• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Issu-issu Utama

4.1.1 Kerangka legal Dana

Alokasi Khusus

Melalui diksusi-diskusi tematik (Focus Group Discussion)37 dan diskusi dengan narasumber

dari akademisi, dari daerah dan pusat (khususnya Tim Teknis White Paper DAK dari BAPPENAS, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri), studi ini mengungkap berbagai isu/permasalahan berikut ini.

Pada Bab III telah disebutkan beberapa Undang-Undang dan Peraturan yang menjadi landasan hukum DAK. Namun, sejauh ini masih dirasakan adanya kekosongan instrumen hukum. Sampai saat ini payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) untuk DAK belum tersedia, padahal

37 Focus Group Discussion (FGD) berturut-turut diadakan tanggal 2 Desember 2010 di Hotel Salak Bogor, tanggal 26-27 Mei 2011 di Hotel Santika Bandung, dan terakhir tanggal 15-16 Agustus 2011 di Hotel Sheraton Bandung.

ini merupakan amanat-amanat Undang- Undang, yaitu pasal 162 ayat 4 UU Nomor 32/2004 dan pasal 42 UU Nomor 33/2004. Begitu juga payung hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) untuk pengalihan dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menjadi DAK sebagaimana diamanatkan pasal 108 UU Nomor 33/2004.

Salah satu hal yang belum diatur atau dengan jelas atau belum konsisten dalam landasan hukum DAK yang sudah adalah mengenai perencanaan DAK. Sejauh ini perencanaan DAK belum terintegrasi kedalam proses dan mekanisme perncanaan pembangunan nasional dan daerah (MUSRENBANGDA dan MUSRENBANGNAS). Sementara itu, RKP setiap tahunnya telah menetapkan bidang dan jenis-jenis kegiatan DAK; sedangkan PP 55/2005 mengamanatkan tidak demikian. Ketidak sepahaman para pihak kelihatannya antara lain berkaitan dengan Pasal 52 ayat 1 yang terkesan mengamanatkan bahwa RKP semestinya cukup hanya memuat tentang program-program DAK (beserta indikator- indikator kinerja yang spesifi k); sedangkan kegiatan-kegiatan ditentukan secara bersama-sama oleh BAPPENAS, Kementerian

Keuangan dan Kementerian Teknis Terkait, atau dengan kata lain tidak perlu diperinci dalam RKP. Perinciam jenis-jenis kegiatan DAK dalam RKP akan berimplikasi pada ketidakfl eksibelan penganggaran yang termasuk ranah (domain) kementerian keuangan.

Sebagian kekosongan instrumen hukum DAK telah pula direspon oleh Kementerian Dalam Negeri melalui Permendagri Nomor 20 tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan DAK di Daerah. Namun, Permendagri tersebut tentunya mengatur ranah hilir sementara persoalan di hulu (pusat) masih belum terselesaikan.

4.1.2 Perencanaan dan

Pengalokasian Dana Alokasi

Khusus

Topik bahasan ini dimulai dengan issu- issu penting perencanaan DAK. Setelah itu dijelaskan mengenai beberapa fakta dan permasalahan alokasi DAK. Analisis lebih mendalam mengenai efi siensi (allocative effi ciency) dan efektifi tas pengalokasian DAK kami sajikan pada Topik 4.3

Sejauh ini perencanaan dan pengambilan keputusan pengalokasian DAK kepada daerah-daerah dilakukan secara top-down. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) sebagai institusi perencanaan

di kabupaten/kota tidak terlibat dalam perencanaan program/kegiatan-kegiatan yang akan didanai dengan DAK. Demkian pula, Pemerintah Propinsi khususnya Gubernur sebagai wakil Pemerintah, tidak jelas peranannya dalam pengelolaan DAK. Dengan kata lain, perencanaan DAK kurang terintegrasi kedalam siklus dan mekanisme perencanaan pembangunan nasional dan daerah (tidak melalui MUSRENBANGDA dan MUSRENBANGNAS). Hal ini tidak konsisten dengan defi nisi DAK sebagaimana diamanatkan dalam PP 55/2005. Kajian ini mengungkap bahwa formulasi penentuan dan perhitungan DAK sejauh ini tidak saja rumit, tetapi juga memungkinkan semua daerah menerima DAK terlepas dari kemampuan fi skalnya. Lebih jauh lagi, penggunaan formula perhitungan yang membutuhkan setidaknya 50 variabel atau bahkan sampai 100 variabel (ADB, 2011), membuat DAK menjadi tidak bisa diprediksi dan cukup besar variasinya dari tahun ke tahun. Hal demikian menyulitkan perencanaan dan penganggaran di daerah. Kesulitan menjadi bertambah karena informasi tentang DAK yang akan diterima daerah belum tersedia dari Pemerintah Pusat bahkan sampai pada saat pengesahan APBD. Tanpa informasi tersebut daerah tidak dapat mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dalam APBD- nya sebagaimana diamanatkan PP 55 Tahun 2005, kecuali dalam APBD Perubahan yang sudah pasti berdampak kepada implementasi kegiatan-kegiatan.

Disamping masalah-masalah tersebut di atas masih terdapat kendala lain menyangkut perencanaan dan penganggaran DAK. Setiap tahunnya RKP memerinci bidang-bidang bahkan sampai kepada jenis-jenis kegiatan yang akan didanai dengan DAK. Bidang- bidang dan jenis-jenis kegiatan tersebut terus bertambah dari tahun ke tahun, meski pun pada prinsipnya prioritas tetap dipertahankan pada tiga sektor yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Namun tidak semua sektor dan perincian jenis kegiatan yang disertai dengan rumusan output-output yang terukur. Disisi lain, proporsi DAK dalam APBN tidak ada ketentuan yang mengaturnya sejauh ini, dan dalam kecil peluang untuk meningkatkan alokasinya dalam kondisi anggaran yang terbatas. Kondisi yang demikian serta ketiadaan output-output yang terukur tentunya menyulitkan penganggaran. Selanjutnya adalah gambaran mengenai alokasi dan daerah-daerah penerima DAK. Sesuai dengan defi nisinya, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber

dari pandapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dalam pelaksanaannya DAK yang dialokasikan sejak tahun 2003 mengalami perkembangan yang cukup signifi kan dari tahun ketahun, baik dari sisi besaran alokasi maupun dari cakupan bidang yang didanai dari DAK. Tabel 2.6 memperlihatkan bahwa pada tahun 2003 alokasi DAK adalah sebesar Rp.2.269.- milyar, dan hanya dialokasikan untuk 5 bidang yaitu pendidikan, kesehatan, prasarana jalan, prasarana irigasi dan prasarana pemerintah. Selanjutnya, pada tahun 2010 jumlah alokasi DAK menjadi Rp.21.133,3 milyar serta jumlah bidang yang menerimanya menjadi 14 bidang. Secara total, dari tahun 2003 hingga tahun 2010 jumlah alokasi DAK adalah sebesar Rp.104.940,5 milyar, yang dialokasikan ke sejumlah Kabupaten/ Kota sebesar Rp.101.825,3 milyar dan ke sejumlah Propinsi sebesar Rp.3.115,2 milyar.

Tabel 2.6 Perkembangan Alokasi DAK Tahun 2003 – 2010