• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Disertasi ini merupakan kombinasi beberapa seri penelitian baik aspek dasar maupun aplikasi dalam kultur antera anturium. Hasil- hasil utama penelitian terkait dengan aspek dasar ialah formula medium dasar, teknik isolasi, histologi, dan penggandaan kromosom. Kombinasi hasil studi pendahuluan yang meliputi tahap perkembangan bunga, rasio perkembangan mikrospora, viabilitas mikrospora, dan seleksi tanaman donor dengan hasil penelitian dasar tersebut menjadi informasi dasar penting teknologi haploid pada anturium. Sementara hasil- hasil penelitian terkait dengan aspek aplikasi meliputi perbaikan formula medium dasar, teknik isolasi, pewarnaan kromosom dan karakterisasi morfologi tanaman. Perbaikan-perbaikan temuan awal dan dasar menyempurnakan teknologi haploid pada anturium.

Hasil- hasil penelitian tersebut akan dibahas secara komprehensif pada bagian berikut dengan penekanan pada relevansinya dengan aspek teoritis dan aplikasi pada kultur antera dan prospek pemanfaatan teknologi kultur antera anturium dimasa depan.

Formula medium dasar dalam kultur antera

Jenis, kombinasi dan konsentrasi komponen makro, mikro, vitamin, sumber karbon, dan ZPT merupakan komponen penting penyusun media yang berpengaruh terhadap androgenesis maupun gynogenesis (Ferrie et al., 1995; Sopory dan Munshi, 1996; Maluzsynski et al., 2003a; George et al., 2007). Penambahan asam amino, kasein hidrolisat, asam askorbat, arang aktif, dan bahan penunjang lain diaplikasikan untuk menyempurnakan komposisi medium dalam meningkatkan keberhasilan pengembangan teknologi haploid (Tai dan Xiong, 2003; Wolyn dan Nichols, 2003). Tiap komponen diracik sedemikian rupa untuk mendapatkan respon terbaik dari eksplan yang dikultur.

Pada langkah awal, variasi media dasar berbasis medium MS yang berhasil untuk menginduksi pembentukan kalus dan/atau embrio dalam kultur in vitro

anturium secara bertahap diuji kesesuaiannya untuk kultur antera anturium. MS medium (1/2 makro elemen) yang ditambah 18 µM 2,4-D dan 6% sukrosa (Hamidah et al., 1997), ½ MS yang ditambah dengan 1 mg/l 2,4-D dan 1.0 mg/k kinetin (Kuehnle et al., 1992), ½ MS yang mengandung 1.11 µM N-6- benzyladenin (BA), 1.14 µM asam asetat indol (IAA) dan 0.46 µM kinetin (Martin

et al., 2003), dan medium MS yang mengandung 4.4 µM BA dan 0.05 µM asam asetat naftalene (NAA) (Vargas et al., 2004) dan modifikasinya telah diuji secara bertahap dan ternyata tidak terdapat respon positif dari antera yang dikultur, baik dalam pembentukan kalus dan/atau embrio. Antera yang tidak terkontaminasi mengalami pencoklatan dan mati.

Titik terang pengembangan teknologi haploid anturium ditemukan ketika salah satu dari 3 formula media dasar (MW-1, MW-2 dan MW-3) dan 3 modifikasi MW-3 dengan menambahkan 50 ppm cefotaxim (MW-3 +C), 2 g/l asam pantotenat (MW-3 + P), dan MW-3 + C + P memberikan respon positif dalam pembentukan kalus. Medium tersebut adalah MW-1 yang mampu menstimulasi pembentukan kalus hingga 11% (2.3 antera membentuk kalus per ulangan) dengan pertumbuhan kalus yang baik. Meskipun penambahan cefotaxim dan asam pantotenat pada MW-3 yang berbasis medium MS memberikan respon positif pada pembentukan kalus, tetapi medium tersebut kurang sesuai untuk kultur antera anturium. Pertumbuhan kalus pada antera berlangsung lambat dan mudah mati akibat pencoklatan.

NH4NO3, diduga merupakan komponen penting dalam kultur antera

anturium dan memainka n peranan penting dalam pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus dalam kultur antera anturium. Pada penelitian lain NH4NO3 dan

Fe merupakan komponen penting pada pertumbuhan dan regenerasi kalus jeruk (Randall dan Terrence, 2007). Ca, P dan Fe medium MS dan DKW berperan penting dalam regenerasi dan pertumbuhan tunas pada Cymbidium dan Gerbera

(Bouman dan Tiekstra, 2001). NH4+, NO3-, K+, Ca2+, Mg2+, Fe3+ pada medium MS

maupun organogenesis) melon pada kultur in vitro (Kintzios et al., 2004). Lebih lanjut mereka melaporkan bahwa pembentukan kalus terjadi saat konsentrasi ion K+ dan Ca2+ dalam jaringan meningkat, sementara ion Mg2+ and Fe3+ menurun. Peningkatan konsentrasi ion NH4+ dan NO3- meningkatkan pembentukan tunas

sebagai akibat meningkatnya penyerapan nitrogen dan produktivitas eksplan (Cao dan Tibbitts, 1993), sementara peningkatan ion Mg2+ menstimulasi embriogenesis. Sedangkan akumulasi Na+ dan Cl- pada eksplan me reduksi pertumbuhan tunas (Abdolzadeh et al., 2008).

Perbaikan MW-1 dan MWR-3 menghasilkan respon yang bervariasi. Setengah MW-1 dengan 205 mg/l amonium nitrat, pemberian 1.0 mg/l 2,4-D dengan 0.5 mg/l TDZ pada MWR-3, penambahan 250 mg/l glutamin, aplikasi sukrosa 60 g/l dan 30 g/l glukosa merupakan perlakuan-perlakuan yang secara statistik berpengaruh nyata terhadap peningkatan pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Peningkatan tersebut diduga disebabkan oleh peningkatan konsentrasi NH4+ dan NO3-, N2, sukrosa dan keseimbangan komponen media

seperti yang juga dilaporkan pada melon (Kintzios et al., 2008). Chauhan dan Kothari (2004) juga melakukan perbaikan medium MSB5 dengan menambah 20.70

µM picloram, 10.30 mM NH4NO3, 6.25 mM KH2PO4, 2.06 µM Na2MoO4, 0.55

µM CoCl2, and 26.64 µM glycine untuk meningkatkan pembentukan kalus; 12.47

µM picloram, 10.30 mM NH4NO3, and 0.55 µM CoCl2 untuk subkultur kalus; dan

0.2 µM picloram and 10.3 mM NH4NO3 untuk pembentukan tunas pada barley

rekalsitran. Kothar i et al. (2004) menemukan konsentrasi 60 µM ZnSO4 or 0.5 µM

CuSO4 sesuai untuk regenerasi kalus pada kultur in vitroEleusine coracana.

Berbagai komponen dan perbaikan media dasar, serta perlakuan yang diberikan pada antera anturium memberikan pengaruh yang nyata terhadap pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus. Pelukaan pada antera menginduksi terjadinya (1) sintesis protein yang didahului dengan meningkatnya mRNA yang mengkode enzim 3-deoxy-D-arabino-heptulosonate-7-fosfat sintase (DAHPS, EC 4.1.2.15) dan (2) sintesis metabolit sekunder dengan adanya mRNA yang mengkode enzim fenilalanine ammonia lyase (Dyer et al., 1989). Aktivitas enzim DAHPS menyebabkan beberapa jalur metabolism, seperti jalur sikimat,

biosintesis asam amino aromatic menjadi aktif (Beaudoin-Eagan dan Thorpe, 1983). Sukrosa dan glukosa dalam media diserap oleh eksplan melalui sel-sel jaringan penghubung atau sel-sel mesofil pada daerah terluka melalui fenomena “apoplastic loading” (Maynard dan Lucas, 1982). Bahan tersebut berperan sebagai sumber karbon (penyedia kerangka karbon) dan energi, agen osmotik, pelindung stress dan pemberi sinyal pada tanaman (Lipavska & Konradova, 2004), kemudian diubah menjadi piruvat dan malat melalui 2 jalur utama, yaitu: jalur glikolisis dan oksidasi pentose fosfat (Anonymous, 2009c). Glikolisis karbohidrat menghasilkan energi dalam bentuk ATP dan kerangka karbon penting pembentuk asam amino (fosfogliserat (3C), piruvat (2C), a-ketoglutarat (5C) dan oxaloacetat (4C)) dan fosfoenolpiruvat (PEP, 3C), prekursor penting jalur sikimat untuk membentuk asam-asam amino aromatik (Leustek et al., 2000; Kopriva et al., 2002). Jalur pentose fosfat memiliki peran utama menyediakan NADPH sebagai sumber energi pada reaksi- reaksi biosintesis, ribose 5- fosfat untuk sintesis nukleotida dan eritrose 4-fosfat untuk sintesis turunan-turunan asam sikimat (Anonymous, 2009c).

Aktivitas enzim DAHPS yang tinggi akibat pelukaan eksplan akan merubah fosfoenolpiruvat dan eritrose-4-fosfat menjadi 3-deoksi-D-arabino- heptulosonate-7-fosfat (DAHP) dan masuk dalam jalur sikimat (Leustek et al., 2000; Kopriva et al., 2002). DAHP melalui beberapa tahap sintesis yang melibatkan beberapa enzim akan menghasilkan korismat. Korismat merupakan prekursor utama sintesis asam amino dan hormon melalui jalur antranilate dan prepenate. Pada jalur antranilate, korismat membentuk triptofan, kemudian menghasilkan asam asetat indol (IAA). Peeningkatan konsentrasi IAA endogen inilah yang selanjutnya menstimulasi pembelahan dan pembesaran sel menjadi lebih aktif (Davies, 2004). Dari jalur prepenate, korismat akan diubah menjadi tyrosin, bahan penting dalam pembentukan tunas (Beaudoin-Eagan dan Thorpe, 1983) dan fenilalanin menjadi prekursor penting pembentuk lignin, flavonoid dan antosianin (Winkel-Shirley. 2002).

Pada jalur biosintesis yang berbeda, fosfogliserat akan diubah menjadi serine, cystein dan glysin. Piruvat akan diubah menjadi alanin, leusin dan valin. Oksaloasetat akan diubah menjadi aspartat oleh enzim aspartat aminotransferase.

Aspartat tersebut menjadi prekursor utama pembentukan asparagin, lysine, treonin, methionin, dan isoleusin. a-ketoglutarat menjadi salah satu kerangka karbon penting dalam siklus sintesis glutamate dan bersama dengan ion NH3, N2,

asparagin, urea, asam-asam keton membentuk glutamine, glutamate, dan asam- asam amino (Leustek et al., 2000; Kopriva et al., 2002). Glutamin menjadi prekursor utama pembentukan histidin, asparagin, arginin, ureides, dan asam-asam nukleat. Dari glutamate akan terbentuk prolin, arginin, dan aminolevulinate (bahan penting pembentuk klorofil). Pada siklus inilah ion NH4+, NO3-, glutamine sebagai

sumber N sangat diperlukan untuk meningkatkan respon pertumbuhan dan perkembangan sel-sel eksplan yang dikultur secara in vitro. Dampak peningkatan konsentrasi NH4NO3, KNO3 dan pemberian Ca(NO3)2.4H2O pada MWR tersebut

pada kultur antera anturium diduga factor pemacu pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus yang lebih baik.

Uraian di atas menunjukkan bahwa berbagai komponen media dasar, baik sebagai sumber elemen makro, mikro, vitamin, karbon, nitrogen maupun dll menginduksi pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus, tunas dan akar melalui peran bahan tersebut dalam mengaktifkan berbagai jalur biosintesis dan metabolisme biomulekul yang ada dalam eksplan. Pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi terjadi karena adanya energi (ATP dan NADPH), asam amino, asam nukleat, ZPT (seperti: zeatin riboside (ZR), dihydro- zeatin riboside (DHZR), abscisic acid (ABA), indole-3-acetic acid (IAA), and isopentenyl-adenine (IPA)), dan bahan pentin lain yang dihasilkan melaui berbagai jalur biosintesis dan metabolisme tersebut. Pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi tersebut optimal ketika berbagai jalur biosintesis dan metabolisme tersebut berada dalam keseimbangan (Hildebrand et al., 1981) dan tiap eksplan/tananaman memiliki respon spesifiknya masing- masing (Aswath dan Biswas, 1999).

Tidak adanya respon pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus pada kultur antera anturium terjadi karena pencoklatan eksplan. Pencoklatan terjadi karena oksidasi phenol menjadi quinon (Arnaldos et al., 2001, Ozygit et al., 2007). Pelukaan antera menyebabkan kandungan sitoplasma dan vakuola bercampur dan keluar didaerah yang dilukai (Laukkanen et al., 1999; Kim et al., 2001).

Senyawa-senyawa fenolik yang ada dalam campuran tersebut segera teroksidasi membentuk senyawa-senyawa quinon karena adanya aktivitas enzim polifenoloxidase dan ketersediaan O2 (Laukkanen et al., 1999). Oksidasi tersebut

menyebabkan asam amino, asam nukleat, protein, endogenus ZPT, yang berperan penting dalam pembelahan, pemanjangan, pertumbuhan dan perkembangan sel terhambat pembentukannya (Volpert et al., 1995; Arnaldos et al., 2001). Cathecol menjadi o-benzoquinon, hidroquinon à p-benzoquinon, tyrosin à melanin, cystein à cystein-quinon dll (Marshall et al., 2000). Senyawa-senyawa tersebut bersifat racun dan menyebabkan terhentinya pergerakan protoplasma sel (Stom et al., 2006). Terhentinya pergerakan protoplasma berarti terhentinya juga suplai bahan-bahan subseluler penting penunjang aktivitas kehidupan sel.

Pada kondisi normal, enzim polifenol oxidase berada dalam plastida, sementara senyawa-senyawa fenolik menempati vakuola sel (Lobreaux et al., 1995). Kerusakan atau pelukaan sel menyebabkan bercampurnya bahan-bahan sub seluler yang ada dalam sitoplasma dan vakuola. Segera setelah bercampurnya bahan sub-seluler dan didukung dengan tersedianya oksigen, enzim polifenol oksidase menjadi aktif dan mengubah banyak senyawa fenolik menjadi senyawa- senyawa quinon (Kim et al., 2001) atau komplek polimer yang menghasilkan warna coklat, bersifat racun (Marshall et al., 2000; Stom et al., 2006; Ozygit et al., 2007). Akibatnya eksplan mengalami pencoklatan dan mati. Kondisi tersebut diduga juga terjadi pada banyak antera yang mati.

Teknik isolasi dalam kultur antera anturium

Teknik isolasi pada pengembangan teknologi haploid banyak dipengaruhi oleh metode kultur yang diaplikasikan. Pada kultur mikrospora homogenasi dan filtrasi bertahap merupakan teknik isolasi yang umum digunakan dan telah diaplikasikan pada barley (Kasha et al., 2001), gandum (Kasha et al., 2003), kubis (Dias, 2001), asparagus (Peng dan Wolyn, 1999), apel (Höfer et al, 1999). Tingkat keberhasilan aplikasi teknik isolasi tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah dan

viabilitas mikrospora per antera (Winarto, 2005). Jumlah dan viabilitas mikrospora yang tinggi meningkatkan keberhasilan embriogenesisnya.

Isolasi antera secara langsung setelah aplikasi beberapa pra-perlakuan yang diikuti dengan penanaman antera dalam petridis yang berisi medium cair merupakan teknik isolasi yang sering digunakan dalam kultur antera. Teknik tersebut telah diaplikasikan pada kultur antera barley (Cistué et al., 1999; Caredda

et al., 2000), gandum (Pauk et al., 1995), jagung (Barnabas, 2003), Linum usitatissimum (Chen et al., 1998), lili (Arzeta-Frnandez et al., 1997), cabai (Kim et al., 2004; Supena et al., 2006). Antera dikultur pada medium cair dan umumnya menghasilkan embrio yang berasal dari mikrospora yang ada di dalamnya. Metode tersebut dikenal dengan nama “shed microspore culture”. Teknik tersebut sangat menguntungkan karena tidak memerlukan peralatan yang mahal, mudah dan cepat dalam aplikasi, kepastian mendapatka n embrio dan tanaman haploid ganda yang tinggi, mudah dalam deteksi level ploidi, dan memerlukan waktu yang lebih singkat.

Homogenasi- filtrasi dan shed microspore culture juga telah dicoba diaplikasikan pada anturium, tetapi tidak memberikan hasil positif yang bermanfaat pada pengembangan teknologi haploid pada tanaman tersebut. Tingginya kontaminasi bakteri Xanthomonas axonopodis pv. dieffenbachiae

(Norman dan Alvarez, 1994; Duffy, 2000) dan rendahnya viabilitas mikrospora menjadi kendala utama pengembangan kedua teknik isolasi tersebut pada anturium.

Setengah antera tanpa perlakuan yang dikultur pada medium semi padat merupakan teknik isolasi yang paling sesuai untuk pengembangan teknologi haploid pada anturium. Meskipun persentase tanaman haploid yang dihasilkan rendah, namun metode kultur antera pada anturium berhasil dikembangkan melalui teknik isolasi tersebut. Pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus berhasil diinisiasi dari sel-sel dinding antera yang memiliki totipotensi dan kompetensi yang lebih tinggi dibanding sel-sel jaringan penghubung dan mikrospora. Teknik isolasi tersebut juga berhasil diaplikasikan pada androgenesis timothy (Phleum pratense) (Guo et al., 1999), kentang ( Aziz et al., 1999) dan jeruk (Germana et al.,

2000). Pemotongan antera pada ketiga tanaman tersebut di atas meningkatkan pembentukan kalus embriogenik yang selanjutnya menghasilkan embrio. Tetapi pada kultur antera anturium hanya menghasilkan kalus organogenik, akibatnya untuk mendapatkan tanaman haploid ganda membutuhkan tahap dan proses yang labih panjang.

Pembentukan regeneran haploid dalam kultur antera anturium

Regeneran haploid, baik dalam bentuk kalus, tunas, plantlet maupun embrio merupakan produk antara yang sangat penting dalam pengembangan teknologi haploid tanaman. Keberhasilan mendapatkan regeneran tersebut menjadi tahap yang sangat penting pengembangan teknologi haploid (Maluzsynski et al., 2003a). Pada kultur mikrospora, peluang mendapatkan regeneran haploid sangat besar dan lebih mudah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa mikrospora merupakan sel gamet jantan dengan satu set kromosom (1N). Frekuensi mendapatkan regeneran yang mengganda secara spontan juga sangat besar. Pada barley frekuensi mengganda secara spontan mencapai 70-100% (Davies dan Morton, 1998; Kasha et al., 2001), pada gandum mencapai 70% (Kasha et al., 2003), 43-91% pada brokoli (Dias, 1999), 49% pada asparagus (Peng dan Wolyn, 1999). Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada kultur antera, dimana eksistensi mikrospora yang ada di dalamnya memiliki viabilitas dan kemampuan sporogenesis yang tinggi. Peluang mendapatkan regeneran haploid juga tinggi dan mencapai 80-90% pada barley (Cistué et al., 1999). 43% pada padi (Chu et al., 1975), 66% pada timothy (Guo et al., 1999), 20-60% pada kentang (Aziz et al., 1999), 40% pada Linum usitatissimum (Chen et al., 1998). Pada mikrospora dan shed microspora, regeneran haploid berasal dari mikrospora.

Reduksi peluang dan frekuensi mendapatkan regeneran haploid umumnya ditemukan pada kultur antera, dimana eksistensi mikrosporanya memiliki viabilitas dan kemampuan sporogenesis yang rendah. Frekuensi mendapatkan regeneran haploid dan/atau haploid ganda juga rendah. Pada kultur antera kubis hanya mencapai 15% (Chn et al., 1994), 28% pada Cyclamen (Ishizaka, 1998), 10-12%

pada tembakau (Touraev dan Heberle-Bors, 2003). Pada kultur demikian, regeneran haploid umumnya teregenerasi dari sel-sel somatik yang berasal dari jaringan penghubung dan/atau dinding antera (Maeda et al., 1978; Altamura et al., 1992; Saji dan Sujatha, 1998; Rodrigues et al., 2004).

Regenerasi eksplan haploid dari sel-sel somatik antera, baik sel-sel jaringan penghubung maupun dinding antera terjadi akibat ketidakstabilan kromosom pada kalus hasil regenerasinya (Koornneef et al., 1989). Eksistensi 2,4-D, TDZ, BAP diduga menjadi stimulan penting bagi terjadinya aktivitas pembelahan sel yang cepat seperti dilaporkan pada kultur antera kedelai (Rodrigues et al., 2004). Pembelahan yang cepat menstimulasi terjadinya ketidakseimbangan aktivitas mitosis (Cellárová et al., 2004) atau aberasi mitosis (Dolezel dan Novák, 1984). Aktivitas mitosis tertinggi pada tahap profase, menurun pada tahap metafase dan telofase, dan sangat jarang terjadinya tahap anafase. Akibatnya terjadi endoreduplikasi, endomitosis dan pembentukan mikrotubul yang abnormal serta kerusakan DNA (Fras et al., 2007) yang diikuti dengan reduksi kromosom (Fras dan Maluzsynska, 2004). Jadi regeneran ha ploid pada kultur antera terjadi karena ketidakseimbangan mitosis sebagai akibat penggunaan ZPT. Hal inilah yang juga diyakini penulis terjadi pada kultur antera anturium.

Evaluasi ploidi dalam kultur antera anturium

Keberhasilan pengembangan metode kultur antera anturium melalui pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi kalus dari sel-sel dinding antera menghasilkan variasi morfologi dan pertumbuhan eksplan. Variasi tersebut disebabkan oleh adanya variasi sel yang membentuk kalus, media, aplikai ZPT dan frekuensi sub -kultur kalus. Variasi regeneran hasil regenerasi kalus juga dilaporkan pada anturium (Kunisaki, 1980; Geier, 1986, 1987; Kuehnle dan Sugii, 1991; Vargas et al. (2004), asparagus (Pontaroli dan Camadro, 2005), kentang (Fleming et al., 2008), pepaya (Rimberia et al., 2008). Variasi tersebut juga mengindikasikan adanya variasi ploidi eksplan seperti yang dilaporkan pada lili (Han et al., 1997), jagung (Martin dan Widholm, 1996), gandum (Kim et al.,

2003) dan kubis (Ockendon, 2008). Ini berarti bahwa analisis level ploidi eksplan/regeneran hasil kultur antera menjadi langkah penting yang harus dilakukan.

Analisis kromosom pada anturium umumnya dilakukan dengan menghitung jumlah kromosom pada ujung akar (Kaneko dan Kamemoto, 1978; Sheffer dan Croat, 1983; Marutani et al., 1993). Metode tersebut didasarkan pada kondensasi pola kromosom pada tahap mitosisnya, seperti daerah heterokromatin, konstriksi, nukleolar dll (Noguchi dan Tanaka, 1981) dan aceto-orcein digunakan sebagai pewarnanya (Sharma dan Sharma, 1994). Pewarnaan aceto-orcein tersebut sampai saat ini masih tetap diaplikasikan dan digunakan pada banyak tanaman untuk penentuan level ploidi dan studi kariotipenya (Sharma dan Sharma, 1999) karena hasil yang dapat dipercaya, gambar yang tajam dengan kontras yang tinggi, cepat dan sederhana prosesnya (Taniguchi, 1996; Sharma dan Sharma, 1999). Pada teknik ini kromosom tercat ungu tua gelap, sedangkan sitoplasmanya berwarna pucat transparan (Sharma dan Sharma, 1994; 1999). Teknologi juga menjadi metode baku pewarnaan kromosom eksplan, tunas maupun plantlet hasil kultur anther anturium baik pada level in vitro maupun ex vitro.

Modifikasi metode Darnaedi (1991) dengan pemanasan ujung akar pada 1N HCl : 45% asam asetat (3:1, v/v) 10 menit dan perlakuan aseto-orcein 15 menit itambah dengan perlakuan pembuangan tudung akar dan pembelahan ujung akar; Sharma dan Sharma (1994) dengan waktu pelunakan potongan ujung akar dalam 1 N HCl selama 120 detik merupakan metode pewarnaan kromosom yang paling sesuai untuk eksplan, tunas atau plantlet hasil kultur antera anturium. Meskipun perbaikan kedua metode tersebut masih diperlukan untuk mendapatkan kualitas hasil pewarnaan kromosom yang labih baik lagi, namun kedua metode tersebut merupakan metode pewarnaan kromosom yang sesuai untuk kondisi laboratorium di Indonesia.

Modifikasi metode Sharma dan Sharma (1994) dapat dipandang sebagai terobosan baru dalam pewarnaan kromosom. Metode tersebut sangat sederhana, cepat dalam aplikasinya, nemun menghasilkan kualitas gambar kromosom yang baik. Sederhana karena hanya meliputi 4 tahapan pewarnaan, yaitu: (1) penyiapan,

(2) pelunakan (maserasi), (3) pewarnaan dan (4) pembuatan lapisan tipis akar (squashing). Cepat karena proses pewarnaan kromosom hingga sampel siap diamati hanya memerlukan waktu 1.5 sampai dengan 2 jam saja. Metode inilah yang kedepan akan diperbaiki untuk beberapa tujuan pewarnaan kromosom, diantaranya: studi kariotipe dan kelainan kromosom.

Penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata merupakan metode estimasi level ploidi secara tak langsung yang paling sesuai untuk anturium. Metode tersebut memiliki tingkat korelasi yang sangat tinggi mencapai 94.5% (r=0.945, p<0.01) dibandingkan dengan metode estimasi yang lain. Akurasi tinggi penggunaan metode tersebut juga dilaporkan pada petunia (Santos dan Handro, 1983), gandum (Pyke dan Leech, 1987), kacang tanah (Singsit dan Ozias- Akins, 1992), cabai (Qin dan Rotino, 1995; Supena et al., 2006), semangka (Sari et al., 1999), jagung (Ho et al., 2006). Korelasi yang tinggi tersebut didasarkan pada jumlah kloroplas dengan kandungan DNA inti (Butterfass, 1983). Ini berarti bahwa peningkatan jumlah kloroplas pada sel pelindung stomata diikuti ole h peninkatan jumlah DNA inti. Berdasarkan kandungan DNA melalui analisis flow cytometry terbukti bahwa kandungan DNA terendah berkaitan dengan ploidi tanaman dimiliki oleh tanaman haploid < diploid < mixoploid (Dolozel, 1991), haploid < haploid ganda < decaploid < nanoploid (Kim et al., 2003). Bendich (2007) juga menunjukkan bahwa penurunan sifat/karakter pada kloroplas dan inti bersifat konstan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu aplikasi metode penghitungan jumlah kloroplas pada sel pelindung stoma ta sangat dianjurkan aplikasinya pada penentuan ploidi anturium. Sedangkan penghitunan jumlah mikrospora dalam antera dapat menjadi metode estimasi alternatif pada anturium. Meskipun aplikasi metode tersebut kurang lazim digunakan, namun korelasi yang tinggi menjadi bukti validitas metode dalam penentuan level ploidi anturium.

Variasi morfologi eksplan, tunas dan tanaman hasil kultur antera anturium menunjukkan adanya variasi ploidi. Hasil evaluasi ploidi in vitro dan ex vitro

menunjukkan bahwa rasio ploid i eksplan, tunas dan tanaman hasil kultur antera anturium adalah 22.5-33.9% haploid, 60.4-75% diploid, dan 2.3-5.7% triploid. Hasil ini menunjukkan bahwa pengembangan teknologi haploid anturium melalui

kultur antera menghasilkan eksplan, tunas dan tanaman dengan ploidi yang bervariasi. Persentase haploid yang rendah menjadi konsekuensi logis pembentukan, pertumbuhan dan regenerasi tanaman dari kalus yang berasal dari sel-sel dinding antera dan/atau sel jaringan penghubung yang bersifat diploid seperti yang dilaporkan pada padi (Maeda et al., 1978), anggur (Altamura et al., 1992), poplar (Kiss et al., 2001), jeruk (Chiancone et al.,2006), dan kubis (Ockendon, 2008).

Penggandaan kromosom dalam kultur antera anturium

Penggandaan kromosom tidak selalu menjadi kebutuhan penting dalam pengembangan teknologi haploid tanaman. Pada tanaman dengan frekuensi penggandaan kromosom spontan yang tinggi (lebih dari 30% regeneran) seperti yang dilaporkan pada kultur antera barley (Kahrizi dan Mohammadi, 2009),

Brassica rapa ssp. chinensis (Gu et al., 2003), kentang (Chauvin et al., 2003),

Anemone coronaria (Laura et al., 2006), maka penggandaan kromosom tidak diperlukan lagi. Tetapi pada tanaman dengan frekuensi penggandaan kromosom spontan yang rendah seperti yang dilaporkan pada (Chen et al., 1994), Cyclamen (Ishizaka, 1998), Allium cepa (Campion et al., 1995), maka penggandaan kromosom menjadi faktor penting dalam produki tanaman haploid ganda.

Pada kultur antera anturium identifikasi eksplan, tunas dan tanaman yang mengalami penggandaan kromosom secara spontan sangat sulit dilakukan. Kendala tersebut terjadi karena (1) jumlah kromosom pada setiap level ploidi berada dalam kisaran (Sharma dan Bhattacharyya, 1961; Sheffer dan Croat, 1983; Petersen, 1989; Mohamed et al., 2006). Pada Anturium andreanum, jumlah kromosom normal adalah 2n = 2x = 30 (Marutani et al., 1993), dan (2) hasil pewarnaan kromosom yang belum optimal. Variasi jumlah kromosom tersebut terjadi karena adanya asesori kromosom (Sharma dan Bhattacharyya, 1961; Kaneko dan Kamemoto, 1979). Kedua hal tersebut diduga menyebabkan variasi hasil penghitungan jumlah kromosom pada eksplan, tunas dan tanaman hasil kultur

antera anturium. Pada tanaman haploid jumlah kromosom berkisar antara 14-20, 28-34 adalah diploid dan 45-53 adalah triploid.

Keberhasilan pewarnaan kromosom pada tingkat laboratorium memberikan peluang penyiapan plantlet haploid untuk kepentingan penggandaan kromosom melalui perbanyakan eksplan haploid. Namun tingginya kontaminasi dan pencoklatan eksplan menyebabkan perbanyakan in vitro eksplan haploid tidak berhasil dengan baik. Oleh karena itu aklimatisasi beberapa tunas haploid yang berakar menjadi alternatif pemecahan masalah. Meskipun resiko kematian plntlet

Dokumen terkait