• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mutu makan nasi adalah mutu yang kompleks dimana sejumlah komponen ikut terlibat. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mutu makan nasi. Data analisis secara fisikokimia pada setiap komponen tidak mudah dihubungkan dengan analisis secara objektif dan juga tidak ada metode evaluasi yang seefektif metode sensori yang menggunakan organ tubuh manusia sebagai alat yang menilai. Uji sensori dilakukan berdasarkan evaluasi subjektif melalui kemampuan penglihatan, penciuman, dan pencicipan. Akhir-akhir ini evaluasi sensori banyak digunakan untuk mengkaji preferensi makanan individu (Weaver & Helen, 2001).

1. Quantitative Descriptive Analysis (QDA)

Pertama kali teknik deskripsi sensori yang diperkenalkan adalah Flavor Profile

Method (FPM) yang dikembangkan oleh Arthur D. Little, Inc. pada tahun 1950-an

(Meilgaard et al. 1999). Aplikasi metode analisis deskripsi yang baru-baru ini muncul pada tahun 1970-an adalah Quantitative Descriptive Analysis (QDA) dan Spectrum TM. Kedua teknik terakhir sangat berbeda dari FPM dimana keduanya digunakan untuk mengukur atribut sensori oleh masing-masing panelis lalu menghasilkan rata-rata atribut

15

sensori. Kedua teknik ini lebih baik dari pada FPM yang menghasilkan profil sensori dari konsensus kelompok (Pigott et al. 1998).

Seleksi panelis merupakan aspek yang kritis dalam analisis deskriptif (Meilgaard

et al. 1999). Calon panelis yang baik harus dapat mendeskripsikan atribut flavor yang

dihasilkan dan dapat membedakan antara aroma dan rasa (Drake & Civille, 2003). Kesehatan yang baik, memiliki antusiasme yang tinggi, dan biasa menggunakan produk yang diujikan adalah karakteristik calon panelis yang baik. Kemudian, calon panelis akan mengikuti tahapan seleksi panelis (Meilgaard et al. 1999). Setelah ketiga kategori tersebut dan tahapan seleksi panelis dilakukan, selanjutnya dilakukan pelatihan untuk menghasilkan sekelompok panelis yang kemudian fungsinya dapat dianalogikan dengan instrumen dalam mengevaluasi flavor suatu produk (Drake & Civille, 2003).

Menurut Meilgaard et al. (1999), tahap-tahap seleksi panelis terdiri dari tahap penyaringan (screening), acuity test (tes ketepatan), uji ranking/rating, dan personal

interview. Menurut Stone & Sidel (2004), tahap penyaringan bertujuan untuk

mengeliminasi kandidat panel yang tidak sensitif, mengetahui kandidat panel yang memiliki kemampuan sensori yang sangat sensitif dan dapat dipercaya, dan membiasakan kandidat panel dengan atribut sensori produk. Tes ketepatan untuk kandidat panel harus mampu mendemonstrasikan kemampuan untuk mendeteksi dan menjelaskan karakteristik sensori secara kualitatif; mendeteksi dan menggambarkan perbedaan secara kuantitatif (Meilgaard et al. 1999). Metode uji yang digunakan untuk uji deteksi secara kualitatif adalah identifikasi rasa dasar dan aroma dasar, sedangkan uji deteksi secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji segitiga atau uji duo trio untuk mendeteksi perbedaan yang kecil serta mendeskripsikan kunci perbedaan dari atribut sensori yang ada (Meilgaard et al. 1999). Uji rating/ranking digunakan untuk menentukan kemampuan panelis dalam membedakan penilaian intensitas atribut sensori yang diberikan (Meilgaard et al. 1999). Personal interview dilakukan untuk mengetahui kemauan, keseriusan, minat, rasa percaya diri, dan waktu luang calon panelis.

Pada metode QDA, panel leader adalah seorang sensori profesional yang memiliki kemampuan lebih baik dari anggota panel. Pada saat pelatihan, panel (idealnya 8-12 panelis) menghasilkan istilah-istilah untuk menggambarkan produk.

Panel leader tidak berpartisipasi dalam diskusi untuk menghasilkan atribut sensori,

tetapi berperan dalam memfasilitasi jalannya diskusi. Para panelis menentukan urutan munculnya atribut. Selain itu, panelis berlatih merating produk supaya terbiasa dengan proses analisis deskipsi dan memperoleh kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka (Drake & Civille, 2003). Data diperoleh dari scoresheet dengan menggunakan skala garis yang diberi batas pada setiap akhir garis. Panelis memberi tanda garis pada skala garis. Selanjutnya tanda diubah menjadi nilai numerik dengan mengukur respons pada skala garis dengan menggunakan penggaris, digitizer, atau dengan sistem komputer (Drake & Civille, 2003).

Standar referensi dapat secara kualitatif, kuantitatif atau kedua-duanya (Munoz & Civille 1998). Untuk pendeskripsian sensori, standar referensi kualitatif merupakan hal yang penting untuk setiap istilah atribut sensori. Standar referensi kualitatif memungkinkan panelis untuk menghubungkan dengan konsep pengertian istilah sensori tersebut dan dapat memperpendek waktu pelatihan panel (Drake & Civille, 2003). Standar referensi kualitatif dalam pelatihan panelis digunakan untuk membuat panelis

16

fokus dalam mengidentifikasikan istilah sensori dan merupakan bagian yang paling dibutuhkan dalam pelatihan panelis metode deskriptif. Standar kuantitatif atau standar referensi intensitas pada umumnya tidak ditetapkan untuk setiap atribut. Munoz & Civille (1998) mendeskripsikan tiga macam standar referensi kuantitatif, yaitu secara universal, spesifik produk, dan spesifik atribut sensori.

Analisis sensori deskriptif memberikan informasi bagi para ahli sensori untuk memperoleh deskripsi produk secara lengkap, dan/atau menentukan atribut sensori mana yang penting dalam penerimaan konsumen (Stone & Sidel, 2004). Analisis deskriptif berguna untuk mengevaluasi perubahan sensori dari waktu ke waktu dengan memperhatikan keadaan sebelum dan sesudah panen serta umur simpan beras (Meilgaard et al. 1999). Aroma dan flavor nasi dapat dikarakterisasi dan secara analisis diukur oleh panelis terlatih dalam analisis sensori deskriptif (Meilgaard et al. 1999). Penggunaan analisis sensori deskriptif juga digunakan oleh Suwansri et al. (2002) dalam menganalisis penerimaan nasi aromatik Jasmine oleh konsumen US-Asia dan mengkorelasikannya dengan data sensori deskriptif sehingga atribut sensori yang berkaitan dengan penerimaan konsumen dapat diidentifikasi.

Penggunaan kombinasi antara analisis deskriptif dan uji preferensi panelis memberikan penilaian yang akurat dan mengidentifikasikan karakteristik kualitas sensori yang dibutuhkan pasar. Nilai sensori deskriptif juga dapat dikorelasikan dengan konsentrasi senyawa volatile dengan menggunakan metode statistik untuk menentukan senyawa mana yang bertanggung jawab dalam membentuk aroma dan flavor atau berfungsi sebagai penanda untuk atribut flavor/aroma tersebut.

2. Uji Afeksi

Analisis deskripsi sensori digunakan untuk mengeidentifikasi dan

mengkuantifikasi atribut sensori produk, sedangkan uji konsumen digunakan untuk memberikan informasi mengenai kesukaan konsumen (Meilgaard et al. 1999). Uji penerimaan dan preferensi memberikan informasi kesukaan dan/atau preferensi konsumen secara kuantitatif (Meilgaard et al. 1999).

Screener dan kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data demografi,

frekuensi penggunaan, dan data pembelian suatu produk (Meilgaard et al. 1999). Kuesioner sering disertakan dengan uji penerimaan untuk membantu interpretasi data. Selain mengumpulkan data demografi dan informasi penggunaan, mengidentifikasi kesukaan dalam segmentasi pasar konsumen merupakan hal yang penting untuk industri dalam mengetahui produk dan atribut mana yang lebih di disukai konsumen.

Menurut Setyaningsih dkk (2010), uji afeksi terdiri dari uji penerimaan dan uji kesukaan/preferensi. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu produk yang menyebabkan sesorang menyukainya. Yang perlu ditekankan dalam uji afeksi adalah bahwa pilihan (preferensi) tidak sama dengan penerimaan, bisa jadi panelis lebih memilih contoh A dibanding contoh B, tetapi kedua contoh tidak dapat diterima. Uji kesukaan bertugas untuk memilih produk yang lebih disukai sedangkan uji penerimaan bertugas untuk merating produk yang disukai/diterima konsumen. Uji afeksi harus diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili suatu populasi masyarakat tertentu. Uji yang umumnya digunakan dalam melakukan uji afeksi adalah uji hedonik.

17