Avenzora (2008) menyatakan bahwa untuk menyederhanakan proses evaluasi, maka pengevaluasian berbagai konsep yang ada perlu untuk difokuskan pada definisi dan batasan yang notabene menggambarkan esensi dari setiap konsep tersebut. Sebagai bahan studi, dipaparkannya berbagai definisi dan batasan ecotourism yang dituliskan oleh berbagai pihak, yaitu:
1. The Ecotourism Association of Australia (1996): sebagai turisme atau kepariwisataan yang secara ekologis berkelanjutan (lestari) dan mendorong berkembangnya pemahaman (understanding), apresiasi atau penghargaan (appreciation) dan tindakan konservasi lingkungan dan kebudayaan;
2. The Office of National Tourism of Australia (dalam FAO, 1998): sebagai turisme berbasis alam yang didalamnya mengandung interpretasi terhadap lingkungan alam yang budaya dan pengelolaan sumberdaya alamnya secara ekologis bersifat lestari;
3. PT. Indecon (1996): sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan) dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat setempat;
4. Fandelli (2000): merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keperihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial; yang pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat;
5. Santiago and Libosada (1997): environmentally sound tourism sustainably
implemented in a given ecosystem to yield equitable social and economic
benefits and to enhance the conservation of natural and cultural resources; 6. Dephut (1988): kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya dan tata
lingkungan yang masih bersifat alami atau belum banyak campur tangan manusia;
7. Brandon (1996): kegiatan pegusahaan wisata yang memberikan manfaat sebagai sumber pendanaan kawasan konservasi, pembenaran ekonomi dalam perlindungan kawasan konservasi, alternatif matapencaharian masyarakat lokal untuk mengurangi pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, pilihan dalam mempromosikan konservasi dan dorongan dalam upaya konservasi yang khusus;
8. Hetzer (1995, dalam Fennel, 2002): merupakan konsep pariwisata yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip: meminimalisasi dampak negatif terhadap lingkungan, meminimalisasi dampak negatif dan meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat lokal, memberikan kontribusi terhadap kelestarian areal dan meningkatkan kepuasan terhadap alam dan budaya oleh wisatawan; 9. Western (1993): Adalah hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu
keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekoogi, kebudayaan dan keindahan;
10. Smardon, R.C. (1994): “. dependent upon the quality of the experience of the observer with resource or the environment. It is information consuming and demands a high quality natural experience with minimal to no impact on
the environment”;
11. Hadinoto (1996): merupakan bagian dari wisata alam yang dapat dilakukan di kawasan yang dilindungi seperti taman nasional, taman wisata alam, atau di kawasan yang tidak dilindungi seperti daerah pertanian dan desa wisata; jadi ekowisata merupakan suatu perjalanan ke kawasan atau tempat yang masih alami, sehingga apabila wisatawan tersebut datang ke tempat wisata akan merasakan ketenangan dan kenyamanan;
12. PP RI No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona TN, Tahura, TWA: kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam;
13. Eplerwood (1996): resposible travel to natural areas that conserves the
environment and sustains the well being of local people;
14. Bornemeier, Victor and Durst (1997) : Purposeful travel to natural areas to
understand the culture and history of the environment, taking care not to
alter the integrity of the ecosystem, while producing economic opportunities that make conservation of natural resources benefical to local people; 15. Tourism Authority of Thailand (1995) : A visit to any particular tourism
area with the purpose to study, enjoy and appreciate the scenery-natural and social-as well as the lifestyle of the local people, based on the knowledge about and responsibility for the ecological system of the area; dan
16. Healy (1988, dalam Nor and Wayakone, 1997): As tourism based directly on the use of natural resources in a relatively undeveloped state which include activities such as wildlife safaris, wildlife viewing, river rafting canoeing,
Menurut Avenzora (2008), melihat berbagai definisi dan batasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pola pendefinisian adalah berorientasi pada: (1) tujuan yang ingin dicapai dari konsep yang ditawarkan, (2) sumberdaya wisata yang digunakan dan (3) bentuk-bentuk kegiatan wisata yang diselenggarakan. Jika berbagai definisi tersebut diintegrasikan, maka sesungguhnya berbagai usaha untuk mencapai kematangan suatu ilmu pengetahuan, dalam hal ini ecotourism, dapat dikatakan hampir mencapai keberhasilannya. Namun, jika berbagai definisi tersebut dibiarkan solitare sebagaimana lebih sering terjadi saat ini, maka terdapat banyak hal mendasar yang secara obyektif bersifat kontra produktif terhadap gagasan yang melatarbelakangi perkembangan ilmu itu sendiri.
Avenzora (2008) menegaskan bahwa beberapa pemikiran berikut barangkali dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengevaluasi kesempurnaan berbagai definisi tersebut di atas, yaitu:
Perlu disadari bahwa ada 5 tahap kegiatan yang tak terpisahkan dalam setiap perjalanan wisata, yaitu: (1) tahap perencanaan, (2) tahap perjalanan menuju destinasi, (3) tahap kegiatan di destinasi, (4) tahap perjalanan pulang dari destinasi, dan (5) tahap rekoleksi. Setiap tahapan tersebut adalah ikut menyumbang secara nyata atas tingkat kepuasan yang didapat oleh pelaku wisata; dimana berbagai studi menunjukkan bahwa kepuasan di destinasi hanya menyumbang maksimum sebesar 30% atas kepuasan total. Dengan demikian maka pendefinisian suatu konsep ecotourism menjadi tidak sempurna jika hanya difokuskan pada destination area;
Pada dasarnya sustainability concept mensyaratkan setiap sektor pembangunan (termasuk tourism) untuk membangun dan memelihara the 3
pilars of sustainability, yaitu pilar ekologi, pilar sosial-budaya dan pilar sosial-ekonomi. Sejalan dengan lima tahapan di atas, maka tentunya ketiga pilar tersebut haruslah juga dibangun dan dipelihara pada setiap kesatuan ruang yang digunakan untuk terselenggaranya setiap tahapan tersebut. Salah satu tuntutan logis dari hal ini adalah perlunya memasukkan konsep regional-
development dalam mengintegrasikan kesatuan ruang tersebut. Dengan demikian, pendefinisian ecotourism yang hanya terfokus pada destination
area dapat dikatakan unfair. Dan, hal ini menjadi sangat penting pada era otonomi daerah, yaitu minimal dari sudut pandang: (1) keseimbangan sirkulasi fiskal serta (2) keseimbangan beban tanggungjawab dan distribusi manfaat;
Perlu diingat bahwa the continum of tourism activities (seperti diisyaratkan pada Gambar 1 dan Gambar 2 di atas) adalah sangat luas, dan nature related
tourism activities (yang sering menjadi perhatian utama dalam berbagai konsep ecotourism) hanyalah salah satu bentuk pilihan kegiatan yang tersedia saja. Meskipun banyak ahli memprediksikan akan terjadi peningkatan berganda dalam permintaan nature related tourism activities,
namun hingga saat ini porsi maksimum permintaan tersebut hanyalah mencapai sekitar 15% saja dari total tourism demand yang ada. Lebih jauh, jika dikaitkan dengan trend shifting maka sesungguhnya secara alami akan selalu terdapat the period of change (umumnya setiap 7 tahun sekali) yang juga sering diacu oleh sektor tourism. Dan, harus diakui bahwa sesungguhnya tidak ada satu perjalanan wisatapun yang bisa melepaskan diri dari modernisation-products secara totalitas. Dengan demikian, maka pendefinisian ecotourism yang hanya berorientasi pada kealamiahan sumberdaya dan lokasi dapat dikatakan ambiguous (jika tidak ingin dikatakan double standard);
Dari sudut pandang tourism psychology, hendaknya juga perlu diingat adanya pola perilaku memaksimumkan kepuasan oleh para wisatawan. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa hal tersebut umumnya dicapai dengan cara mengkonsumsi beragam jasa yang dapat diakses. Dengan demikian maka pembatasan bentuk tourism activities dalam pendefinisian ecotourism adalah
out of reality.
D. Industri dan Produk Pariwisata
Swastha dan Sukotjo (1993) memberikan pendapat bahwa industri adalah suatu konsep barat sebagai usaha untuk mengejar keuntungan, prestasi, dan pendapatan yang besar. Jika dikaji sebagai arti luas, dunia usaha terdiri dari atas tiga bagian, yaitu: (1) tempat kerja untuk menjalankan kegiatan yang produktif seperti pabrik, pertambangan, hotel, toko, atau ladang, (2) perusahaan, yang memiliki satu tempat kerja atau lebih dan (3) usaha-usaha ini pada akhirnya akan membawa pertumbuhan ekonomi.
Perusahaan dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi produksi yang menggunakan dan mengkoordinir sumber-sumber ekonomi untuk memuaskan kebutuhan dengan cara yang menguntungkan. Pada sektor pariwisata, kelompok perusahaan secara langsung memberi pelayanan kepada wisatawan bila datang berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata tertentu. Tanpa bantuan kelompok