• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 2.1 Dampak Transfer Berdasarkan Jenis Transfer

Efek pendapatan

Efek Harga

(substitusi) Efek Total Ranking berdasarkan tujuan

Type of grant a1 A U a1 A U a1 A U ˜A/˜G Kenaikan belanja Akuntabilitas hasil Kesejah- teraan Conditional (input-based) matching Open-ended Ĺ Ĺ Ĺ Ĺ Ĺ Ļ ĹĹ ĹĹ ĹĻ >1 1 3 (none) 3 Closed-ended Binding constraint Ĺ Ĺ Ĺ Ĺ Ĺ Ļ ĹĹ ĹĹ ĹĹ •1 2 or 3 3 (none) 4 Nonbidning constraint

Ĺ Ĺ Ĺ n.a n.a n.a Ĺ Ĺ Ĺ ”1 3 3 (none) 2

Conditional nonmatching

Ĺ Ĺ Ĺ n.a n.a n.a Ĺ Ĺ Ĺ ”1 3 3 (none) 2

Conditional nonmatching

Output-based Ĺ Ĺ Ĺ n.a n.a n.a Ĺ Ĺ Ĺ ”1 3 1 (high) 1

General nonmatching

n.a Ĺ Ĺ n.a n.a n.a n.a Ĺ Ĺ <1 3 3 (none) 1

Sumber: Diadaptasi dari Shah 1994b.

Keterangan: a1 = assisted subfunction (Sub-fungsi yang dibantu); A = assisted function (fungsi yang dibantu); U = unassisted function (fungsi yang tidak dibantu); G = grant (Hibah); = dampak positif; = dampak negatif; 1 = skor tertinggi; 4 = skor terendah; n.a. = tidak sesuai.

yang penting, konsisten dengan sasaran uta- manya. Transfer yang terstruktur rapi akan merangsang persaingan daerah dalam me- layani masyarakat dan meningkatkan akunt- abilitas sistem keuangan daerah. Sedang- kan sistem desentralisasi fi skal yang hanya bersifat “bagi-bagi uang negara” justru akan menutup potensi tersebut (Shah, 1997). Sebagai contoh, transfer untuk bidang kes- ehatan dan pendidikan dapat diberikan baik untuk sektor publik atau swasta non profi t dengan kesempatan dan kriteria yang sama pula untuk memicu persaingan dan inovasi dalam pendanaan.

Pelaksanaan desentralisasi berbeda-beda antar negara, dan juga tidak ada jaminan pasti bahwa desain desentralisasi dari suatu negara dapat diterapkan dan memberikan manfaat yang sama untuk negara lainnya (Bird 1998). Berhasil atau tidaknya desentralisasi tergantung dari desain dan implementasinya. Desentralisasi dapat berasal dari inisatif Pemerintah Pusat (top-down), dan juga dari Pemerintah Daerah (bottom-up) (Bailey, 1999). Pendekatan top-down umumnya dilakukan di negara-negara yang sebelumnya menganut negara kesatuan dengan tingkat sentralisasi yang tinggi dan secara bertahap menyerahkan kewenangannnya kepada Pemerintah Daerah, seperti Indonesia, China, India, dan Australia. Sementara itu, negara-negara yang federal umumnya menggunakan pendekatan bottom-up. Namun, tidak selalu bahwa negara-negara yang pendekatannya bottom-up akan lebih tinggi derajat desentralisasinya dibandingkan dengan negara-negara yang pendekatannya

top-down. Kebijakan desentralisasi umumnya akan lebih berhasil di negara-negara yang tingkat desentralisasinya tinggi, dan umumnya adalah negara-negara yang sudah maju (Bird dan Vaillancort, 1998).

2.1.2 Tinjauan Ekonomi Publik

Adanya DAK adalah merupakan bagian dari federalisme fi skal, yang mencari satu struktur pengeluaran pemerintah yang tepat sesuai dengan tingkatan pemerintahan. Secara teoretis, setiap tingkat pemerintah seyogyanya menangani barang dan pelayanan publik yang sesuai dengan dimensi spasial pelayanannya. Dari sudut lain orang mengenal prinsip subsidiaritas. Satu daerah dapat dianalogkan dengan negara di dunia internasional, di mana kebutuhan pembangunan domestik tidak selalu sesuai dengan kebutuhan skala global. Demikianlah bahwa tuntutan pembangunan satu daerah dapat tidak sama dengan kebutuhan nasional dilihat dari berbagai sudut pandang. Lebih jauh eksistensi pemerintah-pemerintah daerah dapat dianalogkan dengan perusahaan dalam ekonomi yang mencari keuntungan optimal melalui pemilihan produk dan strategi pengembangan asset-assetnya. Keuntungan perusahaan dapat dianalogkan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) misalnya (dengan distribusi penghasilan yang dianggap tepat). Demikianlah bahwa peningkatan keuntungan satu perusahaan tidak akan selalu sesuai (compatible) dengan apa yang menjadi sasaran perusahaan lain, yang umumnya juga berjuang meningkatkan keuntungan. Hal negatif dapat lahir bila ada potensi mengurangi keuntungan perusahaan lain misalnya bila bersaing dalam produk sejenis. Walaupun tidak sama, hubungan antar perusahaan dapat menyerupai hubungan antar daerah.

Dengan perkataan lain dapat terjadi adanya perbedaan sasaran yang dicapai satu daerah dengan sasaran nasional dalam satu masalah

tertentu. Hal ini menjadi salah satu sebab adanya perbedaan prioritas pembangunan proyek publik antara pemerintah daerah dengan sasaran pemerintah pusat. Secara umum orang dapat mengatakan bahwa hampir semua daerah merasa kekurangan dana, sehingga mereka mengajukan permintaan dana yang secara agregat jauh lebih besar dari kemampuan pemerintah pusat. Yang menjadi masalah ialah bahwa dapat terjadi kesenjangan antara program yang ditawarkan dengan potensi hasil daerah itu yang membenarkan program yang ditawarkan oleh pemerintah daerah. Dalam konteks ini, secara umum diperlukan adanya perumusan fungsi produksi semua daerah, sehingga rencana pembangunan barang dan pelayanan publik mempunyai padanan dengan potensi peningkatan PDRB serta berbagai tujuan pembanguan lain.

2.1.2.1 Intergovernmental Transfer

Transfer dana antar tingkatan pemerintahan terutama dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah termasuk dalam kelompok masalah federasi fi skal. Ilmu tentang hal ini mencari hubungan yang paling tepat sehingga kinerja pemerintah dapar optimal. Terdapat sejumlah pandangan yang tersedia dalam literatur, seperti dari Joseph Stiglitz, Anwar Shah, Oates, Gramlich, dan lain sebagainya. Menurut Stiglitz (1988, pp 634-635) transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah terbagi dalam dua kelompok besar:

1. General Revenue Sharing: Block Grants, yaitu sejenis program transfer dari hasil penerimaan pemerintah pusat misalnya pajak-pajak pada pemerintah daerah. Dana ini dapat digunakan pemerintah daerah menurut kemauan masyarakat

daerah itu, yang diwakili oleh parlemen lokal (dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai pihak legislatif) dan pemerintah daerah (sebagai pihak eksekutif).

2. Incentives: Categorical Grants and Matching Grants. Transfer dana ini digunakan sebagai cara mempengaruhi program pemerintah daerah, sehingga tidak perlu dengan sistem kontrol, tetapi dengan sistem insentif, yang terdiri dari:

a. Categorical Grants, dimana pemerintah pusat akan menyediakan dana bagi kegiatan tertentu yang sesuai dengan kriteria pemerintah pusat. Di Amerika Serikat (AS), hal ini dicontohkan dalam bidang pendidikan dan program perkotaan.

b. Matching Grants, dimana pemerintah pusat akan mendanai program pemerintah daerah hingga persentase tertentu, yang juga harus sesuai dengan kriteria pemerintah pusat. Pandangan lain dan yang lebih terbaru dapat dilihat dalam tulisan Anwar Shah (World Bank Working Paper 4039, December 2006). Shah menyebut intergovernmental trasfer, dan dibagi tidak jauh berbeda dari Stiglitz yaitu: General Purpose Transfer (GPT) dan

Spedifi c Purpose Transfers (SPT). Analog dengan Stiglitz, Shah juga menyatakan bahwa penggunaan GPT diserahkan sepenuhnya pada pemerintah subnasional, sedangkan SPT harus mengikuti ketentuan dari pemerintah pusat atau nasional. Agak berbeda dari Stiglitz, Shah membagi GPT dalam kelompok block transfers dan block grants. Block transfers bebas digunakan dalam pengeluaran tertentu seperti pendidikan dalam wilayah nasional tetapi

setiap daerah penerima bebas menggunakan dalam kelompok pengeluaran tadi. Selanjutnya block grants bebas digunakan oleh daerah penerima tetapi terbatas dalam wilayahnya. Kelihatannya hal ini tidak terlalu menjadi masalah sebab tiap daerah adalah memang wilayah tertentu yang menjadi penerima transfer fi skal tersebut. Gambar 2.1 menerangkan konsep dasar General Purpose Transfer.

Specifi c Purpose Transfers (SPT) ialah instrumen transfer dana antar pemerintah (intergovernmental transfers), yang merupakan insentif bagi pemerintah daerah atau subnasional untuk melaksanakan proyek atau kegiatan tertentu. Specifi c Purpose Transfers masih dapat dibagi dua kelompok lagi:

i) Transfer bersyarat (conditional transfer), yang masih dapat dibagi dua: input- based conditionality seperti untuk modal atau biaya operasi, dan output- based conditionality seperti hasil yang dicapai seperti pelayanan masyarakat tertentu. Input-based dianggap lebih bersifat memaksa pada daerah penerima dibanding dengan output-based. Transfer bersyarat menentukan persentase

tertentu yang disediakan oleh pemerintah subnasional atau pemerintah daerah (matching requirements). Matching requirements dapat bersifat terbuka (open ended matching) dimana pemerintah pusat akan menyediakan porsi kebutuhan program tanpa batas, dan sistem tertutup (closed-ended matching) dimana terdapat batas biaya yang dapat disediakan oleh pemerintah pusat. Terdapat kritikan pada besaran persentase tetap dari matching criteria, karena merugikan daerah-daerah dengan kapasitas fi skal rendah. Untuk mengatasinya diusulkan agar matching criteria dalam persentase penyediaan dana sendiri misalnya dituntut berbanding terbalik dengan kemampuan daerah penerima. Misalnya daerah miskin hanya 5 persen sedang daerah kaya menyediakan 25 persen. Usulan ini agak sejalan dengan sistem NoOne-Size Fits All (NOSFA). iI) Transfer tak bersyarat (unconditional

transfer), yaitu satu sistem transfer di mana disediakan dana sejumlah tertentu untuk daerah yang menjalankan satu program tertentu, tanpa keharusan menyediakan dana pendamping dengan proporsi tertentu. Pemerintah pusat hanya menyediakan dana tadi dan bila daerah