• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pembangunan Ekonomi dengan Modal Sosial

5 PENGEMBANGAN INDEKS KOMPOSIT PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

6 HUBUNGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DENGAN MODAL SOSIAL

6.2.1. Hubungan Pembangunan Ekonomi dengan Modal Sosial

Dimensi pembangunan pertama yang menjadi pembahasan adalah dimensi ekonomi. Pembangunan ekonomi diwakili oleh indeks pembangunan ekonomi (E), sedangkan modal sosial dinilai dengan indeks modal sosial. Penghitungan koefisien korelasi antara indeks pembangunan ekonomi (E) dengan modal sosial (SC) menghasilkan nilai -0,354. Memperhatikan nilai p-value, koefisien korelasi ini signifikan pada tingkat kesalahan 5 persen.

Nilai negatif pada koefisien korelasi ini menunjukkan bahwa provinsi dengan tingkat capaian ekonomi yang tinggi cenderung memiliki modal sosial yang rendah. Kondisi ini seakan-akan bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa modal sosial berdampak positif terhadap pembangunan ekonomi. Dibutuhkan kehati-hatian dalam menanggapi kondisi ini. Jika mengacu pada referensi yang menyatakan modal sosial berdampak positif pada pembangunan ekonomi, mekanisme utamanya adalah melalui penurunan biaya transaksi. Penurunan biaya transaksi akan berdampak pada peningkatan nilai tambah sehingga akan memajukan perekonomian.

Salah satu faktor yang dapat menurunkan biaya transaksi adalah adanya rasa saling percaya antar pelaku ekonomi. Dengan adanya rasa saling percaya, biaya informasi dan biaya kontrak akan dapat ditekan. Agar mampu menangkap hubungan ini secara empirik, tentunya komponen kepercayaan (trust) dalam indeks modal sosial juga harus menangkap hubungan antar pelaku ekonomi ini. Sementara modal sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak secara khusus memperhatikan hubungan antar pelaku ekonomi namun hanya melihat hubungan antar individu secara umum, seperti kepercayaan pada tetangga, aparatur desa serta kepercayaan pada tokoh agama atau tokoh masyarakat.

Begitu pula dengan komponen modal sosial yang lain, seperti norma dan jejaring. Norma yang diukur dalam data Susenas MSBP adalah norma yang terkait dengan perilaku saling membantu dalam hal kesehatan dan kematian. Norma saling membatu dalam hal keuangan juga diteliti, namun dalam konteks keuangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan untuk kegiatan ekonomi. Dengan demikian indeks norma yang dihasilkan hanya menggambarkan norma dalam aspek kehidupan sehari-hari, belum menggambarkan norma dalam kegiatan ekonomi. Komponen jejaring juga melihat jejaring secara umum.

Gambaran tentang variabel modal sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini tentunya sangat mempengaruhi temuan penelitian. Indeks modal sosial yang dihasilkan masih belum menggambarkan secara utuh tentang modal sosial di Indonesia. Modal sosial yang berpotensi untuk pembangunan ekonomi relatif tidak tertangkap dengan baik. Kondisi ini pula yang diduga sebagai penyebab utama dari munculnya hubungan negatif antara pembangunan ekonomi dengan modal sosial seperti yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi.

Selain dugaan utama yang terkait dengan pengukuran modal sosial, dugaan lain yang menyebabkan hubungan negatif antara pembangunan ekonomi dengan modal sosial adalah pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini tidak memanfaatkan modal sosial sebagai salah satu modal. Pembangunan masih fokus pada penggunaan modal fisik dan modal manusia. Mengacu pada Rustiadi dkk (2009), salah satu sifat modal sosial adalah tidak habis jika digunakan, sebaliknya akan habis jika tidak digunakan. Akibatnya, daerah maju (sebagai akibat dari pembangunan yang dilakukan) cenderung memiliki modal sosial yang rendah.

95 Penurunan modal sosial diduga juga dipengaruhi oleh dominasi paham kapitalis dalam perekonomian. Herman (2012) menuliskan kapitalisme adalah sistem sosial yang didasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Pandangan kapitalis akhirnya mengubah perilaku kemasyarakatan menjadi perilaku individual. Norma saling membantu pada akhirnya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan yang terkait dengan hubungan sosial, tidak terinternalisasi dalam kegiatan ekonomi. Perubahan-perubahan seperti ini pada akhirnya berujung pada menurunnya modal sosial pada daerah-daerah yang relatif maju dari sisi ekonomi.

Selain itu, pemahaman tentang karakteristik modal sosial juga dapat membantu untuk menerangkan adanya indikasi hubungan negatif antara pembangunan ekonomi dengan modal sosial. Dalam Susenas MSBP juga ditanya bagaimana bentuk toleransi terhadap orang yang berbeda suku atau agama. Toleransi antar suku dan agama dapat dijadikan sebagai proksi untuk melihat apakah bentuk modal sosial yang tercipta di Indonesia mengarah pada bonding social capital atau bridging social capital. Rustiadi dkk (2009) menyebutkan bahwa bonding social capital dicirikan oleh kuatnya pertalian antar anggota keluarga atau antar anggota dalam etnis/agama tertentu.

Tabel 20 menggambarkan korelasi antara indeks modal sosial dengan dua pertanyaan yang menjadi indikator bonding social capital. Tabel tersebut memberikan informasi bahwa pada tahun 2012 terjadi korelasi negatif antara indeks modal sosial dengan skor tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda suku. Korelasi negatif ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin tinggi indeks modal sosial maka mereka semakin tidak suka dengan kegiatan orang yang berasal dari suku yang berbeda. Namun tidak demikian dengan indikator yang melihat tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda agama. Korelasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi nilai modal sosial, maka mereka semakin toleransi terhadap kegiatan orang yang berasal dari agama yang berbeda.

Tabel 20Korelasi antara Indeks Modal Sosial dengan Indikator Bonding Social Capital

Indikator

Korelasi dengan Indeks Modal Sosial

r Prob

 Tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda suku -0,036 0,842

 Tanggapan terhadap kegiatan orang yang berbeda agama 0,208 0,246

Informasi tersebut menggambarkan bahwa terdapat indikasi modal sosial di Indonesia mengarah pada bonding social capital khususnya untuk orang-orang yang memiliki suku yang sama. Mereka dengan suku yang sama cenderung memiliki rasa saling percaya yang sangat tinggi, namun tidak demikian jika dengan orang yang memiliki suku yang berbeda. Secara kasat mata, kondisi ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam satu organisasi/institusi misalnya, jika pimpinannya berasal dari salah satu suku, maka sering terjadi pimpinan di struktur yang lebih rendah juga berasal dari suku yang sama. Namun karena nilai korelasi negatif yang tidak terlalu tinggi, maka alasan bonding social

96

capitalsebagai penyebab negatifnya hubungan antara modal sosial dengan pembangunan nampaknya tidak dapat digeneralisasi.

Bonding social capital berpotensi memberikan dampak negatif bagi pembangunan. Putnam dalam Vipriyanti (2007) mengatakan bahwa bonding social capital memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Bonding social Capitalakan memunculkan eksklusivisme, sehingga menjadi penghambat dalam pembangunan.

Pernyataan senada juga pernah dituliskan oleh Hasbullah (2006). Eksklusivisme juga menghambat berkembangnya modal sosial ke arah yang menghasilkan dampak positif bagi masyarakat dan pembangunan. Masyarakat dengan kohesifitas sosial yang tinggi di dalam kelompok sosialnya, tetapi dengan eksternalitas yang rendah akan menghasilkan keterkungkungan budaya dari ide, pemikiran dan perkembangan yang datang dari luar kelompok sosialnya. Hasbullah mengambil contoh sebuah desa di daerah Martapura Kalimantan Selatan. Desa yang hanya berjarak 7 kilometer dari Kota Martapura tersebut memiliki modal sosial yang tinggi dengan menjaga adat istiadat banjar. Nilai-nilai kebersamaan masih terjaga dengan baik, namun mereka seakan-akan mengisolasi diri dalam kelompoknya dengan nilai-nilai, norma dan kebiasaan mereka sendiri. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari kota, kehidupan mereka masih jauh dari sejahtera. Masyarakat desa ini masih didominasi oleh mereka yang berstatus miskin. Desa Pematang Baru yang dicontohkan oleh Hasbullah tersebut menggambarkan tipikal modal sosial masyarakat yang sangat tradisional. Mereka memiliki kohesifitas ke dalam yang relatif kuat, tetapi tidak memiliki energi perubahan karena terkungkung oleh eksklusivismenya.

Gambar 24Plot Pencar antara Indeks Pembangunan Ekonomi dengan Indeks Modal Sosial 2012

Menggunakan analisis plot pencar (scatterplot) yang dibagi menjadi empat kuadran dengan kondisi Indonesia sebagai nilai tengah, diketahui sebaran provinsi-provinsi relatif terhadap kondisi Indonesia. Sebaran nilai indeks pembangunan ekonomi dan indeks modal sosial di Indonesia menunjukkan bahwa hanya satu provinsi (Riau) yang berada pada kuadran I. Kuadran I merupakan

E S C 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 66 64 62 60 58 56 54 52 89.63 57.53 Indonesia Papua Papua Brt Malut Maluk u Sulbar Gorontalo Sultra Sulsel Sulteng Sulut Kaltim Kalsel Kalteng Kalbar NTT NTB Bali Banten Jatim DIY Jateng Jabar Jak arta Kepri Babel Lampung Bengk ulu Sumsel Jambi Riau Sumbar Sumut A ceh Scatterplot of SC vs E

97 kuadran yang paling diharapkan, dimana posisi ini menggambarkan capaian yang tinggi pada pembangunan ekonomi dan juga modal sosial. Sebelas provinsi tercatat masuk ke dalam kuadran II, artinya provinsi-provinsi tersebut memiliki modal sosial yang relatif tinggi, namun capaian pembangunan ekonominya rendah. Sebaliknya, provinsi yang capaian pembangunan ekonominya tinggi namun dengan modal sosial yang relatif rendah (kuadran IV), mencakup empat provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Papua Barat, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Jumlah terbanyak, dengan 17 provinsi, berada pada kuadran III. Kuadran ini mencerminkan bahwa pembangunan ekonomi dan modal sosial pada 17 provinsi tersebut berada di bawah kondisi rata-rata Indonesia.