• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN

HUBUNGANNYA DENGAN MODAL SOSIAL

DI INDONESIA

ALEX OXTAVIANUS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Alex Oxtavianus

(4)
(5)

RINGKASAN

ALEX OXTAVIANUS. Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, HIMAWAN HARIYOGA dan SLAMET SUTOMO.

Pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan juga terus mengalami perkembangan, salah satunya adalah keseimbangan dimensi pembangunan dalam bentuk prisma keberlanjutan. Berdasarkan prisma keberlanjutan, pembangunan harus memperhatikan keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan Pandangan ini pula yang menjadi konsep dasar dalam penelitian ini.

Pembangunan di Indonesia masih belum menunjukkan keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam pembangunan dimensi yang lain. Selama periode 2006 hingga 2010 ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5,73 persen setiap tahunnya, namun lahan kritis pada periode yang sama juga naik rata-rata sebesar 1,38 persen setiap tahun. Selama tahun 2008 hingga 2012, tingkat kemiskinan turun dari 15,42 persen menjadi 11,96 persen, namun ketimpangan pendapatan yang diukur dengan gini rasio naik dari 0,35 menjadi 0,41. Perbandingan antara indeks pembangunan manusia (IPM) dengan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) juga menunjukkan gambaran bahwa provinsi yang maju pada pembangunan manusia cenderung memiliki lingkungan yang rusak.

Salah satu faktor penyebab ketidakseimbangan antar dimensi pembangunan diduga karena belum komprehensifnya ukuran pembangunan berkelanjutan yang digunakan. Akibatnya evaluasi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan juga tidak berimbang antar dimensi pembangunan. Selain itu, menurunnya kualitas lingkungan dan meningkatnya kesenjangan juga diduga karena lemahnya perhatian terhadap modal sosial. Pemanfaatan modal sosial diduga akan mampu mengurangi kerusakan lingkungan melalui kearifan lokal serta permasalahan keadilan dengan norma saling membantu.

Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis capaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan, (2) Mengembangkan indeks komposit pembangunan berkelanjutan yang dibangun dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan, dan (3) Menganalisis hubungan antara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial di Indonesia.

(6)

dimensi sosial terdiri dari angka harapan hidup (E0), persentase penduduk yang berobat ke rumah sakit dan dokter (BROBAT), rasio ketergantungan (DEPR) dan

total fertility rate (TFR). Dimensi lingkungan diwakili oleh indikator persentase desa yang tidak mengalami pencemaran udara (UDARA) dan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH). Indikator rasio upah pekerja perempuan dan laki-laki (RUPAH) serta rasio angka partisipasi sekolah perempuan dan laki-laki (RAPS) merupakan dua indikator yang mewakili dimensi kelembagaan.

Pembangunan Indonesia menunjukkan kemajuan yang tinggi di bidang ekonomi, kemajuan yang rendah di bidang sosial dan kelembagaan dan penurunan pada bidang lingkungan. Oleh sebab itu, kenaikan indeks pembangunan berkelanjutan Indonesia hanya mengindikasikan pembangunan yang lebih berkelanjutan dalam jangka pendek, namun tidak dalam jangka panjang.

Hasil analisis hubungan antara pembangunan dengan modal sosial juga tidak seluruhnya sejalan dengan hipotesis awal. Modal sosial hanya berhubungan positif terhadap pembangunan sosial dan kelembagaan namun mengindikasikan hubungan negatif pada pembangunan ekonomi dan lingkungan. Munculnya indikasi pola hubungan negatif ini diduga disebabkan oleh: (1) Indikator modal sosial belum mampu menangkap modal sosial secara utuh. Indikator modal sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini mengukur hubungan antar individu dalam lingkup desa/kelurahan, sehingga belum mampu menangkap modal sosial yang berperan dalam pembangunan ekonomi dan lingkungan.(2) Terjadinya degradasi modal sosial sebagai akibat dari tidak digunakannya modal sosial dalam pembangunan, atau bahkan akibat pengaruh negatif dari pembangunan. Kondisi ini menjadikan daerah yang terbangun (maju) cenderung memiliki modal sosial yang rendah, begitu pula sebaliknya (3) Walaupun tidak dapat di generalisasi, ditemukannya indikasi karakteristik bonding social capital yang berdampak negatif terhadap pembangunan.

(7)

SUMMARY

ALEX OXTAVIANUS. Sustainable Development and Its Relationship with Social Capital in Indonesia. Supervised by AKHMAD FAUZI, HIMAWAN HARIYOGA and SLAMET SUTOMO.

Sustainable development became a popular concept and the focus of the international community since the Earth Summit (United Nations Conference on Environmental Development, UNCED); it‟s held in Rio de Janeiro in 1992. Sustainable development concept also continues to develop. One of which is the balance of the development dimension in the form of a prism of sustainability. Under the prism of sustainability, the development should pay attention to the balance between the economic, social, environmental and institutional.

Development in Indonesia is not balance between the economic, social, environmental and institutional. Development has dominant attention to the economic and social dimensions, but weak in the other dimensions of development. During the period 2006 to 2010, the Indonesian economy grew by an average of 5.73% annually, but the critical land in the same period also rose by an average of 1.38% per year. During 2008 to 2012, the poverty rate fell from 15.42% to 11.96%, but income inequality measured by the gini ratio rose from 0.35 to 0.41. Comparison between human development indexes (HDI) with the environmental quality index (IKLH) also shows that the province forward in human development is likely to have damaged the environment.

The emergence of an imbalance between the development dimension is suspected because of the measurement of the development does not yet include the overall dimensions of sustainable development. As a result, evaluation and policy development as well do not reflect the overall dimensions of development. In addition, environmental degradation and rising inequality is also suspected due to lack of attention to social capital. Utilization of social capital is expected to reduce damage of the environment through local wisdom and justice issues with the norms of mutual help.

Related to these problems, this study has three main objectives that include the following: (1) to analyze the achievements of development in Indonesia in terms of the economic, social, and institutional environment, (2) to develop sustainable development composite index constructed from the economic, social, environmental and institutional, and (3) to analyze the relationship between sustainable development with social capital in Indonesia

(8)

(RUPAH) and the ratio of woman‟s enrolment rates to men (RAPS) are two indicators representing institutional dimensions.

Indonesian development shows great advancement in economy, low progress in the social and institutional, and decline in environment. Therefore, the increase in Indonesia's sustainable development index only indicates a more sustainable development in the short term, but not in the long run.

The results of relationship analysis between development and social capital are not entirely in line with the initial hypothesis. Social capital is positively related only to the social and institutional development but indicate a negative relationship to economic development and the environment. The negative relationship pattern is thought to be caused by: (1) Social capital indicators have not been able to capture social capital as a whole. Indicators of social capital used in this study to measure the relationship between individuals within the rural / urban, so not able to capture the role of social capital in economic development and the environment. (2) Social capital degradation due to disuse of social capital in development, or even under the influence negative development. The decline of social capital led to the emergence of opportunistic behaviour such as corruption and abuse of power. (3) Although it may not be generalized, there is indicated that characteristics of bonding social capital have a negative impact on development.

The above findings became the basis in formulating suggestions and recommendations. One suggestion was increased interest in the development of government and institutional environment. Social capital can be used to help improve environmental performance and institutional development. The development of social capital can begin to identify and maintain positive social capital is correlated with environmental and institutional development.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN

HUBUNGANNYA DENGAN MODAL SOSIAL

DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Setia Hadi, MS

ProfDr Ir Bambang Juanda, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Heru Margono, MSc

(13)

Judul Penelitian : Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia

Nama : Alex Oxtavianus

NRP : H 162090081

Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc Ketua

Dr Ir Himawan Hariyoga, MSc Anggota

Dr Slamet Sutomo, SE MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pembangunan Berkelanjutan dan Hubungannya dengan Modal Sosial di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan, sebagai arahan pembangunan, mensyaratkan keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Pembangunan Indonesia relatif baik pada dimensi ekonomi dan sosial, namun lemah pada dimensi lingkungan dan kelembagaan. Penggunaan dan pengembangan modal sosial dalam pembangunan diharapkan mampu menjembatani kelemahan pembangunan lingkungan dan kelembagaan.

Penelitian ini dapat dilakukan berkat dukungan dari berbagai pihak, terutama dari komisi pembimbing. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., Dr. Ir. Himawan Hariyoga, M,Sc, dan Dr. Slamet Sutomo, SE, MS atas bimbingannya, sejak pembentukan ide, perumusan masalah, membangun pola pikir, mengarahkan dalam menentukan metode analisis hingga proses sintesis dan analisis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda selaku ketua program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) dan penguji pada sidang tertutup; Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II dan sidang tertutup; Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. selaku penguji pada ujian preliminasi tahap II; Dr. Heru Margono, M.Sc dan Dr. Ir. Edi Effendi Tedjakusuma, MA selaku penguji pada sidang terbuka.

2. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPS atas kesempatan tugas belajar dan dukungan finansial yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh pendidikan lanjut ini.

3. Rekan-rekan dari BPS yang telah berpartisipasi dalam penyediaan data dan memberikan masukan berharga tentang metode dan arahan analisis.

4. Rekan-rekan mahasiswa pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), terutama angkatan 2009, atas kebersamaan dan modal sosial yang kental.

5. Seluruh staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan sampai selesainya disertasi ini.

6. Seluruh teman-teman yang tergabung di Community Development Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB atas keakraban dan pencerahan tentang realita modal sosial.

7. Kedua orang tua asuh penulis (Nasroel Chas (alm) dan Yusnani Yanis Nasroel Chas) yang modal sosial nya telah menjadi inspirasi disertasi ini.

8. Kedua orang tua penulis (Toto Asmito dan Sumaryeti)dan bapak/ibu mertua (H. Bulkaini dan Sawinar (almh)) serta kakak/adik atas doa dan dukungannya selama ini.

(16)

Penulis menyadari bahwa keterbatasan pemahaman penulis membuat disertasi ini jauh dari kesempurnaan. Namun penulis tetap berharap semoga karya ini bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2014

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xvii

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Permasalahan 10

Tujuan Penelitian 12

Batasan Penelitian 12

Manfaat Penelitian 13

2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 15

Pembangunan Berkelanjutan 15

Modal Sosial 19

Penelitian Terdahulu 25

Kerangka Pemikiran 32

Hipotesis Penelitian 33

3 METODE PENELITIAN 35

Data dan Pengambilan Sampel 35

Variabel Penelitian 35

Teknik Analisis 42

4 EVALUASI PEMBANGUNAN DI INDONESIA 53

Perkembangan Pembangunan Ekonomi 53

Perkembangan Pembangunan Sosial 54

Perkembangan Pembangunan Lingkungan 60

Perkembangan Pembangunan Kelembagaan 65

5 PENGEMBANGAN INDEKS KOMPOSIT PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN 67

Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan 67

Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia 73

6 HUBUNGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DENGAN MODAL

SOSIAL 82

Pengukuran Modal Sosial di Indonesia 82

Korelasi Pembangunan dengan Modal Sosial 93

Analisis Jalur Hubungan Pembangunan Berkelanjutan dengan Modal

Sosial 104

7 SIMPULAN DAN SARAN 107

Simpulan 107

Saran 108

DAFTAR PUSTAKA 111

LAMPIRAN 117

(18)

DAFTAR TABEL

1 PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010 2 2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas

Lingkungan Hidup (IKLH), 2009 - 2011 3

3 Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012 4 4 Skor dan Peringkat Corruption Perceptions Index (CPI)

Indonesia,2010-2012 9

5 Ringkasan Hasil Pengukuran Stok Modal Sosial 2009 10 6 Indikator Keterkaitan antar Pilar Pembangunan Berkelanjutan 17

7 Indikator Pembangunan Berkelanjutan 36

8 Variabel Modal Sosial dan Definisi Operasional 42

9 Metode Analisis 43

10 Beberapa ukuran goodness of fit test (GFT) dalam Model Persamaan

Struktural 47

11 Penentuan Penimbang Setiap Indikator dengan Metode Korelasi 49

12 Bobot dan nilai batas untuk normalisasi 71

13 Indeks komposit pembangunan berkelanjutan 72

14 Persentase Responden menurut Karakteristik Demografi dan Daerah

Tempat Tinggal 83

15 Rata-rata skor indikator modal sosial 86

16 Normalisasi rata-rata skor indikator modal sosial 87

17 Indeks Modal Sosial 2012 89

18 Indeks Modal Sosial 2012 Menurut Kategori Wilayah 92 19 Koefisien Korelasi Modal Sosial (SC) dengan Indeks Pembangunan 93 20 Korelasi antara Indeks Modal Sosial dengan Indikator Bonding Social

Capital 95

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku menurut Pulau, 2004

dan 2012 5

2 Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability) 6 3 Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik 20

4 Kerangka Pemikiran 33

5 Model Konfirmatori Faktor Analisis Ordo Kedua untuk penyusunan

Indeks Pembangunan Berkelanjutan 48

6 Analisis Empat Kuadran 51

7 Model Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap Pembangunan 52

8 PDRB Perkapita Provinsi di Indonesia, 2012 53

9 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Sosial, 2007-2012 55 10 Persentase Penduduk yang Berobat ke Dokter dan Rumah Sakit, 2012 57

11 Indeks Kualitas Lingkungan Hidup, 2012 61

12 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Lingkungan,

2007-2012 62

(19)

14 Perkembangan Beberapa Indikator Pembangunan Kelembagaan,

2007-2012 65

15 Hasil konfirmatori faktor analisis 68

16 Bobot Indikator dan Dimensi Pembangunan Berkelanjutan 71

17 Capaian pembangunan di Indonesia 73

18 Peta Capaian Pembangunan Berkelanjutan 74

19 Perubahan Indeks Pembangunan Selama Periode 2009-2012 76 20 Boxplot Indeks Pembangunan Tahun 2009 dan 2012 77

21 Capaian pembangunan berkelanjutan nasional 79

22 Besaran penimbang indikator yang komponen modal sosial 88 23 Boxplot Indeks Modal Sosial dan Komponennya 2012 91 24 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Ekonomi dengan Indeks

Modal Sosial 2012 96

25 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Sosial dengan Indeks Modal

Sosial 2012 98

26 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Lingkungan dengan Indeks

Modal Sosial 2012 100

27 Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Kelembagaan dengan Indeks

Modal Sosial 2012 103

28 Path Diagram Hasil Analisis Jalur Hubungan antara Modal Sosial

dengan Pembangunan Berkelanjutan 105

DAFTAR LAMPIRAN

1 Output LISREL: Pengukuran Pembangunan Berkelanjutan 119 2 Penghitungan Indeks Pembangunan Berkelanjutan 124 3 Output LISREL : Analisis Jalur Pengaruh Modal Sosial terhadap

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan membutuhkan berbagai input untuk menghasilkan output. Salah satu input yang dibutuhkan adalah yang berasal dari sumberdaya alam. Namun, pemenuhan kebutuhan pembangunan dan upaya mempertahankan kelestarian lingkungan seringkali menjadi tradeoff(Fauzi, 2004). Pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan pada akhirnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri, karena pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan dikemudian hari.

Tumbuhnya kesadaran kritis tentang keterbatasan sumber daya alam yang tersedia, sedangkan kebutuhan manusia terus meningkat, mengharuskan strategi pemanfaatan sumber daya alam yang lebih efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya alam tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam perspektif ini, pendekatan pembangunan dituntut untuk memperhatikan keberimbangan dan keadilan antar generasi. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (Rustiadi dkk, 2009).

Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus mengalami perkembangan. Serageldin melihat pembangunan berkelanjutan dari tiga dimensi (a triangular framework), yaitu ekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan (Rustiadi dkk, 2009). Pandangan ini menjadi konsep yang paling sering dijadikan acuan dalam berbagai tulisan.

Dari sisi makro ekonomi, pembangunan Indonesia menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hariyoga (2012) mengistilahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan sustainable growth. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat stabil dan tercepat di Asia. Kondisi ini diperkuat dengan indikator ekonomi yang lain, seperti rendahnya tingkat suku bunga Bank Indonesia, rendahnya inflasi dan stabilnya nilai tukar rupiah. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan pemberitaan yang dikeluarkan oleh Organisatian for Economic Co-operation Development (OECD). OECD menilai Indonesia telah memperbaiki makro ekonominya selama 15 tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan yang cepat dan stabil pada level 5 hingga 6,6 persen (OECD, 2012).

(22)

2

telah sangat rusak karena kehilangan penutupan vegetasinya, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur iklim mikro dan retensi karbon (Kementrian Kehutanan, 2011). Secara rata-rata, jumlah lahan kritis mengalami peningkatan sebesar 1,38 persen setiap tahunnya. Peningkatan lahan kritis ini hampir terjadi di seluruh pulau, kecuali pulau Sumatera. Di daerah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, peningkatan lahan kritis bahkan mencapai 5,48 persen setiap tahunnya.

Kondisi ini dapat diistilahkan sebagai kemajuan yang merusak, seperti pernah disebutkan oleh Fauzi (2012). PDB yang tinggi telah menimbulkan tekanan pada ekosistem bumi, yang mengakibatkan terjadinya progress trap atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk menyejahterakan manusia harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan. Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut. Menyikapi hal ini beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan (degrowth) dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan lingkungan.

Paradoks pembangunan juga dapat dilihat dengan memperbandingkan indikator pembangunan sosial ekonomi dengan indikator lingkungan. Terkait dengan bahasan ini, terdapat dua indeks komposit yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja pembangunan. Pertama, dan yang paling populer, adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan kedua adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

IPM merupakan indeks komposit dari sejumlah indikator untuk mengukur dimensi-dimensi pokok pencapaian kemampuan dasar penduduk: umur panjang dan sehat, berpengetahuan dan memiliki keterampilan, serta aksesibilitas terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak. Berdasarkan komponennya ini, maka IPM menjadi indikator yang umum dipergunakan untuk mengukur capaian pembangunan ekonomi dan sosial. Namun IPM masih luput mengukur dimensi lingkungan. Indeks komposit yang mengukur capaian pembangunan di bidang lingkungan adalah Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

Tabel 1PDRB Harga Konstan dan Lahan Kritis Menurut Pulau, 2006-2010

Pulau

PDRB Harga Konstan (Triliun Rp) Lahan Kritis (000 Ha)

2006 2010

(23)

3

IKLH merupakan hasil kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan

Dannish International Development Agency(DANIDA). IKLH mengadopsi konsep indeks yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Virginia Commonwealth University (VCU). Konsep IKLH, mengambil tiga indikator kualitas lingkungan yaitu kualitas air sungai, kualitas udara, dan tutupan hutan (Kementrian Lingkungan Hidup, 2011).

Perbandingan antara IPM dengan IKLH akan memberikan gambaran sinergitas antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan pembangunan lingkungan. Mencermati Tabel 2, terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara peringkat IPM dengan peringkat IKLH. Provinsi yang memiliki peringkat IPM baik, justru memiliki peringkat IKLH yang tidak baik, contohnya Provinsi DKI Jakarta. Nilai IPM DKI Jakarta berada pada peringkat pertama, sedangkan nilai IKLH-nya berada pada peringkat terakhir. Sebaliknya, provinsi yang peringkat Tabel 2Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kualitas Lingkungan

Hidup (IKLH), 2009 - 2011 Sumber : BPS dan Kementrian Lingkungan Hidup

Catatan :

1) Penghitungan IKLH 2009 : Gorontalo tidak tersedia, Riau dan Kepulauan Riau gabung, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat gabung

(24)

4

IKLH-nya baik, justru memiliki peringkat IPM yang tidak terlalu baik, misalnya provinsi Gorontalo. Peringkat IKLH provinsi ini pada tahun 2010 dan 2011 berada pada posisi pertama, sedangkan nilai IPM-nya berada pada peringkat ke 24. Akhirnya akan sulit untuk menilai tingkat pembangunan wilayah yang berkelanjutan kalau hanya menggunakan salah satu indeks saja, IPM atau IKLH saja.

Dua indikator lain yang juga sering dipergunakan dalam mengukur pembangunan wilayah adalah tingkat kemiskinan dan gini rasio. Tingkat kemiskinan menggambarkan persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan sangat sering digunakan sebagai alat ukur dimensi sosial. Gini rasio mengukur kesenjangan pendapatan dan merupakan indikator yang menggambarkan kemerataan. Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia dalam periode 2008 hingga 2012 menunjukkan penurunan, dari 15,42 persen pada tahun 2008 menjadi 11,96 persen pada tahun 2012. Penurunan tingkat kemiskinan ini sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Namun walau

Tabel 3Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio Menurut Provinsi, 2008-2012

Provinsi

(25)

5 tingkat kemiskinan mengalami penurunan, angka gini rasio justru menunjukkan adanya peningkatan. Dengan kata lain, walau tingkat kemiskinan menurun, tetapi disparitas pendapatan justru semakin lebar. Perbedaan pendapatan yang sangat lebar tentunya akan memberikan peluang terjadinya konflik sosial yang pada akhirnya mengganggu keberlanjutan pembangunan.

Ketidakmerataan pembangunan ekonomi juga dapat dilihat dari sebaran nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada masing-masing daerah. Jika memperhatikan kontribusi PDRB pada masing-masing pulau utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, tampak jika sumbangan terbesar dari PDRB masih berasal dari pulau Jawa dan Bali. Kontribusi PDRB Jawa dan Bali pada tahun 2004 adalah sebesar 61 persen. Kontribusi ini mengalami penurunan menjadi 59 persen pada tahun 2012. Kontribusi PDRB pulau Sumatera menempati urutan kedua, dengan nilai PDRB mencapai 22 persen pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 24 persen pada tahun 2012. Peningkatan kontribusi PDRB juga terjadi di pulau Sulawesi. Kontribusi PDRB Sulawesi meningkat dari 4 persen pada tahun 2004 menjadi 5 persen pada tahun 2012. Sebaliknya, kontribusi PDRB pulau Kalimantan justru mengalami penurunan, dari 10 persen pada tahun 2004 menjadi 9 persen pada tahun 2012. Sedangkan kontribusi PDRB Nusa Tenggara, Maluku dan Papua jumlahnya tidak mengalami perubahan dari tahun 2004 ke tahun 2012.

Memperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa ketidakmerataan pembangunan juga terjadi pada pembangunan ekonomi antar wilayah. Perekonomian sangat didominasi oleh pulau Jawa dan Bali. Walaupun kontribusi kedua pulau ini cenderung mengalami penurunan, namun porsinya masih sangat besar. Kontribusi beberapa pulau seperti Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, cenderung stagnan. Bahkan kontribusi Kalimantan justru mengalami penurunan. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah ini diduga berdampak negatif terhadap pembangunan, karena dapat memicu terjadinya konflik. Bahkan beberapa konflik yang mengarah pada separatisme sering mengangkat isu ketidakmerataan dan ketidakadilan sebagai alasannya.

(26)

6

Sumber : Spangenberg dan Bonniot, 1998

Gambar 2Prisma Keberlanjutan (prism of sustainability)

Mencermati beberapa fakta empirik tentang pembangunan Indonesia di atas, nampak bahwa pembangunan Indonesia masih belum mampu menjawab permasalahan lingkungan, kemerataan dan keadilan.Pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam pembangunan di bidang yang lain. Dari sisi lingkungan, pembangunan memunculkan lahan-lahan kritis baru, yang berarti semakin menurunnya kualitas lingkungan. Pembangunan juga memunculkan perbedaan yang semakin lebar antara masyarakat golongan kaya dengan golongan miskin.

Dengan demikian, dimensi pembangunan yang mengukur pembangunan dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan saja masih belum memadai. Dibutuhkan satu dimensi lagi yang mampu menjawab persoalan kemerataan dan keadilan. Pernyataan Spangenberg yang menambahkan dimensi kelembagaan sebagai salah satu dimensi dalam pembangunan berkelanjutan, dipandang mampu menangkap permasalahan pembangunan Indonesia. Menurut Spangenberg, kelembagaan yang baik akan menghasilkan kemerataan dan keadilan dalam pembangunan. Dengan ditambahkannya kelembagaan (institution), maka keempat dimensi tersebut; ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan; membentuk suatu prisma keberlanjutan, prism of sustainability (Spangenberg dan Bonniot, 1998).

(27)

7 keadilan dan kebebasan, yang juga mempunyai tujuan yang saling berkaitan dengan dimensi yang lain (ekonomi, sosial dan lingkungan).

Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh Spangenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari capaian keempat dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terlihat kinerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya berkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak lingkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian, karena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih besar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan yang mengabaikan pembangunan kelembagaan sehingga memunculkan kesenjangan ekonomi dan sosial. Kesenjangan sering kali menjadi alasan terjadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme. Konflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di masa yang akan datang.

Fenomena kesenjangan pendapatan dan kerusakan lingkungan akan lebih terpantau bila ukuran pembangunan yang dipergunakan juga sensitif terhadap ukuran kesenjangan dan kualitas lingkungan. Indikator pembangunan berkelanjutan yang berkembang selama ini di Indonesia belum mencakup empat dimensi pembangunan berkelanjutan secara utuh. Penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB) hijau hanya melibatkan dimensi ekonomi dan lingkungan. Penelitian tentang genuine saving hanya menyentuh dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Ukuran pembangunan berkelanjutan berupa indeks komposit pernah pula digagas oleh beberapa institusi dan peneliti. Namun indeks komposit ini juga masih melibatkan dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimensi kelembagaan tidak dimunculkan sebagai dimensi tersendiri, namun secara implisit tergabung pada dimensi sosial. Karena indikator kelembagaan hanya bagian kecil dari dimensi sosial, maka bobot kelembagaan dalam indeks komposit menjadi sangat kecil, padahal permasalahan kesenjangan yang menjadi salah satu indikator kelembagaan cukup menonjol di Indonesia.

Pembangunan berkelanjutan, yang memunculkan dimensi kelembagaan sebagai dimensi tersendiri, dipandang sangat tepat untuk kondisi Indonesia. Kondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi kelembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri kelembagaan akan memiliki bobot yang lebih besar dalam mengukur capaian pembangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat dimensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada umumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.

(28)

8

adanya norma saling membantu. Modal sosial juga diduga mampu mencegah masalah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi syarat utama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu modal dalam pembangunan, sudah sepatutnya modal sosial mendapatkan perhatian yang seimbang dengan modal yang lain.

Rustiadi dkk (2009), Lawang (2005) dan Ridell, dalam Suharto (2007) menuliskan tiga komponen modal sosial, yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jejaring (network). Kepercayaan (trust), dibutuhkan untuk membangun kerjasama, menekan biaya transaksi dan menghemat penggunaan sumberdaya, yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Norma-norma (norms), terdiri pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang, berupa aturan umum, sanksi-sanksi, rules of the game, hak sosial untuk mengontrol tindakan seseorang oleh orang lainnya, dibutuhkan untuk menekan perilaku oportunis. Jejaring (networks), merupakan infrastruktur dinamis yang berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama.

Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk menyejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal sosial juga dapat meningkatkan kesadaran individu terkait banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat.

Inayah (2012) menuliskan besarnya peran modal sosial dalam pembangunan. Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai peran yang besar sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal sosial. Peran modal sosial tersebut antara lain kemampuannya untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan.

Modal sosial juga sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (1995) menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara yang memperlihatkan bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan keeratan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi.

Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan dan perekonomian yang dijalankan pelaku ekonomi. Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga, suku, agama, dan negara.

(29)

9 pembangunan, sehingga tidak satu paragrafpun rencana pembangunan daerah maupun nasional yang secara sungguh-sungguh memberikan tempat pada dimensi modal sosial (Hasbullah, 2006). Beberapa kebijakan pemerintah bahkan dinilai menggerus modal sosial yang ada di masyarakat. Contohnya adalah penyeragaman tingkat pemerintahan terendah menjadi bentuk desa. Dengan penyeragaman ini, struktur pemerintahan adat yang sudah melembaga di beberapa daerah menjadi terabaikan. Tidak berfungsinya pemerintahan adat ini pada akhirnya juga berdampak negatif terhadap norma-norma tradisional di masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh pada modal sosial. Cameron L dan Shah M (2011) bahkan melihat kebijakan pemerintah yang bertujuan mengurangi kemiskinan, seperti bantuan langsung tunai (BLT), juga berpeluang menurunkan modal sosial di Indonesia. Dengan model ekonometrik serta data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006 dan Pendataan Potensi Desa (Podes) tahun 2005 penelitian mereka memberi hasil yang cukup mengejutkan. Penyaluran dana BLT yang tidak tepat sasaran, berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kriminalitas dan penurunan modal sosial di dalam komunitas..

Kondisi modal sosial di Indonesia saat ini seakan-akan sudah hilang dan mengalami kematian. Semangat hidup bersama, gotong royong dan pengelompokan sosial yang terbentuk secara sukarela dan memiliki energi keswadayaan seakan tidak tampak lagi. Indonesia saat ini kecenderungannya menuju masyarakat yang zero trust society. Keseluruhannya itu menggambarkan keterpurukan dan kehancuran modal sosial di Indonesia (Hasbullah, 2006).

Salah satu indikator yang mencerminkan kondisi modal sosial di suatu wilayah adalah tingkat korupsi. Modal sosial merupakan salah satu alat yang keberadaannya mampu menekan perilaku free riderdan oportunis, seperti korupsi. Sehingga tingginya angka korupsi akan mencerminkan modal sosial yang lemah. Namun di sisi lain, Winarno (2008) menyebutkan bahwa korupsi juga akan melemahkan modal sosial. Berkembangnya kasus-kasus korupsi akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Tingkat korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi. Hasil penghitungan

Corruption Perceptions Index (CPI) yang dilakukan oleh Transparancy International menunjukkan peringkat Indonesia masih cukup rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Transparancy International menghitung nilai CPI dengan memberikan skor antara 1 hingga 10. Skor 1 menunjukkan Tabel 4Skor dan Peringkat Corruption Perceptions Index (CPI)

Indonesia,2010-2012

Tahun Skor CPI Peringkat CPI Peringkat terrendah

2010 2,8 110 178

2011 3,0 100 182

2012 2,9 118 174

(30)

10

negara yang paling korup, sedangkan skor 10 menggambarkan negara yang paling tidak korup. Nilai CPI Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 2,8, dan berada pada peringkat 110 dari 178 negara. Pada tahun 2011, nilai CPI Indonesia mengalami kenaikan menjadi 3,0, namun kembali turun menjadi 2,9 pada tahun 2012. Dari nilai CPI selama tahun 2010-2012 tersebut, terlihat bahwa skor Indonesia masih belum mencapai sepertiga dari nilai maksimal.

Studi tentang pengukuran stok modal sosial di Indonesia pernah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010. Studi ini menghasilkan stok modal sosial pada tahun 2009 untuk 471 kabupaten/kota di Indonesia, dengan nilai minimum 0 dan nilai maksimum 100. Stok modal sosial dihitung dengan menggunakan beberapa faktor modal sosial, yaitu sikap percaya terhadap aparat dan kelompok, sikap percaya terhadap tetangga, toleransi beragama dan suku bangsa, keeratan dalam kelompok, persahabatan, dan jejaring. Setiap faktor kemudian dikelompokkan berdasarkan subdimensi modal sosial yang diwakilinya yaitu: sikap percaya, toleransi, kelompok, dan jejaring, dan dilanjutkan dengan penghitungan stok modal sosial. Nilai stok modal sosial tertinggi sebesar 68,5 terjadi di Kabupaten Lamongan di Provinsi Jawa Timur. Sebaliknya nilai stok modal sosial terendah sebesar 42,4 terjadi di Kabupaten Dogiyai di Provinsi Papua. Nilai tengah (median) stok modal sosial yang dihasilkan sebesar 60,8 (BPS, 2010b)

Jika dilihat dari nilai tengah yang berada di kisaran 60 maka capaian stok modal sosial di Indonesia masih belum mencapai dua pertiga dari nilai maksimum. Jika dibandingkan dengan dua nilai indeks yang telah dibahas sebelumnya (IPM dan IKLH), capaian stok modal sosial kurang lebih mirip dengan capaian IKLH secara nasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa stok modal sosial di Indonesia masih cukup rendah.

Permasalahan

Berdasarkan uraian sebelumnya, terlihat bahwa pembangunan di Indonesia masih belum menunjukkan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Diduga, pembangunan masih sangat dominan memperhatikan dimensi ekonomi dan sosial, tetapi lemah dalam pembangunan dimensi yang lain. Untuk dapat menjawab dugaan tersebut, tentunya dibutuhkan ukuran yang menilai capaian pembangunan masing-masing dimensi. Namun hingga saat ini indikator yang dipergunakan dalam menilai pembangunan berkelanjutan di Indonesia belum menjadikan kelembagaan sebagai dimensi

Tabel 5Ringkasan Hasil Pengukuran Stok Modal Sosial 2009

Sebaran Nilai Sebaran Nilai

Minimum 42,4 40% Terendah 57,6

Maksimum 68,5 40% Sedang 61,6

Median 60,8 20% Tertinggi 64,6

(31)

11 tersendiri. Absennya kelembagaan sebagai dimensi tersendiri mengindikasikan lemahnya perhatian terhadap pembangunan kelembagaan. Padahal persoalan keadilan, yang menjadi fokus dimensi kelembagaan, menunjukkan tren yang semakin buruk di Indonesia. Dibutuhkan upaya agar pembangunan kelembagaan memiliki porsi yang seimbang dengan pembangunan, salah satunya dengan memunculkan kelembagaan sebagai salah satu dimensi dalam ukuran pembangunan berkelanjutan.

Di sisi lain, pencapaian pembangunan berkelanjutan juga sangat ditentukan oleh modal yang dipergunakan dalam pembangunan itu sendiri, termasuk modal sosial. Berbeda dengan modal manusia (human capital), yang menekankan pada modal yang dimiliki oleh individu seperti tingkat pendidikan, kesehatan dan kekayaan, modal sosial lebih menekankan pada hubungan antar individu. Modal sosial memberikan dampak modal sosial dalam pembangunan, sehingga penggunaannya diduga mampu mempercepat pembangunan. Secara khusus modal sosial diduga akan mampu mengurangi kerusakan lingkungan melalui kearifan lokal serta permasalahan keadilan dengan norma saling membantu.

Fauzi (2007) menyebutkan bahwa modal sosial dapat berperan dalam pembangunan berkelanjutan, karena memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui: (a) arus informasi akan lebih cepat bergerak antar agen ekonomi jika modal sosial cukup baik; (b) kepercayaan (trust) yang menjadi komponen utama modal sosial akan mengurangi biaya pencarian informasi sehingga mengurangi biaya transaksi; dan (c) modal sosial yang baik akan mengurangi kontrol pemerintah sehingga pertukaran ekonomi lebih efisien.

World Bank (2008) menyebutkan bahwa modal sosial merupakan penghubung yang hilang (missing link) antara natural capital, physical atau

produced capital, dan human capital. Ditegaskan juga bahwa modal sosial, termasuk trust, norma dan network, merupakan syarat untuk suksesnya pembangunan berkelanjutan.

Rydin dan Holman (2004) bahkan menyatakan bahwa modal sosial mampu memecahkan permasalahan yang selama ini menghambat terciptanya pembangunan berkelanjutan. Modal sosial berperan melalui dua hal yang berbeda; pertama modal sosial berperan dalam menanggulangi permasalahan collective action; dan kedua modal sosial mengurangi biaya transaksi antar pelaku pembangunan berkelanjutan. Penggunaan modal sosial akan mampu menyelesaikan permasalahan kurangnya partisipasi, benturan keinginan, kekurangan sumber daya, serta hambatan kerjasama antar pihak yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.

Asadi, dkk (2008) juga mencatat beberapa peran modal sosial, terkait dengan dimensi pembangunan berkelanjutan, seperti ekonomi, sosial dan lingkungan. Namun masih sangat jarang (bahkan mungkin belum ada) penelitian empirik yang melihat hubungan antara modal sosial dengan pembangunan berkelanjutan. Dalam akhir tulisannya, Asadi dkk mengatakan bahwa masih butuh usaha yang cukup keras untuk melihat interaksi antara modal sosial dan pembangunan berkelanjutan.

(32)

12

dibandingkan dengan modal-modal yang lain. Bahkan muncul pula dugaan bahwa pembangunan yang dilakukan justru berdampak negatif pada modal sosial.

Dengan memperhatikan beberapa pernyataan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga pokok permasalahan. Ketiga pokok permasalahan tersebut adalah :

1. Bagaimana capaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan ?

2. Bagaimana indikator komposit pembangunan berkelanjutan yang dibangun dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan ?

3. Bagaimana hubunganantara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial di Indonesia ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan dengan modal sosial di Indonesia. Secara rinci, tujuan penelitian adalah :

1. Menganalisiscapaian pembangunan di Indonesia dilihat dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan

2. Mengembangkan indeks komposit pembangunan berkelanjutan yang dibangun dari dimensi ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan

3. Menganalisis hubunganantara pembangunan berkelanjutan dengan modal sosial di Indonesia

Batasan Penelitian

Diskusi tentang pembangunan berkelanjutan merupakan diskusi yang kompleks, karena pemikiran tentang pembangunan berkelanjutan masih terus berkembang serta melibatkan berbagai dimensi. Begitu pula, pemikiran tentang modal sosial. Diskusi tentang modal sosial masih terus berlanjut hingga kini, baik mengenai konsep maupun komponennya.

Memperhatikan kondisi di atas, ditambah lagi dengan luasnya lokus penelitian, maka dibutuhkan beberapa batasan di dalam penelitian ini. Batasan-batasan tersebut adalah :

a) Memperhatikan ketersediaan data, pengukuran dan analisis perkembangan pembangunan berkelanjutan dilakukan pada tingkat provinsi.

b) Indikator pembangunan berkelanjutan sebagian besar mengacu pada indikator UN-DESA serta beberapa penelitian penyusunan indeks komposit pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan beberapa negara lain, namun tetap disesuaikan dengan ketersediaan data.

(33)

13

Kebaruan Penelitian

Penelitian tentang indeks komposit pembangunan berkelanjutan yang telah dilakukan selama ini disusun dengan menggunakan konsep keseimbangan dari tiga dimensi pembangunan, yaitu dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan. Indeks komposit dengan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan dinilai belum mampu menangkap persoalan dalam pembangunan di Indonesia, khususnya yang meliputi persoalan kesetaraan dan keadilan. Oleh sebab itu, penelitian ini memasukkan dimensi kelembagaan sebagai salah satu penyusun indeks komposit pembangunan berkelanjutan. Masuknya dimensi kelembagaan sebagai salah satu dimensi dalam penyusunan indeks komposit pembangunan berkelanjutan merupakan kebaruan dalam penelitian ini.

Penelitian tentang keterkaitan pembangunan dengan modal sosial di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian-penelitian tersebut umumnya hanya dilakukan pada wilayah yang cakupannya terbatas. Penelitian ini melakukan analisis keterkaitan pembangunan dengan modal sosial pada skala yang luas, dengan cakupan 33 provinsi di Indonesia. Ukuran pembangunan yang digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan indikator pembangunan yang bersifat parsial. Sementara penelitian ini menggunakan ukuran pembangunan berupa indeks komposit yang merupakan gabungan dari empat dimensi pembangunan berkelanjutan; ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Beberapa catatan ini menjadi tambahan atas kebaruan yang dilakukan dalam penelitian ini.

Manfaat Penelitian

Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi penyusunan kebijakan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Indeks komposit pembangunan berkelanjutan diharapkan menjadi salah satu tolok ukur pembangunan wilayah, melengkapi (jika tidak akan menggantikan) indikator yang telah ada selama ini. Dengan menggunakan indeks pembangunan berkelanjutan, pengukuran keberhasilan pembangunan dapat dilakukan dengan lebih komprehensif, meliputi aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Indeks pembangunan berkelanjutan juga dapat dihitung untuk masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga dapat dipergunakan untuk memberikan gambaran capaian masing-masing dimensi. Tingkat capaian masing-masing dimensi ini akan membatu pemerintah dan pemerintah daerah untuk merumuskan arah dan kebijakan pembangunan.

Era pembangunan internasional yang memberi porsi lebih pada tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals –MDG‟s) telah hampir

berakhir. Seiring dengan hampir berakhirnya era MDG‟s, bermunculan pemikiran baru tentang target pembangunan internasional. Salah satu target pembangunan internasional yang cukup populer adalah Sustainable Development Goals (SDG‟s).

(34)

14

Hasil analisis keterkaitan antara modal sosial dengan pembangunan berkelanjutan akan memperkaya referensi untuk melihat modal pembangunan dari jenis yang lain. Selama ini pembangunan masih terkonsentrasi menggunakan modal dalam bentuk natural capital, man-made capital danhuman capital,

(35)

15

2

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Pembangunan Berkelanjutan

2.1.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Fauzi (2004) menuliskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya sejak sudah lama menjadi perhatian para ahli. Namun istilah keberlanjutan (sustainability) sendiri baru muncul beberapa dekade yang lalu, walaupun perhatian terhadap keberlanjutan sudah dimulai sejak Malthus pada tahun 1798 yang mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan penduduk yang pesat. Satu setengah abad kemudian, perhatian terhadap keberlanjutan ini semakin mengental setelah Meadow dan kawan-kawan pada tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to Growth, yang dalam kesimpulannya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas, produksi barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis).

Meskipun mendapat kritikan yang tajam dari para ekonom karena lemahnya fundamental ekonomi yang digunakan dalam model The Limit to Growth, namun buku tersebut cukup menyadarkan manusia akan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu perhatian terhadap aspek keberlanjutan ini mencuat kembali ketika pada tahun 1987 World Commission on Environment and Development (WCED) atau dikenal sebagai Brundland Commissionyang menerbitkan buku berjudul Our Common Future. Publikasi ini kemudian memicu lahirnya agenda baru mengenai konsep pembangunan ekonomi dan keterkaitannya dengan lingkungan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. Agenda ini sekaligus menjadi tantangan konsep pembangunan ekonomi neoklasikal yang merupakan konsep pembangunan konvensional yang selama ini dikenal. Pembangunan berkelanjutan disepakati sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan-kebutuhan generasi yang akan datang. Di dalamnya terkandung dua gagasan penting:

a) gagasan “kebutuhan” yaitu kebutuhan esensial untuk memberlanjutkan kehidupan manusia, dan

b) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.

Pada intinya, pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang di dalamnya eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan. Seluruh elemen tersebut berada dalam keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Jadi tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus diupayakan dengan keberlanjutan.

(36)

16

mengandung dua dimensi yaitu pertama, dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang terjadi di masa mendatang. Kedua, adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumberdaya alam dan lingkungan. Pezzey dalam Fauzi (2004) melihat keberlanjutan dari sisi yang berbeda, yaitu melihat dari pengertian statis dan dinamik. Keberlanjutan statis diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah.

Karena adanya multi dimensi, dan multiinterpretasi, maka terdapat dua hal yang secara implisit menjadi perhatian yaitu pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi. Kedua, menyangkut perhatian terhadap kesejahteraan (well being) generasi mendatang. Dengan demikian, prinsip pembangunan berkelanjutan dihasilkan dengan memperhatikan 3 aksioma yaitu : a) perlakukan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan nilai positif

dalam jangka panjang.

b) menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap economic well being.

c) mengetahui kendala akibat implikasi yang timbul pada aset lingkungan.

Selain definisi tersebut, konsep keberlanjutan dapat dirinci menjadi 3 aspek yaitu:

a) Keberlanjutan ekonomi, diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri

b) Keberlanjutan lingkungan : sistem keberlanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya secara stabil, menghindari eksploitasi dan fungsi penyerapan lingkungan.

c) Keberlanjutan sosial : diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik.

Seperti yang diungkapkan Ostrom dkk (2002) dalam The Drama of The Commons, kriteria keberlanjutan dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sumberdaya alam dan kelembagaan. Terkait pengelolaan sumberdaya alam, keberlanjutan berhubungan dengan upaya memperbaiki kualitas sumberdaya, fasilitas dan stok sumberdaya. Dalam aspek kelembagaan, keberlanjutan terkait dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi yang berkembang.

Stimson dkk (2006), mengatakan bahwa paradigma pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan didasarkan pada prinsip :

a) mengarah pada tujuan jangka panjang

b) melakukan konservasi sumberdaya melalui efisiensi teknologi dan penyebaran pusat produksi dalam skala yang lebih kecil

c) penggunaan sumber energi alternatif, kegiatan daur ulang, konservasi sumberdaya alam

d) asumsi bahwa terdapat keterkaitan antara lingkungan dan sumberdaya alam, sehingga prinsip konservasi harus bersifat jangka panjang.

(37)

17

capacity). Secara umum, keberlanjutan diartikan sebagai “continuing without lessening” yang berarti melanjutkan aktivitas tanpa mengurangi. Dalam hal ini

komunitas atau wilayah yang sustain mempertimbangkan perbaikan ekonomi, lingkungan dan karakteristik sosial.Pembangunan berkelanjutan kemudian semakin dipahami sebagai pembangunan yang mampu mempertahankan terjadinya pembangunan itu sendiri menjadi tidak terbatas (Moldan dan Dahl, 2007).

Saat ini pembangunan berkelanjutan tidak hanya menyangkut tiga dimensi domain atau pilar (sosial, ekonomi dan lingkungan). Pilar keempat, kelembagaan juga dimasukkan sebagai salah satu pilar dalam pembangunan berkelanjutan. Pilar kelembagaan ini merupakan sumbangan pemikiran yang berharga dari Spangenberg (Spangenberg dan Bonniot 1998 dan Rustiadi, dkk 2009) dan sudah diakomodir juga oleh UN Commission on Sustainable Development (Hak dkk, 2007). Keseimbangan pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan menjadi konsep pembangunan berkelanjutan yang digunakan dalam penelitian ini.

2.1.2. Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Terkait dengan empat pilar yang menjadi pendukung pembangunan berkelanjutan, maka indikator pembangunan juga mencakup keempat pilar tersebut. Moldan dan Dahl (2007) menyebutkan penjabaran dari keempat pilar tersebut sebagai berikut :

a) Aspek lingkungan biofisik, termasuk akses terhadap lahan, sumberdaya alam, air bersih, perumahan dan energi, didalamnya terkait ketersediaan infrastruktur dan teknologi informasi

b) Aspek ekonomi, untuk level individu terkait pendapatan minimum untuk dapat hidup layak, akses dalam aktivitas sosial ekonomi, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Termasuk juga akses dalam pasar, hambatan masuk ke pasar serta akses ke pasar kredit (aspek finansial).

c) Aspek sosial, termasuk akses terhadap pengetahuan, informasi dan pengalaman (tidak ada diskriminasi pendidikan, pelatihan, teknologi informasi,dan lain-lain)

d) Aspek kelembagaan, termasuk didalamnya akses terhadap informasi (media massa, internet, akses telepon), pertukaran informasi, pengambilan keputusan, partisipasi dalam kegiatan publik,politik, demokrasi, keadilan dan sebagainya.

Tabel 6Indikator Keterkaitan antar Pilar Pembangunan Berkelanjutan

Keterkaitan Indikator

Lingkungan-ekonomi Produktivitas sumberdaya (misal :GDP/total input material),

intensitas transportasi

Sosial ekonomi Produktivitas tenaga kerja (produksi perkapita) distribusi

pendapatan per kapita

Sosial lingkungan Masalah kesehatan lingkungan, akses terhadap sumberdaya milik

umum (common goods)

Ekonomi kelembagaan Tingkat korupsi, share pajak tenaga kerja, total pajak lingkungan,

Sosial kelembagaan Jaminan hak tenaga kerja, Jaminan kesehatan, jaminan sosial

Lingkungan-kelembagaan Hak lembaga swadaya masyarakat untuk demokrasi, Kebebasan informasi,

(38)

18

Jesinghaus J (2007) menggunakan indikator yang dinamakannya sebagai

dashboard dari pembangunan berkelanjutan. Indikator yang dipergunakan juga meliputi empat dimensi, sosial, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan. Indikator secara lengkap adalah sebagai berikut :

a) Dimensi sosial : populasi penduduk di bawah garis kemiskinan, koefisien gini, pengangguran, upah pekerja pabrik (laki-laki dan perempuan), balita kurang gizi, tingkat kematian balita, harapan hidup dan kelahiran, fasilitas pembuangan limbah, akses air bersih, akses fasilitas kesehatan, imunisasi anak, akses terhadap kontrasepsi, akses terhadap pendidikan dasar, akses terhadap pendidikan lanjutan, tingkat melek huruf, tingkat kriminalitas, area terbuka di pusat kota, tingkat pertumbuhan penduduk dan persentase populasi penduduk kota.

b) Dimensi lingkungan : ekosistem yang dilindungi, jumlah mamalia dan burung, emisi CO2, emisi lainnya, CFCs, polusi perkotaan, lahan pertanian yang subur dan permanen, penggunaan pupuk, penggunaan pestisida, areal hutan, intensitas penebangan kayu hutan, areal lahan kering, jumlah fosfor dalam air di perkotaan, populasi di pesisir, persentase produksi ikan, penggunaan air yang dapat diperbarui, BOD air, kandungan bakteri coli dalam air perkotaan dan area yang diproteksi.

c) Dimensi ekonomi : pendapatan perkapita, investasi, neraca perdagangan barang dan jasa, hutang luar negeri, bantuan pembangunan, input langsung, penggunaan pupuk, penggunaan energi komersial, sumberdaya energi yang dapat diperbarui, efisiensi energi, tempat pembuangan limbah yang layak, tempat pembuangan limbah berbahaya, pembuangan limbah nuklir, pengolahan limbah.

d) Dimensi Kelembagaan : implementasi strategi pembangunan berkelanjutan, keanggotaan organisasi lingkungan, penggunaan internet, jaringan telepon, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, biaya yang dikeluarkan penduduk untuk bencana alam, tingkat kerusakan akibat bencana alam dan jumlah kerangka CSD.

Berdasarkan kerangka kerja Commission on Sustainable Development

(CSD) disusun beberapa indikator yang dipergunakan untuk mengukur pembangunan berkelanjutan (UN, 2001). Indikator-indikator tersebut adalah : a) Kategori sosial : persen penduduk di bawah garis kemiskinan, tingkat

pengangguran, rasio rata-rata upah perempuan terhadap laki-laki, status gizi anak, mortalitas balita, angka harapan hidup, rumah tangga yang memiliki akses ke sanitasi, populasi mengakses air bersih, populasi mengakses fasilitas kesehatan primer, tingkat melek huruf, anak yang mencapai kelas 5 SD, tingkat pencapaian pendidikan menengah pada orang dewasa, luas lantai per jiwa, indeks gini, imunisasi anak, persentase penduduk usia reproduksi pengguna alat kontrasepsi, angka kriminalitas, pertumbuhan penduduk, populasi penduduk di pemukiman kota.

(39)

19 industri, limbah rumah tangga, limbah radio aktif, limbah yang didaur ulang, jarak tempuh per kapita alat transportasi utama

c) Kategori lingkungan: emisi gas rumah kaca, konsentrasi polutan udara di perkotaan, luas lahan pertanian, perubahan luas lahan pertanian ke non pertanian, pemakaian pestisida di lahan pertanian, persentase luas hutan terhadap luas daratan, intensitas penebangan kayu, potensi kayu, persen pengambilan air tanah terhadap total persediaan air, kadar BOD dalam air, persen luas ekosistem yang dilindungi terhadap keseluruhan ekosistem.

d) Kategori kelembagaan: strategi pembangunan berkelanjutan daerah, persen anggaran untuk penelitian dan pengembangan, sambungan telepon per 1000 penduduk, kerugian jiwa dan ekonomi karena bencana alam.

Modal Sosial

Walaupun sampai saat ini belum ada suatu konsensus yang formal tentang sumber dari originalitas serta proses-proses pembentukan modal sosial, namun bagaimanapun juga telah muncul suatu kesepahaman dan saling pengertian antara para ahli dan peneliti tentang peran penting modal sosial dalam proses pertumbuhan dan pembangunan. Telah menjadi suatu konsensus umum bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal, proses pembangunan seharusnya mempertimbangkan secara serius akan peran penting dari modal sosial.

Subejo (2004) menyarikan beberapa pandangan tentang modal sosial yang berasal dari berbagai sumber. Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut :

a) Coleman. Social capital consist of some aspects of social structures, and they facilitate certain actions of actors--wheter persons or corporate actors--within the structure

b) Putnam et.al. Features of social organization, such as trust, norms (or reciprocity), and networks (of civil engagement), that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated actions

c) Narayan. The rules, the norms, obligations, reciprocity and trust embedded in

social relations, social structure and society’s institutional arrangements

which enable members to achieve their individual and community objectives

d) World Bank. Social capital refers to the institutions, relationships, and norms

that shape the quality and quantity of a society’s social interactions

e) Uphoff. Social capital can be considered as an accumulation of various types of intangible social, psychological, cultural, institutional, and related assets that influence cooperative behaviour

f) Dhesi. Shared knowledge, understandings, values, norms, and social networks to ensure the intended results

(40)

20

hubungan-hubungan antar personal, trust dan common sense tentang tanggung jawab terhadap masyarakat, semua hal tersebut menjadikan masyarakat lebih dari sekedar kumpulan individu.

Dari beberapa pengertian yang telah disarikan oleh Subejo (2004), dapat dilakukan suatu generalisasi dan simplifikasi tentang elemen-elemen utama dari modal sosial. Simpulan sederhana dan umum yang dapat diajukan tentang elemen utama modal sosial mencakup rasa saling percaya (trust), norma (norms)dan jejaring (network). Ketiga elemen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kerjasama untuk mencapai hasil yang diinginkan yang mampu mengakomodasi kepentingan individu yang melakukan kerjasama maupun kelompok secara kolektif.

Secara nyata dalam keseharian, apabila dicermati secara mendalam, semua perilaku aktivitas sosialekonomi warga masyarakat lokal melekat dalam jaringan hubungan sosialnya. Modal sosial memungkinkan transaksi ekonomi menjadi lebih efisien dengan memberikan kemungkinan bagi pihak-pihak yang terkait untuk bisa (1) mengakses lebih banyak informasi, (2) memungkinkan mereka untuk saling mengoordinasikan kegiatan untuk kepentingan bersama, dan (3) dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan opportunistic behavior melalui transaksi yang terjadi berulang-ulang dalam rentang waktu yang panjang.

Svendsen dan Svendsen (2004) menyatakan bahwa modal sosial meningkatkan sistem kontrol terhadap perilaku oportunis, pembonceng (free rider) dan pencari rente (rent seeking). Individu memang cenderung berperilaku oportunis, mementingkan diri sendiri dan hanya akan berusaha untuk mewujudkan tujuan bersama apabila tujuan-tujuan individunya terpenuhi. Kecenderungan tersebut akan mampu ditekan apabila terbangun modal sosial yang kuat karena sistem kontrol yang terbangun dari modal sosial tersebut akan meningkatkan tambahan biaya untuk berperilaku oportunis (MCsc) sehingga tambahan manfaat yang diperolehnya (MB) tidak lagi memadai seperti dijelaskan pada Gambar 2. Oleh karena itu, besar kecilnya jumlah individu yang berperilaku oportunis seringkali dijadikan sebagai indikator kuat lemahnya modal sosial masyarakat.

Modal sosial yang terbangun dari adanya rasa saling percaya, jaringan kerja dan norma yang kondusif akan mengurangi biaya kontrak dan kontrol sehingga

Gambar 3Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik

MB

A

MCsc

MC

Opportunism Rp/Unit

(41)

21 dapat meniadakan biaya transaksi yang tinggi. Selanjutnya, rasa saling percaya juga memudahkan terbangunnya jaringan kerja yang efisien dan memberi manfaat pada proses produksi dalam pembangunan ekonomi wilayah. Interaksi sosial yang didasari oleh rasa percaya yang kuat akan memiliki nilai ekonomi dan sekaligus menjadi alat peredam konflik.

Hampir semua bentuk modal sosial terbentuk dan tumbuh melalui gabungan atau kombinasi tindakan dari beberapa orang. Keputusan masing-masing pemain atau pelaku memiliki konsekuensi kepada semua anggota kelompok atau grup. Sehingga hal tersebut mencerminkan suatu atribut dari struktur sosial. Seperti dikemukakan oleh Dhesi dalam Subejo (2004) bahwa modal sosial bukan merupakan private property dari orang yang mendapat manfaat darinya. Hal ini hanya akan muncul dan tumbuh kalau dilakukan secara bersama (shared). Sehingga modal sosial bisa dikatakan sebagai properti dari public good. Modal sosial akan tumbuh dan semakin berkembang kalau digunakan secara bersama dan sebaliknya akan mengalami kemunduran atau penurunan bahkan suatu kepunahan dan kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama.

Modal sosial tidak dapat diwariskan sepenuhnya secara otomatis dari generasi ke generasi seperti pewarisan genetik dalam pengertian biologi. Pewarisan modal sosial dan nilai-nilai yang menjadi atributnya memerlukan suatu proses adaptasi, pembelajaran serta pengalaman dalam praktek nyata. Proses ini akan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang melalui interaksi yang berulang-ulang yang memungkinkan suasana untuk saling membangun kesepahaman, kepercayaan serta nilai dan aturan main yang disepakati bersama antar pelaku kerjasama.

Rustiadi (2009) menuliskan bahwa determinan modal sosial seperti jaringan kerja, norma dan rasa percaya mempengaruhi kinerja ekonomi secara positif dan negatif. Jaringan kerja berpengaruh positif jika dampak proteksi terhadap perilaku

rent seeking lebih besar daripada crowding out waktu kerja. Norma berdampak positif jikapeluang berkembangnya kreativitas lebih besar daripada peluang menipisnya etika kerja. Sedangkan rasa saling percaya akan mendorong peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi bila mampu membangun kondisi persaingan yang sehat.

Menurut Rustiadi (2009) dan Lawang (2005) terdapat tiga unsur utama dari modal sosial, yaitu hubungan saling percaya, norma serta jejaring(network) dan keterkaitan (network). Berikut ini penjelasan yang dikutip dari Rustiadi (2009).

2.2.1. Hubungan Saling Percaya

Gambar

Gambar 3Peran Modal Sosial dalam Menekan Perilaku Oportunistik
Gambar 4Kerangka Pemikiran
Tabel 7Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Tabel 8Variabel Modal Sosial dan Definisi Operasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengamati beberapa permasalahan yang terkait dengan pentingnya lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan2. Peserta

memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan yang meliputi aspek ekonomi,. sosial budaya dan lingkungan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi, Demografi dan Lingkungan Terhadap Motivasi Anak Melanjutkan Pendidikan ke Perguruan

Secara garis besar, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan merupakan pembangunan yang tidak mengabaikan kelestarian lingkungan, menjaga keharmonisan lingkungan

Mahasiswa menganalisis studi kasus yang berkaitan dengan dampak pembangunan /perubahan sosial terhadap Individu, Kelompok, Gender, Lingkungan, Sosial-Budaya, Pendidikan,

Sedangkan  pembangunan    berkelanjutan    merupakan  upaya    sadar  dan  terencana  yang  aspek  lingkungan  hidup,  sosial,  dan  ekonomi    ke  dalam  strategi 

Terkait dengan hal ini bertujuan un- tuk mendiskripsikan peranan modal sosial dalam pelaksanaan kelembagaan adat Ke- negerian Kampar dan untuk menjelaskan dan menganalisis

Green City Kota hijau adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dicapai dengan strategi pembangunan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial