• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Variasi respon pertumbuhan dan regenerasi kalus pada media dasar terseleksi ditemukan dalam kultur antera anturium pada level in vitro. Variasi tersebut terlihat dengan ditemukannya kalus yang tumbuh cepat dan mudah diregenerasi membentuk tunas, terdapat juga kalus tumbuh lambat dan sulit diregenerasi membentuk tunas. Terdapat tunas dengan akar yang banyak, juga tunas dengan sedikit atau tanpa akar. Variasi morfologi dan tipe pertumbuhan tanaman ternyata juga ditemukan pada tanaman yang telah teradaptasi dan tumbuh di lingkungan rumah kaca. Variasi tersebut terlihat dari pola pertumbuhannya; ada tidaknya anakan; bentuk dan ukuran daun; bentuk, ukuran dan warna spate- spadiknya. Variasi tersebut baik level in vitro maupun ex vitro mengindikasikan adanya variasi ploidi dan karakter yang berbeda. Oleh karena itu evaluasi sitologi pada level in vitro dan ex vitro regeneran dan evaluai fenotipe dilakukan untuk mengetahui keragaman ploidi pada regeneran hasil kultur antera anturium.

Jumlah kromosom dari 95 species yang berbeda pada anturium telah dilaporkan. Itu berarti sekitar 15% dari species yang telah diketahui. Kisaran jumlah kromosom bervariasi dari 2n = 24 hingga 66 dengan 30 merupakan jumlah yang umum ditemukan (Sheffer dan Croat, 1983). Dari hasil penelitian mereka juga diketahui bahwa jumlah kromosom somatik membentuk empat seri poliploid dari 20-40-60, 24-48-84, 28-56 dan 30-60-90- hingga 124. Kromosom tersebut umumnya terdiri dari 4 kromosom metasentrik atau sub-metasentrik besar, 2 kromosom akosentrik besar, 2 kromosom satelite dan 22 kromosom yang lebih kecil (Marutani et al., 1993).

Jumlah kromosom somatik Anturium andreanum yang telah dilaporkan ialah 2n = 30 dan 32. Pada studi karyotipe A andreanum cv. Kaumana dan cv. Uniwai memperlihatkan bahwa kromosom kedua kultivar tersebut terdiri ata 4 kromosom metasentrik yang besar, 2 kromosom satelit besar yang sebanding dan 24 kromosom yang lebih kecil (Kaneko dan Kamemoto, 1978). Namun menurut

Marutani et al. (1993) A andreanum cv. Uniwai memiliki jumlah kromosom 2n = 30, yang terdiri atas 4 kromosom metasentrik atau sub-metasentrik yang besar, 2 kromosom akosentrik besar yang sebanding, 2 kromosom satelit dan 22 kromosom yang kecil (Gambar 24) dan kromosom akosentrik sebagai pasangan besar kedua yang bersifat spesifik. Sedangkan pada sel induk polen pada tahap prometafase I untuk seluruh takson, kromosom berjumlah 15 pasang (Marutani et al., 1993).

Gambar 24. Susunan kromosom somatik pada A. andreanum cv. Uniwa, 2n = 30. Susunan kromosomnya terdiri dari 4 kromosom metasentrik besar, 2 kromosom akosentrik yang sebanding, 2 kromosom satelit dan 22

kromosom yang berukuran lebih kecil (Marutani et al., 1993).

Analisis sitologi kromosom pada tanaman ini umumnya dilakukan menggunakan teknik penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar yang sedang aktif berkembang (Marutani dan Kamemoto, 1983; Marutani et al., 1993). Metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar menurut Marutani et al. (1993), Sastrosumardjo ( 2006), Darnaedi (1991) dan McClintock (1929) merupakan metode baku yang memberikan hasil maksimal dalam studi kromosom. Namun kesesuaiannya untuk regeneran hasil kultur antera anturium belum pernah diteliti. Komparasi beberapa metode baku dan modifikasinya dipelajari untuk mengetahui tingkat kesesuaian dengan donor anturium. Pada skala laboratorium, teknik baku ini juga telah berhasil diaplikasikan untuk mengetahui jumlah ploidi regeneran hasil kultur antera anturium (Rachmawati, 2005). Teknik lain yang juga dapat digunakan pada skala in vitro ialah penghitungan jumlah kromosom pada kalus dan daun muda (Fukui, 1996), tetapi teknik ini belum pernah diaplikasikan pada kalus dan eksplan hasil kultur antera anturium. Karena itu evaluasi beberapa donor untuk pewarnaan kromosom diuji dalam penelitian ini.

Metode lain yang diaplikasikan untuk menentukan level ploidi ialah metode secara tak langsung. Metode tersebut diantaranya ialah penghitungan jumlah klorop las dalam sepasang sel pelindung stomata, rasio panjag lebar stomata, daun, panjang bunga, dan panjang petal (Santos and Handro, 1983; Jacobs and Yoder, 1989; Singsit and Ozias-Akins, 1992; Qin and Rotino, 1995; Sari et. al., 1999; Beck et al., 2003). Beberapa metode tak langsung ini ternyata juga memberikan hasil yang valid dalam menentukan level ploidi pada beberapa tanaman, namun belum pernah dilaporkan pada anturium. Studi komparasi beberapa metode estimasi ploidi tak langsung dilakukan untuk mengetahui tingkat akurasinya dalam penentuan ploidi regeneran hasil kultur antera anturium.

Karakterisasi tanaman merupakan salah satu aktivitas penting dalam mempersiapkan tanaman untuk kepentingan koleksi, pelestarian dan pemuliaan (Sabran et al., 2003; Kartikaningrum et al., 2004). Karakterisasi berarti mengamati, mengukur, mendokumentasikan dan mengevaluasi adanya perbedaan dan persamaan ciri organ-organ tanaman untuk memudahkan dalam membedakan antara satu tanaman dengan yang lain (Solvia et al., 2004). Karakterisasi juga berarti mengenal perbedaan morfologi dan kualitas tanaman (Bermawie et al., 2002) dengan panduan yang telah baku dan diakui keberadaannya. Pada anturium, karakterisasi dilakukan menggunakan panduan UPOV yang telah diadaptasikan untuk anturium di Indonesia. Karakterisasi tanaman hasil kultur antera anturium diharapkan dapat menunjukkan keunikan karakter yang dimiliki tanaman tersebut Penelitiaan pada tahap evaluasi regeneran hasil kultur antera anturium bertujuan untuk mengetahui (1) kesesua ian beberapa metode pewarnaan kromosom dan modifikasinya terhadap kualitas hasil pewarnaan kromosom, (2) donor yang sesuai untuk pewarnaan kromosom, (3) tingkat akurasi beberapa metode penentuan ploidi tak langsung dalam penentuan level ploidi anturium, dan (4) keragaman morfologi dan variasi karakter tanaman hasil kultur antera anturium. Dari tujuan 1, 2, dan 3 rasio ploidi regeneran hasil kultur antera anturium in vitro maupun ex vitro dapat diketahui. Hipotesis yang diajukan ialah (1) minimal terdapat satu metode pewarnaan kromosom yang efektif dan berkulitas untuk anturium, (2) minimal satu donor yang sesuai untuk pewarnaan

kromosom, (3) terdapat satu metode penentuan level ploidi tak langsung dengan tingkat akurasi yang tinggi, dan (4) tersedia data variasi morfologi dan karakter tanaman hasil kultur antera anturium.

Bahan dan metode

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah kalus, daun muda, dan variasi akar hasil kultur in vitro dan ex vitro. Bahan penunjang yang digunakan ialah larutan yodium 10%, aceto-orcein 2%, 1 N HCl, 45% asam asetat, 0002 M hidroksiquinolin (Lampiran 43).

Pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi eksplan tingkat laboratorium

Jenis eksplan dan metode pewarnaan kromosom terhadap kualitas hasil pewarnaan kromosom.

Pada percobaan 21, terdapat tiga jenis donor yang diuji dan digunakan yaitu: (1). kalus, (2) daun muda dan (3) ujung akar. Metode pewarnaan kromosom yang digunakan ialah (1) modifikasi metode Fukui (1996) untuk kalus dan daun muda dengan 2% aceto-orcein (Lampiran 35 dan 36), (3) metode pewarnaan kromosom pada ujung akar menurut Darnaedi (1991) (Lampiran 37).

Perbedaan jenis akar hasil pengakaran in vitro terhadap kualitas hasil pewarnaan kromosom.

Pada percobaan 22, tiga jenis akar yang berbeda yang digunakan ialah (1) akar udara (akar yang tumbuh pada ruang udara atau di atas media pertumbuhannya), (2) akar yang tumbuh didalam medium tanpa penambahan arang aktif, dan (3) akar yang tumbuh pada medium yang ditambahkan arang aktif (Gambar 25). Metode pewarnaan kromosom menurut Darnaedi (1991) dengan pemanasan ujung akar pada 1N HCl : 45% asam asetat (3:1, v/v) selama 10 menit dan perlakuan aceto-orcein selama 15 menit.

Tipe akar 1 (panah merah) Tipe akar 3 Tipe akar 2 (panah hijau)

Gambar 25. Tiga tipe akar yang digunakan evaluasi sitologi

Pada kedua percobaan, tiap perlakuan terdapat 50 sampel yang diuji dan tiap sampel terdapat 1-3 akar yang dianalisis dan diamati. Pangambilan gambar dilakukan sesuai kebutuhan. Penghitungan jumlah kromosom dilakukan menggunakan Stereo Mikroskop Photophop (NikonT M) pada perbesaran 400 dan 1000x. Hitung jumlah kromosom pada beberapa sel dan dilakukan pengembilan gambar seperlunya. Rasio ploidi hasil pewarnaan dihitung berdasarkan jumlah variasi ploidi dibagi jumlah total sampel yang diamati.

Pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi tingkat rumah kaca

Percobaan 23 adalah pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi tingkat rumah kaca. Akar yang aktif tumbuh dipanen dan dugunakan sebagai donor eksplan. Akar selanjutnya dicuci bersih dengan air. Tudung akar selanjutnya dibuang menggunakan pisau kultur. Ujung akar selanjutnya dibelah secara memanjang dari ujung menuju ke pangkal sepanjang 0.5 cm. Perlakuan selanjutnya dilakukan mengikuti metode pewarnaan yang telah dioptimasi untuk akar anturium (Modifikasi Darnaedi 1991). Teknik lain yang diaplikasikan dalam pewarnaan kromosom adalah modofikasi Sharma dan Sharma (1994) dengan waktu perendaman ujung akar dalam 1 N HCl selama 120 detik. Ujung akar yang telah dipanen dan dibersihkan dibuang tudung akarnya. Potong ujung akar ± 1.0

mm panjangnya. Ujung akar kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi larutan 1N HCl dan dipanaskan dalam air bersuhu 60ºC selama 120 detik. Ambil ujung akar dan masukkan dalam arutan aseto-orsein 2% selama 1 jam. Setelah pengecatan pindahkan ujung akar diatas kaca obyek, tetesi dengan 1-2 tetes larutan aseto-orsein baru, tutup dengan kaca penutup dan pencet dengan ibu jari hingga terbentuk lapisan tipis satu sel akar. Tutup tepi kaca penutup dengan entelan untuk menjaga stabilitas spesimen hasil pewarnaan. Amati hasil pewarnaan menggunakan mikroskop Labophot II Nikon pada perbesaran 400 dan 1000x. Hitung jumlah kromosom pada beberapa sel dan dilakukan pengembilan gambar seperlunya. Rasio ploidi hasil pewarnaan dihitung berdasarkan jumlah variasi ploidi dibagi jumlah total sampel yang diamati.

Komparasi variasi metode estimasi ploidi tak langsung

Penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar

Penghitungan jumlah kromosom ujung akar dilakukan menggunakan metode pewarnaan arseto-orcein (Sharma dan Sharma, 1994) yang dimodifikasi perlakuan 1 N HCl dan aseto-orcein-nya. Ujung akar yang aktif tumbuh dipanen pada pagi hari antara jam 08.00 s/d 10.00 WIB. Tudung akar dibuang menggunakan pisau kultur, kemudian dipotong ± 1 mm. Potongan ujung akar ini selanjutnya dimasukkan dalam larutan 1 N HCl dalam penangas air bersuhu 60ºC selama 2 menit. Sampel direndam dalam larutan 2% arseto-orcein selama ± 1.5 jam pada suhu ruangan. Potongan yang telah diwarnai diambil dan diletakkan di atas gelas obyek, tetesi dengan 1-2 tetes larutan arseto-orcein yang baru, tutup dengan kaca penutup dan pencet menggunakan ibu jari hingga sel-sel ujung akar tersebar merata dan tipis. Kaca penutup dikeringkan dengan kerta tisu dan ditutup dengan entalan agar tidak mudah mongering. Preparat kemudian diamati dibawah mikroskop pada perbesaran 400 dan 1000x untuk pengamatan dan pengambilan gambar.

Penghitungan jumlah kloroplas pada sepasang sel pelindung stomata, pengukuran rasio panjang-lebar stomata dan penghitungan jumlah stomata per stuan luas (mm2).

Penghitungan jumlah kloroplas pada sepasang sel pelindung stomata dilakukan dengan membuat irisan tipis epidermis daun bagian bawah menggunakan pisau kultur atau silet. Letakkan irisan tipis daun diatas kaca obyek yang telah ditetesi dengan 10-15% larutan yodium. Tutup irisan daun + larutan yodium dengan kaca penutup dan biarkan selama 10-15 menit sebelum pengamatan. Pengamatan jumlah kloroplas dilakukan dibawah mikroskop pada perbesaran yang sama. Irisan tipis daun yang diberi perlakuan dengan larutan yodium ini juga digunakan dalam pengukuran, rasio panjang- lebar stomata, dan jumlah stomata per satuan luas (mm2). Pada rasio panjang- lebar stomata dihitung dengan membagi hasil pengukuran panjang dengan lebarnya. Pengukuran stomata dilakukan menggunakan mikrometer okuler yang telah terkalibrasi dengan mikrometer obyektifnya (factor kalibrasi – fk).

Penghitungan jumlah mikrospora dalam kotak antera

Penghitungan jumlah mikrospora dilakukan dengan melakukan isolasi antera dari spadik. Antera selanjutnya diletakkan dalam eppendorf (1.5 ml) yang telah diisi dengan 1-2 tetes air destilasi (3-5 antera), kemudian digerus secara perlahan menggunakan batang plastic hingga seluruh mikrospora keluar dari kotak antera. Mikrospora selanjutnya dipipet dan diletakkan diatas kotak hitung haemasitometer. Tambahkan sedikit larutan arseto-orcein untuk mempermudah penghitungan mikrospora dan tutup dengan kaca penutup. Pengamatan dan penghitungan mikrospora dilakukan di bawah mikroskop pada perbesaran 100 hingga 400x. Jumlah mikrospora yang tersebar dihaemasitometer dihitung pada 5 kotak besar yang dipilih secara acak. Jumlah mikrospora dalam 5 kotak dijumlahkan kemudian dikalikan dengan 2000 untuk mendapatkan kepadatannya. Nilai kepadatan ini merupakan kepadatan untuk 3-5 antera, selanjutnya untuk menentukan jumlah per antera, data jumlah total dibagi dengan jumlah antera yang digerus.

Pengukuran rasio panjang-lebar daun

Rasio panjang-lebar dihitung dengan mengukur panjang daun dan lebar daun dan membagi hasil pengukuran panjang dengan lebarnya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris pada semua daun dalam tiap sampel tanaman.

Seluruh data pengamatan, pengukuran dan perhitungan yang diperoleh dalam studi ini selanjutnya dianalisa regresi dan korelasinya menggunakan SAS Release Window 6.12 untuk mengetahui arah dan korelasinya. Data hasil penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar merupakan data dasar yang digunakan sebagai pembanding bagi data pengamatan hasil metode uji yang lain. Sebaran data, grafik dan persamaan-nya disajikan pada setiap uji korelasi antar 2 metode yang digunakan dalam penelitian ini. Korelasi antara 2 metode uji ploidi dinilai berdasarkan nilai interval koefisiennya sebagai berikut: 0,00 – 0,199 àsangat rendah, 0,20 – 0,399 à rendah, 0,40 – 0,599 sedang, 0,60 – 0,799 à kuat, dan 0,80 – 1,000 à sangat kuat.

Keragaman morfologi tanaman

Semua tanaman yang menunjukkan variasi morfologi yang berbeda (ukuran tanaman; bentuk dan ukuran daun; bentuk warna, ukuran spate dan spadik yang berbeda) dipilih dan digunakan dalam penelitian ini. Tanaman terpilih ini selanjutnya dikarakterisasi berdasarkan UPOV TG/86 revisi tahun 2008 yang telah diadaptasikan untuk tanaman anturium yang ada di beberapa sentra tanaman hias (Cipanas-Cianjur, Cihideung-Lembang, Bandungan-Ambarawa, Tawangmangu dan Selekta Malang) untuk mengetahui variasi morfologi pada beberapa karakter yang dimilikinya. Beberapa karakter spesifik yang menarik dan berbeda didokumentasikan menggunakan kamera Nikon D40X.

Data hasil karakterisasi selanjutnya ditabulasikan, beberapa karakter spesifik dimunculkan dan dibandingkan untuk kajian pembahasan lebih lanjut.

Hasil

Pewarnaan kromosom dan deteksi ploidi eksplan tingkat laboratorium

Hasil pewarnaan kromosom menunjukkan bahwa penggunaan kalus dan daun muda sebagai sumber eksplan, tidak memberikan hasil pewarnaan yang baik. Pada sel-sel kalus tidak ditemukan kromosom yang sedang mengalami mitosis. Sel hasil pewarnaan terlihat adanya titik-titik ungu yang bervariasi jumlahnya (Gambar 24A). Meski kemungkinan titik-titik ungu tersebut ialah kromosom yang memendek ukurannya, tetapi hasil pewarnaan tersebut kurang memberi kepastian. Hasil yang sama juga ditunjukkan pada eksplan daun muda. Sel dengan kromosom yang jelas juga tidak ditemukan (Gambar 26B). Sel dengan kromosom yan agak jelas dengan peluang yang lebih banyak hanya ditemukan pada ujung akar sebagai sumber eksplannya (Gambar 26C).

Gambar 26. Hasil pewarnaan kromosom pada eksplan yang berbeda.

A. Kalus, B. Daun muda, C. Ujung akar. Panah hitam = mosaik kromosom

Kalus dan daun muda tidak sesuai digunakan sebagai sumber eksplan untuk pewarnaan kromosom. 100% sel tidak menghasilkan pewarnaan kromosom yang baik (Tabel 40). Meski peluang menemukan sel dengan kromosom yang agak jelas hanya mencapai 30% dari total eksplan yang diamati, tetapi hasil ini menunjukkan potensi yang lebih baik dibanding dua eksplan yang lain. Hasil yang belum maksimal mungkin dipengaruhi oleh belum maksimalnya seri perlakuan yang ada dalam metode pewarnaan kromosom. Oleh karena itu perbaikan atau

modifikasi metode uji kromosom menggunakan ujung akar perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Selanjutnya dari 15 sampel yang berhasil diamati 5 sampel ialah haploid dan sisanya ialah diploid (Tabel 41).

Tabel 40. Pengaruh sumber eksplan yang berbeda terhadap keberhasilan penghitungan jumlah kromosom.

==========================================================

Jenis eksplan Kategori hasil pewarnaan kromosom

--- Sel tanpa Sel + kromosom Sel + Kromosom Sel + kromosom Kromosom tidak jelas dan agak jelas dan jelas dan mudah sulit dihitung dapat dihitung dihitung

--- Kalus 50 (100%) - - -

Daun muda 50 (100%) - - - Ujung akar 15 (30%) 20(40%) 15 (30%) -

===========================================================

Tabel 41. Variasi level ploidi pada sampel yang dapat dihitung jumlah kromosom. ===========================================================

Jenis eksplan Level ploidi

--- Haploid Diploid Triploid Tetraploid ---

Kalus - - - -

Daun muda - - - -

Ujung akar 5 10 - -

===========================================================

Tidak semua jenis akar hasil kultur in vitro sesuai sebagai sumber eksplan dalam pewarnaan kromosom. Akar yang ditanam pada medium yang mengandung 1 % arang aktif merupakan akar yang sesuai untuk pewarnaan kromosom. Akar jenis tersebut umumnya lunak, memiliki daerah ujung akar aktif tumbuh yang lebih panjang, berwarna kuning, mudah d ifiksasi, d imaserasi dan diwarnai dengan aceto-orcein. Persentase keberhasilan pewarnaan kromosom berkisar 12-46% dari total sampel yang digunakan dengan nilai rata-rata mencapai 33.4% (Tabel 42). Hasil terbaik berikutnya ditemukan pada akar udara dengan rata-rata persentase keberhasilan mencapai 2%.

Tabel 42. Pengaruh tipe akar terhadap keberhasilan pewarnaan kromosom

==========================================================

Tipe akar Kategori hasil pewarnaan kromosom

--- Sel tanpa Sel + kromosom Sel + Kromosom Sel + kromosom Kromosom tidak jelas dan agak jelas dan jelas dan mudah sulit dihitung dapat dihitung dihitung

--- Akar udara 44.3 (88.7%) 4.0 (8.0%) 1.7 (3.3%) - Akar ? arang 50.0 (100 %) - - - aktif Akar + arang 16.7 (33.4%) 16.7 (33.4%) 13.0 (26.0%) 3.7 (7.4%) aktif ===========================================================

Akar yang tumbuh dalam medium tanpa 1% arang aktif merupakan jenis eksplan yang tidak sesuai untuk pewarnaan kromosom. Akar jenis tersebut sedikit atau tidak memiliki area yang aktif tumbuh pada bagian ujungnya dan menjadi keras ketika mengalami proses pewarnaan. Akibatnya baik proses fiksasi, maserasi sel hingga pewarnaannya tidak berjalan dengan baik. Jika ada yang dapat terproses dengan baik umumnya menghasilkan sel-sel yang kosong dan kromosom tidak ditemukan. Kondisi inilah yang pada akhirnya menyebabkan proses penghitungan kromosomnya tidak berhasil.

Jumlah total sampel yang berhasil dihitung jumlah kromosomnya ialah 53 sampel. Dari jumlah tersebut 18 (33.9%) ialah haploid, 32 (60.4%) diploid dan 3 (5.7%) triploid (Tabel 43). Kisaran jumlah kromosom pada eksplan yang haploid antara 15 - 20 dengan rata-rata 17 ± 2.6 kromosom per sel, pada eksplan diploid antara 28 - 34 dengan 31 ± 2.8 kromosom per sel, sedangkan pada eksplan triploid antara 45 – 53 dengan rata-rata 49 ± 4.2 kromosom per sel. Variasi jumlah kromosom tersebut diduga sebagai akibat aktivitas mitosis yang cepat dan tidak seimbang. Meskipun rasio level ploidi eksplan belum mampu memberikan gambaran yang sesungguhnya terhadap variasi ploidi regeneran yang dihasilkan dari kultur antera anturium, tetapi hasil ini menunjukkan bahwa variasi ploidi ditemukan dalam kultur antera anturium.

Tabel 43. Variasi dan rasio level ploidi pada akar udara dan akar yang tumbuh dalam medium dengan arang aktif sebagai sumber eksplan

===========================================================

Jenis eksplan Level ploidi

--- Haploid Diploid Triploid Tetraploid ---

Akar udara 1 4 - -

Akar + arang aktif 17 28 3 -

---

Jumlah total 18 32 3 -

===========================================================

Pewarnaan kromosom dan evaluasi ploidi tingkat rumah kaca

Dari sampel berhasil dihitung jumlah kromosomnya diketahui terdapat adanya variasi ploidi pada tanaman hasil kultur antera anturium. Pada penghitungan jumlah kromosom menggunakan modifikasi Darnaedi (1991) dari 93 sampel yang berhasil dihitung jumlah kromosomnya, 21 sampel (22.5%) adalah haploid, 68 sampel (73%) diploid dan 4 sampel (4.3%) triploid (Tabel 44). Sementara pengitungan jumlah kromosom berdasarkan modifikasi Sharma dan Sharma (1994) dari 88 sampel, 20 (22.7%) adalah haploid, 66 (75.0%) diploid dan 2 (2.3%) triploid.

Tabel 44. Variasi level ploidi pada sampel berhasil dihitung jumlah kromosomnya.

===========================================================

Metode Level ploidi

--- Haploid Diploid Triploid --- ---

Modifikasi Darnaedi (1991) 21 68 4

Modifikasi Sharma dan Sharma

(1994) 20 66 2

---

Total 46 111 5

Gambar 27. Hasil pewarnaan kromosom yang potensial digunakan untuk studi kariotipe (Rachmawati, 2005).

Beberapa gambar kromosom hasil pewarnaan menggunakan modifikasi Darnaedi (1991) (Gambar 27) menunjukkan potensi hasil pewarnaan untuk studi kariotipe. Perbaikan metode tersebut pada penelitian ke yang akan datang diharapkan dapat digunakan untuk studi kariotipe kromosom pada anturium. Sedangkan keberhasilan modifikasi metode Sharma dan Sharma (1994) untuk anturium ini dapat menjadi terobosan baru untuk mengembangkan metode pewarnaan kromosom yang lebih sesuai untuk penghitungan jumlah kromosom atau kariotipenya. Aplikasi modifikasi metode tersebut memerlukan waktu yang singkat, proses yang lebih sederhana dan kualitas pewarnaan yang baik (Gambar 28). Cepat karena aplikasinya hanya memerlukan waktu ± 1.5-2.0 jam, sementara metode sebelumnya memerlukan waktu 6-8 jam. Sederhana karena hanya meliputi 4 tahapan, yaitu: (1) pengambilan dan penyiapan sampel, (2) pelunakan menggunakan 1N HCl, (3) pewarnaan aceto-orcein dan (4) squashing, sementara metode sebelumnya melalui 6-8 tahapan.

Hasil evaluasi ploidi tingkat laboratorium dan rumah kaca me nunjukkan bahwa variasi pertumbuhan, morfologi dan karakter tanaman hasil kultur antera anturium juga menghasilkan tanaman dengan jenis ploidi yang berbeda. Rasio ploidi regeneran anturium hasil kultur antera anturium berkisar antara 22.5-33.9% adalah haploid, 60.4-75% diploid, dan 2.3-5.7% triploid.

Gambar 28. Variasi hasil pewarnaan kromosom menggunakan modifikasi metode Sharma dan Sharma (1994)

Komparasi metode estimasi ploidi tak langsung

Metode estimasi level ploidi tak langsung memberikan arah dan korelasi yang berbeda. Hampir semua kombinasi memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 30, 31, 32 dan 33). Dari lima metode tak langsung yang diuji, hanya terdapat 2 metode yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menentukan level ploidi tanaman hasil kultur antera, yaitu penghitungan jumlah kloroplas pada sepasang sel pelindung stomata dan jumlah mikrospora yang terdapat pada antera. Kepadatan stomata per mm2 epidermis daun dan rasio panjang lebar stomata memiliki korelasi yang sedang, sementara rasio panjang lebar daun memiliki korelasi yang paling rendah.

Penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata merupakan metode penentuan ploidi secara tak langsung yang memiliki tingkat kepercayaan yang paling tinggi dibanding metode yang lain. Koefisien korelasi antara metode ini dengan metode baku (penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar) mencapai 94.5% (R2=0.945). Regresi kedua metode ini bersifat positif (y=0.930x

+ 1.884) (Gambar 29), artinya setiap peningkatan nilai x (jumlah kromosom) berpengaruh terhadap meningkatnya nilai y (jumlah kloroplas). Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah kloroplas yang terdapat pada sel pelindung stomata dapat menjadi acuan yang valid dalam menentukan level ploidi tanaman hasil kultur antera anturium secara tidak langsung (Gambar 30).

Gambar 29. Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata.

Metode tak langsung lain yang memiliki korelasi yang tinggi ialah penghitungan jumlah mikrospora yang terdapat dalam antera. Korelasi metode ini dengan metode baku mencapai 81.3% (R2=0.813) (Gambar 31), regresinya sangat nyata (Lampiran 31) dan bersifat positif, artinya setiap peningkatan jumlah kromosom meningkatkan jumlah mikrospora. Koefisien korelasi kedua metode masih tergolong sangat kuat. Hal ini menunjukkan bahwa penghitungan jumlah mikrospora pada kotak antera menjadi metode penentuan le vel ploidi tak langsung kedua yang valid diaplikasikan pada anturium.

y = 0.930x + 1.884 r = 0.945 0 10 20 30 40 50 60 0 20 40 60 Jumlah kloroplas Jumlah kromosom

Gambar 30. Komparasi metode penhitungan jumlah kromosom dan jumlah kloroplas pada variasi ploidi tanaman hasil kultur antera

Gambar 31. Sebaran data, regresi dan korelasi antara metode penghitungan jumlah kromosom pada ujung akar dengan jumlah mikrospora per anteranya.

Dokumen terkait