PENGEMBANGAN
KAPASITAS
PARA
PIHAK
(STAKEHOLDERS)
BAGI
PEMBANGUNAN
EKOWISATA
DI
KAWASAN
CIBODAS,
JAWA
BARAT
TUTUT
SUNARMINTO
SEKOLAH
PASCA
SARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
PERNYATAAN
MENGENAI
DISERTASI
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Kapasitas Para Pihak (Stakeholders) Bagi Pembangunan Ekowisata di Kawasan Cibodas, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari
2012
Tutut
Sunarminto
ABSTRACT
TUTUT SUNARMINTO. Stakeholders Capacity Building For Ecotourism Development in Cibodas Area, West Java. Under the supervision of DUDUNG DARUSMAN, HADI SUKAIDI ALIKODRA, and RICKY AVENZORA.
A research on Stakeholders Capacity Building for Ecotourism Development in Cibodas Tourism Destination Area have been done in order to aim a better quality of all aspects in supply and demand in ecotourism activities. Therefore, a set of evaluation on (1) supply chain, (2) demand chain and (3) stakeholder chain have been completed to provide the basic need of capacity building concept. The primary data have been collected by distributing a set of closed-ended quistionaire that applied scoring system of Likert, as well as indepth obsevation of site condition and ecotourism behaviour. In both area, the result show that all supply- chain elements, demand-chain elements and stakeholder elements are not yet find their best way to provide the ecotourism services in optimum manner. In the same time the demand-chain elements are not yet having quality orientation in consuming many ecotourism potential in these area. Eventhough the value of ecotourism resources in these areas are very high, as well as a big number of demand, but all elements can not yet come to a better colletive ideas for optimizing any potential benefit for all parties. A value-chain Ecotourism Approach is proposed to elaborate a better ecotourism development in these areas. This concept very concern to optimizing the roles, function performances of each stakeholders; both in term of intra-function and inter-function amongst all parties in the chain.
©
Hak
Cipta
milik
IPB,
Tahun
2012
Hak
Cipta
dilindungi
Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PENGEMBANGAN
KAPASITAS
PARA
PIHAK
(STAKEHOLDERS)
BAGI
PEMBANGUNAN
EKOWISATA
DI
KAWASAN
CIBODAS,
JAWA
BARAT
TUTUT
SUNARMINTO
Disertasi
sebagai
salah
satu
syarat
untuk
memperoleh
gelar
Doktor
pada
Program
Studi
Ilmu
Pengetahuan
Kehutanan
SEKOLAH
PASCA
SARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang berkat rahmat-Nya, penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul Pengembangan Kapasitas Para Pihak (Stakeholders) Bagi Pembangunan Ekowisata di Kawasan Cibodas, Jawa Barat. Disertasi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB.
Proses penelitian dan penulisan disertasi dapat terselesaikan dengan bantuan dan partisipasi berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku Ketua Komisi Pembimbing atas arahan, nasihat, bimbingan serta kesabarannya selama ini. Kemudian kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing atas bimbingan, arahan serta berbagai masukan yang sangat berarti. Kepada Dr. Ir. Ricky Avenzora, M.Sc.F, penulis menghaturkan terima kasih atas arahan, supervisi, nasihat dan dorongan motivasinya.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional yang telah memberikan kesempatan penulis mendapatkan bantuan Beasiswa Program Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Dekan serta civitas akademika Sekolah Pascasarjana IPB yang telah menerima penulis dan memberikan kemudahan dalam proses penyelesaian disertasi ini. Teimakasih yang mendalam disampaikan kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB dan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku mantan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana IPB beserta seluruh civitas akademika yang senantiasa mendukung penulis untuk dapat menyelesaikan studi ini.
Kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS dan Dr. Ir. Leti Sundawati, M. Sc yang telah bertindak sebagai penguji luar komisi dan memberikan masukan pada pelaksanaan ujian tertutup, serta kepada Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M. Sc dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi dan memberikan masukan pada saat ujian terbuka disampaikan ucapan terima kasih.
Kepada yang terhormat Rektor IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB serta Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis melanjutkan pendidikan program doktor ini disampaikan terima kasih. Untuk rekan-rekan dan kolega penulis juga disampaikan terima kasih atas segala dukungannya.
Barat, Direktur PT Perkebunan Nusantara VIII, Pimpinan Taman Safari Indonesia, Pimpinan Taman Wisata Matahari, Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten, Pimpinan Taman Wisata Riung Gunung, Pimpinan Canzebu Amazing Resort and Camp, Pimpinan Lembah Pertiwi, serta Pimpinan Melrimba Garden.
Secara khusus penulis sampaikan terima kasih kepada para mahasiswa Diploma III Ekowisata IPB Angkatan 46 yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian. Kepada saudara Insan Kurnia S.Hut, Ehsan Ilahi Zhahir A.Md, Mario Genasara A.Md, dan para asisten dosen di Diploma III Ekowisata IPB disampaikan penghargaan dan terima kasih atas bantuannya dalam proses pengolahan data dan penulisan disertasi ini.
RINGKASAN
TUTUT SUNARMINTO. Pengembangan Kapasitas Para Pihak (Stakeholders) bagi Pembangunan Ekowisata di Kawasan Cibodas, Jawa Barat. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, HADI S. ALIKODRA dan RICKY AVENZORA.
Sejalan dengan semakin pentingnya peranan pariwisata dalam pertumbuhan perekonomian dunia, maka melalui Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional, pemerintah menetapkan Kawasan Wisata (KW) Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Pesatnya pertumbuhan wisata dengan dampak negatif yang terjadi di kawasan wisata ini telah mengakibatkan penurunan kualitas rekreasi yang diindikasikan dengan rendahnya kepuasan rekreasi pada wisatawan.
Penelitian Pengembangan Kapasitas Para Pihak (Stakeholders) bagi Pembangunan Ekowisata di Kawasan Cibodas, Jawa Barat betujuan untuk (1) mengetahui karakteristik dan sekaligus mengevaluasi kinerja para pihak yang terlibat dalam rantai suplai di Destinasi Wisata (DW) Cibodas; (2) mengetahui karakteristik dan sekaligus mengevaluasi berbagai pola perilaku para pihak yang terlibat dalam rantai permintaan; (3) mengetahui dan sekaligus mengevaluasi hubungan antar rantai nilai dari para pihak; serta (4) merumuskan strategi program penguatan para pihak yang perlu dilakukan untuk mencapai peningkatan pembangunan ekowisata Kawasan Cibodas berdasarkan pendekatan dari bawah (bottom up) dengan memperhatikan rantai nilai aspek–aspek penawaran (supply), permintaan (demand), dan para pihak (stakeholders).
Tujuan penelitian di atas dicapai melalui pengumpulan dan analisis data yang difokuskan untuk mendapatkan gambaran tentang: (1) aspek suplai, (2) aspek permintaan dan (3) aspek para pihak. Seluruh data didapat melalui wawancara menggunakan kuesioner tertutup (close ended). Jumlah responden terpilih untuk aspek suplai yaitu satu orang pegawai per bidang kerja pada setiap obyek wisata contoh dan 30 masyarakat per obyek wisata contoh. Responden untuk aspek permintaan sebanyak 30 pengunjung per obyek wisata contoh, sedangkan untuk aspek para pihak dipilih 45 responden per kawasan wisata. Penilaian menggunakan metoda Likert dengan skala 1-7.
Analisis data dilakukan dengan pemetaan skor (score mapping) dan kemudian dilengkapi dengan analisis gap (gap analysis). Hasil analisis kemudian disintesis untuk melihat posisi aspek dan elemen-elemennya dari setiap mata rantai nilai yang dibandingkan dengan kondisi ideal (nilai skor 7) dengan kerangka berfikir optimasi fungsi dan optimasi kinerja. Bila setiap mata rantai nilai sudah mencapai kondisi optimal, yaitu kondisi maksimal yang bisa dicapai dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya, maka selanjutnya dilakukan evaluasi dan tindakan untuk mendapatkan strategi penguatan kapasitas para pihak.
Terdapat tiga aspek penting dari rantai suplai yang perlu untuk dievaluasi, yaitu kinerja individual setiap elemen suplai (partial performance of each supply
element), kinerja komunal elemen suplai sejenis (intra-group performance of
performance of supply element). Kinerja elemen suplai dalam rantai nilai DW Cibodas dan KW Bopunjur masih jauh dari kondisi optimal.
Dalam konteks elemen rantai suplai, maka berbagai badan usaha yang menawarkan jasa wisata di DW Cibodas dan KW Bopunjur dapat dibedakan menjadi enam elemen, yaitu: (1) pemerintah sebagai regulator, (2) pemerintah sebagai penyedia jasa tapak destinasi atau sebagai pemilik fasilitas amenitas, (3) BUMN sebagai penyedia jasa, (4) usaha swasta besar, (5) usaha wasta menengah dan (6) usaha swasta kecil. Tidak bisa disangkal bahwa keberadaan dan eksistensi Pemerintah Propinsi Jawa Barat c.q Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kabupaten Cianjur, beserta berbagai Pemerintah Kecamatan dan Pemerintah Desanya, adalah ikut mempengaruhi total performa dari DW Cibodas dan KW Bopunjur.
Performa kinerja intra-elemen suplai di DW Cibodas tergolong buruk (skor 2) dan agak buruk (skor 3). Adapun persepsi pengusaha kecil dan BUMN terhadap pemerintah sebagai penyedia jasa serta persepsi pengusaha kecil terhadap pengusaha swasta besar tergolong agak baik (skor 5) diduga kuat merupakan persepsi semu (placebo perception) sebagai akibat adanya unsur interaksi dan persepsi yang bersifat feodal antara para pihak yang memberi nilai terhadap para pihak yang dinilai. Sementara itu, persepsi intra dan antar para pihak di KW Bopunjur hanya memberikan rata-rata nilai skor 3 (agak buruk).
Tidak komprehensifnya visi dan misi para pihak dalam rantai suplai ekowisata di DW Cibodas dan KW Bopunjur terus berlanjut dan diperburuk dengan kualitas SDM yang berdampak pada rendahnya kualitas dan performa kinerja yang berpengaruh pada tingkat kepuasan pada pengunjung. Namun skor persepsi yang diberikan responden terhadap performa kinerja SDM dengan skor 4 (biasa saja) diduga kuat tergolong bias ke atas atau performa kinerja yang ada sesungguhnya mempunyai skor lebih rendah. Persepsi semu ini diduga kuat disebabkan adanya dinamika efek negatif dari pendapat awam pada populasi responden; yaitu suatu tatanilai yang muncul sebagai akibat kesamaan perilaku ataupun kondisi yang dimiliki oleh populasi yang menilai dan yang dinilai.
Perilaku wisatawan dalam berwisata adalah bahwa sebagian besar wisatawan tersebut tidak mengkonsumsi fasilitas akomodasi sebagai bagian dari perjalanan rekreasi dan wisatanya. Kedatangan dan kepadatan kunjungan wisatawan ke DW Cibodas dan KW Bopunjur pada Jumat malam sampai dengan Minggu malam diduga hanya untuk melewati keindahan suasana ruang terbuka pegunungan pada malam hari yang didukung data pengeluaran rata-rata tidak mencapai Rp 100.000.
umumnya hanya memberikan kepuasan sedang (skor 4); sama halnya dengan kepuasan pengunjung terhadap infrastruktur dan fasilitas rekreasi yang ada.
Skor rata-rata kepuasan pengunjung tentang kondisi lingkungan biotik di wilayah DW Cibodas adalah sejalan dengan rendahnya kondisi lingkungan yang ada pada wilayah tersebut, yaitu skor 3 (agak buruk) untuk kondisi fauna dan skor 4 (biasa saja) untuk kondisi flora. Adapun untuk KW Bopunjur, rata-rata skor yang diberikan oleh responden terhadap kondisi flora dan fauna adalah hanya 3 (agak buruk).
Kekuatan utama pada DW Cibodas dan KW Bopunjur pada status tapak utama milik pemerintah yang memiliki keanekaragaman, kualitas obyek dan atraksi wisata tinggi yang dikenal secara nasional. Kelemahan di KW Bopunjur adalah lebih rentan dibandingkan DW Cibodas. Berbagai konflik sosial yang ditimbulkan oleh kemandulan regulasi dalam penataan ruang menjadi sangat krusial dalam proses pembangunan dan pengembangan ekowisata yang akan dielaborasi.
Peluang terpenting yang ada adalah kebijakan pemerintah untuk menjadikan wilayah KW Bopunjur sebagai salah satu daerah tujuan wisata unggulan, baik pada skala regional maupun pada skala nasional. Ancaman terpenting bagi DW Cibodas maupun KW Bopunjur adalah bahaya laten erupsi lava Gunung Gede yang masih aktif, meskipun hingga saat ini gunung berapi tersebut belum menujukkan gejala aktif yang membahayakan.
Penguatan kapasitas para pihak dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada setiap elemen untuk melaksanakan fungsi dan perannya secara optimal untuk mendorong suatu kolaborasi intra dan antar para pihak, sehingga terwujud pencitraan kembali (rebranding) DW Cibodas dan KW Bopunjur sebagai tapak wisata dengan produk wisata yang atraktif, variatif dan asli (original) yang memberikan rasa aman dan kebanggaan bagi para wisatawan. Penerapan sistem akses mendaftar (booked access) merupakan strategi dalam menjamin proses pencitraan kembali berjalan dengan baik, yaitu dengan tegaknya tiga pilar keberlanjutan pariwisata, yang meliputi pilar-pilar ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Pembentukan langkah dan pemasaran bersama dengan membuat suatu portal pemasaran (marketing portal) KW Bopunjur (termasuk DW Cibodas) yang dibiayai pemerintah sebagai regulator dipercaya merupakan suatu tindakan strategis dalam mengimplementasikan sistem akses mendaftar.
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 28 Februari 1964 dari Ibu bernama Bibet Maryam dan Ayah bernama Zaenal Achmad sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Pada tanggal 26 Februari 1989, penulis menikah dengan Ir. Chairu Fariandini serta telah dikaruniai enam orang putra dan putri, yaitu Andzar, Azra, Atana, Athhar, Anka dan Afina.
Pendidikan Sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor diselesaikan penulis pada Tahun 1986, sedangkan pendidikan S2 penulis pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Program Pascasarjana IPB diselesaikan pada tahun 1999. Pada tahun 2003, Semester Genap Tahun Akademik 2002-2003, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama dengan Beasiswa Program Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB sejak tahun 1990. Bidang ilmu yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Sosial Ekonomi Konservasi.
Selama mengikuti pendidikan Program S3, penulis telah menyusun artikel yang diterbitkan pada Jurnal Media Konservasi ISSN 0215-1677 Volume 16 No.3, Desember 2011 dengan judul Evaluasi Rantai Permintaan Wisata Dalam
Perencanaan Pembangunan Ekowisata di Kawasan Wisata Cibodas, Jawa
Barat. Selain itu, satu artikel lagi yang akan diterbitkan juga pada Jurnal Media Konservasi ISSN 0215-1677 untuk edisi selanjutnya dengan judul Evaluasi Rantai Suplai Wisata dalam Perencanaan Pembangunan Ekowisata di Kawasan Cibodas, Jawa Barat. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis yang berjudul Pengembangan Kapasitas Para Pihak
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS (Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB)
Dr. Ir. Leti Sundawati, M. Sc
(Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)
Penguji Pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M. Sc (CEO Innovative development for eco Awareness)
Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah... 9
C. Tujan ... 10
D. Sasaran ... 11
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 11
F. Kerangka Pemikiran... 12
G. Kebaruan ... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keterkaitan Waktu Luang, Rekreasi dan Pariwisata ... 15
B. Ekowisata : Dinamika Pengertian dan Makna... 20
C. Evaluasi Atas Konsep... 23
D. Industri dan Produk Pariwisata ... 26
E. Motivasi Wisatawan ... 29
F. Permintaan (Demand) Pariwisata ... 30
G. Penawaran (Supply) Pariwisata ... 33
H. Para-pihak pada Bisnis Ekowisata ... 35
I. Persaingan ... 37
J. Manajemen Strategi ... 39
K. Kerangka Teoritis Rantai Nilai... 42
L. Rantai Nilai Pariwisata ... 43
M. Perencana Wisata... 45
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Destinasi Wisata Cibodas ... 48
1. Letak dan Luas ... 48
2. Sejarah Kawasan ... 48
3. Kondisi Masyarakat ... 49
4. Aksesibilitas ... 49
B. Kawasan Wisata Bogor – Puncak – Cianjur (Bopunjur)... 50
1. Letak dan Luas ... 50
2. Sejarah Kawasan ... 51
3. Kondisi Masyarakat ... 52
4. Aksesibilitas ... 52
IV. METODE PENELITIAN A. Kerangka Teori ... 54
B. Waktu dan Tempat ... 56
C. Jenis dan Metode Pengambilan Data ... 57
D. Analisis Data ... 58
E. Sintesis... 60
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Daerah Studi ... 60
B. Evaluasi Rantai Suplai ... 67
C. Evaluasi Rantai Permintaan ... 88
VI. STRATEGI PENGUATAN PARA PIHAK A. Masalah dan Kendala. ... 100
B. Perumusan Strategi... 103
1. Penguatan Kapasitas para-pihak dalam Rantai Suplai ... 104
2. Penguatan Para Pihak dalam Rantai Permintaan ... 106
3. Penguatan Rantai Para-Pihak ... 108
VII. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan. ... 113
B. Saran ... 115
DAFTAR PUSTAKA ... 116
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Letak dan Luas Obyek Penelitian di Destinasi Wisata Cibodas... 48
2. Letak dan luas obyek penelitian di Kawasan Wisata Bopunjur ... 50
3. Sejarah dan pengelola obyek penelitian di Kawasan Wisata Bopunjur ... 52
4. Jarak tiap obyek wisata di Kawasan Wisata Bopunjur dari Jalan Raya Jakarta–Cianjur ... 53
5. Obyek Wisata yang Menjadi Kajian Penelitian... 57
6. Data yang diambil dalam penelitian ... 58
7. Fasilitas wisata di setiap obyek penelitian di Destinasi Wisata Cibodas ...63
8. Fasilitas wisata pada setiap obyek penelitian di Kawasan Wisata Bopunjur ... 66
9. Skor persepsi para-pihak ekowisata tentang kinerja setiap intra- stakeholder dan kinerja inter-stakeholder di Cibodas ... 68
10. Skor Persepsi Stakeholder Ekowisata Tentang Kinerja Setiap Intra- stake holder dan Kinerja Inter-stake holder Ekowisata di Bopunjur ... 70
11. Persepsi para-pihak ekowisata tentang kinerja setiap intra-stakeholder dan kinerja inter-stakeholder menurut jenis usaha di Destinasi Wisata Cibodas ... 74
12. Persepsi para-pihak ekowisata tentang kinerja setiap intra-stakeholder dan kinerja inter-stakeholder ekowisata menurut jenis usaha di Kawasan Wisata Bopunjur ... 75
13. Orientasi visi dan misi penyedia jasa wisata contoh di Destinasi Wisata Cibodas ... 76
14. Orientasi visi dan misi penyedia jasa wisata di Kawasan Wisata Bopunjur ... 76
15. Kondisi Sumberdaya Manusia (SDM) perusahaan/institusi penyedia jasa wisata di Destinasi Wisata Cibodas Tahun 2011 ... 77
16. Kondisi Sumberdaya Manusia (SDM) penyedia jasa wisata di Kawasan Bopunjur Tahun 2011 ... 77
18. Proporsi sumberdaya manusia (SDM) pada KW Boponjur Tahun
2011 ... 79 19. Nilai kepuasan pengunjung terhadap profesionalisme Sumberdaya
Manusia (SDM) pada DW Cibodas... 79 20. Nilai kepuasan pengunjung terhadap profesionalisme Sumberdaya
Manusia (SDM) pada obyek wisata di Kawasan Bopunjur... 80 21. Dampak ekonomi kegiatan wisata di DW Cibodas dan KW Bopunjur
terhadap masyarakat lokal ... 81 22. Status matapencaharian sebagai pengusaha kecil di DW Cibodas dan
KW Bopunjur Tahun 2011 ... 81 23. Status kepemilikan usaha pengusaha kecil di KW Cibodas dan
Bopunjur Tahun 2011 ... 82 24. Waktu berusaha pengusaha kecil di DW Cibodas dan KW Bopunjur
Tahun 2011 ... 82 25. Daerah asal pengusaha kecil di DW Cibodas dan KW Bopunjur Tahun
2011 ... 83 26. Tahun memulai kegiatan pengusaha kecil di DW Cibodas dan KW
Bopunjur Tahun 2011 ... 83 27. Karakteristik pendidikan pengusaha kecil di DW Cibodas dan KW
Bopunjur Tahun 2011 ... 84 28. Jenis usaha pengusaha kecil di DW Cibodas dan KW Bopunjur Tahun
2011 ... 84 29. Dampak sosial kegiatan wisata di DW Cibodas dan KW Bopunjur
terhadap masyarakat lokal ... 87 30. Dampak budaya kegiatan wisata di DW Cibodas Dan KW Bopunjur
terhadap masyarakat lokal ... 88 31. Nilai motivasi pengunjung terhadap obyek wisata pada DW Cibodas... 89 32. Nilai skor motivasi pengunjung terhadap obyek wisata pada KW
Bopunjur ... 89 33. Tingkat hunian hotel di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur
dibandingkan tingkat hunian hotel Provinsi Jawa Barat dan Nasional... 92 34. Nilai rata-rata pengeluaran wisatawan di DW Cibodas dan KW
Bopunjur Tahun 2011 ... 93 35. Nilai Kepuasan Pengunjung Terhadap Jenis Atraksi Wisata di DW
36. Nilai kepuasan pengunjung di DW Cibodas dan KW Bopunjur
terhadap elemen infrastruktur dan fasilitas rekreasi dan wisata ... 95 37. Pola Tindakan Pengunjung Atas Ketidaksesuaian Suasana Wisata di
DW Cibodas dan KW Bopunjur ... 96 38. Nilai kepuasan pengunjung terhadap kondisi lingkungan biotik pada
obyekwisata di DW Cibodas pada aspek keanekaragaman fauna
danflora ... 97 39. Nilai kepuasan pengunjung terhadap dampak lingkungan biotik pada
obyek wisata di KW Bopunjur pada aspek keanekaragaman fauna dan flora... 97 40. Saran Pengunjung Untuk Perbaikan Destinasi Wisata Cibodas ... 99 41. Kekuatan bagi DW Cibodas dan KW Bopunjur dalam Perencanaan
Pembangunan Ekowisata ... 101 42. Kelemahan bagi DW Cibodas dan KW Bopunjur dalam Perencanaan
Pembangunan Ekowisata ... 101 43. Peluang bagi DW Cibodas dan KW dalam Perencanaan Pembangunan
Ekowisata... 102 44. Ancaman bagi Destinasi Ekowisata Cibodas dan Kawasan Ekowisata
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran pengembangan para-pihak ekowisata... 12
2. Skema Time-Budget (Avenzora 2008). ... 16
3. Ja’fari Model (cited in Cooper et al., 1999)... 18
4. Ranah Permintaan (Dimodifikasi dari Middleton, 2004)... 32
5. Komponen penawaran wisata ... 34
6. Defenisi gabungan/matching definition (Barney, 1997). ... 39
7. Hubungan antar unsur Kerangka 7s McKensey... 40
8. Rantai Nilai (Porter, 1990)... 42
9. Rantai Nilai Pariwisata (Yilmaz dan Bititci, 2006). ... 44
10. Pariwisata sebagai Rantai Nilai (Andreas, 2006 dalam Mitchell & Phuc, 2007). ... 44
11. Lokasi obyek wisata di DW Cibodas dan KW Bopunjur ... 56
12. Pengunjung TN Gunung Gede Pangrango Tahun 2002 - 2009. ... 71
13. Jumlah pengunjung Kebun Raya Cibodas selama 10 tahun terakhir... 72
14. Fluktuasi jumlah pengunjung bulanan di Kebun Raya Cibodas ... 73
15. Rata-rata pendapatan harian responden pengusaha kecil di DW Cibodas dan KW Bopunjur Tahun 2011 ... 85
16. Dinamika perubahan akses terbuka (open acces) menjadi akses terdaftar (booked acces)... 110
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisioner Masyarakat ... 128
2. Kuesioner Pegawai... 129
3. Kuesioner Pengelola ... 130
4. Kuesioner Pengunjung/Wisatawan ... 132
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dua dekade terakhir, sektor pariwisata telah menjadi sektor
pembangunan yang diunggulkan banyak negara dalam menghasilkan devisa.
World Tourism Organisation (2011) melaporkan adanya pertumbuhan pariwisata
dunia yang terus meningkat dari tahun ke tahunnya; yaitu 528 juta wisatawan
dunia pada Tahun 1995 meningkat menjadi 674 juta wisatawan pada tahun 2000
dan terus meningkat hingga 939 juta wisatawan pada tahun 2010. Dalam konteks
jumlah turis, maka pertumbuhan pariwisata di Republik Rakyat China adalah
contoh atau indikator nyata tentang betapa spektakulernya angka perumbuhan
yang bisa dicapai suatu negara dalam mengambil manfaat dari sektor pariwisata;
yaitu 10,5 juta wisatawan asing pada tahun 1990 meningkat tajam menjadi 31,3
juta wisatawan asing pada tahun 2000 dan terus meroket menjadi 55,7 juta
wisatawan mancanegara pada tahun 2010; hampir mendekati jumlah wisatawan
mancanegara di USA pada Tahun 2010 yang mencapai angka 59,7 juta orang.
Dalam konteks nasional, sebagai negara yang memiliki kekayaan potensi
sumberdaya wisata, sesungguhnya Indonesia sejak akhir tahun 60-an telah
menyadari tentang besarnya manfaat ekonomi dari sektor pariwisata, yaitu dengan
telah ditetapkannya Bali, Tana Toraja, Danau Toba, Borobudur-Yogyakarta dan
Bunaken sebagai 5 destinasi unggulan pariwisata dunia. Namun demikian, hingga
saat ini pertumbuhan pariwisata di Indonesia belumlah dapat dikatakan
menggembirakan, yaitu setidaknya karena belum seimbangnya jumlah wisatawan
yang didapat dibandingkan dengan ketersediaan jumlah sumberdaya wisata yang
tersebar di seluruh Indonesia, masih relatif rendahnya lama tinggal (length of stay)
yang hanya 14 hari serta masih sangat relatif rendahnya jumlah pengeluaran
belanja wisatawan selama di Indonesia, yaitu hanya sekitar USD 100 per hari. Hal
tersebut dapat terlihat dari kontribusi sektor pariwisata dalam Produk Domestik
Bruto (PDB) yang hanya 5,39%, dengan kontribusi pada lapangan kerja hanya
7,94% (Heriawan, 2004). Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan dinamika
pariwisata regional, maka pada tahun 2010 Indonesia hanya mendapatkan 7 juta
mancanegara, Thailand 15,8 juta wisatawan mancanegara dan Malaysia 24,6 juta
wisatawan mancanegara. Lebih lanjut data yang tersedia menunjukkan bahwa
pertumbuhan wisatawan mancanegara ke Malaysia merupakan yang tertinggi di
antara sesama negara ASEAN.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) kepariwisataan Indonesia
diduga banyak pihak sebagai penyebab mandulnya kinerja kepariwisataan
Indonesia. Di satu sisi, berbagai tapak dan wilayah destinasi wisata yang dimiliki
oleh Indonesia dapat dikatakan belum dibenahi dan disiapkan untuk bisa masuk
ke dalam pentas persaingan pariwisata dunia; bahkan berbagai kawasan
konservasi yang meliputi 50 Taman Nasional, 75 Suaka Margasatwa, 14 Taman
Buru, dan 22 Taman Hutan Raya yang dimiliki Indonesia pun hingga saaat ini
masih belum mampu memainkan peranan penting dalam menangkap wisatawan
mancanegara. Di sisi lain, berbagai destinasi dan kawasan wisata yang telah ada
pun tidak menunjukkan adanya indikator pertumbuhan yang signifikan; baik
dalam konteks kemantapan kualitas pembangunan wilayah maupun dalam konteks
berbagai pembangunan kualitas lingkungan yang telah menjadi paradigma global
yang juga harus menjadi perhatian dan dipenuhi oleh sektor pariwisata di
Indonesia.
Di antara sekian banyak destinasi wisata yang ada di Indonesia, maka
Destinasi Wisata (DW) Cibodas yang terletak di Kawasan Wisata Bogor Puncak
Cianjur (KW Bopunjur) adalah merupakan salah satu destinasi wisata yang
penting dan perlu untuk diperhatikan. Proses pertumbuhan di wilayah ini adalah
sangat penting bagi kepentingan konservasi nasional, sedangkan fungsi
hidrolorologisnya adalah juga sangat penting bagi berbagai daerah di bawahnya,
khususnya bagi Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
Kebun Raya (KR) Cibodas dan Taman Nasional (TN) Gunung Gede
Pangrango yang menjadi salah satu maskot (icon) wisata dan konservasi di DW
Cibodas dan KW Bopunjur mempunyai sejarah penting dan posisi strategis bagi
wilayah Jawa Barat maupun secara nasional. Kebun Raya Cibodas yang
pembangunannya telah dirintis pada tahun 1830 yakni berupa kebun di belakang
oleh Johaness Elias Teysman, dapat dikatakan sebagai salah satu destinasi wisata
tertua di Indonesia setelah KR Bogor yang dibangun pada tahun 1817. Pada tahun
1889, kawasan hutan di sekitar KR Cibodas pun telah dijadikan sebagai Cagar
Alam (CA) Cibodas, yang setelah hampir 100 tahun kemudian (1980)
ditingkatkan fungsinya menjadi Taman Nasional dengan nama TN Gunung Gede-
Pangrango. Keberadaan dua kawasan konservasi (eksitu dan insitu) yang berada
pada ketinggian 1300 meter-dpl tersebut telah menjadi pelengkap keindahan dan
atraksi wisata di perkebunan teh yang telah dibangun di kawasan puncak sejak
tahun 1728.
Di satu sisi, sesungguhnya sejak puluhan tahun lalu DW Cibodas telah
menjadi destinasi wisata yang tidak hanya menjadi maskot destinasi wisata di KW
Bopunjur bagi populasi masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi
(bahkan Kerawang) saja melainkan juga telah dikenal secara nasional dan bahkan
mancanegara. Namun di sisi lain, bukti empiris menunjukkan bahwa kawasan
wisata ini tidak pernah tumbuh menjadi baik dan memenuhi harapan banyak
pihak. Semakin meningkatnya kemacetan pada wilayah tersebut dari tahun ke
tahun, khususnya pada akhir pekan dan musim liburan telah menjadi indikator
penting tentang adanya “gangguan” yang signifikan pada dinamika sistem
kepariwisataan di wilayah tersebut.
Sesungguhnya, sejak awal tahun 60-an Presiden Soekarno telah
mengkhawatirkan pesatnya pertumbuhan wisata dan dampak negatif yang terjadi
di Kawasan Cibodas dan sekitarnya, serta telah pula memikirkan tentang
pentingnya untuk penataan sebagai destinasi wisata. Namun demikian hingga
saat ini, secara obyektif, KW Bopunjur tidak pernah menjadi tertata dengan baik
dan benar. Pada tahun 1963, Presiden Soekarno telah mengeluarkan Perpres No.
13 Tahun 1963 tentang Penertiban Pembangunan Bangunan di Sepanjang Jalan
antara Jakarta–Bogor–Puncak–Cianjur (Bopunjur) di luar batas-batas DKI Jakarta
Raya, Daerah Swatantra Tingkat II Bogor dan Daerah Swatantra Tingkat II
Cianjur. Dua aturan penting yang dinyatakan dalam Perpres tersebut adalah
berupa keharusan adanya izin khusus dari Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga
dan membuat rencana tata ruang kepariwisataan di wilayah tersebut. Namun
bahkan sampai dengan hampir 50 tahun kemudian kedua hal ini tidak dapat
terwujudkan.
Pada tahun 1983 Presiden Soeharto menerbitkan Kepres yang kemudian
dikenal sebagai Kepres Penataan Ruang Wilayah Puncak, yaitu Kepres No. 48
Tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta
Pengendalian Pembangunan Pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur
Jalan Bopunjur di Luar Wilayah DKI Jakarta, Kotamadya Bogor, Kota
Administratif Depok, Kota Cianjur dan Kota Cibinong. Kepres ini ditujukan
untuk peningkatan fungsi lindung terhadap tanah, air serta flora dan fauna. Lebih
lanjut, sejalan dengan mulai timbulnya masalah banjir di DKI Jakarta pada awal
tahun 80-an, maka pada tahun 1985, Kepres No. 48 tersebut juga telah dilengkapi
pula dengan Kepres No. 79 Tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata
Ruang Kawasan Puncak. Pada tahun 1999, telah pula dikeluarkan Keppres No.
114 tentang Penetapan Ruang Kawasan Bopunjur yang ditujukan untuk menjamin
keberlangsungan konservasi air dan tanah, serta penanggulangan banjir bagi
kawasan Bopunjur dan wilayah hilir nya. Adapun saat ini Peraturan Pemerintah
RI No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional juga memasukkan Kawasan Bopunjur kedalam Kawasan Strategis
Pariwisata Nasional.
Sampai sekarang tidak ada satu institusi pun yang mempunyai data resmi
tentang jumlah wisatawan yang mendatangi Kawasan Bopunjur dari tahun ke
tahunnya. Namun bisa dipastikan bahwa jumlah wisatawan yang mendatangi
kawasan ini adalah selalu meningkat. Kebijakan “buka-tutup” jalur jalan menuju
Puncak yang telah diberlakukan sejak akhir tahun 90-an yang bertujuan untuk
mengatasi kemacetan yang semakin panjang diakhir pekan dan musim libur dapat
dijadikan sebagai salah satu indikator nyata tentang tingginya peningkatan jumlah
pengunjung wisata di KW Bopunjur dari tahu ke tahun.
Selain kemacetan dan peningkatan populasi penduduk di kawasan
Jabodetabek, setidak-tidaknya ada dua kondisi sosial penting lainnya yang bisa
terjadinya peningkatan jumlah pengunjung wisata ke KW Bopunjur dari tahun ke
tahun, yaitu peningkatan pendapatan per kapita (dari 1300 USD pada era 80-an
dan 90-an menjadi 3000 USD pada era 2000) serta tajamnya peningkatan
penggunaan motor roda dua sebagai moda trasnportasi rakyat pada era 2000.
Dengan pendapatan per kapita yang semakin baik, maka kemampuan masyarakat
untuk mengkonsumsi jasa rekreasi yang dibutuhkannya tentu semakin baik pula,
sedangkan dengan moda trasnportasi roda dua (motor) yang dimiliki menjadikan
mobilitas masyarakat lebih tinggi; termasuk untuk mendatangi destinasi wisata
pada setiap kesempatan waktu luang yang dimiliki.
Jika di satu sisi bisa dikatakan bahwa laju peningkatan jumlah pengunjung
adalah semakin meningkat, maka di sisi lain tampaknya kualitas rekreasi di KW
Bopunjur cenderung terus menurun. Avenzora (2003) melaporkan bahwa
kepuasan rekreasi wisatawan pada berbagai tapak rekreasi di KW Bopunjur
hanyalah 19,3%, sedangkan secara empiris juga bisa dilihat bahwa berbagai
fasilitas amenitas rekreasi dan wisata yang ada pada kawasan ini adalah selalu
menjadi terlihat usang (out of date) sejalan dengan berjalannya waktu. Lebih
lanjut, dalam konteks historis kawasan, bukti empiris menunjukkan bahwa
Restoran Rindu Alam yang menjadi salah satu maskot fasilitas rumah makan di
KW Bopunjur hingga sekarang masih tidak mampu meningkatkan performa
amenitas dan kualitas pelayanannya secara signifikan. Adapun Hotel Safari
Garden yang menjadi salah satu icon fasilitas akomodasi di kawasan ini pada
dekade 80-an secara empiris terlihat telah menjadi lusuh tanpa adanya indikator
re-investasi yang berarti.
Bumi Perkemahan (Buper) Mandala Kitri yang dimiliki Pemetintah Daerah
(Pemda) Kabupaten Cianjur, Taman Wisata (TW) Mandalawangi yang dikelola
Koperasi Pegawai Negeri Indonesia (KPRI) Eidelweiss, TN Gunung Gede
Pangrango yang dikelola Balai TNGGP dan KR Cibodas yang dikelola oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) harus dikatakan bahwa hingga saat
ini masih belum menunjukkan performa kinerja yang signifikan dan kondusif
untuk mencapai visi dan misi yang diemban oleh institusi pengelolanya.
Jangankan untuk berbagai kebutuhan dan kepatutan elemen fisik dan elemen
sanitasi wisatawan saja masih belum mampu dikelola dengan baik dan benar, baik
dalam arti kondisi fasilitas sanitasi maupun rasio fasilitas sanitasi terhadap jumlah
pengunjung.
Di sepanjang jalur jalan Bopunjur, jumlah pedagang kaki lima setiap tahun
semakin bertambah, sebaliknya keindahan alam (natural-scenery) yang
seharusnya bisa menjadi atraksi yang memberikan kepuasan wisata dalam fase
perjalanan menuju dan dari destinasi wisata adalah semakin terus menurun.
Berbagai bangunan yang ada di sepanjang jalan jalur Bopunjur telah menutupi
ruang pandang wisatawan untuk menikmati panorama alam pegunungan dan
kebun teh yang seharusnya menjadi obyek dan atraksi wisata bagi pengunjung.
Adapun keindahan dan kealamian kawasan DW Cibodas telah berubah menjadi
lapangan parkir yang harus dikatakan tidak tertata dan diperburuk pula oleh kios
pedagang yang menjamur dan tidak tertata serta tidak terencana aspek amenitas
dan estetikanya.
Berbagai retorika empiris tersebut di atas membuktikan bahwa apa yang
dikhawatirkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963 adalah telah terjadi dan
terus terjadi dari tahun ke tahun di DW Cibodas dan KW Bopunjur. Ketika
jumlah wisatawan terus meningkat, sedangkan kualitas jasa yang ditawarkan tidak
mampu digubah dan dikelola untuk mampu mengeliminasi dampak negatif yang
ditimbulkan, maka secara teoritis bisa dipastikan bahwa cepat atau lambat kualitas
dan kepuasan rekreasi dan wisata pun pasti akan menurun. Lebih jauh, penurunan
kualitas rekreasi dan wisata tersebut secara teoritis, pada waktunya, pasti juga
akan menyebabkan turunnya nilai kesediaan membayar (willingness to pay) dari
wisatawan terhadap berbagai jasa rekreasi dan wisata yang ditawarkan; yang
kemudian akan berujung pada turunnya harga satuan jasa yang bisa ditawarkan
kepada wisatawan.
Jika dampak negatif beruntun (domino effect) di atas dibiarkan terus terjadi,
maka bisa dipastikan bahwa para pihak (stakeholderss) penyedia jasa rekreasi
dan wisata yang terdapat pada DW Cibodas dan KW Bopunjur akan semakin
impoten untuk bisa memberikan kinerja terbaik sesuai yang diisyaratkan oleh
pariwisata dikenal dengan terminologi ekowisata (ecotourism). Turunnya satuan
harga jasa yang bisa ditawarkan kepada pengunjung tentu akan menyebabkan
pendapatan usaha mereka akan semakin terbatas. Selanjutnya rendahnya
pendapatan tentu akan menyebabkan siklus investasi akan semakin panjang dan
kemampuan reinvestasi akan semakin rendah. Dalam kondisi seperti itu, maka
dinamika turisme masal (mass tourism) tentunya tidak akan pernah bisa
dihentikan, apalagi untuk diubah dan digubah menjadi suatu wujud kegiatan
ekowisata yang telah menjadi spirit kepariwisataan dunia.
Sebagai spirit dan roh dari pembangunan pariwisata, ekowisata telah
mensyaratkan pentingnya untuk menegakkan 3 (tiga) pilar keberlanjutan atau
sustainabilitas pada sektor pariwisata, yaitu pilar ekologi, pilar sosial-budaya dan
pilar ekonomi. Setiap pembangunan pariwisata tidaklah hanya harus mampu
untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologi dari tapak yang digunakannya,
melainkan juga harus menjamin optimalnya fungsi ekologi dari setiap tapak yang
terkait dengan kegiatan tersebut; termasuk wilayah yang menjadi rute perjalanan
untuk mencapai tapak kegiatan wisata.
Dalam ekowisata, keberlanjutan kehidupan sosial-budaya masyarakat pada
destinasi dan sekitarnya bukan saja harus terjamin melainkan harus mampu
menjadi subyek yang memberikan inspirasi dan meningkatkan makna serta
kualitas bagi kehidupan masyarakat lokal itu sendiri maupun wisatawan.
Demikian juga halnya dengan manfaat ekonomi yang tercipta dari suatu
pembangunan ekowisata tidaklah hanya harus menjamin kesempatan pekerjaan,
pendapatan serta kehidupan bagi masyarakat lokal tetapi juga harus mampu
menumbuhkan keharmonisan dan peningkatan kualitas ruang kehidupan yang ada.
Ketika berbagai Perpres dan Kepres seperti yang telah dipaparkan di atas
ternyata tidak mampu mengatur dinamika yang terjadi sejak puluhan tahun yang
lalu dan berbagai dampak negatif masih terus terjadi dan bertambah, maka
mekanisme apakah yang mungkin akan bisa dipakai untuk mengeliminasi dan
mengatasi berbagai dampak negatif kesemrawutan sektor pariwisata di DW
Secara fisik, penataan ruang pada DW Cibodas dan KW Bopunjur dapat
dikatakan sudah tidak mungkin lagi untuk dilakukan; kecuali hanya sebatas
penetapan aturan mandul yang terpaksa harus dikeluarkan guna sekedar
menunjukkan masih adanya keberadaan pemerintah sebagai regulator. Dalam
konteks investasi, berbagai bangunan fisik yang telah terlanjur dibangun dengan
investasi milyaran rupiah di kawasan ini mustahil untuk dipusokan; agar tapak-
tapak bangunan tersebut bisa dihijaukan kembali sebagai ruang terbuka (open space) untuk mengoptimalkan fungsi ekologi kawasan. Dalam konteks sosial
ekonomi, maka populasi penduduk yang telah meningkat tajam di kawasan
tersebut (150.000 jiwa pada tahun 1999 meningkat menjadi 200.000 jiwa pada
tahun 2009) adalah juga sudah tidak mungkin untuk direlokasi. Likuidasi
investasi adalah terlalu mahal untuk mampu dibayar oleh pemerintah, demikian
pula halnya dengan rekolasi populasi.
Avenzora (2003) mengingatkan bahwa sejalan dengan adanya 5 (lima) fase
kegiatan dalam setiap kegiatan wisata, maka pemaknaan ekowisata sebagai suatu
produk ataupun pilihan manajemen (management option) seperti misalnya
pemaknaan oleh Boo (1990) ataupun pemaknaan oleh Cebalos-Lascurian (1997)
yang juga diadopsi oleh IUCN dari kegiatan wisata adalah pilihan pemaknaan
yang perlu untuk dievaluasi. Dalam hal ini Cater dan Lowman (1994) juga telah
mengkritisi pemaknaan ekowisata yang berorientasi pada tapak kegiatan tersebut
sebagai suatu retorika dan ego lingkungan belaka, sama halnya dengan kritik dari
Munt (1994) yang mengatakan pemaknaan demikian sebagai suatu cara kolonial
untuk mengkesplorasi sumberdaya baru. Lebih lanjut, Avenzora menjelaskan
bahwa pemaknaan ekowisata yang hanya berfokus pada karakter tapak destinasi
wisata adalah tidak adil bagi berbagai wilayah yang dilalui dalam perjalanan
menuju dan dari tapak destinasi tersebut. Ditegaskan, ekowisata harus dimaknai
sebagai roh (spirit) dari segala bentuk kegiatan wisata; mulai dari ekowisata hutan
(eco-forest tourism), ekowisata desa (eco-rural tourism), bahkan ekowisata kota
B. Perumusan Masalah
Menyadari tentang pentingnya pemaknaaan ekowisata sebagai suatu roh dan
spirit bagi semua kegiatan wisata di berbagai karakteristik ruang terselenggaranya
suatu kegiatan wisata, baik secara parsial ataupun secara utuh, maka berbagai
persoalan ruang ekowisata yang terjadi di DW Cibodas maupun KW Bopunjur
sebagaimana telah dipaparkan di atas menjadi semakin kompleks. Persoalan yang
ada bukan lagi hanya mencakup aspek penataan ruang wisata melainkan juga
harus mencakup karakter jasa wisata yang ditawarkan oleh rantai suplai (supply
chain) maupun karakter dan pola perilaku wisata dari para wisatawan yang
mengunjungi (demand chain) DW Cibodas secara khusus maupun KW Bopunjur
secara umum.
Sejalan dengan pola penggunaan ruang yang harus dikatakan sudah terlanjur
diluar kaidah yang kondusif untuk mencapai hadirnya roh ekowisata secara
optimal pada kawasan tersebut – yang bersamaan dengan sangat kecilnya potensi
kemampuan pemerintah untuk melakukan suatu rekonsiliasi tataguna lahan secara
maksimal pada wilayah itu – maka strategi dan proses pencapaian tegaknya pilar
ekologi, pilar sosial-budaya dan pilar ekonomi secara optimum dalam kegiatan
wisata pada DW Cibodas khususnya, serta KW Bopunjur umumnya menjadi
semakin penting. Salah satu strategi yang potensial untuk diterapkan dalam
proses pencapaian tegaknya berbagai pilar keberlanjutan tersebut adalah strategi
penguatan kapasitas para pihak.
Secara teoritis kiranya tidak terlalu sulit untuk dimengerti bahwa suatu
penguatan kapasitas para pihak yang terlibat di dalam berbagai mata rantai
kegiatan ekowisata dipercaya tidak hanya akan bisa mengatasi berbagai persoalan
yang ada, tapi juga potensial untuk membentuk suatu kinerja baru yang optimum
untuk menghasilkan berbagai manfaat bagi semua pihak. Untuk mewujudkan
potensi teoritis tersebut, maka pertanyaan penting yang harus dijawab adalah
bentuk penguatan kapasitas seperti apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh para
pihak agar berbagai misi ekowisata yang perlu ditegakkan pada wilayah tersebut
Pilar ekologi yang harus ditegakkan dalam kegiatan ekowisata haruslah
tidak boleh hanya diartikan sebagai suatu persepsi untuk mencegah timbulnya
degradasi ekologi, melainkan harus terwujud dalam tata nilai kognitif, sikap dan
tindakan nyata yang mampu mencegah degradasi ekologi serta mampu menuju
suatu restorasi ekologi atas berbagai degradasi yang telah terjadi. Sementara itu
tidak ada keraguan para akademisi tentang berbagai manfaat yang bisa diambil
dari ekowisata. Bahkan secara teoritis dapat dikatakan bahwa jika bisa
dilaksanakan secara baik dan benar, maka ekowisata adalah akan menjadi suatu
kegiatan ekonomi yang paling banyak manfaatnya dan sangat potensial untuk
ramah terhadap lingkungan.
Menyadari berbagai potensi yang bisa diharapkan dari suatu kegiatan
ekowisata seperti yang telah dipaparkan di atas, maka berbagai kesemrawutan
yang telah terjadi di DW Cibodas dan KW Bopunjur perlu diteliti secara detail
guna mengenali dinamika yang terjadi; sehingga kemudian dicarikan solusi serta
jalan keluarnya. Untuk mencoba menjawab berbagai tantangan masalah yang
telah dipaparkan di atas, maka serangkaian penelitian yang berorientasi untuk
mendukung proses perencanaan peningkatan pembangunan ekowisata di DW
Cibodas melalui strategi penguatan kapasitas para pihak telah dilakukan.
Pembatasan ruang studi pada DW Cibodas dilakukan agar kompleksitas dinamika
yang ada dapat dikenali secara lebih baik untuk kemudian dari berbagai hasil
penelitian yang didapatkan maka diharapkan dapat menjadi pengetahuan awal
untuk menemukan solusi dari kompleksitas dinamika wisata yang terjadi pada
bagian ruang lainnya di KW Bopunjur.
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui karakteristik dan sekaligus mengevaluasi kinerja para pihak yang
terlibat dalam rantai suplai di Destinasi Wisata (DW) Cibodas;
2. Mengetahui karakteristik dan sekaligus mengevaluasi berbagai pola perilaku
para pihak yang terlibat dalam rantai permintaan;
3. Mengetahui serta sekaligus mengevaluasi hubungan antar rantai nilai dari
4. Merumuskan program penguatan para pihak yang perlu dilakukan untuk
mencapai peningkatan pembangunan ekowisata Kawasan Cibodas melalui
pendekatan dari bawah (bottoom up) dengan memperhatikan rantai nilai
aspek–aspek suplai, permintaan dan para pihak.
D. Sasaran
Sasaran atau manfaat penelitian adalah mendukung terselenggaranya
kegiatan ekowisata yang berkualitas di Kawasan Cibodas secara baik dan benar,
yang mampu memberikan manfaat optimal bagi keberlanjutan ekologi, sosial-
budaya dan ekonomi masyarakat maupun keberlanjutan manfaat finansial bagi
para pengusaha, serta kepuasan optimum kepada wisatawan. Selanjutnya melalui
penguatan kapasitas para pihak yang ada nantinya akan tercipta pula peningkatan
permintaan aktual yang optimal dan loyal, serta terbangunnya ekowisata yang
berkelanjutan di Cibodas yang bisa menjadi contoh bagi pembangunan dan
pengembangan berbagai destinasi dan kawasan ekowisata lain.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mencapai berbagai tujuan dan sasaran penelitian yang telah
dipaparkan di atas, maka penelitian dilakukan pada ruang lingkup kinerja para
pihak dan perilaku pengunjung pada lokasi-lokasi sebagai berikut:
1. Destinasi Wisata (DW) Cibodas yang meliputi Kebun Raya (KR) Cibodas,
Taman Nasional (TN) Gunung Gede Pangrango, khususnya pada tapak
pelayanan Pintu Cibodas;
2. Desa Cibodas, Desa Cimacan dan Desa Rarahan yang masuk dalam
Kecamatan Cipanas;
3. Tapak Wisata Agro (WA) Gunung Mas, Taman Safari Indonesia (TSI),
Taman Wisata (TW) Matahari, Wana Wisata (WW) Curug Cilember, WW
Curug Panjang, WW Curug Naga, TW Riung Gunung, Resort Lembah
Pertiwi, Cansebu Amazing Resort and Camp, Melrimba Garden serta Taman
Wisata Alam (TWA) Telaga Warna;
4. Para pihak penyedia jasa akomodasi, rumah makan dan oleh-oleh di
Kawasan Wisata Bopunjur; khususnya yang terdapat di Kecamatan Cisarua
F. Kerangka Pemikiran.
Mempertimbangkan berbagai hal yang telah dipaparkan di muka, maka
kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam studi ini disandarkan pada suatu
kerangka pemikiran perencanaan pariwisata yang berorientasi untuk merevitalisasi
performa suatu kawasan wisata. Sejalan dengan tujuan dan sasaran yang
diharapkan dari penelitian ini, maka kerangka berfikir proses revitalisasi yang
dibutuhkan tersebut difokuskan untuk ditelaah melalui dinamika rantai nilai yang
terdapat pada kawasan tersebut. Rangkaian pemikiran yang dilakukan tersebut
adalah seperti terlihat pada Gambar 1.
Membangun pengetahuan (Knowledge Building)
Studi Pendahuluan Studi Literatur
Evaluasi Kondisi Kekinian
Pariwisata Kebijakan Lingkungan
Pemba- Rantai Suplai Rantai Permin- taan Rantai Psra- pihak Kebi- jakan Nasional Kebi- jakan Regional Kebi- jakan Lokal
Ekowisata ngunan Berkelan-
jutan
ANALISIS DATA
Formulasi Masalah & Sintesis
Penguatan Kapasitas
Penguatan Kapasitas Rantai Permintaan
Penguatan Kapasitas Para pihak
Opsi-opsi Implementasi dan Strategi Rantai Suplai
Strategi Penguatan Kapasitas Para pihak
[image:32.612.126.506.225.660.2]
G. Kebaruan
Banyak peneliti cenderung melakukan penelitian dalam bidang wisata
selama ini menggunakan analisis rantai (chain analysis) melalui satu sisi
pendekatan rantai pasok; seperti penelitian yang dilakukan Mitchell dan Phuc
(2007) di Vietnam, FIAS dan OECD (2006) di Mozambik ataupun oleh Yusri
(2010) di Indonesia, serta oleh Dross, Foster dan Thierstein (2006) di Munich.
Kesemua penelitian tersebut membahas bagaimana suatu pasok wisata
didistribusikan sampai kepada konsumen beserta nilai manfaat yang diperoleh
masing-masing pihak yang terlibat dengan korbanan dan peranan yang diberikan.
Penelitian-penelitian yang menekankan pentingnya rantai pasok dapat dikatakan
melupakan suatu kenyataan bahwa tingkat keberhasilan pengembangan suatu
produk, baik barang maupun jasa, sesungguhnya adalah tidak dapat ditentukan
dari satu mata rantai saja, melainkan harus dari satu kesatuan nilai mata rantai
yang utuh. Hal tersebut bukan hanya dalam konteks untuk mencapai suatu
komprehensivitas analisis dan sintesis yang dilakukan melainkan juga sejalan
dengan sifat jasa wisata serta karakter dan perilaku wisatawan; khususmya pada
dinamika optimasi kepuasan oleh para wisatawan.
Kecenderungan psikologis wisatawan yang selalu ingin mengoptimasi
kepuasan dalam setiap kegiatan wisata yang dilakukan adalah selalu cenderung
menimbulkan pola konsumsi jasa wisata yang sering menjadi tergolong berada
diluar koridor arah penyediaan jasa pada awalnya atau bahkan berbeda sama
sekali. Pergeseran pola dan perilaku konsumsi tersebut bukan hanya akan
membuat terganggunya kinerja rantai pasok melainkan juga akan mengganggu
fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi yang menjadi pilar penting dalam
pembangunan ekowisata.
Dengan demikian karakteristik rantai permintaan menjadi sangat penting
untuk diperhatikan dan bahkan menjadi salah satu pendekatan yang penting di
dalam perencanaan ekowisata. Hal inilah yang merupakan kebaruan dari
penelitian ini, yaitu melakukan evaluasi secara utuh atas nilai rantai yang ada
dalam bisnis wisata di Kawasan Cibodas yang meliputi rantai suplai (supply
chain) untuk memperoleh rantai nilai wisata (tourism value chain) sebagai dasar
untuk merencanakan peningkatan kapasitas para pihak ekowisata di Kawasan
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Keterkaitan Waktu Luang, Rekreasi dan Pariwisata
Pariwisata adalah bersifat multi disiplin dan multi sektoral. Dalam
pariwisata berbagai ilmu pengetahuan dan sektor pembangunan harus
dikombinasikan dalam suatu kesatuan dinamika yang bertujuan untuk
memberikan kesenangan dan kepuasan kepada wisatawan secara positif.
Avenzora (2003) menjelaskan bahwa untuk memudahkan mempelajarinya maka
dapat dilakukan penyederhanaan, yaitu dengan mengenali determinan yang sangat
signifikan mempengaruhi berbagai aspek dalam tourism, yaitu: (1) ruang (space), dan (2) waktu (time). Hal tersebut bisa dimengerti karena bagaimanapun juga
aspek waktu pasti akan selalu mempengaruhi karakteristik setiap komponen dan
aspek yang terlibat dalam suatu kegiatan wisata.
Avenzora (2008) mengingatkan bahwa untuk memahami tourism dari variabel waktu, fokus analisis dapat diarahkan pada time-budget dari setiap
individu atau populasi dalam memanfaatkan waktu, yang polanya dapat dibedakan
menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: (1) existence time, (2) subsistence time dan (3)
leisure time. Terminologi existence time digunakan untuk menggambarkan waktu
yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar harian mereka, seperti
mandi, makan, tidur dan istirahat. Subsistence time merupakan terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan waktu yang digunakan guna melaksanakan
aktivitas yang diperlukan untuk bisa terpenuhinya kebutuhan dasar manusia
tersebut. Leisure time merupakan waktu bagi manusia bebas melakukan aktivitas
lain setelah berbagai existence and subsistence activities terpenuhi. Atas dikotomi
tersebut, maka lebih lanjut dijelaskan bahwa bahwa leisure hanyalah salah satu
aktivitas alternatif yang dapat dipilih manusia dalam memanfaatkan leisure time;
yang harus pula dipahami bahwa recreation juga hanyalah salah satu pilihan yang
dapat dipilih di antara berbagai alternatif leisure activities lainnya. Keterkaitan
Common Behavior Existensi Time Existence Activities
- Exclusive Behavior - The Have’s
Behavior - Trend Follower
Meet The Tourism Incidental Need on
Duty Travelling
Criteria
TIME SubsistenceTime Leisure Subsistence Activities Leisure
Common Behavior
Recreation
A Trip Cross The Hometown Border
TOURISM
Time Activities Recreation in The
Hometown Border Hobbies Additional Existence Additional Subsistence
Gambar 2 Skema Time-Budget (Avenzora 2008).
Avenzora (2008) menjelaskan bahwa dalam konteks leisure studies ada dua
hal penting yang perlu dimengerti secara baik, yaitu: (1) the leisure time pattern,
dan (2) the pattern of leisure activities. Pola waktu luang perlu untuk dimengerti
guna mengukur peluang dan/atau kebutuhan rekreasi yang dapat dan/atau
dibutuhkan oleh individu/populasi dalam waktu luang. Adapun pola waktu luang
(the pattern of leisure activities) adalah mengilustrasikan tingkat partisipasi yang
secara aktif diambil oleh individu dalam memanfaatkan waktu luang.
Dalam konteks perencanaan, Avenzora (2008) menjelaskan bahwa
pengetahuan tentang rekreasi dapat disimplifikasikan melalui pengertian yang
[image:36.612.42.539.78.531.2]berbicara tentang recreation demand adalah berbicara tentang: (1) siapa yang
meminta, (2) apa dan berapa banyak yang diminta dan (3) kapan diminta.
Berbicara tentang recreation supply dapat dipahami melalui pengertian tentang:
(1) apa dan berapa banyak dapat diberikan, (2) kapan dapat diberikan dan (3)
kepada siapa dapat diberikan.
Sejalan dengan pendekatan waktu dan ruang yang digunakannya, maka
Avenzora (2008) memaknai suatu sumberdaya rekreasi/wisata (recreation- resources) sebagai: “suatu ruang tertentu dengan batas-batas tertentu yang
mengandung elemen-elemen ruang tertentu yang dapat: (1) menarik minat orang
untuk berekreasi, (2) menampung kegiatan rekreasi dan (3) memberikan kepuasan orang berekreasi”. Dijelaskan, untuk mempelajari kompleksitas dalam
tourism, suatu model yang diajukan oleh Ja’fari (cited in Cooper et. al., 1999)
dapat dipertimbangkan sebagai suatu model yang baik dan komprehensif (lihat
Gambar 2). Model tersebut menggambarkan berbagai aspek yang dibutuhkan
untuk mendukung suatu tourism development dan sekaligus menunjukkan betapa
kompleksnya studi tentang tourism. Dengan mengenali berbagai komponen yang
terlibat, maka akan lebih mudah untuk memahami interdependensi yang ada.
Menurut Webster’s Dictionary (ditulis oleh Thatcher, 1996) pariwisata
(tourism) adalah suatu perjalanan ekskursi yang biasanya berakhir di titik awal
mulanya kegiatan. Murphy (1985) memaknai pariwisata sebagai suatu kunjungan
ke daerah lain,