• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Formula media dasar, teknik isolasi dan histologi merupakan salah satu hal mendasar yang diperlukan dalam pengembangan teknologi haploid pada anturium. Formula medium dasar khusus untuk kultur antera atau mikrospora pada anturium belum pernah dilaporkan. Beberapa medium dasar yang telah diaplikasikan dalam kultur jaringan anturium tidak selalu memiliki kesesuaian yang tinggi untuk pengembangan teknologi haploid. Teknik isolasi penting artinya terkait dengan pemilihan metode haploid yang sesuai dan akan dikembangkan pada anturium. Perbaikan medium terseleksi diperlukan untuk meningk atkan respon pembentukan kalus/embrio yang dihasilkan. Studi histologi penting eksistensinya, ketika kalus/embrio didahului pembentukannya oleh inisiasi kalus. Beberapa aspek penting tersebut diuraikan sebagai berikut.

Keberhasilan penerapan kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan tanaman, produksi bahan tanaman yang berkualitas, produksi metabolit sekunder, maupun sebagai alat dalam pengembangan bioteknologi tergantung pada med ium yang digunakan (George, 1993). Pertumbuhan eksplan memerlukan beberapa nutrien penting pada komposisi dan konsentrasi yang sesuai (Niedz dan Evens, 2004). Beberapa nutrisi penting yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang besar (disebut elemen makro) di antaranya ialah: nitrogen (N), kalium (K), kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg) dan sulfur (S). Sementara garam mineral yang diperlukan dalam jumlah kecil (disebut elemen mikro) diantaranya: besi (Fe), natrium (Na), klor (Cl), mangan (Mn), zeng (Zn), boron (B), kuprum (Cu), molybdenum (Mo) dan kemungkinan nikel (Ni). Kadang juga diperlukan kobal (Co) dan aluminium (Al) (Goerge, 1993; Goerge et al., 2008). Ditambah dengan bahan organik, vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh (ZPT) dan bahan lain disusun menjadi satu formula yang sesuai untuk tujuan yang diinginkan (Niedz dan Evens, 2004 dan 2007) dan respon spesifik eksplan yang dikultur (Aswath dan Biswas, 1999). Beberapa jenis eksplan/tanaman sensitif terhadap konsentrasi

senyawa makro tinggi, beberapa pada komponen mikro, vitamin atau pemberian ZPT tertentu (George et al., 2008).

Berbagai jenis formula media dasar, seperti: media Knop, White, Knudson, Nitsch dan Nitsch, Vacint dan Went, Murashige dan Skoog, N6, Chi dan Pool, Murashige dan Miller, dll. telah berhasil dikembangkan dalam kultur jaringan untuk berbaga i jenis tanaman (George, 1993; Mulyaningsih dan Nikmatullah, 2009). Namun medium Murashige dan Skoog (MS) (1962) merupakan salah satu komposisi atau formula media dasar yang sangat populer dan sesuai pada berbagai kultur jaringan tanaman (George, 1993). Medium ini diformulakan dengan memperhatikan konsentrasi tiap garam mineral yang menyusun medium.

Medium MS juga merupakan formula media dasar yang sering digunakan dalam kultur jaringan anturium, (Pierik et al., 1974; Pierik dan Steegmans, 1976; Kunisaki, 1980; Kuehnle et al., 1992; Hamidah et al., 1997; Chen et al., 1997; Teng, 1997; Martin et al., 2003; Joseph et al., 2003; Vargas et al., 2004); kemudian diikuti kemudian dengan medium Nitsch (Geier, 1986, 1987, 1988); dan medium Pierik (Kuehnle dan Sugii, 1991). Modifikasi media dasar tersebut dilakukan dengan meningkatkan dan menurunkan, menambahkan dan mengurangi kandungan garam mineral yang ada didalam media baik pada elemen makro (khususnya NH4NO3), mikro maupun vitamin (Kuehnle et al., 1992; Matsumoto et

al., 1996; Hamidah et al., 1997; Puchooa dan Sookun, 2003). Media-media tersebut umumnya digunakan untuk mengkultur organ atau eksplan somatik/vegetatif seperti daun, tangkai daun maupun bunga, spate, spadik maupun biji yang dikecambahkan secara in vitro baik pada Anturium andraeanum maupun

A. scherzerianum (Geier, 1990, Kamemoto dan Kuehnle, 1996; Aswath dan Biswas, 1999), untuk tujuan pembentukan kalus, tunas adventif maupun pembentukan embrio. Tetapi medium yang diformulakan secara khusus untuk kultur eksplan generatif seperti antera, mikrospora maupun ovul belum pernah dilaporkan.

Beberapa teknik isolasi antera dan/atau mikrospora yang sering diaplikasikan, yaitu: (1) pelepasan secara spontan, (2) homogenisasi dan filtrasi dan (3) teknik celah/pemotongan (Dixon, 1985; Dunwell, 1996). Teknik ketiga

merupakan teknik yang paling potensial dikembangkan dalam kultur antera anturium. Pada anturium isolasi langsung dengan memotong antera pada bagian ujung yang diikuti dengan penanaman langsung di atas media semi padat ternyata memberikan hasil pembentukan kalus yang paling potensial. Perbaikan teknik ini dapat dilakukan melalui pemberian perlakuan pada antera dan isolasi mikrospora pada medium semi padat. Perbaikan teknik isolasi juga dapat dilakukan dengan cara mengubah posisi aksplan saat dikultur pada media semi padat. Referensi pada kultur antera sangat terbatas, tetapi pada eksplan somatik memberikan hasil yang sangat signifikan. Posisi terlentang (Adaxial side down ) merupakan posisi yang sesuai untuk menginduksi eksplan dalam organogenesis dan pembentukan kalus, seperti dilaporkan pada anyelir (van Altvorst et al., 1992, Winarto, 2002), pada apricot (Perez-Tornero et al., 2000), pada anggrek (Chen dan Chang, 2000).

Jenis dan konsentrasi agar dalam kultur jaringan dilaporkan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan eksplan (Cardoso et al., 2007), kultur jaringan sel somatik lili dan sucorebutia (Scholten dan Pierik , 1998), mawar, cordyline dan homalomena (Podwyszynska dan Olszewski, 1995); kultur antera lili (Arzeta- Fernandez et al., 1997; Han et al., 1997), bunga matahari (Saji dan Sujatha, 1998), cyclamen (Ishizaka, 1998), kedelai (Cardoso et al., 2007), kultur ovul spatiphyllum (Eeckhaut et al., 2001) dan Allium cepa (Martinez, 2003). Pada studi pendahuluan gelrite merupakan jenis agar yang digunakan dalam pembentukan kalus, semenara aplikasi jenis dan konsentrasi agar yang lain belum pernah dilakukan.

Optimasi media dasar terseleksi umumnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan medium dalam menginduksi pembentukan kalus, embrio, maupun regenerasi eksplan yang dikultur. Optimasi tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara, diantaranya dengan (1) mengurangi kandungan garam mineral medium terseleksi, (2) menguji ulang media dasar terseleksi yang dikombinasikan dengan pemberian NH4NO3, (3) memvariasikan pemberian 2,4-D dengan TDZ, (4)

glutamin dan serin, (5) sukrosa dan glukosa pada kombinasi dan konsentrasi yang berbeda.

Medium MS dengan ½ kandungan garam mineral makro yang mengandung 1 g/l glycine, 60 g/l sukrosa merupakan medium induksi kalus yang optimal pada kultur anther asparagus (Woylin dan Nichols, 2003). Pada Trapa japonica, ½ MS yang ditambah 2.7 mM 2,4-D, 108.0 mM casein hydrolisat, dan 10.8 mM floroglusinol merupakan medium yang maksimum untuk induksi kalus (Hoque dan Arima, 2002). Medium ½ MS yang ditambah dengan 4 mg/l 2,4-D juga optimal untuk meningkatkan pembentukan kalus pada Bupleurum kaoi (Chen

et al., 2005). Selanjutnya pada kultur antera Prunus persica 10 ppm NH4NO3

sesuai untuk pembentukan kalus (Biggs dan Sherman, 1980). Pada Colocasia esculenta penurunan konsentrasi NH4NO3 dari 700 menjadi 200 mg/l

meningkatkan pembentukan kalus (Malamug et al., 1992). NH4NO3 pada 10.30

mM konsentrasi optimum untuk pembentukan kalus pada barley (Chauhan dan Kothari, 2004).

Keseimbangan kombinasi konsentrasi hormon dalam medium berpengaruh pada morfogenesis eksplan. Thangene et al. (1994) menemukan medium MS yang ditambah dengan 1.0 mg/l 2,4-D dan 0.5 mg/l BAP untuk induksi pembentukan embrio pada kultur antera bunga matahari. Pada tanaman yang sama, Coumans dan Zong (1995) menggunakan medium N6 yang mengandung 1.0 mg/l NAA dan 0.2 mg/l BA, kemud ian Saji dan Sujatha (1998) memanfaatkan 0.1 mg/l NAA dan 0.5 mg/l BA pada medium MS untuk pembentukan kalus. Pembentukan kalus pada kultur antera lili dilakukan pada medium N6 yang mengandung 2 mg/l 2,4-D (Arzeta-Fernandez et al., 1997). Pada kultur antera cyclamen, Ishizaka (1998) menemukan medium B5 yang ditambah dengan 0.1-1.0 mg/l NAA atau 1.0 mg/l 2,4-D untuk induksi kalus embriogenik.

Pemberian asam amino dalam medium seringkali juga diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas medium dalam inisiasi kalus. Pada kultur antera padi, 5 mM aspartat dan 5 mM glutamine pada medium B5 sesuai untuk meningkatkan efisiensi pembentukan kalus (Masaaki et al. 2000). Pemberian 200 mg/l glutamine pada medium ½ MS sesuai untuk kultur kalus Colocasia esculenta var. Esculenta

et al., 1991), 25 mg/1 asparagine dan glutamine pada medium DS untuk Sophora japonica dan Ailanthus glandulosa (Civínovádan Sladký, 1990).

Penambahan dan penurunan kombinasi konsentrasi sumber karbon juga ditemukan meningkatkan respon ekspla dalam pembentukan kalus. Pada kultur antera Linum usitatissimum 2.5% sukrosa dan 2.5% glukosa merupakan kombinasi konsentrasi sumber karbon yang paling efektif untuk induksi kalus (Rutkowska- Krause et al., 2003) Pemberian 9% atau 12% sukrosa meningkatkan pembentukan kalus pada Linum usitatissimum kultivar 'Lirina', 'Barbara' dan 'Szaphir' (Burbulis

et al., 2005), Peningkatan konsentrasi sukrosa dari 8 % menjadi 20% meningkatkan kemampuan Brassica napus ssp. oleífera dalam menginduksi pembentukan embrio (Dunwell dan Thurling, 1985). Aplikasi berbagai perlakuan tersebut diharapkan mampu meningkatkan kemampuan medium terseleksi pada kultur antera anturium dalam membentuk kalus.

Histologi dalam kultur antera atau mikrospora merupakan salah satu langkah penting yang perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi asal sel yang membentuk kalus, tunas adventif atau embrio yang proses pembentukannya didahului dengan inisiasi kalus (indirect organo atau embriogenesis) seperti yang dilaporkan pada Narcissus (Hussey, 1982), anggur (Altamura et al., 1992), kacang kedelai (Rodrigues et al., 2004), kubis (Zhao et al., 2006). Pada kultur antera anturium, asal sel pembentuk kalus pada setengah antera yang dikultur ada medium terseleksi juga belum diketahui. Tiga jenis sel berpotensi membentuk kalus, yaitu: sel mikrospora, jaringan dinding sel dan penghubung. Karena itu histologi dalam kultur antera anturium merupakan hal penting yang harus dilakukan untuk memastikan asal sel kalus.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa studi pembentukan kalus / embrio terdiri dari beberapa percobaan penting dengan tujuan yang berbeda. Percobaan – percobaan media dasar bertujuan untuk mendapatkan formula, melakukan modifikasi, seleksi dan optimasi medium dasar yang sesuai untuk pembentukan kalus/embrio. Percobaan teknik isolasi dan optimasinya bertujuan untuk mengetahui cara isolasi, menemukan posisi kultur antera, mendapatkan jenis dan konsentrasi agar yang sesuai untuk pembentukan kalus. Percobaan optimasi

medium terseleksi bertujuan untuk melakukan optimasi medium terseleksi melalui pengurangan kandungan garam mineral, menguji ulang mediu dasar dengan variasi konsentrasi NH4NO3, memvariasikan konsentrasi 2,4-D dengan TDZ, glutamin

dan serin, sukrosa dan glukosa yang berbeda untuk pembentukan kalus. Percobaan histologi bertujuan untuk mengungkap asal sel yang membentuk kalus.

Hipotesis yang diajukan ialah minimal terdapat satu formula medium dasar, metode isolasi, jenis dan konsentrasi agar, dan medium teroptimasi yang sesuai untuk pembentukan kalus pada kultur antera anturium. Mikrospora, dinding antera dan jaringan penghubung memiliki potensi untuk diinduksi membentuk kalus.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan di laboratorium kultur jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias pada bulan Agustus 2006 hingga Mei 2008. Anturium andreanum

kultivar Tropical yang ditanam pada polibag plastik (diameter 30 cm) pada campuran media arang sekam, humus bambu dan pakis (1:1:1, v/v/v) digunakan dalam penelitian ini. Spadik yang 50% pistilnya berada dalam kondisi reseptif optimal dipanen dari tanaman dan digunakan sebagai donor antera.

Spadik diletakkan di bawah air mengalir selama 0.5-1.0 jam, kemudian dipindahkan ke dalam larutan 1% benomil + bactomycin selama 30 menit dan dibilas dengan air destilasi beberapa kali hingga bersih. Setelah itu spadik direndam sambil digojok dalam larutan 2% natrium hipoklorida (NaOCl) + 5 tetes Tween 20 selama 5 menit kemudian pindahkan ke dalam larutan 1% NaOCl selama 10 menit dan dibilas dengan air destilasi steril hingga bersih (5-6x, @ 5 menit).

Prosedur isolasi antera dimulai dengan memotong spadik pada bagian transisinya. Spadik yang telah dipotong kemudian dibuka dan dibuang petal- petalnya secara hati- hati menggunakan pisau kultur. Antera yang telah terbuka dipotong melintang pada bagian tengahnya dan diberi perlakuan sesuai tujuan percobaan untuk kemudian ditanam pada medium yang diuji.

Media yang telah disiapkan, dimasak kemudian dituang ke dalam botol- botol kultur (± 30 cc per botol). Botol berisi media selanjutnya disterilk an dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 20 menit pada tekanan atmosfir 15 kPsi. Setelah botol disterilkan disimpan dalam rak-rak media dan siap digunakn pada hari berikutnya.

Formula , modifikasi, seleksi dan optimasi medium dasar

Formula , modifikasi dan seleksi medium dasar.

Percobaan 1, formula medium dasar awal yang dikembangkan ialah (1) MW-1, (2) MW-2, (3) MW-3 (Tabel 2). MW-3 yang berbasis medium MS dimodifikasi dengan menambahkan 50 ppm Cefotaxim (C) dan 2 mg/l asam panthotenat (P) menjadi MW-3 + C, MW-3+P dan MW-3+C+P. Dengan demikian terdapat 3 formula media dasar baru dan 3 formula media dasar modifikasi yang akan diuji dalam penelitian ini.

Optimasi formula mediun dasar

Percobaan 2, MW-1 diketahui merupakan formula medium dasar yang paling potensial untuk kultur antera anturium. MW-1 dioptimasi melalaui peningkatan atau penurunan konsentrasi komponen medium dasar dan penambahan atau pengurangan satu atau dua komponen medium dasar (Tabel 3). Formula media dasar baru yang dikembangkan ialah (1) MW-1, sebagai kontrol, (2) MWR-1, (3) MW R-2, dan (4) MWR-3.

Percobaan 1 dan 2 disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan. Tiap perlakuan berisi 4 botol, tiap botol berisi 5 antera, sehingga total antera yang dikultur tiap perlakuan ialah 80 antera.

Tabel 2. Formula medium dasar untuk pembentukan kalus

=========================================================== Komponen Formula media Winarto (MW, mg/l)

media --- MW-1 MW-2 MW-3 --- Elemen makro mg/l mg/l mg/l NH4NO3 550 650 825 KNO3 1250 1100 900 Ca(NO3)2.4H2O - 392.5 - MgSO4 180 195.3 195 CaCl2 300 - 220 NaH2PO4.H2O 200 - - KH2PO4 150 165 85 Elemen mikro mg/l mg/l mg/l H3BO3 5.7 6.2 6.2 KJ 0.65 - 0.83 MnSO4.H2O 15.5 2.85 16.9 ZnSO4.7H2O 7.5 5.35 10.6 Na2MoO4.2H2O 0.2 0.20 0.25 CuSO4.5H2O 0.02 0.025 0.025 CoCl2.6H2O 0.02 0.025 0.025 Na2EDTA.2H2O 37.3 37.3 37.3 FeSO4.7H2O 27.5 27.5 27.5 Vitamin mg/l mg/l mg/l Glycin - - 2.0 Myo- inositol 110.0 50.0 100.0 Asam nikotin - 0.5 0.5 Pyridoxin-HCl - 0.3 0.5 Thiamin-HCl 0.5 1.0 0.1 Hormon mg/l mg/l mg/l 2,4-D - - 0.1 NAA 0.01 0.2 - TDZ 0.5 - 0.5 BAP 1.0 0.5 - Kinetin - - 0.5 Sumber karbon g/l g/l g/l Sukrosa 30 30 60 ===========================================================

Tabel 3. Formula medium dasar yang dioptimasi untuk pembentukan kalus

=========================================================== Komponen Formula media Winarto dan Rachmawati (MWR, mg/l) media --- MW-1 MWR-1 MWR-2 MWR-3 --- Elemen makro mg/l mg/l mg/l mg/l NH4NO3 550 - - 750 (NH4)2SO4 - 750 500 - KNO3 1250 1300 1500 1750 Ca(NO3)2.4H2O - 250 300 250 MgSO4 180 195 215 200 CaCl2 300 50 - - NaH2PO4.H2O 200 195 150 150 KH2PO4 150 165 180 125 Elemen mikro mg/l mg/l mg/l mg/l H3BO3 5.7 5.6 4.75 4.75 KJ 0.65 0.65 0.55 0.45 MnSO4.H2O 15.5 15.5 14.75 12.5 ZnSO4.7H2O 7.5 7.5 6.5 6.5 Na2MoO4.2H2O 0.2 0.20 0.15 0.1 CuSO4.5H2O 0.02 0.02 0.015 0.01 CoCl2.6H2O 0.02 0.02 0.015 0.01 Na2EDTA.2H2O 37.3 37.3 37.3 37.3 FeSO4.7H2O 27.5 27.5 27.5 27.5 Vitamin mg/l mg/l mg/l mg/l Myo- inositol 110.0 125.0 130.0 125.0 Thiamin-HCl 0.5 0.65 0.75 0.55 Hormon mg/l mg/l mg/l mg/l 2,4-D - 0.75 0.75 - NAA 0.01 0.5 0.01 0.02 TDZ 0.5 2.0 1.0 1.5 BAP 1.0 - 1.0 0.75 Sumber karbon g/l g/l g/l g/l Sukrosa 30 30 30 30 =========================================================== Semua kultur antera diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 2 bulan. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan lama penyinaran 12 jam di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus terbentuk.

Parameter yang diamati dalam percobaan ini ialah (1) persentase antera membentuk kalus (PAMK, %), (2) jumlah antera yang membentuk kalus (JK), dan (3) skor pembentukan kalus (- s/d +++, dimana - - tidak ada kalus, + - sedikit kalus, kurang dari 25% dari total eskplan, ++ - kalus agak banyak, 25-50% total eksplan, +++ - kalus banyak, >50% total eksplan). Pengamatan dilakukan 2.5 bulan setelah kultur inisiasi. Pengamatan dilakukan 2.5 bulan setelah kultur awal.

Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.

Teknik isolasi dan optimas inya

Pengaruh teknik isolasi dan jenis agar terhadap pembentukan kalus

Pada percobaan 3 ini beberapa teknik isolasi dan jenis agar diuji. Teknik isolasi (TI) yang dikembangkan ialah: (1) setengah antera bagian ujung tanpa diberi perlakuan penekanan kotak antera untuk mengeluarkan sebagian mikrospora yang ada di dalamnya (TI-1), setengah antera bagian ujung yang diberi perlakuan (TI-2), dan kultur mikrospora 5.000-10.000 sel (TI-3). Sementara jenis agar (JA) yang diuji ialah (1) Gelrite (JA-1, 1.5 g/l), (2) Phytagel (JA-2, 2.5 g/l) dan (3) agar Swallow (JA-3, 6 g/l). Formula medium dasar yang digunakan ialah MWR-3 + 30 g/l sukrosa. Media ini dalam pembuatannya ditambah dengan 30 g/l sukrosa dan diatur pHnya pada 5.8.

Pengaruh posisi kultur antera dan media induksi terhadap pembentukan kalus

Percobaan 4, posisi kultur antera yang diuji dalam penelitian ini ialah (1) telungkup (Pos-1), (2), terlentang (Pos-2) dan (3) berdiri tegak (Pos-3). Media induksi kalus yang diteliti ialah (1) MW-1 tanpa 0.5 mg/l 2,4-D, (2) MWR-3 tanpa 0.5 mg/l 2,4-D, (3) MW-1 yang ditambah dengan 0.5 mg/l 2,4-D dan (4) MWR-3

yang mengandung 0,5 mg/l 2,4-D. Dua formula media dasar yang digunakan dalam penelitian ini ialah (1) MW-1 dan (2) MWR-3. Keduanya ditambah dengan 30 g/l sukrosa dan 2.0 g/l gelrite. pH media diatur pada 5.8.

Percobaan faktorial yang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan digunakan dalam percobaan 3 dan 4. Tiap perlakuan terdapat 3 botol dan tiap boto l berisi 6 antera yang dikultur, sehingga total antera yang dikultur untuk tiap perlakuan ialah 72 antera.

Semua kultur antera diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 2 bulan. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan 12 jam fotoperiode dan diletakkan di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus terbentuk.

Peubah yang diamati ialah: (1) potensi tumbuh antera (PTA, %) adalah antera yang tetap segar setelah 1 bulan inkubasi. PTA diamati 1 bulan setelah kultur inisiasi. (2) persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) (diamati 2.0 bulan setelah kultur inisiasi) dan (3) jumlah antera yang membentuk kalus (JK), (diamati 3.0 bulan setelah kultur inisiasi).

Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.

Perbaikan medium terseleksi dalam pembentukan kalus

Pengaruh media terseleksi dan pengurangan kandungan garam mineral terhadap pembentukan kalus

Percobaan 5, dua media terseleksi yang diuji ialah (1) MW-1 dan (2) MWR-3. Kandungan garam mineral yang dipelajari ialah kandungan penuh (kontrol), setengah, seperempat, seperdelapan, seperenambelas dan tanpa garam mineral (hanya 2.0 g/l gelrite).

Pengurangan kandungan garam mineral medium dilakukan dengan menurunkan konsentrasi garam mineral secara bertahap sesuai dengan perlakuan. Kandungan setengah artinya konsentrasi setiap garam mineral dan vitamin

penyusun medium diturunkan konsentrasinya hingga setengahnya. Misal: kandungan penuh NH4NO3 MW-1 ialah 550 mg/l, kandungan setengah berarti 550

x ½ = 225 mg/l; kandungan seperempat berarti 550 x ¼ = 112.5 mg/l, dan seterusnya sesuai perlakuan pada semua garam mineral dan vitamin penyusun medium.

Pengaruh media dasar dan konsentrasi amonium nitrat yang berbeda terhadap pembentukan kalus

Pada percobaan 6, media dasar yang digunakan dalam percobaan ini ialah: (1) ½ MW-1, (2) ½ MWR-3, dan (3) MWR-3. Sedangkan konsentrasi amonium nitrat yang diaplikasikan ialah (1) 750 mg/l, (2) 550 mg/l, (3) 413 mg/l, (4) 206 mg/l, dan (5) 103 mg/l.

Pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan TDZ yang berbeda terhadap pembentukan kalus

Pada percobaan 7, konsentrasi 2,4-D yang digunakan ialah (1) 0 mg/l, (2) 0,5 mg/l, (3) 1,0 mg/l dan (4) 2,0 mg/l. Sedangkan konsentrasi TDZ yang digunakan dalam percobaan ini ialah (1) 0 mg/l, (2) 0,5 mg/l, (3) 1,0 mg/l dan (4) 2,0 mg/l. Medium dasar yang digunakan dalam percobaan ini adalah MWR-3.

Pengaruh kombinasi konsentrasi glutamin dan serin yang berbeda terhadap pembentukan kalus

Pada percobaan 8, asam amino yang digunakan dalam penelitian ini ialah ialah L-glutamin dan L-serin. Konsentrasi L- glutamin yang digunakan dalam percobaan ini ialah (1) 0 mg/l, (2) 250 mg/l, (3) 500 mg/l, dan (4) 750 mg/l. Sedangkan konsentrasi L-serin yang digunakan ialah (1) 0 mg/l, (2) 250 mg/l, (3) 500 mg/l dan (4) 750 mg/l. Medium dasar yang digunakan dalam percobaan ini adalah MWR-3.

Pengaruh kombinasi konsentrasi sukrosa dan glukosa yang berbeda terhadap pembentukan kalus

Pada percobaan 9, pengaruh konsentrasi dan kombinasi antara sukrosa dan glukosa terhadap pembentukan kalus dipelajari. Konsentrasi sukrosa yang digunakan ialah (1) 20 g/l, (2) 40 g/l, (3) 60 g/l dan (4) 80 g/l. Sementara konsentrasi glukosa yang digunakan ialah (1) 0 g/l, (2) 10 g/l, (3) 30 g/l dan (4) 60 g/l. Medium dasar yang digunakan dalam percobaan ini adalah MWR-3.

Percobaan faktorial yang disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan digunakan dalam percobaan 5, 6, 7, 8 dan 9. Tiap perlakuan terdapat 3 botol dan tiap boto l berisi 6 antera yang dikultur, sehingga total antera yang dikultur untuk tiap perlakuan ialah 72 antera.

Semua kultur antera diinkubasi pada kondisi gelap ± selama 2 bulan. Setelah itu kultur dipindahkan pada inkubasi terang dengan 12 jam fotoperiode dan diletakkan di bawah lampu fluoresen (13 µmol.m-2.s-1) hingga kalus terbentuk.

Peubah yang diamati ialah: (1) potensi tumbuh antera (PTA, %) adalah antera yang tetap segar setelah 1 bulan inkubasi. PTA diamati 1 bulan setelah kultur inisiasi. (2) persentase antera membentuk kalus (PAMK, %) (diamati 2.0 bulan setelah kultur inisiasi) dan (3) jumlah antera yang membentuk kalus (JK), (diamati 3.0 bulan setelah kultur inisiasi).

Data pengamatan dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dengan program SAS Release Window 6.12. Jika terdapat perbedaan nilai rata-rata perlakuan maka dilakukan uji lanjutan menggunakan uji wilayah berganda Duncan pada taraf kepercayaan 5%.

Histologi pembentukan kalus dan regenerasi tunas

Percobaan 10 adalah studi histologi pembentkan kalus. Antera yang digunakan dalam histologi ialah antera hasil isolasi langsung untuk inkubasi 0 hari. Antera yang mulai membentuk ka lus untuk sampel 1 bulan setelah kultur inisiasi dan antera dengan kalus yang semakin besar ukurannya untuk sampel 2 bulan setelah kultur inisiasi. Antera yang disampel adalah antera yang dikultur pada

MWR dan diinkubasi gelap selama ± 2 bulan. Sedangkan kalus yang beregenerasi membentuk tunas diambil dari kalus yang sudah mengalami subkultur (1-3 kali subkultur) dan terlihat mulai membentuk bakal tunas hingga bakal tunas terlihat jelas. Setiap periode inkubasi diambil minimal 3-5 sampel.

Antera dan kalus hasil sampling selanjutnya difiksasi dalam larutan FAA (formalin: asam asetat glasial: 50% etanol, 5:5:90 (v/v/v)) selama 48 jam. Sampel kemudian didehidrasi menggunakan seri etanol (30, 50, 75, 95, 100% (v/v)) dua kali selama 30 menit untuk tiap serinya. Setelah didehidrasi eksplan direndam

dalam larutan xyline: paraffin pada rasio yang berbeda (75: 25, 50: 50, 25: 75, 0:

100) selama satu jam untuk tiap rasionya dan pada akhir kegiatan direndam dalam 100% paraffin selama 1 malam. Sampel se lanjutnya dicetak dalam paraffin pada posisi yang jelas untuk membantu proses dan tujuan pengirisannya.

Sampel yang telah dicetak diparafin selanjutnya dipotong pada ketebalan (10-15 µm) dengan mikrotom rotari model 820 Spencer. Irisan sampel selanjutnya dilekatkan pada kaca obyek dengan larutan 10% albumin- glycerin (Lampiran 30). Kaca obyek dan irisan sampel kemudian disimpan dalam oven bersuhu 30ºC selama minimal 3 hari.

Spesimen selanjutnya diwarnai menggunakan larutan 1% asam- fuchsin dan 0.05% toluidine blue. Pengecatan dimulai dengan perendaman specimen dalam xylin selama 5 menit dan seri alkohol dari 100, 90, 80, 70, 60, 50, 40 dan 30% selama masing- masing 10 detik, kemudian dicelupkan dalam air destilasi selama 10 detik. 1% asam- fuchsin (Lampiran 30) selama 1 menit, 0.05% toluidine-blue (Lampiran 30) selama 1 menit, dan air destilasi kurang dari 5 detik. Setelah kering, specimen diawetkan menggunakan larutan entelan, selanjutnya diamati di bawah mikroskop dan difoto sesuai kebutuhan penelitian.

Hasil

Pencoklatan eksplan merupakan masalah serius pada kultur antera anturium. Persentase pencoklatan eksplan ini berkisar antara 19-100%. Masalah tersebut muncul 5-15 hari setelah kultur inisiasi. Warna antera yang dikultur

berubah dari putih ke arah kecoklatan. Warna coklat ini makin menjadi jelas dan pada akhirnya eksplan berwarna hitam dan mati. Antera yang mati terjadi pada 1-2 bulan setelah kultur inisiasi (Gambar 3). Kasus ini tidak hanya terjadi pada pembentukan kalus, tetapi juga terjadi pada kalus yang telah berhasil diregenerasikan.

Gambar 3. Pencoklatan eksplan dalam kultur antera anturium. A-B. Eksplan (antera atau antera + kalus yang teregenerasi) yang sedang mengalami pencoklatan (panah coklat). A-B. Sebagian eksplan tumbuh dan beregenerasi membentuk kalus (panah hijau). C. Antera teregenerasi membentuk kalus dan mati (panah merah). D. Kalus yang tumbuh bagus dan kalus yang sebagian mengalami pencoklatan. E. Antera yang tidak teregenerasi dan mati (Panah merah). F. Kalus teregenerasi dari antera yang mati. Bar hijau = 0.45 cm, bar hitam = 0.80 cm.

Setengah antera yang diisolasi secara langsung dan dikultur pada medium uji akan berada pada fase stagnasi selama 5-15 hari setelah kultur inisiasi (Gambar 4A). Setelah itu sel-sel dinding antera akan mengalami dideferensiasi akibat respon terhadap komponen medium dan hormon. Sel kompeten ini akan berubah menjadi meristemiatik yang aktif membelah. Secara visual kondisi ini terlihat dari perubahan ukuran antera yang lebih besar dan terbentuknya kalus 20-35 hari setelah kultur inisiasi (Gambar 4B). Kalus yang tidak mengalami pencoklatan,

A B

C

F E

akan terus berkembang dan bertumbuh. Kalus yang berukuran 0.15 – 0.50 cm mudah diamati ± 3.0 bulan setelah kultur inisiasi (Gambar 4C).

Gambar 4. Perkembangan pembentukan kalus dalam kultur antera anturium. A.

Dokumen terkait