• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

2009 2010 2011 2009 2010 2011 IPM Rank IPM Rank IPM Rank IKLH 1) Rank IKLH 2) Rank IKLH 2) Rank

4 EVALUASI PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Sebelum membahas perkembangan pembangunan dengan menggunakan indeks pembangunan berkelanjutan, terlebih dahulu dibahas perkembangan pembangunan dengan menggunakan beberapa indikator yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Pembahasan ini akan menjadi awalan untuk lebih memahami pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Uraian akan disampaikan untuk masing-masing indikator dengan mengelompokkannya ke dalam dimensi pembangunan berkelanjutan.

Perkembangan Pembangunan Ekonomi

Pada bagian pendahuluan telah disebutkan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia dapat dikategorikan terbaik di Asia. Hal ini tergambar dari tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dan stabil. Dengan tingkat pertumbuhan 5 hingga hampir 7 persen, perekonomian Indonesia bergerak ke arah yang lebih baik. Perbaikan pada sisi ekonomi ini juga tercermin dari nilai PDRB perkapita. PDRB perkapita Indonesia meningkat dari 17,4 juta rupiah pada tahun 2007 menjadi 33,7 juta rupiah pada tahun 2012 (Lampiran 2.1). Artinya nilai PDRB Perkapita meningkat hampir dua kali lipat selama periode 2007 hingga 2012.

Gambar 8PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia, 2012

Gambaran tentang ketidakmerataan pembangunan ekonomi telah disampaikan pula pada bagian pendahuluan dengan menggunakan proporsi PDRB terhadap PDB nasional. Besaran PDRB Perkapita masing-masing provinsi juga memberikan gambaran yang sama. Memperhatikan gambar tentang capaian PDRB perkapita pada masing-masing provinsi di Indonesia, terlihat bahwa tingkat PDRB perkapita sangat bervariasi antar provinsi. Dua provinsi, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, memiliki PDRB perkapita yang sangat tinggi, di atas 100 juta rupiah. Namun juga ditemui provinsi yang memiliki PDRB perkapita di bawah 10 juta rupiah, seperti Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa PDRB perkapita empat provinsi tersebut kurang dari 10 persen PDRB DKI Jakarta atau Kalimantan Timur.

Dengan demikian, walaupun secara rata-rata nasional PDRB perkapita telah memperlihatkan capaian yang cukup baik, namun dengan disparitas yang sangat tinggi, beberapa provinsi masih memiliki PDRB yang rendah. Disparitas PDRB perkapita, sebagai proksi dari disparitas pembangunan ekonomi, menunjukkan

0.00 20000.00 40000.00 60000.00 80000.00 100000.00 120000.00 A ce h S um ut S um ba r R ia u K ep ri Ja m bi S um se l B ab el B en gk ul u La m pu ng Ja ka rta Ja ba r B an te n Ja te ng DIY Ja tim Bali N TB N TT K al ba r K al te ng K al se l K al tim S ul ut Go ro nt al o S ul te ng S ul se l S ul ba r S ul tra M al uk u M al ut P ap ua B ara t P ap ua

54

bahwa perekonomian beberapa provinsi sudah berkembang sangat baik, namun beberapa provinsi yang lain cenderung tertinggal. Telah disinggung pula sebelumnya, bahwa ketidakmerataan pembangunan berpotensi memunculkan konflik, baik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal menimbulkan pergeseran di dalam masyarakat, sedangkan konflik vertikal, dalam bentuk yang ekstrim memunculkan aksi-aksi separatisme.

Perkembangan Pembangunan Sosial

Pada Lampiran 2.2 hingga Lampiran 2.5, ditampilkan empat indikator yang terkait dengan pembangunan dimensi sosial. Keempat indikator tersebut adalah angka harapan hidup, persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit, rasio ketergantungan dan total fertility rate. Selama periode 2007 hingga 2012, keempat indikator tersebut menuju ke arah perbaikan. Angka harapan hidup meningkat dari 70,4 tahun menjadi 71,3 tahun. Persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit juga mengalami peningkatan dari 34,87 persen pada tahun 2007 menjadi 37,06 persen pada tahun 2012.

Perbaikan juga ditunjukkan dengan menurunnya nilai rasio ketergantungan dan total fertility rate. Rasio ketergantungan menurun dari 48,3 pada tahun 2007 menjadi 46,0 pada tahun 2008. Total fertility rate juga terus mengalami penurunan, dari 2,18 pada tahun 2007 menjadi 2,13 pada tahun 2012. Rasio ketergantungan dan total fertility rate adalah dua indikator yang saling berhubungan. Dengan menurunnya total fertility rate, maka rasio ketergantungan juga cenderung mengalami penurunan.

Selain empat indikator tersebut, terdapat beberapa indikator lain yang juga menggambarkan pembangunan bidang sosial. Beberapa indikator pembangunan sosial tersebut ditampilkan pada Gambar 9. Salah satunya adalah indikator yang terkait dengan pendidikan. Pendidikan dapat dianggap sebagai suatu proses yang membawa manusia dan masyarakat mencapai potensi terbaik yang dapat dicapai. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan memungkinkan setiap manusia untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup sekarang dan membentuk masa depan yang berkelanjutan.

Kemampuan membaca dan menulis (melek huruf) merupakan kemampuan dasar dalam pendidikan. Kemampuan ini sangat penting untuk mempromosikan dan mengomunikasikan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kapasitas masyarakat. Lingkungan masyarakat dengan tingkat melek huruf yang tinggi menunjukkan lingkungan masyarakat yang terpelajar. Lingkungan masyarakat yang terpelajar sangat penting dalam rangka mencapai tujuan memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, membatasi pertumbuhan penduduk, mencapai kesetaraan gender, dan memastikan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Angka melek huruf, menunjukkan kemampuan membaca dan menulis penduduk. Kemampuan membaca merupakan keterampilan minimum yang dibutuhkan untuk kehidupan di masa depan yang lebih baik. Indikator ini menggambarkan keadaan orang-orang terpelajar dalam populasi penduduk usia

55 dewasa (15 tahun ke atas).Secara nasional, selama periode 2007-2012 angka melek huruf cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 angka melek huruf mencapai 93,05 persen yang artinya sekitar 93,05 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas mampu membaca dan menulis di tahun 2012.

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 9Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Sosial, 2007-2012 Pembangunan di bidang pendidikan menentukan kemajuan dan masa depan bangsa. Tingkat pendidikan suatu bangsa mengindikasikan tingkat kemajuan bangsa tersebut. Untuk itu pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung pendidikan agar seluruh masyarakat dapat menikmati pendidikan, yang secara tidak langsung akan menjamin masa depan bangsa. Pendidikan mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia karena pendidikan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan baru, mendorong munculnya perilaku terdidik, dan meningkatkan pemberdayaan individu serta masyarakat. Karena pentingnya pendidikan tersebut, maka pemerintah mewajibkan semua warga negara Indonesia untuk menamatkan pendidikan dasar dengan program wajib belajar 9 tahun (6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP). Pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun ini menunjukkan hasil dengan meningkatnya angka rata-rata lama sekolah penduduk dewasa. Rata-rata lama sekolah meningkat dari 7,47 tahun pada 2007 menjadi 8,01 tahun pada 2012. Jika dikonversikan pada tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah sebesar 8,01 kurang lebih setara dengan tingkat 8 (kelas 2 SMP).

Indikator pembangunan sosial lainnya adalah indikator kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan multi dimensional yang telah lama menjadi isu sentral di Indonesia bahkan di dunia. Kemiskinan saling terkait dan menjadi sebab akibat bagi berbagai masalah lainnya, seperti tingginya tingkat pengangguran terbuka, rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ditandai dengan rendahnya nilai indeks pembangunan manusia (IPM). Kemiskinan bisa menjadi penghambat pembangunan di masa mendatang yang akan berpengaruh terhadap pembangunan berkelanjutan.

Pemberantasan kemiskinan merupakan tantangan global terbesar yang dihadapi dunia saat ini, terutama bagi negara berkembang. Pemberantasan

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 100.00 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Angka melek huruf penduduk usia 15+ Persentase penduduk tidak miskin Persentase balita yang di imunisasi

Infant mortality rate

Pertumbuhan penduduk

Rata-rata lama Sekolah

56

kemiskinan juga mutlak diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Komitmen global untuk mengurangi separuh dari kemiskinan dunia hingga tahun 2015 telah ditetapkan dan ditegaskan oleh para pemimpin dunia dalam MDGs dan

Johannesburg Plan of Implementation (JPOI). Sebagai salah satu negara yang menetapkan komitmen global tersebut, Indonesia berkomitmen untuk memberantas kemiskinan dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Komitmen tersebut tertuang dalam salah satu visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang ingin diwujudkan pada periode 2005-2025 yaitu mewujudkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan melalui pengurangan kesenjangan sosial secara menyeluruh, serta penanggulangan kemiskinan.

Statistik kemiskinan penting untuk menganalisis hubungan antara pendapatan atau konsumsi terhadap dimensi lain dari perkembangan manusia seperti pendidikan, kesehatan dan ukuran standar hidup lainnya. Tingkat kemiskinan di Indonesia dihitung dengan menggunakan garis kemiskinan yang penghitungannya berdasarkan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Garis kemiskinan menentukan banyaknya jumlah penduduk miskin. Semakin banyak penduduk dengan pendapatan (didekati dengan pengeluaran) berada di bawah garis kemiskinan, maka jumlah penduduk miskin akan semakin banyak. Nilai garis kemiskinan setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2006, nilai garis kemiskinan Indonesia adalah Rp. 151.997,- per kapita per bulan dan pada Maret 2012 nilai garis kemiskinan naik menjadi Rp. 248.707,- per kapita per bulan.

Ukuran kemiskinan yang ditampilkan dalam penelitian ini merupakan kebalikan dari angka kemiskinan. Ukuran tersebut menunjukkan persentase penduduk yang tidak miskin. Memperhatikan perkembangan selama periode 2007 hingga 2012, jumlah penduduk yang tidak miskin cenderung mengalami peningkatan. Persentase penduduk tidak miskin naik dari 83 persen pada tahun 2007 menjadi sekitar 88 persen pada tahun 2012. Peningkatan jumlah penduduk tidak miskin ini secara umum menggambarkan terjadinya perbaikan kesejahteraan rakyat, dengan meningkatnya daya beli mereka.

Indikator pembangunan sosial lainnya adalah yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan adalah bidang kesehatan. Sumber daya manusia yang sehat dan lingkungan hidup yang sehat merupakan modal dalam pelaksanaan pembangunan. Ketersediaan air bersih dan akses terhadap layanan kesehatan semuanya menyebabkan terjaminnya kesehatan penduduk. Jika sejumlah faktor tersebut diabaikan, maka akan mempengaruhi risiko kesehatan penduduk dan berakibat terhambatnya pelaksanaan pembangunan.

Salah satu indikator penting dalam bidang kesehatan adalah angka kematian bayi. Angka kematian bayi terkait langsung dengan target kelangsungan hidup anak dan merefleksikan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan tempat tinggal termasuk pemeliharaan kesehatannya. Di negara berkembang termasuk Indonesia, angka kematian bayi masih tergolong tinggi. Penyakit diare dan pneumonia merupakan penyebab utama kematian bayi di Indonesia. Selain itu, kematian bayi di Indonesia juga disebabkan oleh cacat lahir, masalah gizi seperti kekurangan kalori dan protein, dan komplikasi kelahiran seperti kekurangan oksigen. Selama enam tahun terakhir (2007-2012), berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia,

angka kematian bayi secara nasional selalu mengalami penurunan. Pada tahun

57 tahun 2012, angka tersebut turun menjadi sekitar 24 kematian bayi dalam 1.000 kelahiran hidup.

Indikator angka harapan hidup, yang telah disebutkan sebelumnya, berhubungan erat dengan angka kematian bayi. Secara teoritis, menurunnya angka kematian bayi akan menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup. Angka harapan hidup merupakan indikator yang mencerminkan derajat kesehatan suatu masyarakat. Angka harapan hidup yang rendah di suatu daerah harus didongkrak dengan program pembangunan kesehatan dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi, dan program pemberantasan kemiskinan. Berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, angka harapan hidup penduduk Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan selama periode 2007- 2012, mulai dari 70 tahun pada tahun 2007 menjadi 71 tahun di tahun 2012. Hal ini menunjukkan anak yang lahir pada tahun 2012 diperkirakan akan hidup rata- rata sampai umur 71 tahun.

Hal lain yang juga penting dalam memelihara kesehatan penduduk adalah pemberian imunisasi pada anak balita. Persentase balita yang diimunisasi merupakan indikator untuk memantau implementasi program imunisasi. Pengelolaan yang baik pada program imunisasi sangat penting untuk mengurangi

angka kesakitan (morbiditas) dan kematian dari penyakit menular.Secara nasional,

persentase balita yang diimunisasi BCG, DPT, Polio, Campak/Morbili dan Hepatitis B pada tahun 2012 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2007. Pada tahun 2012 jumlah balita yang mendapatkan imunisasi lengkap mencapai 56 persen, lebih tinggi dari cakupan pada tahun 2007 yang hanya sekitar 50 persen.

Pelayanan kesehatan yang baik, cepat, tepat dan memadai merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan adanya pelayanan kesehatan yang baik, cepat, tepat dan memadai akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan indikator untuk memonitor kemajuan akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan dasar. Aksesibilitas pelayanan kesehatan adalah hal penting untuk mencerminkan kemajuan sistem kesehatan dan pembangunan berkelanjutan.

Gambar 10Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit, 2012 Telah disebutkan sebelumnya, persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit juga mengalami peningkatan pada tahun 2012, relatif terhadap kondisi 2007. Namun walau mengalami kenaikan, disparitas pelayanan kesehatan antar daerah masih cukup besar. Gambaran akses masyarakat ke fasilitas kesehatan tergambar pada Gambar 10.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 A ce h S um ut S um ba r R ia u K ep ri Ja m bi S um se l B ab el B en gk ul u La m pu ng Ja ka rta Ja ba r B an te n Ja te ng DIY Ja tim Bal i N TB N TT K al ba r K al te ng K al se l K al tim S ul ut Go ro nt al o S ul te ng S ul se l S ul ba r S ul tra M al uk u M al ut P ap ua B ara t P ap ua

58

Perbedaan yang cukup besar terlihat pada indikator persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit. Satu provinsi, DKI Jakarta, memiliki persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit di atas 60 persen, sedangkan provinsi Nusa Tenggara Timur hanya sekitar 18 persen. Artinya, perbandingan antara yang tinggi dan yang rendah mencapai lebih dari tiga kali lipat.

Memperhatikan capaian pada masing-masing provinsi, dan dihubungkan dengan pembangunan ekonomi, terlihat bahwa daerah dengan perekonomian yang baik cenderung memiliki persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit yang lebih tinggi. Sebagai contoh adalah DKI Jakarta. Tingkat PDRB perkapita provinsi ini sangat tinggi, begitu pula dengan persentase penduduk yang berobat ke dokter dan rumah sakit. Sebaliknya Nusa Tenggara Timur, dengan tingkat PDRB perkapita yang rendah, tingkat akses penduduk ke sarana kesehatan juga rendah. Sehingga, secara sederhana terlihat adanya hubungan antara kedua indikator ini.

Banyak hal yang mempengaruhi akses masyarakat ke sarana kesehatan modern, salah satunya adalah tingkat daya beli masyarakat. Dengan tingkat daya beli yang tinggi, masyarakat mampu memilih sarana kesehatan yang mereka inginkan, sehingga tingkat permintaan masyarakat terhadap fasilitas kesehatan juga menjadi meningkat. Tingkat permintaan yang tinggi ini kemudian ditangkap oleh penyedia fasilitas kesehatan, sehingga jumlah fasilitas kesehatan juga semakin meningkat. Sehingga dapat dilihat pada daerah yang maju secara ekonomi, DKI Jakarta misalnya, fasilitas kesehatan sangat berkembang. Sektor swasta bahkan mendominasi penyediaan fasilitas kesehatan ini, karena dapat menjadi sektor bisnis yang menjanjikan. Sebaliknya, di daerah yang tingkat daya belinya rendah, tentunya tidak menarik minat swasta untuk masuk. Akibatnya, jumlah fasilitas kesehatan juga tidak sebanyak dan sebaik di daerah yang telah maju. Oleh sebab itu, peran pemerintah dalam penyediaan sarana kesehatan sangat dibutuhkan di daerah-daerah yang memiliki tingkat daya beli yang rendah.

Aspek lain dari pembangunan sosial adalah yang terkait dengan kependudukan. Penduduk adalah subyek dan sekaligus menjadi obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dikembangkan dengan memperhitungkan kemampuan penduduk sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan. Pembangunan baru dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang seluas-luasnya.

Keadaan dan kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan menjadi modal dan pendorong bagi pembangunan. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika kualitasnya rendah, penduduk tersebut justru akan membebani pembangunan. Salah satu permasalahan di bidang kependudukan adalah besarnya jumlah penduduk dan sebarannya yang tidak merata. Permasalahan tersebut telah mengakibatkan tidak meratanya hasil pembangunan yang dilaksanakan. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 tercatat sebesar 205.132,5 ribu jiwa kemudian naik menjadi 237.641,3 ribu jiwa pada tahun 2010. Meskipun jumlah

59

penduduk Indonesia sangat besar, namun persebarannya tidak merata. Sebaran penduduk Indonesia terpusat di wilayah Indonesia bagian barat khususnya Pulau Jawa dan Sumatera. Pada tahun 2010 persentase penduduk Indonesia yang menempati kedua pulau tersebut mencapai 78,79 persen dimana sekitar 57,49 persen penduduknya berada di Pulau Jawa.

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia cenderung mengalami penurunan selama periode 2007 hingga 2009. Penurunan laju pertumbuhan penduduk ini salah satunya terkait dengan rendahnya angka kelahiran. Angka kelahiran sering kali didekati dengan jumlah anak per perempuan. Rendahnya jumlah anak per perempuan berdampak pada mengecilnya ukuran keluarga yang pada akhirnya akan menguntungkan bagi pembangunan berkelanjutan. Wanita yang mempunyai banyak anak akan merasa sulit bekerja di luar rumah, sehingga memiliki lebih sedikit kesempatan untuk meningkatkan status ekonomi dan sosial keluarga serta lebih sulit untuk keluar dari kemiskinan. Penghitungan jumlah anak per

perempuan didekati dengan angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR).

Memperhatikan tabel perkembangan TFR pada Lampiran 2.5, menunjukkan estimasi angka kelahiran total selama periode tahun 2007-2012 cenderung mengalami penurunan. Selama periode 2007-2012, Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan angka kelahiran total tertinggi dibanding provinsi lainnya, sedangkan angka kelahiran total terendah terdapat di Provinsi DI Yogyakarta. Estimasi angka kelahiran total Indonesia pada tahun 2012 tercatat sebesar 2,13 yang berarti bahwa secara rata-rata wanita Indonesia usia 15-49 tahun mempunyai 2 atau 3 anak selama masa usia suburnya.

Dampak dari keberhasilan pembangunan bidang kependudukan di antaranya terlihat pada perubahan komposisi penduduk menurut kelompok umur yang tercermin dengan semakin rendahnya proporsi penduduk usia tidak produktif, khususnya kelompok umur 0-14 tahun. Hal ini menyebabkan semakin rendahnya angka beban ketergantungan. Semakin kecil angka beban ketergantungan akan memberikan kesempatan bagi penduduk usia produktif (kelompok umur 15-64 tahun) untuk meningkatkan kualitas dirinya. Pada tahun 2007, angka beban ketergantungan tercatat sebesar 48,3, yang berarti setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 48 orang penduduk usia tidak produktif. Pada tahun 2012 angka beban ketergantungan turun menjadi 46 yang berarti ada

penurunan beban tanggungan pada setiap penduduk usia produktif. Angka beban

ketergantungan tertinggi pada tahun 2012 terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu mencapai angka 57,5, sedangkan angka beban ketergantungan terendah terdapat di Provinsi DKI Jakarta yaitu hanya sebesar 36,8.

Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, angka beban ketergantungan akan terus turun hingga mencapai titik terendah yaitu 45,3 pada tahun 2022 dan 2023 yang selanjutnya angka beban ketergantungan akan naik kembali pada tahun 2024. Kondisi dimana angka beban ketergantungan berada pada titik terendah sering disebut dengan bonus demografi. Dengan kata lain, bonus demografi adalah kondisi dimana jumlah penduduk usia produktif sangat besar dan menanggung penduduk usia tidak produktif (lansia dan anak-anak) yang kecil. Bonus demografi akan sangat menguntungkan negara apabila penduduk usia produktif mempunyai keahlian dan keterampilan sehingga dapat meningkatkan kemakmuran negara. Di sisi lain, bonus demografi dapat juga

60

menjadi beban dan ancaman bagi negara apabila penduduk usia produktif lebih banyak yang menganggur dan tidak mempunyai penghasilan.

Tulisan pada harian Kompas pada tanggal 4 Maret 2014, yang mengangkat tema tentang keluarga berencana, menunjukkan peran positif dari dua indikator ini dalam pembangunan. Dalam tulisan tersebut, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan bahwa Indonesia berada dalam tahapan yang menguntungkan dari sisi kependudukan. Dengan rasio ketergantungan yang berada si bawah 50 persen, Indonesia disebutkan sedang menikmati bonus demografi. Didukung dengan terus menurunnya total fertility rate, maka rasio ketergantungan Indonesia akan terus mengalami tren menurun. Angka ketergantungan terendah diperkirakan terjadi pada 2028-2035.

Perkembangan Pembangunan Lingkungan

Lampiran 2 menunjukkan dua indikator utama dalam pembangunan lingkungan. Indikator pertama adalah indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). Kerangka IKLH diadopsi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dari Environmental Performance Index (EPI), yang dikembangkan oleh Virginia Commonwealth University (VCU) dan Indeks Kualitas Lingkungan (IKL) yang dikembangkan oleh BPS. IKLH menggunakan kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan sebagai indikator. Karena keterbatasan data, kualitas lingkungan di wilayah pesisir dan laut serta kondisi keanekaragaman hayati tidak dimasukkan dalam perhitungan IKLH

Konsep IKLH, seperti yang dikembangkan oleh BPS pada tahun 2007, hanya mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan. IKLH dihitung pada tingkat provinsi sehingga akan didapat indeks tingkat nasional. Perbedaan lain dari konsep yang dikembangkan oleh BPS dan VCU adalah setiap parameter pada setiap indikator digabungkan menjadi satu nilai indeks.

Nilai IKLH untuk setiap provinsi diperoleh dari rata-rata seluruh komponen IKLH (IPA, IPU dan ITH). Dengan demikian, maka seluruh komponen memiliki bobot yang sama dalam menentukan nilai IKLH. Setelah didapatkan nilai indeks provinsi kemudian dihitung indeks nasional dengan menggunakan rata-rata tertimbang. Proporsi jumlah penduduk pada masing-masing provinsi terhadap penduduk Indonesia dijadikan sebagai penimbang dalam penghitungan IKLH nasional.

Perhitungan nilai indeks kualitas air dan udara mengacu pada baku mutu atau standar yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (baku mutu air dan baku mutu udara ambien). Sedangkan untuk indeks tutupan lahan/hutan menggunakan standar luas kawasan hutan di setiap provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Karena luas kawasan hutan yang ditetapkan baru ada untuk 30 provinsi, maka bagi provinsi-provinsi pemekaran nilai indeks setiap indikatornya digabungkan dengan provinsi induknya.

Perhitungan indeks untuk indikator kualitas air sungai dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Dalam pedoman tersebut