• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT JETISHARJO

Wilayah perkotaan selalu mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi pendatang untuk bermukim di kawasan tersebut. Hal ini, disebabkan karena wilayah perkotaan umumnya dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang memberikan banyak peluang kerja, bagi penduduk khususnya yang berasal dari perdesaan. Sebaliknya, keterbatasan kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan sarana prasarana, berdampak pada masyarakat yang tingkat sosial ekonominya rendah. Masyarakat golongan ekonomi rendah tidak mampu menjangkau sarana yang mereka butuhkan, seperti: perumahan, air bersih, transportasi, penerangan, dan sebagainya.

Kota Yogyakarta mengalami perkembangan yang pesat akibat perluasan daerah pemukiman. Hal ini mencerminkan adanya pertambahan penduduk dan perubahan tata guna lahan yang begitu cepat. Sebagai contoh, wilayah bantaran (pinggir) sungai yang membelah kota, merupakan daerah pemukiman yang secara faktual menunjukkan pertumbuhan penduduk sangat cepat. Pemanfaatan kawasan ini adalah sebagai tempat tinggal dengan kondisi lingkungan seadanya, seperti: bangunan rumah yang kurang layak huni, sungai ataupun air tanah di sekitarnya dimanfaatkan untuk kebutuhan minum, cuci, mandi, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Dalam rangka mengatasi kemiskinan Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan. Kelurahan Cokrodiningratan memperoleh program pengentasan

kemiskinan dari Pemerintah berupa Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Penataan dan Rehabilitasi Pemukiman (P3P).

Proyek Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan (P2KP) adalah landasan dan pemicu tumbuhnya gerakan pembangunan berkelanjutan dalam penanganan kemiskinan di perkotaan. Visi P2KP adalah mewujudkan masyarakat madani, maju, mandiri, dan sejahtera dalam lingkungan permukiman sehat, produktif dan lestari. Sedang, misi P2KP adalah membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan pemerintah maupun kelompok peduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan mampu

mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang tertata, sehat, produktif dan berkelanjutan.

Adapun maksud dari program P2KP adalah untuk dapat memperluas prospek dan pilihan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedang, tujuan program P2KP menurut Direktorat Jendral Perumahan dan Permukiman (2001), meliputi: 1) penyediaan dana pinjaman untuk mengembangkan kegiatan usaha produktif dan membuka lapangan kerja baru; 2) penyediaan dana hibah untuk pembangunan prasarana dan sarana dasar lingkungan untuk penunjang pelaksanaan kegiatan usaha ekonomi produktif; 3) peningkatan kemampuan perorangan dan keluarga miskin melalui upaya bersama berlandaskan kemitraan, yang mampu menumbuhkan usaha-usaha baru yang bersifat produktif berbasis pada usaha kelompok; 4) penyiapan, pengembangan, dan peningkatan kemampuan kelembagaan masyarakat di tingkat Kelurahan untuk dapat mengkoordinasikan dan memberdayakan masyarakat dalam program pembangunan, dan; 5) pencegahan menurunnya kualitas lingkungan, melalui upaya perbaikan prasarana dan sarana dasar lingkungan.

Komponen ekonomi diwujudkan dalam bentuk usaha-usaha berskala kecil. Kegiatan usaha kecil meliputi industri rumah tangga, perdagangan dan jasa, yang dilakukan secara perorangan atau keluarga miskin yang berada dalam kelompok masyarakat sebagai bentuk kelompok swadaya masyarakat (KSM). KSM ini selanjutnya disebut dengan kelompok masyarakat (pokmas). Setiap pokmas dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat dan sesuai jenis usaha yang ditekuni dengan jumlah anggota berkisar antara 5-10 orang.

Besar kecilnya dana bantuan disesuaikan dengan jumlah penduduk miskin di wilayah calon penerima program. Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu penerima program, memperoleh dana sebesar Rp. 42.100.000,- yang diperuntukkan untuk 1.690.344 jiwa. Apabila dibandingkan dengan daerah lain jumlah tersebut tergolong kecil. Kampung Jetisharjo pada tahun 1998 menerima program P2KP untuk wilayah Provinsi DIY. Jumlah bantuan dana yang diberikan kepada masing-masing kelompok beragam tergantung pada jenis kegiatan yang perlu didanai. Jangka waktu pinjaman rata-rata 10-18 bulan. Bantuan yang

diterima masyarakat digunakan untuk usaha ekonomi produksi, seperti yang terlihat dalam tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7 Kelompok Masyarakat Penerima Bantuan P2KP

Wil. Kelompok usaha Anggota Bantuan

(Rp.)

Lama Pnjm (Dlm Bln)

RT 29 Wrg. Kelontong b Ny. Reben (5 orang) 490.000 10

Makanan kecil n Ny. Sugiarti (6 orang) 280.000 10 Kelp. Bunga korsase c Ny. Paryati (6 orang) 270.000 10 RT 30 Kelp. Makanan kecil a

-angkringan

Ny. Mujiono (4 orang) 220.000 100.000-alat

10 RT 31 Kelp. Makanan kecil h Ny. Ngadino (10 orang) 900.000 10 Kelp. Bunga korsase d Ny. Kuat rahayu (7org) 430.000 10 Kelp. Bunga korsase f Nn. Menuk (10 orang) 515.000 10 RT 32 Kelp. Wrg. Makan

f-Warteg

Ny. Hariyani (5 orang) 450.000 50.000-alat

10 RT 33 Kelp. Makanan kecil

d-gorengan

Ny. Sadiran c (6 orang) 460.000 10 Usaha bengkel motor Sudarmanto (5 orang) 725.000 10 Sumber: Data Sekunder yang telah diolah, Tahun 2006

Berdasarkan tujuan program, pihak yang menerima dana bantuan sebagai stimulan, berkewajiban mengembalikan/mengangsur pinjaman tersebut sesuai dengan kemampuan dan sifat dana tersebut adalah bergulir atau disebut sebagai pinjaman modal bergulir (revolving fund).

Pelaksanaan program P2KP di kampung Jetisharjo, mengalami beberapa kendala sehingga bantuan yang diberikan belum menunjukkan hasil yang sesuai dengan tujuan program. Kendala-kendala tersebut meliputi: 1) kekurangan sosialisasi program sehingga berdampak dalam pembentukan kelompok terkesan asal-asalan. Ternyata anggota kelompok yang dibentuk, mayoritas tidak memiliki latar belakang usaha; 2) istilah ”bantuan” dimaknai oleh masyarakat sebagai pemberian cuma-cuma, sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan, dan; 3) tenaga pendamping bagi penerima bantuan kurang profesional dalam hal pengelolaan usaha dan manajemen praktis, sehingga berdampak pada kemacetan pengembalian bantuan maupun keberlangsungan usaha.

Lebih dari satu dasawarsa sejak krisis moneter tahun 1997, dampak krisis tersebut masih sangat terasa. Krisis yang berkepanjangan berimplikasi terhadap penurunan derajad hidup rakyat. Pengangguran dan kemiskinan adalah akibat langsung dari banyaknya badan usaha yang pada saat itu, ingin survive kemudian

melakukan rasionalisasi pegawai secara besar-besaran, juga akibat dari banyaknya badan-badan usaha yang terpaksa gulung tikar dan mengalami kebangkrutan. Menurut Data BPS, jumlah penduduk miskin di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2005 mencapai 638 ribu jiwa (Biro Pusat Statistik, 2005). Banyaknya jumlah penduduk miskin berpengaruh terhadap kualitas hidup maupun daya beli masyarakat. Kondisi masyarakat yang semakin terpuruk ini menggambarkan situasi darurat yang memerlukan penanganan segera. Untuk memotong lingkaran kemiskinan tersebut, diperlukan perhatian dan intervensi Pemerintah. Situasi ini mengilhami lahirnya kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS merupakan program pertolongan atau penyelamatan bagi masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomis, dan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti: pendidikan dan kesehatan (Sulistiyani, 2004).

Selanjutnya Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan program kompensasi dana untuk rakyat miskin akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun 2005. Secara filosofi, tujuan program memiliki kesamaan dengan program JPS yaitu untuk menyelamatkan rakyat dari deraan krisis. JPS bersifat darurat, sedang BLT bersifat bantuan murni yang langsung diterima masyarakat. Pihak penerima bantuan tidak memiliki konsekuensi menggulirkan dana kepada pihak lain.

Mayoritas penduduk Jetisharjo (60%) bekerja sebagai buruh, sehingga termasuk dalam golongan yang berhak menerima dana BLT. Program BLT sebagi bentuk upaya mengatasi gejolak dampak kenaikan harga BBM, memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1) dalam penyaluran ke masyarakat mengalami kesulitan, karena data yang dipergunakan Pemerintah bersumber dari data makro hasil survei BPS Nasional. Sedangkan untuk penyaluran dibutuhkan data mikro, yang secara lengkap dan jelas menunjukkan nama dan alamat penerima. Data mikro belum tersedia secara baik sehingga menimbulkan kesulitan bagi pelaksana di lapangan dan menimbulkan kerancuan bagi calon penerima bantuan; 2) program BLT ”kurang mendidik.” Masyarakat memaknai bantuan tersebut sebagai pemberian cuma-cuma karena masyarakat tidak dibebani kewajiban untuk mengembalikan. Kondisi ini berbeda dengan program-program yang ada

sebelumnya, dimana bantuan yang dikucurkan pemerintah hanyalah sebagai stimulan.

Proses pembangunan yang dilakukan Pemerintah selama ini cenderung bersifat top down. Masyarakat tidak dilibatkan dari proses awal perencanaan hingga pelaksanaan. Hal ini membuat masyarakat merasa hanya sebagai objek pembangunan. Apa yang telah dibangun pemerintah bukan merupakan kebutuhan utama di lingkungan mereka, akibatnya masyarakat tidak merasa memiliki dan tidak bertanggungjawab terhadap apa yang telah diberikan oleh pemerintah tersebut. Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan wewenang Kepala Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri dan aspirasi masyarakat.

Program Penataan dan Rehabilitasi Pemukiman (P3P) diberikan bagi masyarakat miskin di daerah perkotaan, sebagai akibat menjamurnya pemukiman-pemukiman kurang layak huni. Bidang perumahan dan pemukiman-pemukiman tidak dapat dilihat sekedar permasalahan fisik, namun harus dikaitkan dengan masalah lain, seperti: masalah sosial, ekonomi, budaya, keharmonisan antar warga serta keberlanjutan program.

Maksud dari Program P3P adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di perkampungan perkotaan, melalui penataan kembali lingkungan perumahan yang tidak/kurang layak huni. Tujuan program P3P adalah mewujudkan kawasan pemukiman menjadi lebih layak huni, lebih tertib, tertata dan terencana, sebagai bagian dari kawasan perkotaan, mendorong percepatan peningkatan kepedulian serta kemampaun swadaya masyarakat di bidang perumahan dan pemukiman secara berdayaguna dan berhasil guna.

Sasaran program adalah tercapainya masyarakat yang mandiri memenuhi kebutuhan akan rumah layak dalam lingkungan sehat, tertib dan terencana, dan melembaganya pembangunan perumahan dan pemukiman menjadi gerakan yang mengakar pada karsa masyarakat (Ditjen. Perkim, 2001).

Program P3P menggunakan pendekatan yang disebut TRIBINA. Berdasarkan pengalaman yang ada, pemerintah merubah paradigma pembangunan dan cenderung lebih akomodatif, dengan penyelenggaraan yang lebih banyak

melibatkan masyarakat, sehingga paradigma pembangunanpun bergeser dari “Tribina” menjadi “Tridaya.” Konsep “Tridaya” mencakup: 1) memberdayakan masyarakat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan; 2) mendayagunakan sarana dan prasarana fisik; dan 3) memberdayakan usaha ekonomi (Ditjen. Perkim, 2001).

Komponen utama P3P meliputi: 1) penyiapan masyarakat yang selama ini dikenal dengan nama bina manusia, saat ini diperkenalkan dengan sebutan baru pemberdayaan sosial kemasyarakatan; 2) rehabilitasi, peningkatan atau penyediaan prasarana dan sarana primer (berskala lokal/pemukiman), yang diperkenalkan dengan sebutan pendayagunaan sarana dan prasarana (dulu bina lingkungan), yang dilaksanakan berdasarkan cap (community action plan) berjangka lima tahunan; 3) bantuan bergilir atau penyediaan sarana usaha untuk pengembangan kegiatan usaha ekonomi lokal, diperkenalkan dengan sebutan pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi (dulu Bina Usaha).

Di Yogyakarta, kegiatan penataan kawasan kumuh sepanjang bantaran sungai Code lebih terkonsentrasi di bagian tengah dan selatan. Untuk meningkatkan keberhasilan penataan serta untuk mengurangi kesenjangan pembangunan, maka kegiatan yang sama perlu dilakukan di wilayah bagian utara (Ditjend Perkim, 2001). Kegiatan-kegiatan fisik P3P yang telah dilaksanakan di bantaran sungai Code meliputi pekerjaan, antara lain: 1) air bersih, kegiatan yang dilakukan adalah pengadaan pipa dan water meter, resevoir, bak air, rumah pompa, pengadaan pompa, pengadaan sambungan rumah (SR). Pembangunan jalan setapak dengan coneblock; 2) persampahan, seperti pengadaan gerobak sampah; 3) saluran drainase, seperti pembangunan/pengadaan saluran drainase. Adanya program P3P dapat memberikan manfaat secara fisik, sosial dan budaya. Secara keseluruhan wilayah di wilayah bantaran sungai Code ini lebih tertata, dan bersih terlihat sebagai suatu lingkungan pemukiman yang layak huni dan masyarakat semakin tinggi tingkat kesadarannya dalam menjaga lingkungan yang telah diperbaiki.