• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 1.2 DAK dan Belanja Pegawai Daerah

DAK 2010 Belanja Pegawai 2008 Kota Bandung 0 0 50000 100000 150000 200000 400000 600000 800000 1000000 DAK 2010 Belanja Pegawai 2008 Kota Bandung 0 0 50000 100000 150000 200000 400000 600000 800000 1000000

bahwa kriteria khusus ini “… ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional pada tahun anggaran bersangkutan”. Penjelasan pasal ini juga memberikan indikasi mengenai lima karakterisitk wilayah yang dapat dipertimbangkan, yakni [1] daerah pesisir dan kepulauan, [2] daerah perbatasan darat dengan negara lain, [3] daerah tertinggal atau terpencil, [4] daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor, serta [5] daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan. Untuk tahun 2011 Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah 2010 dan buku serupa tahun 2011 oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan mencatat satu tambahan karakteristik daerah, yakni daerah pariwisata. Sementara itu Pelengkap Buku Pegangan 2009 memasukkan kriteria daerah tertinggal bersama-sama dengan “seluruh daerah (kabupaten/kota) di Provinsi Papua”.33 Jelas

terlihat, serupa dengan penetapan bidang DAK, penetapan karakteristik wilayah juga berpotensi untuk terus melebar sehingga menghilangkan nilai kekhususan (`daerah

33 Menarik untuk dicatat bahwa bagi kepentingan alokasi DAK 2006 kesepakatan pemerintah dan Panita Kerja (Panja) DPR —yang lalu diatur dalam PMK 24/PMK.02/2005— membukukan paling sedikit delapan karakteristik wilayah yang perlu mendapat pertimbangan, yakni [1] daerah yang memperoleh DAU tetap, [2] daerah yang persentase kenaikan DAU-nya lebih kecil dari persentase kenaikan gaji pegawai, [3] daerah rawan banjir atau longsor, [4] daerah penampung dan penerima pengungsi, [5] daerah penerima transmigrasi, [6] daerah pasca konfl ik, [7] daerah rawan pangan atau kekeringan, dan [8] daerah yang memiliki pulau terluar. Lihat, http://www.adkasi.org/upload/File/Naskah\%20 Akademik\%20Revisi\%20UU\%2032\%20 Bab\%20V.pdf

tertentu’) DAK.34 Pada saat yang sama, juga

tidak cukup jelas kapan suatu karakteristik dimasukkan atau dikeluarkan dalam kriteria teknis. Apakah dari waktu ke waktu karakteristik yang dipertimbangkan itu tetap atau berubah? Apa dan bagaimana mekanisme yang mengatur serta ragam kegiatannya juga menjadi pertanyaan yang lain. Daerah rawan longsor dan banjir merupakan ilustrasi yang tepat. Jika penyebab dan akibat suatu bencana (longsor atau banjir) telah ditangani melalui kegiatan DAK, apakah dari waktu ke waktu daerah ini terus dimasukkan sebagai karakteristik wilayah yang patut diperhitungkan? Ke mana persisnya arah pembiayaan kegiatan di daerah seperti ini? Pencegahan atau rehabilitasi titik bencana?

Kedelapan, hal lain berkenaan dengan karakteristik wilayah dalam kriteria khusus ialah ketidakjelasan kategorisasi, yakni pencampuran antara karakteristik yang bernuansa ‘masalah’ sehingga beratribusi ‘negatif’ dengan ‘potensi’ yang bersifat ‘positif’. Ini jelas terlihat, misalnya, dalam karakteristik daerah pariwisata (‘potensi’, ‘positif’) yang dimasukkan bersama-sama dengan karakterisitik lain yang berlawanan, seperti daerah bencana, rawan pangan, dan sejenisnya (‘masalah’, ‘negatif’). Selain itu, ada pula karakteristik dengan atribusi yang sukar dikategorisasi sebagai ‘negatif’ atau ‘positif’, yakni daerah pesisir dan kepulauan. Daerah pesisir atau kepulauan bisa dipandang

34 Penting pula untuk dicatat bahwa beberapa kementerian yang bertanggung-jawab dalam bidang-bidang DAK juga menetapkan kriteria tertentu bagi lokasi kegiatan. Kementerian Kesehatan, misalnya, menetapkan “daerah bermasalah kesehatan’. Kementerian Perumahan menetapkan `dengan tingkat kemiskinan lebih tinggi dari rata-rata nasional’ adalah contoh lain.

potensial pada suatu keadaan, tetapi juga bisa dipandang sebaliknya pada keadaan lain, utamanya ketika isolasi geografi dan kemiskinan merupakan karakteristik dasarnya. Jika daerah pesisir atau kepulauan dinilai potensial, misalnya sebagai daerah wisata, maka akan terjadi penghitungan ganda (double counting) dalam atribusi ini. Tetapi ia juga bisa menghasilkan penghitungan ganda dalam bentuk yang lain manakala atribusi pokoknya dinyatakan sebagai daerah tertinggal dan terpencil karena karakterisitik isolasi geografi dan kemiskinan yang melekat padanya. Dengan demikian, penetapan karakteristik pesisir dan kepulauan sebagai bagian dari kriteria khusus membutuhkan spesifi kasi yang lebih rinci agar atribusi dasar yang ingin dicari dapat lebih diaksentuasi.

Ketidakjelasan kategorisasi ini membuat hasil persamaan [5] menguntungkan daerah dengan karakteristik ganda (multiple characteristics), yakni daerah yang memiliki ‘potensi’ (positif) dan ‘masalah’ (negatif) sekaligus. Karakteristik ganda akan menyebabkan angka IFW suatu daerah membesar. Pada gilirannya ini akan membuat BD dan alokasi DAK yang juga besar. Dengan demikian, issu pokok dalam keseluruhan penetapan karakteristik ini adalah apa orientasi yang menjadi rujukan bagi penetapan suatu karakteristik wilayah. Di sini terbentuk dua pilihan yang bersifat ‘either-or’, yakni apakah ia berorientasi pada pengembangan sektor-sektor potensial di daerah, ataukah penciptaan kegiatan- kegiatan pembangunan di daerah-daerah yang ‘bermasalah’. Kedua pilihan ini sukar dicari kompatibilitasnya. Dengan kata lain, penegasan orientasi dasar amat diperlukan karena atribusi karakterisitik-karakterisitik ini

berada dalam kelas dan nature yang berbeda. Kesembilan, metoda alokasi DAK yang berbasis seluruh formula ini sukar dipahami. Untuk kemudahan penanda, paper ini membagi daerah-daerah penerima DAK dapat ke dalam empat tipe, yakni [1] daerah yang langsung lolos IFN (daerah tipe A), [2] daerah yang tidak lolos IFN tapi lolos IFW

(daerah tipe B), [3] daerah yang tidak lolos IFW

tapi lolos IFWT (daerah tipe C), dan [4] daerah yang tidak lolos IFWT (daerah tipe D). Seri formula yang dituangkan dalam Pelengkap Buku Pegangan tahun 2009 (Gambar 3.14 dan 3.14, hal. III-95), 2010 (Gambar 3.16, hal. III-115), dan 2011 (Gambar 3.17, hal. III-126) dengan jelas memperlihatkan bahwa alokasi fi nal semata-mata dihitung melalui BD —jadi hanya bagi daerah tipe C. Dalam Pelengkap Buku Pegangan itu tidak ada formula alokasi yang ditetapkan bagi daerah tipe B yang telah lolos patokan IFW dan daerah tipe A yang langsung lolos IFN. Patut dicatat bahwa kedua daerah tipe ini secara otomatis tidak memiliki angka IFWT, padahal alokasi dana (AD) dihitung berdasarkan BD, sedangkan BD

diturunkan dari IFWT (Gambar 1). Jadi ada ketidakjelasan bagaimana DAK dialokasikan menurut seri formula yang ada untuk daerah tipe A dan B. Tetapi bila untuk daerah tipe A ini BD dihitung langsung melalui angka

IFN, serta untuk daerah tipe B BD diformulasi langsung melalui angka IFW, maka daerah dengan kedua tipe ini, by construction, akan cenderung menerima alokasi DAK yang lebih kecil daripada alokasi yang diterima oleh daerah tipe C. Satu-satunya yang membuat prediksi ini tidak terjadi adalah kehadiran variabel IKK yang memiliki variasi tertentu. Dengan kata lain, bila IKK dibuat konstan dan sama untuk semua daerah, DAK yang lebih besar justru akan diterima oleh daerah yang tidak lolos kriteria umum dan khusus.

Akhirnya, kesepuluh, suatu catatan dapat diberikan mengenai indeks teknis. Ada bidang DAK yang sesungguhnya tidak membutuhkan indeks teknis sebagai dasar seleksi daerah —kecuali jika seluruh kriteria DAK hanya berorientasi ‘alokasi’ seperti ditengarai oleh paper ini. Ini terlihat, misalnya, di bidang DAK sarana kawasan perbatasan. Kawasan perbatasan sendiri telah dinyatakan sebagai bagian dari kriteria khusus, sehingga hampir tidak mungkin daerah dengan

karakteristik ini dikeluarkan dari seleksi. Jadi, indikator-indikator seperti panjang garis batas kecamatan perbatasan, jumlah desa wilayah perbatasan, luas wilayah perbatasan, dan jumlah penduduk di kecamatan perbatasan tidak memberi banyak informasi, karena alokasi DAK by construction memang diarahkan pada daerah seperti ini. Indikator teknis semacam ini hanya diperlukan untuk kepentingan penghitungan alokasi DAK.

Diknas Kabupaten Malang Terima DAK Ganda

Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada tahun 2011 dipastikan menerima DAK ganda, karena DAK 2010 belum digunakan sama sekali. Kepala Bidang pengembangan Wilayah dan Sarana Prasarana Bappeda Kabupaten Malang Dwi Siswahyudi, mengatakan belum terpakainya DAK 2010 sebesar Rp 51 miliar itu karena terhambat petunjuk teknis pencairan anggaran. “Karena belum terpakai maka masuk sisa lebih anggaran. Di Tahun 2011 DAK yang bakal diterima Diknas Kabupaten Malang sebesar Rp 71 miliar, sehingga total DAK untuk Diknas mencapai Rp 122 miliar,” tuturnya.

DAK Diknas tersebut akan digunakan untuk peningkatan sarana-prasarana dan peningkatan kualitas pendidikan dengan perbandingan 60 persen untuk SD dan 40 persen SMP. Setiap unit sekolah bakal dikucuri dana masing-masing sebesar Rp 225 juta ditambah 10 persen (Rp 25 juta) sebagai dana pendamping, sehingga totalnya sebesar Rp 250 juta. Hanya saja, lanjutnya, DAK peningkatakan sarana dan prasarana serta kualitas pendidikan itu masih diberikan kepada sekolah negeri.

Kepala Diknas Kabupaten Malang Suwandi mengatakan, prioritas pembelanjaan DAK untuk perbaikan fi sik dan sarana pembelajaran, namun nominal per paketnya masih menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. “Kami masih menunggu juklak dan juknis-nya,” tegas Suwandi.

Sementara itu Bupati Malang, Rendra Kresna, meminta pemerintah pusat agar mendistribusikan DAK secara adil, sebab antara wilayah yang sangat luas dan padat penduduk, DAK-nya sama dengan wilayah yang hanya memiliki beberapa kecamatan saja. Ia mencontohkan, Kabupaten Malang yang memiliki 33 kecamatan dan 390 desa, DAK-nya sama dengan Mojokerto yang hanya memiliki 3 kecamatan saja. DAK Kabupaten Malang tahun 2011 sebesar Rp 71 miliar dan Mojokerto sebesar Rp 60 miliar. “Dilihat dari jumlah kecamatan saja sudah jelas terlihat kebutuhan Kabupaten Malang lebih besar. Saya berharap ke depan Pemerintah Pusat memberikan DAK ini secara proporsional,” ucap Rendra menegaskan.

Sumber: Dikutip dengan penyesuaian dari Antara News Jawa Timur

05/12/2010.

Tabel Lampiran 1.1 Ringkasan DAK 2003-2011