Mahasiswa dapat memahami mengenai pengelolaan sumberdaya peternakan dan kaitannya dengan Global Warming
STRATEGI PEMBELAJARAN
Kuliah interaktif Diskusi
Tugas individu
DESKRIPSI MATERI
Materi ini menjelaskan pengelolaan sumberdaya peternakan dan kaitannya dengan global warming
PENDAHULUAN
Suhu atmosfer bumi pada saat ini terasa lebih panas daripada sebelumnya. Para ahli klimatologi memperkirakan bahwa suhu atmosfer bumi telah naik rata-rata sebesar 0,5 oC dari 100 tahun yang lalu. Bahkan berdasarkan pengamatan 30 tahun terakhir ini, kenaikan suhu rata-rata udara di seluruh dunia sebesar 2 oC. Pada beberapa belahan bumi ada yang kenaikan suhu rata-rata udaranya lebih besar dari 2 oC, misalnya kota Bandung mencapai 4 oC, kota Jakarta mencapai hampir 5 oC. Kanada dan Amerika, khususnya di California, mencapai keadaan “sangat panas” yang menyebabkan kekeringan yang sangat dan kebakaran hutan. Kenaikan suhu rata-rata tersebut akan terus bertambah bila tidak ada usaha pencegahan. Artinya bencana benar-benar mengancam umat manusia. Bencana itu berupa dampak pemanasan global (global warming) akibat efek rumah kaca. Berdasarkan data yang dikeluarkan Emission Database for Global Atmospheric
Research (2000) menunjukkan bahwa sektor pertanian memberikan sumbangan
GRK sebesar 12,5%. Gas yang diproduksi oleh sektor pertanian termasuk peternakan didalamnya adalah gas metan (CH4) dan nitrooksida (N2O) dan masing-masing merupakan penyumbang terbesar bagi GRK, yaitu 40% dan 62%.
Dengan semakin pesatnya laju pertumbuhan penduduk dunia serta semakin majunya peradaban manusia akan berimbas kepada meningkatnya aktifitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa kita sadari aktifitas kita sedikit banyak telah mengganggu keseimbangan yang ada di bumi ini yang berimbas kepada penumpukan suatu unsure gas yang menyebabkan efek pemanasan global atau yang biasa kita dengar dengan global warming. Global warming belakangan ini telah menjadi perhatian serius para pemimpin dunia,
karena efek global warming yang menyebabkan perubahan signifikan terhadap iklim dunia. Perubahan tersebut terkait dengan penumpukan emisi gas gas penyebab rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global atau global warming yaitu karbondioksida, metan, sulfur heksa flourida, nitrous oxide, HFC dan PFC. Seperti yang disimpulkan oleh Panel Antar pemerintah atau yang biasa disebut International Panel on Climate Change (IPCC) yang berada di bawah naungan perserikatan bangsa bangsa (PBB) perubahan iklim terungkap bahwa 90% aktifitas manusia selama 250 tahun terakhir yang menyebabkan pemanasan global. Aktifitas manusia yang menyebabkan efek pemanasan global diantaranya adalah pembabatan hutan , penggunaan bahan bakar fosil, industri peternakan, yang menyebabkan gas rumah kaca di atmosfir bumi meningkat pesat. Gas rumah kaca ini lah yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas rumah kaca ini akan membuat selubung atau pelindung pada atmosfir bumi yang menyebabkan panas yang di keluarkan dari dalam bumi terhalang oleh selubung gas tersebut sehingga panas yang seharusnya dapat di keluarkan ke luar atmosfir bumi kembali di pantulkan ke dalam bumi.
Pemanasan global menjadi masalah yang sangat serius belakangan ini dan sektor peternakan merupakan salah satu penyebab utama dari efek pemanasan global. Seperti dalam laporan PBB (FAO) yang berjudul “Livestock’s long shadow: Environmental issues and option” (di rilis pada November 2006). Peternakan menyumbang paling besar gas rumah kaca kurang lebih sebesar 18%, angka ini melibihi besar gas rumah kaca yang di hasilkan oleh gabungan transportasi di seluruh dunia sebesar 13%. Selain itu peternakan juga melepaskan sebesar 9% karbon dioksida dan 37% gas metana. Selain itu limbah kotoran yang
di hasilkan peternakan menyumbang 65% nitrooksida dan 64% ammonia yang menyebabkan hujan asam. Untuk lebih jelas pada bab ini akan membahas mengenai pengelolaan sumber daya peternakan yang berkaitan dengan pemanasan global.
URAIAN MATERI
Pemanasan global timbul akibat adanya efek rumah kaca. Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup mengungkapkan beberapa aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya peningkatan gas rumah kaca (GRK), yaitu eksploitasi bahan bakar fosil (pelepasan berupa CO2), kegiatan pabrik-pabrik industri (pelepasan berupa CO2), sektor transportasi (pelepasan berupa CO dan CO2), penanganan sampah dengan sistem open dumping (pelepasan berupa CH4), kegiatan rumah tangga (pelepasan berupa CO2 dan CH4), pembakaran hutan (pelepasan berupa CO2, CH4, N2O, dan gas lainnya), pembukaan lahan gambut dalam (pelepasan berupa CO2 dan CH4), penggunaan air irigasi dan pemupukan yang berlebih pada sektor pertanian (pelepasan berupa CO2 dan N2O), serta kotoran ternak yang menumpuk dan tidak dimanfaatkan (pelepasan berupa CH4
dalam jumlah besar). Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan sekitar 60% dari emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari sektor Land Use, Land Use
Change, Forestry (LULUCF), yaitu sektor pertanian, pembukaan hutan/lahan
untuk sektor pertanian, sektor tambang dan galian, serta pembalakan dan pembakaran hutan.
Hasil riset menunjukkan bahwa emisi GRK yang dihasilkan dari produk susu, pengolahan dan transportasi adalah 2,7% dari emisi total. Adapun masing-masing gas utama penyumbang GRK yang dihasilkan dari aktivitas sapi perah dan
produknya adalah gas CH4 berkontribusi pada pemanasan global sebanyak 52%, gas N2O menyumbang sebanyak 32,5% di mana negara maju menyumbang gas ini sebanyak 27% dan negara berkembang 38%, dan gas CO2 menyumbang sebanyak 15,5% di mana negara maju memberikan sumbangan gas ini sebanyak 21% dan negara berkembang sebesar 10%.
Hasil studi tersebut memberikan gambaran bahwa gas methane merupakan gas terbesar yang dihasilkan oleh aktivitas sapi perah dan produknya. Bila dilihat dari sumbernya, salah satu sumber penyumbang gas methane adalah kotoran ternak baik cair ataupun padat. Sedangkan produksi nitro oksida dihasilkan dari pengelolaan kebun rumput ataupun pakan lainnya, dan karbon dioksida dihasilkan dari keluaran energi yang dihasilkan dari transportasi yang digunakan untuk aktivitas sapi perah dan produknya.
Sebenarnya, pemerintah telah memberikan rambu-rambu bagi para pengusaha yang akan melakukan investasi di berbagai bidang terutama yang terkait dengan lingkungan dan pencemarannya. Aturan ini disusun agar perusahaan yang menghasilkan buangan limbah tidak mengganggu lingkungan sekitarnya, terutama masyarakat yang berada di sekitar perusahaan. Aturan main yang disusun tersebut adalah untuk mengatur menjamin ketenangan masyarakat dan juga perusahaan itu sendiri sehingga satu sama lain tidak dirugikan. Beberapa dasar hukum terkait dengan lingkungan dan pencemarannya yang dapat diinventaris adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat 3 :
“ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Kesehatan, Bab V Upaya Kesehatan,
Bagian kelima : Kesehatan Lingkungan, Pasal 22
“Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat. Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan permukiman, lingkungan kerja, angkutan umum, dan lingkungan lainnya. Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan penyehatan atau pengaman lainnya”
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab III Hak dan Kewajiban dan Praserta Masyarakat, Pasal 5 :
a. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
b. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
c. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 20, ayat 1 :
Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah Pasal 2 Ayat 2 :
“Pemerintaha daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas perbantuan”.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1994 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,
Pasal 1 :
1. Butir 1 : Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses produksi.
2. Butir 2 : Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan manusia.
Pasal 2 :
Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahaya dan beracun limbah B3 agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan untuk mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan beberapa aturan hukum di atas semakin jelas bahwa pemerintah sangat memberikan perhatian terhadap kesehatan lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan wajib melakukan pengolahan limbah sebelum limbah tersebut dapat dilepas dengan aman ke lingkungan. Sebelum limbah dilepas ke lingkungan harus di analisis terlebih dahulu agar limbah yang dilepas tidak berbahaya bagi
lingkungan dan masyarakat. Kegiatan analisis lingkungan ini dikenal dengan istilah “AMDAL”.
Amdal bukanlah suatu proses yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian Pengelolaan Lingkungan, Pemantauan Lingkungan, Pengelolaan Proyek, Pengambilan Keputusan, Dokumen Penting, dan lain sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa peranan Amdal dalam pengelolaan lingkungan adalah guna menyusun rencana pengelolaan lingkungan setelah diketahui dampak lingkungan yang akan terjadi akibat proyek-proyek pembangunan. Peranan pemantauan lingkungan adalah guna mengantisipasi kegagalan dari pengelolaan proyek yang dilakukan sejak dimulainya pembangunan pengelolaan lingkungan dan dilakukan secara terus menerus. Peranan AMDAL dalam pengelolaan proyek adalah sebagai syarat bagi pelaksanaan proyek karena apabila tidak ada rencana pengelolaan lingkungannya maka proyek tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang terkait. Peranan Amdal bagi pengambil keputusan adalah sebagai bahan bagi pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah memberikan ijin atau tidak memberikan ijin terhadap pembangunan suatu proyek apabila tidak disertai RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan).
Uraian di atas memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa ada dua hal penting terkait dengan lingkungan, yaitu kesehatan lingkungan dan perubahan iklim. Pemerintah telah memberikan pengaturan yang jelas terhadap lingkungan serta bagaimana melakukan perencanaan penanganannya.
Setiap kali mendiskusikan penyebab perubahan iklim, bahan bakar fosil menempati urutan teratas. Minyak bumi, gas alam, dan terutama batu bara memang sumber utama emisi karbon dioksida (CO2) dan gas-gas rumah kaca
lainnya (GRK) yang disebabkan oleh manusia. Tetapi siklus gas rumah kaca dan mata rantai industri peternakan hewan sebagai makanan telah disepelekan, padahal kenyataannya industri peternakan bertanggung jawab terhadap setidaknya setengah dari seluruh gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia.
Hewan ternak telah dikenal sebagai penyumbang gas rumah kaca utama. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2006 yang telah dikutip secara luas, memperkirakan emisi yang setara dengan 7.516 juta metrik ton ekuivalen CO2 (CO2e) per tahun, atau 18% emisi gas rumah kaca dunia setiap tahun yang diakibatkan oleh hewan ternak, sapi, domba, kambing, unta, kuda, babi, dan unggas. Peternakan melepas 9% karbondioksida dan 37 gas metana (23 kali lebih berbahaya dari CO2). Selain itu, kotoran ternak menyumbang 65% nitrooksida (296 kali lebih berbahaya dari CO2), serta 64% ammonia penyebab hujan asam. Tetapi analisa FAO memperlihatkan bahwa peternakan dan hasil sampingnya sebenarnya bertanggung jawab setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2e per tahun, atau 51% dari seluruh emisi gas rumah kaca dunia setiap tahun. Sebanyak 37% metana yang dihasilkan oleh manusia berasal dari hewan ternak. Meskipun efek pemanasan metana di atmosfer lebih kuat daripada CO2, tetapi keberadaannya di atmosfer hanya sekitar 8 tahun, dibandingkan CO2 yang ada di atmosfer setidaknya selama 100 tahun. Sebagai hasilnya, pengurangan metana yang signifikan dari peternakan di seluruh dunia akan mengurangi GRK secara lebih cepat dibandingkan penerapan energi terbarukan dan efisiensi energi.
Ancaman utama dari perubahan iklim adalah pertumbuhan populasi manusia, pertumbuhannya diperkirakan sekitar 35 persen antara tahun 2006 hingga 2050. Dalam periode yang sama, FAO memproyeksikan bahwa jumlah
peternakan di seluruh dunia akan meningkat dua kali lipat, sehingga emisi GRK (gas rumah kaca) akibat peternakan juga akan meningkat kurang lebih dua kali lipat (atau meningkat sedikit bila semua rekomendasi FAO diterapkan secara utuh), sementara itu diharapkan bahwa GRK dari industri lain akan menurun. Hal ini akan menyebabkan jumlah emisi akibat peternakan bahkan lebih tidak dapat diterima dibandingkan tingkat bahaya yang ditetapkan saat ini. Hal ini juga berarti bahwa strategi yang efektif harus melibatkan penggantian produk peternakan dengan produk pengganti yang lebih baik, alih-alih hanya mengganti satu produk daging dengan produk daging lainnya yang dianggap lebih rendah jejak karbonnya.
Tabel 6. Emisi gas rumah kaca yang tidak dihitung, terlewatkan dan salah penempatan terkait dengan peternakan
Emisi Gas Rumah Kaca Tahunan
(CO2e)
Total Persentase di seluruh dunia
Perkiraan fAO
Yang tidak dihitung dalam inventaris gas rumah kaca sekarang:
1. Pernapasan hewan ternak yang terlewatkan
2. Pemakaian lahan yang terlewatkan
3. Perhitungan metana lebih rendah dari kenyataan 4. Empat kategori lainnya
Sub Total
Salah penempatan dalam inventaris gas umah kaca sekarang :
5. Tiga kategori Total Gas Rumah kaca yang diakibatkan oleh produk-produk peternakan
Dalam juta ton 7.516 8.769 ≥2.672 5.047 ≥ 5.560 22.048 ≥ 3.000 ≥ 32.564 11,8 13,7 ≥ 4,2 7,9 ≥ 8,7 ≥ 34,5 ≥ 4,7 ≥ 51,0≥ Sumber :
http://blogs.unpad.ac.id/suryadi/2011/06/27/kontribusi-peternakan-Tabel di atas adalah ringkasan dari kategori-kategori emisi peternakan dan perkiraan FAO terhadap angkanya. Angka dihitung dengan menambahkan keseluruhan gas rumah kaca yang terlibat dalam pembukaan lahan untuk menggembala dan menanam pakan ternak, memelihara hewan ternak, pengolahan dan pengiriman produk jadi. Perhitungan menunjukkan 25.048 juta ton CO2e yang disebabkan peternakan telah dihitung lebih rendah dari kenyataan atau dilewatkan; dari subtotal itu, 3.000 juta ton ditempatkan secara salah, dan 22.048 juta ton secara menyeluruh tidak dihitung. Ketika jumlah ton yang tidak dihitung ditambahkan ke dalam persediaan gas rumah kaca global di atmosfer, persediaan itu meningkat dari 41.755 juta ton menjadi 63.803 juta ton. Laporan FAO sebesar 7.516 juta ton CO2e yang disebabkan peternakan kemudian menurun dari 18 persen gas rumah kaca dunia menjadi 11,8 persen.
Diperkirakan 30% daratan bebas es di bumi digunakan untuk produksi daging, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mencairnya es di Arktika tidak akan menaikkan level permukaan air laut, melainkan akan mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Bila es di Arktika mencair semua, 80% sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan diserap 95% oleh air laut. Konsekuensi lanjut adalah potensi terlepasnya 400 miliar ton gas metana. Peternakan juga adalah penggerak utama dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak.
Jika dilihat dalam waktu jangka yang lebih pendek, metana memiliki dampak yang sangat besar. Dan jika berada di atmosfer dan bereaksi, maka akan lebih besar dampak yang ditimbulkan. Dengan begitu gas rumah kaca yang dihasilkan dalam produki daging lebih tinggi daripada transportasi. Di sisi lain
efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Akan tetapi apabila telah berlebihan di atmosfer, maka akan mengakibatkan pemanasan global.
Selain kerusakan terhadap lingkungan dan ekosistem, tidak sulit untuk menghitung bahwa industri ternak sama sekali tidak hemat energi. Industri ternak memerlukan energi yang berlimpah untuk mengubah ternak mejadi daging olahan. Dengan menggabungkan biaya energi, konsumsi air, penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem, tidaklah mengherankan jika satu orang berdiet daging dapat memberi makan 15 orang berdiet tumbuh-tumbuhan atau lebih. Dengan jumlah yang besar itu, peternakan sangat jelas memenuhi syarat untuk mendapat penanganan khusus dalam perubahan iklim.
Komoditas sapi perah merupakan hewan ternak yang secara biologis juga akan mengeluarkan kotoran dari makanan yang dimakannya. Bahkan diasumsikan jumlah kotoran sapi perah dewasa dalam bentuk padat dan cair bisa mencapai 30 – 40 kg/ekor/hari. Jika sapi perah yang dipelihara cukup banyak, jumlah kotoran yang dihasilkan pun akan meningkat pula. Ada dua permasalahan yang bisa ditimbulkan oleh kotoran sapi perah, yaitu polusi bau dan jika kotoran dialirkan ke sungai maka akan mencemari air sungai. Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh kotoran berupa gas methane, amoniak, H2S dan gas-gas lainnya. Apabila gas-gas ini dibiarkan maka akan menyebarkan bau yang tidak sedap terutama bagi penduduk disekitar peternakan. Di samping itu, gas-gas yang dihasilkan tersebut merupakan GRK yang bisa menyebabkan pemanasan global.
Solusi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas peternakan, seperti kotoran ternak yang menumpuk dan tidak dimanfaatkan (pelepasan berupa CH4 dalam jumlah besar) dapat diatasi dengan penanganan limbah ternak yaitu biogas dan kompos. Biogas dari kotoran ternak, terutama sapi bisa menghasilkan jumlah kotoran yang cukup banyak sebagai sumber pembentukan biogas. Dengan pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas, maka bisa menjadi solusi alternatif pengurangan biaya bahan bakar minyak. Sekaligus juga, dengan pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas bisa mengurangi pelepasan gas methane ke udara.
Biogas merupakan gas yang timbul jika bahan-bahan organik, seperti kotoran hewan, kotoran manusia, atau sampah, direndam di dalam air dan disimpan dalam tempat tertutup atau anaerob (tanpa oksigen dari udara). Pengubahan bahan organik tersebut menjadi biogas dilakukan oleh bakteri metanogenik. Biogas yang terbentuk dari 50 – 70% gas methana (CH4), 30 – 40% gas karbon dioksida (CO2), 5 – 10% hidrogen (H), dan gas-gas lainnya dalam jumlah yang sedikit.
Biogas memanfaatkan gas methane yang dihasilkan dari sampah tertumpuk ataupun dari kotoran ternak. Biogas dari kotoran ternak, terutama sapi bisa menghasilkan jumlah kotoran yang cukup banyak sebagai sumber pembentukan biogas. Dengan pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas, maka bisa menjadi solusi alternatif pengurangan biaya bahan bakar minyak. Sekaligus juga, dengan pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas bisa mengurangi pelepasan gas methane ke udara.
Prinsip sederhana pembuatan biogas dari sumber kotoran ternak sapi adalah memasukkan kotoran ternak yang telah dicampur air 1 : 1 ke dalam digester, maka dalam waktu beberapa hari akan terbentuk biogas. Prinsip instalasi biogas dari kotoran ternak sapi adalah :
a. Bak penampungan dan pemasukan kotoran ternak, b. Digester yang merupakan alat kedap udara, c. Bak slurry/pengeluaran sisa kotoran dari digester, d. Penampungan gas,
e. Pipa gas keluar, f. Pipa keluar slurry, dan g. Pipa masuk kotoran ternak.
Faktor yang harus diperhatikan ketika akan membuat biogas adalah suhu lingkungan setempat. Hal ini terkait dengan aktifnya bakteri penghasil biogas. Suhu yang ideal untuk proses pembentukan biogas adalah 32 – 37 ◦C. Suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi bisa menyebabkan kegagalan dalam pembentukan gas. Proses pembentukan biogas bisa dilakukan dengan tiga model, yaitu model sederhana, model horizontal, dan model vertikal. Penggunaan model ini salah satunya dipengaruhi oleh peralatan yang digunakan dan jumlah ternak yang dipelihara.
Ada tiga tipe digester yang dikembangkan selama ini yaitu : 1. Fixed dome plant, banyak dikembangkan di China,
2. Floating drum plant, banyak dikembangkan di India,
3. Plug-flow plant atau ballon plant, banyak digunakan di Taiwan, Etiopia, Kolombia, Vietnam dan Kamboja.
Masing-masing tipe digester tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan, namun bagi para peternak sapi perah dengan skala kecil bisa menggunakan tipe yang ketiga, yaitu Ballon plant karena terbuat dari plastik dan biayanya relatif terjangkau. Akan tetapi tipe ini relatif tidak tahan lama sehingga diperlukan biaya untuk perbaikan selanjutnya. Sedangkan untuk perusahaan peternakan yang mengelola sapi perah di atas 20 ekor bisa menggunakan Fixed dome plant konstruksi digesternya menggunakan beton sehingga bisa tahan lama.
Beberapa keuntungan dengan mengolah kotoran sapi menjadi biogas sebagai berikut :
a. Biogas mampu mengurangi pencemaran lingkungan sehingga kebersihan kandang dan sekitarnya terjaga.
b. Dengan adanya biogas, akan dapat mengurangi ketergantungan pada penggunaan atau energi lain yang jumlahnya terbatas dan harganya cukup mahal.
c. Adanya biogas juga bisa mengurangi penebangan hutan secara liar yang digunakan untuk kayu bakar sehingga kelestarian hutan bisa dijaga.
d. Sisa pembuatan biogas masih bisa digunakan sebagai pupuk kandang.
Solusi kedua yang bisa mengurangi dampak limbah dari kotoran ternak terutama ternak sapi yaitu dengan membuatnya menjadi kompos atau pupuk kandang atau pupuk organik. Karena sifatnya organik, pupuk kandang lebih cenderung ramah lingkungan dibandingkan dengan pupuk anorganik. Di samping itu, pupuk organik lebih terjangkau dibandingkan dengan pupuk anorganik. Oleh karena itu, Departemen Pertanian untuk periode 2010 – 2014 akan menggalakkan pemakaian pupuk organik pada tanaman pangan, hortikultura, palawija,
perkebunan, dan kehutanan. Pupuk kandang bisa digunakan sebagai pupuk pelengkap sehingga bisa mengurangi pemakaian pupuk anorganik, sekaligus juga bisa menurunkan biaya produksi pertanian.
Kotoran sapi perah terdiri dari kotoran padat atau feces dan cair atau urine sapi perah. Berbeda dengan sapi potong, kotoran sapi perah lebih tinggi kadar air dan N. Oleh karena itu, pembuatan kompos dari kotoran ternak sapi perah sebaiknya dicampur dengan serbuk gergaji. Selanjutnya, setiap volume kotoran sapi perah dapat dicampur dengan bahan lainnya dengan perbandingan 1 : 1 sampai 3, yaitu 1 kg kotoran sapi perah dan 1 – 3 kg bahan baku lainnya, terutama serbuk gergaji. Selain itu, pupuk kandang juga bisa dibuat dari kotoran ternak sapi potong karena kotorannya juga mengandung nitrogen (N), fospor (P), dan kalium (K) yang cukup tinggi.
Dengan mengolah limbah ternak tersebut menjadi biogas dapat mengurangi pelepasan gas methane ke udara sekaligus memberikan keuntungan kepada peternak karena dapat mengurangi biaya bahan bakar minyak dengan pemakaian kompor gas. Selain itu, pengolahan limbah ternak menjadi kompos