• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Teori

3. Fabel

Sastra adalah pengungkapan tentang kehidupan manusia dengan cara dan bahasa yang khas (Nurgiyantoro, 2013: 2). Sastra anak dipahami sebagai ungkapan citraan kehidupan yang dikisahkan, masih berada dalam jangkauan anak, baik melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk kebahasaan yang dapat dipahami oleh anak (Nurgiyantoro, 2013: 5-6). Teks sastra anak merupakan produk penulisan dapat dipandang sebagai sebuah citraan kehidupan yang dapat dibaca anak. Berikut ini adalah skema genre sastra anak.

Gambar 2.1 memperlihatkan bahwa fabel merupakan salah satu jenis dari sastra tradisional dari genre sastra anak. Nurgiyantoro (2013:

22) menyatakan, istilah “tradisional” dalam kesusastraan merupakan

cerita yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya, dan siapa penciptanya, serta dikisahkan secara turun-temurun secara lisan. Penjelasan lain dikemukakan oleh Mitchell (2003: 228) bahwa cerita tradisional (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Nurgiyantoro (2010: 172) menjelaskan bahwa sastra tradisional ada beberapa macam, yaitu mitos (myths), legenda, cerita binatang (fables, fabel), dongeng, cerita wayang.

Gagasan yang sama dikatakan Ampera (2010: 22), jenis-jenis cerita tradisional, yaitu legenda, mitos, cerita binatang (fabel), cerita wayang, cerita rakyat (folktale) dan nyanyian rakyat (folksong). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V, fabel yang berasal dari bahasa Inggris fable, adalah cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya diperankan oleh binatang (berisi pendidikan moral dan budi pekerti). Nurgiyantoro (2010:190), mengemukakan bahwa cerita binatang (fables, fabel) adalah salah satu bentuk cerita tradisional yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita. Binatang-binatang tersebut dapat berpikir dan berinteraksi layaknya komunitas manusia, juga dengan permasalahan hidup layaknya manusia. Fabel-fabel kuno, kini dikenal sebagai fabel Aesop, akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah fabel. Fabel, dalam khazanah

sastra Indonesia, seringkali diartikan sebagai cerita tentang binatang sebagai pemeran (tokoh) utama. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, Burung Gagak dan Burung Elang, Semut dan Belalang, dan sebagainya.

Sarumpaet (2010: 22) juga menjelaskan, fabel pada umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya dan cerita yang menggunakan binatang sebagai gambaran manusia yang utuh, konon dianggap oleh sejarawan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad VI SM (meski ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari

Aesop). Kumpulan cerita binatang berjudul “Aesop’s Fables” yang ditulis

oleh Wiliam Caxton di Inggris pada 1484, merupakan cerita fabel tradisional yang kali pertama diciptakan.

a. Jenis-jenis Fabel

Dilihat dari waktu kemunculannya, cerita binatang dapat dikategorikan ke dalam cerita klasik dan modern (Nurgiyantoro, 2010:192). Cerita binatang klasik merupakan cerita yang telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui persis kapan munculnya, yang diwariskan secara turun-temurun, terutama lewat sarana lisan, misalnya cerita yang berjudul Jataka dan Pancatantra. Di Indonesia, cerita klasik dapat ditemukan di Melayu, Jawa, Sunda, Toraja, dan lain-lain. Cerita binatang modern merupakan cerita yang telah muncul dalam waktu yang relatif belum lama dan sengaja ditulis oleh pengarang tertentu sebagai ekspresi kesusastraan. Jadi, cerita binatang

klasik berbeda dengan cerita binatang modern. Cerita binatang klasik hadir semata-mata karena dipakai sebagai sarana mengajarkan moral tertentu, sedangkan cerita binatang modern hadir sebagai hasil kreativitas penulisan karya sastra yang dimaksudkan untuk memuaskan pembaca (khususnya anak-anak) atau memperlengkapi bacaan sastra.

Nurgiyantoro (2010: 191), cerita fabel klasik maupun modern mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan pesan-pesan moral kepada pembaca, terutama anak-anak (Huck, dkk, 1987: 303); Mitchell, 2003: 245). Fang (1975: 3) mengemukakan bahwa masyarakat lama memilih tokoh binatang untuk menyampaikan pesan moral yang pertama, cerita binatang sudah muncul sejak manusia masih primitif dan, dalam masyarakat primitif, orang setiap hari berkumpul dengan binatang. Kedua, cerita binatang berasal dari India, kemudian menyebar ke Asia dan Eropa karena di India terdapat banyak cerita binatang yang termasyhur seperti Jataka dan Pancatancatra.

Binatang adalah makhluk yang ada di sekeliling kita, maka mereka menjadi familier bagi kita bahkan anak-anak terutama binatang-bintang jinak seperti kucing, ayam, kelinci, dan anjing. Kita sering menjumpai anak-anak berbicara dengan binatang piaraannya itu seolah-olah binatang itu dapat berbicara, bahkan terhadap binatang buas pun anak-anak juga “akrab” karena terlalu sering diperlihatkan

b. Manfaat Fabel

Cerita anak diyakini memiliki manfaat yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang jelas. Berikut ini dikemukakan manfaat cerita bagi anak yang sedang dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan yang melibatkan berbagai aspek kedirian yang secara garis besar dikelompokkan dalam nilai personal dan nilai pendidikan (Nurgiyantoro, 2010: 36).

Nurgiyantoro (2010: 37) memaparkan bahwa manfaat sastra dalam nilai personal, yaitu perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis, dan religius, yang dijelaskan berikut ini.

1) Perkembangan Emosional

Secara langsung atau tidak langsung, dengan membaca buku-buku cerita, anak akan belajar bersikap dan bertingkah laku secara benar, bagaimana mengelola emosi agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

2) Perkembangan Intelektual

Melalui bacaan aspek intelektual, anak ikut aktif, ikut berperan, dalam rangka pemahaman dan pengkritisan cerita yang bersangkutan. Penelitian tentang pembelajaran seni di Amerika pada 1980-an (dalam Djohar, 2004: 26) mengemukakan bahwa anak-anak SD yang belajar seni berdampak pada kemampuan siswa dalam bidang IPA, matematika, dan bahasa. Kemampuan anak

yang belajar seni dalam tiga bidang tersebut lebih tinggi dari pada kemampuan anak yang tidak belajar seni. Hal ini disebabkan pembelajaran apresiasi terhadap seni menunjang peningkatan kreativitas di mana aspek kreativitas merupakan sesuatu yang berhubungan dengan pembelajaran dalam bidang apapun.

3) Perkembangan Imajinasi

Imajinasi akan memicu bertumbuh dan berkembangnya daya kreativitas. Imajinasi dipahami bukan sebagai khayalan atau daya khayal saja, tetapi mengarah pada makna pemikiran yang kreatif (creative thinking).

4) Pertumbuhan Rasa Sosial

Kesadaran bahwa orang hidup mesti membaca dalam kebersamaan, rasa tertarik masuk dalam kelompok sudah mulai terbentuk ketika anak berusia 3-5 tahun dan kesadaran bahwa ada orang lain di luar dirinya. Kesadaran tersebut dapat ditumbuhkembangkan melalui bacaan sastra lewat perilaku tokoh. Anak pada usia 10-12 tahun mempunyai cita rasa keadilan dan kepedulian kepada orang lain yang lebih tinggi usianya. Melalui bacaan sastra yang mengeksploitasi kehidupan bersosial secara baik akan mampu menjadikannya sebagai contoh bertingkah laku sosial sebagaimana aturan sosial yang berlaku.

5) Pertumbuhan Rasa Etis dan Religius

Pada umumnya, anak akan mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang baik dan tumbuhnya kesadaran untuk meneladani

sikap dan perilaku tokoh dalam cerita. Nurgiyantoro (2010: 41-47) juga mengemukakan bahwa manfaat sastra dalam nilai pendidikan, yaitu eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, pengembangan nilai keindahan, pemahaman wawasan multikultural dan pemahaman kebiasaan membaca yang dijelaskan sebagai berikut ini.

1) Eksplorasi dan Penemuan

Ketika membaca cerita, anak melakukan eksplorasi, sebuah penjelajahaan, sebuah petualangan imajinasi, ke sebuah dunia yang lebih relatif yang belum dikenalkan, dan menawarkan berbagai pengalaman kehidupan. Pengalaman menjelajah secara imajinatif, anak mampu mengkritisi untuk melakukan penemuan-penemuan atau prediksi bagaimana solusi ditawarkan.

2) Perkembangan Bahasa

Melalui membaca sastra, peningkatan penguasaan bahasa anak harus dipahami tidak hanya melibatkan kosakata dan struktur kalimat, tetapi lebih menyangkut keempat kemampuan berbahasa tersebut dengan strategi yang dikreasikan sendiri oleh guru secara kontekstual.

3) Pengembangan Nilai Keindahan

Anak usia 1-2 tahun dininabobokan dengan nyanyian, kata-kata yang bersajak dan berirama indah, anak belum dapat memahami makna di balik kata-kata, namun sudah dapat

merasakan keindahannya. Hal ini dapat dilihat dari reaksi anak berupa tertawa, ekspresi wajah yang ceria. Aspek keindahan dalam diri anak bersama dengan berbagai aspek yang lain akan membawa dampak positif bagi perkembangan personalitasnya. 4) Pemahaman Wawasan Multikultural

Berhadapan dengan bacaan sastra, anak dapat bertemu dengan wawasan budaya berbagai kelompok sosial dari berbagai belahan dunia. Melalu bacaan dapat dijumpai berbagai sikap dan perilaku hidup yang mencerminkan budaya suatu masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lainnya. 5) Pemahaman Kebiasaan Membaca

Penyakit malas membaca, dapat berkurang dengan adanya pembiasaan anak untuk membaca buku-buku, terutama melalui buku-buku yang disukainya.

Berdasarkan beberapa uraian bagian sebelumnya, fabel adalah cerita dengan tokoh binatang dalam setiap ceritanya di mana binatang-binatang itu memiliki watak seperti manusia, berbicara, berakal budi, dan berisi cerita rakyat dengan pesan-pesan moral. Jadi, cerita binatang hadir sebagai personifikasi manusia, baik yang menyangkut penokohan lengkap dengan karakter mau pun persoalan hidup yang diungkapkannya. Hal tersebut artinya cerita fabel tersebut berupa kisah tentang manusia dan kemanusiaan yang ditujukan kepada manusia, namun digambarkan dengan komunitas binatang. Dilihat dari waktu kemunculannya, cerita binatang dapat dikategorikan ke dalam cerita klasik dan modern. Fabel memiliki

berbagai manfaat dalam nilai persoalan, yaitu dalam perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis, dan religius. Sedangkan manfaat dalam pendidikan, yaitu eksplorasi dan penemuan, perkembangan bahasa, nilai keindahan, pemahaman wawasan multikultural, kebiasaan membaca.

Dokumen terkait