya, akan sama dengan pengurangan biaya ekstraksi. Penurunan biaya akan mempercepat ekstraksi sehingga memperpendek waktu tercapai berhentinya ekstraksi (complete

exhaustion).

Pilihan Kebijakan yang Berkaitan dengan Eksternalitas Lingkungan

Teori mengenai eksternalitas negatif merupakan dasar dari ilmu ekonomi lingkungan. Berikut secara garis besar akan dijelaskan pilihan kebijakan yang berkenaan dengan eksternalitas. Pada saat terjadi eksternalitas, pemerintah dan

Pemerintah dapat menanggapi dengan dua cara, yaitu dengan kebijakan control –kendalikan (command-and-control policy) yang mengatur perilaku secara langsung. Kebijakan kedua adalah kebijakan yang berorientasi pasar

(market-based policy) yang menyediakan insentif sehingga para pembuat kebijakan swasta

akan memilih untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.(Mankiw, 2004)

Command -and-control policy dapat dilakukan dengan cara melarang atau

mengharuskan perilaku tertentu, misalnya membuang bahan kimia beracun ke persediaan air adalah tindakan kriminal. Namun untuk sebagian besar kasus polusi situasinya tidaklah sederhana. Untuk penggunaan kendaraan bermotor yang mengasilkan polusi udara, pemerintah tidak dapat melarang semua jenis kendaraan untuk mengatasi eksternalitas. Untuk itu pembuat kebijakan harus mempunyai informasi mengenai kegiatan-kegiatan usaha serta teknologi yang dipakai untuk menyusun kebijakan.

Kebijakan yang berorientasi pasar bertujuan untuk menyamakan manfaat marginal dan biaya marginal social. Pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan cara menerapkan pajak atas kegiatan-kegiatan yang menghasilkan eksternalitas negati dan memberikan subsidi bagi kegiatan-kegiatan yang menghasilkan eksternalitas positif. Pajak yang digunakan untuk memperbaiki efek-efek dari eksternalitas negative tersebut disebut pajak

Pigovian (Pigovian tax).

Adanya masalah informasi mengenai dampak marginal dan biaya sosial marginal, penentuan output social optimal dan keunikannya dalam pelaksanaan pajak Pigovian disoroti oleh Baumol and Oates. Untuk memecahkan masalah tersebut mereka menyarankan pendekatan dua tahap. Pertama, memutuskan

standar lingkungan yang didasarkan pada ketersediaan pengetahuan ilmiah dan pilihan social. Kedua, menentukan salah satu opsi, yaitu pendekatan norma dan harga atau pendekatan norma dan ijin. Pendekatan norma dan harga dapat diputuskan dengan pengetahuan mengenai fungsi biaya penyusutan marginal. Alternalif lain, dengan norma dan informasi garis dasar tingkat polusi, jumlah yang boleh didistribusikan dan harga yang diperbolehkan oleh kekuatan pasar. (Sankar, 2008)

Selain pemerintah, swasta juga dapat memberikan solusi untuk eksternalitas. Meskipun eksternalitas menyebabkan alokasi sumberdaya menjadi tidak efsien, namun tidak selalu pemerintah harus bertindak untuk menyelesaikannya. Pada keadaan-keadaan tertentu, masyarakat dapat mengembangakan solusi sendiri, misalnya dengan penyelesaian eksternalitas dengan menggunakan moral dan hukum sosial. Solusi lainnya adalah dengan beramal, yang ditunjukkan oleh lembaga-lembaga nirlaba untuk melindungi lingkungan. pembuatan kontrak antara pelaku kegiatan untuk mengurangi adanya eksternalitas.

Keefektifan solusi dari swasta mengenai masalah eksternalitas dijelaskan oleh teorema Coase (Coase Theorem) yang menyatakan, bahwa jika pihak-pihak swasta dapat melakukan tawar menawar mengenai alokasi sumberdaya tanpa harus mengeluarkan biaya, mereka dapat menyelesaikan masalah eksternalitas mereka dengan sendirinya. Keputusan tergantung dari apakah keuntungan dari mencegah kerusakan lebih besar dari kerugian membiarkan kerusakan itu terjadi jika menghentikan kegiatan yang menghasilkan kerusakan. (Mankiw, 2004)

PENUTUP

 Soal Perlatihan

1. Apa yang dimaksud dengan pengaplikasian nilai ekonomi dari kebijaksanaan lingkungan ?

2. Bagaimana pengaplikasian nilai ekonomi dari kebijaksanaan lingkungan ? 3. Berikan salah satu contoh cara pengaplikasian nilai ekonomi dari

kebijaksanaan lingkungan ?  Daftar Bacaan

Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mankiw, Gregory N., 2004. Principles Economics. 3rd

ed. Thomson

South-Western

Sankar, U. 2008. Environmental Externalities. Didapat Online : http://coe.mse.ac.in/dp/envt-ext-sankar.pdf

BAB X

PEMBANGUNAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

Dalam dokumen Hj.st. Rohani Tdk (Halaman 113-122)

Dokumen terkait