• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Tanah Laut

5.2.1. Faktor-Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Sistem

Informasi umum tentang Kabupaten Tanah Laut telah diuraikan di dalam Bab IV. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa peluang bagi pengembangan usaha tanaman kayu rakyat di kabupaten ini cukup terbuka. Beberapa hal yang menjadi dasar kesimpulan tersebut adalah karena secara geografis Kabupaten Tanah Laut memiliki wilayah yang luas dengan kondisi iklim dan tanah yang cukup kondusif bagi pengembangan tanaman kayu. Posisi geografis kabupaten ini yang berdekatan dengan ibu kota provinsi Banjarmasin sebagai pusat kegiatan ekonomi di wilayah tersebut sangat menguntungkan bila dibandingkan dengan lokasi kabupaten lainnya yang lebih jauh di pedalaman. Kabupaten Tanah Laut juga memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang mencakup bidang pertanian, perkebunan, pertambangan, perikanan dan kehutanan yang dapat memberikan peluang usaha sumber mata pencaharian bagi penduduk setempat.

Seperti telah dijelaskan di dalam Bab IV, intervensi pihak luar cukup nyata mempengaruhi perkembangan tanaman kayu rakyat di kedua desa yang menjadi lokasi penelitian. Pada kasus di Desa Ranggang, intervensi dari instansi pemerintah di sektor kehutanan (Dinas Kehutanan lingkup provinsi dan kabupaten serta Unit-unit Pelayanan Teknis Kementerian Kehutanan) telah memicu penanaman mahoni oleh sebagian masyarakat di desa tersebut secara intensif, walaupun secara sporadis kegiatan penanaman tersebut telah dimulai sejak tahun 1970an oleh para pendatang dari Jawa. Pada kasus di Desa Asam Jaya, pemicu

kegiatan penanaman kayu dari pihak luar berasal dari perusahaan kayu lapis yang berencana untuk menampung kayu yang akan dihasilkan.

Desa Ranggang yang terletak lebih dekat dengan ibukota kabupaten Pelaihari bila dibandingkan dengan Desa Asam Jaya, memiliki keuntungan untuk akses pasar yang lebih baik bagi hasil usaha tani masyarakat, termasuk kayu dari hasil budidaya. Bagi Desa Asam Jaya, akses terhadap pasar relatif lebih sulit, walaupun infrastruktur jalan sudah cukup baik. Di sekitar wilayah Desa Asam Jaya juga terdapat sebuah perusahaan kayu lapis (PT. Navatani Persada) yang

memproduksi “film face plywood” yang biasa digunakan untuk pembuatan beton

pra cetak. Keberadaan industri tersebut menjadi salah satu peluang bagi pemasaran hasil tanaman kayu masyarakat. Informasi dari pihak manajer perusahaan (Bapak I Made Suarta11, komunikasi pribadi), saat ini pihak perusahaan sebagian besar menggunakan kayu karet sebagai bahan baku pabrik dengan standar harga yang diterima sekitar Rp 425,000/m3 untuk kakyu bulat karet. Tingkat harga tersebut menjadi patokan harga beli perusahaan terhadap kayu jabon yang diusahakan oleh masyarakat.

Berbagai permasalahan di tingkat provinsi, khususnya di sektor kehutanan akan turut mempengaruhi prospek pengembangan tanaman kayu rakyat di wilayah desa lokasi penelitian. Berbagai isu di tingkat provinsi tersebut terutama berkaitan dengan permasalahan tenurial dan kelangkaan bahan baku kayu bagi industri kehutanan (Suhardi12 19 Okt 2010, komunikasi pribadi). Pada aspek tenurial, permasalahan utama adalah banyaknya konflik lahan yang menyangkut areal kawasan hutan. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Kalimantan Selatan adalah seperti terlihat pada Tabel 12. Sebagian besar dari areal kawasan hutan tersebut, berdasarkan citra satelit pada kenyataannya sudah tidak berupa hutan karena kondisi tutupan hutan yang sudah terbuka. Luas areal

kawasan hutan yang pada kenyataannya sudah “bukan hutan” tersebut mencapai

sekitar 800,000 ha atau sekitar 45% dari luas total kawasan hutan. Kawasan- kawasan hutan yang terbuka tersebut merepresentasikan daerah konflik lahan

11 Bapak I Made Suarta adalah manajer PT. Navatani Persada di Kecamatan Jorong,

Kabupaten Tanah Laut.

12

Bapak Suhardi adalah Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan saat wawancara dilakukan pada tanggal 19 Mei 2008, bertempat di kantor Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan.

yang sekarang terjadi. Konflik areal terutama juga dipicu oleh perkembangan perkebunan kelapa sawit dan karet, karena kedua komoditi tersebut mempunyai permintaan pasar yang tinggi.

Provinsi Kalimantan Selatan kini mengalami kelangkaan bahan baku untuk menunjang industri perkayuan yang telah ada. Dari 14 industri kayu lapis yang kini masih beroperasi, hanya 5 industri yang masih dapat digolongkan beroperasi dengan baik. Produksi kayu di tingkat provinsi menurun drastis dari sekitar 120,000 m3 pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 10,000 m3 di tahun 2007. Di dalam konteks ini, produksi kayu dari hutan rakyat sangat prospektif.

Tabel 12. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Kalimantan Selatan

Kabupaten

Kawasan lindung

(Ha)

Hutan Produksi (Ha)

Jumlah (ha)

Terbatas Tetap Konversi

Banjar 148,609 29,869 27,175 - 205,653 Barito Kuala 2,555 - - 20,531 23,086 Hulu Sungai Selatan 21,550 - 13,928 - 35,478 Hulu Sungai Tengah 39,357 - 4,464 - 43,821 Hulu Sungai Utara 40,008 26,518 11,435 22,094 100,055 Kotabaru 391,873 93,694 397,642 25,277 908,486 Tabalong 75,767 54,953 97,569 - 228,289 Tanah Laut 27,870 4,862 69,487 - 102,219 Tapin 3,663 2,281 5,972 - 11,916 Jumlah 751,252 212,177 627,672 67,902 1,659,003

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan (2007).

Provinsi Kalimantan Selatan termasuk cukup responsif di dalam menyambut program pengembangan HTR yang digagas Kementerian Kehutanan. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa luas total pencadangan HTR yang telah mendapat pesetujuan Menteri Kehutanan adalah sebesar 29,758 ha. Alokasi pencadangan areal HTR untuk Kabupaten Tanah Laut adalah sebesar 5,355 ha. Namun demikian, sampai tahun 2010 belum terdapat izin usaha HTR yang telah dikeluarkan oleh pemerintah di tingkat kabupaten. Permasalahan utama keterlambatan ini adalah karena permasalahan koordinasi antara pemerintah pusat

dengan daerah yang belum lancar di dalam implementasi program HTR tersebut (Herawati 2011).

Hasil wawancara dengan salah satu pengusul izin HTR di Kecamatan Jorong (Bapak Djoko13 29 Okt 2010) melaporkan bahwa pada kenyataannya waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh izin HTR sangat lama dan prosesnya panjang. Usulan permohonan izin yang disampaikan sudah lebih dari satu tahun namun belum juga mendapat keputusan. Informasi dari Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut (Bapak Aan Purnama 27 Okt 2010, komunikasi pribadi) menjelaskan bahwa proses yang lama tersebut terjadi karena adanya konflik lahan atas usulan lokasi HTR yang disampaikan oleh pengusul (Koperasi Akar Perjuangan). Konflik lahan terjadi karena sebanyak 600 ha areal yang diusulkan oleh koperasi tumpang tindih dengan lokasi uji coba penanaman akasia yang terdapat di bawah izin Hak Pengusahaan Hutan PT. HRB. Di atas areal yang dipermasalahkan tersebut telah beridiri tegakan akasia hasil uji coba yang kondisi fisiknya sudah siap tebang. Pihak perusahaan menghendaki agar areal tersebut dikeluarkan terlebih dahulu dan tegakan akasia yang sudah dibangun diizinkan untuk dimanfaatkan oleh perusahaan. Opsi penyelesaian konflik telah disampaikan kepada pihak yang terlibat, yaitu melalui pembentukan kerjasama pemanfaatan kayu di areal tersebut antara pihak HRB dengan koperasi pengusul HTR, namun opsi tersebut masih dalam proses pembicaraan.

5.2.2.Praktek Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat

Desa Ranggang

Hasil survey rumah tangga menunjukkan bahwa dari 9914 KK petani yang disurvey, rata-rata luas kepemilikan lahan petani responden adalah 2.06 ha. Jumlah petani pemilik tanaman mahoni adalah sebanyak 45 KK atau sekitar 6% dari jumlah KK yang tinggal di desa, lebih banyak dari informasi semula yang diperoleh dari wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat pada saat pemilihan responden dilaksanakan. Seperti telah disampaikan sebelumnya, seluruh petani

13

Bapak Djoko adalah Ketua Koperasi “Akar Perjuangan”, bertempat di Jalan Poros Pelaiharai- Batulicin, Desa Asam-asam, Kecamatan Jorong, Kabupayen Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.

14

Hasil survey rumah tangga didasarkan atas 99 KK karena 2 KK petani responden tidak mempunyai kelengkapan data sehingga dikeluarkan dari daftar responden.

penanam mahoni tersebut terkonsentrasi pada 2 RT dari 10 RT yang ada di desa, yaitu di RT 6 dan 7 yang keduanya didominasi oleh penduduk dari etnis Jawa.

Para petani kayu mahoni pada umumnya memiliki lahan yang lebih luas dengan luas kepemilikan rata-rata sebesar 3.22 ha per KK. Setengah dari jumlah KK tersebut memiliki lahan dengan luas di atas 3 ha per KK (lihat Gambar 11). Petani responden non penanam kayu rata-rata memiliki lahan dengan luas 1 ha per KK. Sebagian besar dari mereka memiliki lahan di bawah 1 ha per KK (Gambar 12). Hasil survey rumah tangga tersebut sesuai dengan laporan Profil Desa Tahun 2007 (Pemerintah Kabupaten Tanah Laut Kecamatan Takisung Desa Ranggang 2007) yang mencatat bahwa sebagian besar penduduk desa (93%) hanya memiliki lahan di bawah 1 ha per KK.

Gambar 11 Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden penanam kayu di Desa Ranggang. 4 4 11 7 11 11 51 < 0.5 ha .5 - < 1.0 ha 1.0 - < 1.5 ha 1.5 - < 2.0 ha 2.0 - < 2.5 ha 2.5 - < 3.0 ha > 3.0 ha

Gambar 12 Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden non penanam kayu di Desa Ranggang.

Para petani kayu pada umumnya mengalokasikan sebagian besar (33%) lahan mereka untuk produksi tanaman pangan dalam bentuk sawah dan tegalan (Gambar 13). Tanaman kayu rata-rata mencakup 26% dari luas lahan yang mereka miliki dan sebagian dari mereka memiliki kebun karet sebesar 13% dari total luas lahan yang dimiliki. Para petani non penanam kayu mengalokasikan sebagian besar lahan mereka (55%) untuk produksi tanaman pangan dalam bentuk sawah dan tegalan (Gambar 14). Beberapa dari mereka juga memiliki kebun karet yang rata-rata mencakup 13% dari luas lahan yang mereka miliki.

Sesuai dengan gambaran yang diberikan oleh sistem alokasi penggunaan lahan, sumber mata pencaharian keluarga petani di Desa Ranggang adalah usaha tani tanaman pangan (55%). Bidang usaha lainnya adalah pada kegiatan non usaha tani, yaitu sebagai buruh (13%), karyawan tetap di perusahaan (9%) dan pedagang kebutuhan pokok (7%), seperti terlihat pada Gambar 15. Tanaman kayu dan karet belum memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga petani karena umur tanaman yang relatif masih muda.

41 17 17 4 7 2 13 < 0.5 ha .5 - < 1.0 ha 1.0 - < 1.5 ha 1.5 - < 2.0 ha 2.0 - < 2.5 ha 2.5 - < 3.0 ha > 3.0 ha

Gambar 13 Alokasi penggunaan lahan petani responden penanam kayu di Desa Ranggang.

Gambar 14 Alokasi lahan petani responden non penanam kayu di Desa Ranggang. 13 14 29 26 13 5 0 20 40 60 80 100 120 < 0.5 .5 - < 1.0 1.0 - < 1.5 1.5 - < 2.0 2.0 - < 2.5 2.5 - < 3.0 > 3.0 Total Lainnya Kebun karet Kebun kayu Tegalan Sawah Pekarangan 20 37 18 5 13 6 0 20 40 60 80 100 120 < 0.5 .5 - < 1.0 1.0 - < 1.5 1.5 - < 2.0 2.0 - < 2.5 2.5 - < 3.0 > 3.0 Total Lainnya Kebun karet Kebun sawit Tegalan Sawah Pekarangan

Gambar 15 Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Ranggang. Seperti disampaikan oleh beberapa tokoh masyarakat di Desa Ranggang, kegiatan penanaman mahoni secara intensif terjadi sejak tahun 2003, yang dipicu oleh program rehabilitasi hutan dan lahan yang dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya Dinas Kehutanan tingkat provinsi dan kabupaten serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kalimantan Selatan. Melalui proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh instansi tersebut, pemerintah memberikan bantuan kepada masyarakat berupa bibit, upah kerja dan bantuan teknis lainnya pada kegiatan penanaman kayu di kawasan hutan negara dan lahan-lahan masyarakat. Masyarakat di Desa Ranggang, khususnya di RT 6 dan 7 secara aktif menyambut program pemerintah tersebut karena merasa terbantu dengan berbagai bantuan yang ditawarkan pemerintah.

Informasi dari petugas penyuluh kehutanan lapangan menyatakan bahwa respon petani di desa Ranggang terhadap program pemerintah dalam pengembangan tanaman kayu rakyat tidak merata. Petani di wilayah RT 6 dan 7 yang didominasi oleh petani dari etnis Jawa lebih bersemangat dan konsisten dalam mengikuti kegiatan-kegiatan pendampingan yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan. Sebagai akibatnya, para petugas lapangan pun lebih suka menempatkan proyek-proyek bantuan dan kegiatan-kegiatan pendampingan mereka pada kedua RT tersebut. Namun demikian, hasil survey rumah tangga juga menunjukkan bahwa sebagian besar alasan yang disampaikan oleh para petani

55 13 9 7 7 4 4 1 0 10 20 30 40 50 60 Tanaman Pangan

Buruh non usaha tani

Karyawan tetap

Pedagang

Buruh usaha tani

Industri RT

Jasa

responden non penanam kayu adalah karena keterbatasan lahan yang mereka miliki.

Masyarakat memilih jenis kayu mahoni untuk ditanam pada lahan-lahan mereka, sebagian besar karena pertimbangan ekonomi. Tanaman mahoni diyakini memiliki pangsa pasar yang baik dan akan laku dijual dengan harga yang cukup menarik. Para petani juga telah mengetahui bahwa di wilayah tetangga mereka (Kecamatan Jorong) telah ada perusahaan tanaman industri yang melakukan penanaman kayu mahoni (PT. Emida) secara intensif untuk memasok pabrik mebel mereka di Jawa. Para petani berharap bahwa keberadaan perusahaan tersebut akan menjadi salah satu peluang akses pasar atas kayu mahoni mereka. Hasil survey rumah tangga yang menanyakan langsung alasan petani atas penanaman mahoni adalah seperti terlihat pada Gambar 16. Disamping untuk dijual, kayu mahoni dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, antara lain untuk renovasi rumah tinggal mereka atau untuk membuat berbagai perabotan rumah tangga.

Gambar 16 Alasan petani menanam beberapa jenis komoditas usaha tani di Kabupaten Tanah laut.

Praktek penanaman mahoni umumnya dilakukan secara monokultur dengan jarak tanam antara 4X4 m, 4X5 m atau 5X5 m. Pada umumnya lahan bawah tegakan mahoni ditanami rumput untuk pakan ternak, walaupun sebagian dari petani ada juga yang memanfaatkannya untuk penanaman palawija, seperti jagung, kacang tanah atau singkong. Petani pada umumnya merawat tanaman

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Lainnya Sosial Lingkungan Konsumsi sendiri Ekonomi

mahoni mereka dengan baik, seperti melakukan penyiangan untuk pembersihan lahan, pemupukan dan pemangkasan batang. Penjarangan belum dilakukan karena tanaman masih relatif muda dan jarak tanam sudah cukup lebar.

Hasil inventarisasi atas 77 petak tanaman mahoni (luas total 95.75 ha) yang dimiliki oleh 24 petani mahoni menunjukkan bahwa 65% tegakan mereka berada pada kondisi baik, 22% tegakan pada kondisi sedang dan sisanya pada kondisi buruk. Kondisi baik artinya tanaman mahoni rata-rata memiliki batang yang baik sebagai bahan untuk kayu pertukangan. Kondisi sedang berarti bahwa tanaman mahoni memiliki batang pohon yang mengandung cacat, namun secara umum masih dapat dimanfaatkan untuk kayu pertukangan. Kondisi buruk berarti bahwa sebagian besar tanaman mahoni mengandung cacat yang terlalu banyak sehingga kurang cocok untuk bahan kayu pertukangan. Rata-rata potensi volume untuk masing-masing kondisi tersebut adalah 13.6 m3/ha, 11.1 m3/ha dan 2.3 m3/ha. Ilustrasi tanaman mahoni rakyat di desa ini terlihat pada Gambar 17.

Desa Asam Jaya

Hasil survey rumah tangga terhadap 52 petani responden menunjukkan bahwa luas kepemilikan lahan rata-rata per KK adalah 2.56 ha. Sebanyak 60% petani responden memiliki lahan di atas 2 ha dan hanya sekitar 13% responden yang mengelola lahan di bawah 1 ha per KK (lihat Gambar 18). Sebanyak 44 KK dari responden yang disurvey adalah para petani penanam kayu jabon, dan sebagian di antaranya juga memiliki tanaman kayu akasia. Pada kasus di Desa Asam Jaya, distribusi kepemilikan lahan antara petani penanam kayu dan non penanam kayu relatif seragam.

Para petani responden pada umumnya mengalokasikan sebagian besar lahan mereka untuk tanaman kayu dan kebun karet (Gambar 19). Alokasi lahan untuk sawah dan tegalan relatif kecil (total = 24%) yang menunjukkan bahwa usaha tanaman pangan bukan merupakan jenis usaha tani yang dominan. Tanaman karet cukup dominan di dalam penggunaan lahan. Sebagian besar petani responden non penanam kayu mengatakan bahwa mereka lebih memilih tanaman karet dari pada tanaman jabon karena lebih menguntungkan sebagai sumber pendapatan keluarga.

Gambar 17 Ilustrasi tanaman mahoni rakyat di Desa Ranggang.

Gambar 18 Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden di Desa Asam Jaya.

4 10 17 10 25 10 25 < 0.5 .5 - < 1.0 1.0 - < 1.5 1.5 - < 2.0 2.0 - < 2.5 2.5 - < 3.0 > 3.0

Gambar 19 Alokasi penggunaan lahan petani responden di Desa Asam Jaya. Sebagian besar (69%) petani responden di desa ini berprofesi sebagai pekerja di luar bidang usaha tani, yaitu sebagai buruh non usaha tani (33%), karyawan tetap (sebagai Pegawai Negeri Sipil atau bekerja di berbagai perusahaan) dan pedagang barang-barang kebutuhan pokok (12%). Kegiatan usaha tani sebagai sumber mata pencaharian utama keluarga dipraktekkan oleh relatif sejumlah kecil petani responden (18%) terutama dalam bentuk usaha tanaman pangan (12%). Tanaman kayu maupun kebun karet yang mereka miliki belum memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga (lihat Gambar 20).

Penanaman jabon pada umumnya dilakukan secara monokultur dengan jarak tanam pada umumnya 4X4 m. Hasil inventarisasi atas 92 plot tanaman jabon milik petani menunjukkan bahwa sekitar 42% tegakan berada pada kondisi baik, 28% pada kondisi sedang dan 13% pada kondisi buruk. Potensi volume tegakan pada masing-masing kondisi tersebut adalah 51 m3, 28 m3, dan 20 m3 per ha. Ilustrasi tanaman jabon rakyat tersebut terlihat pada Gambar 21.

Selain tanaman jabon, beberapa keluarga petani juga memiliki tanaman akasia yang dibangun melalui kontrak kerjasama dengan perusahaan hutan tanaman industri, yaitu PT. HRB. Kontrak dilakukan pada tahun 2003 dengan perusahaan tersebut oleh sekitar 25 KK melalui Koperasi Unit Desa (KUD) Tani Jaya Murni. Di dalam kerjasama tersebut pada prinsipnya petani hanya menyediakan areal lahan karena seluruh aktivitas penanaman dilakukan oleh perusahaan. Menurut penuturan staf PT. HRB di lokasi (Bapak Andri

14 6 18 29 22 10 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% < 0.5 .5 - < 1.0 1.0 - < 1.5 1.5 - < 2.0 2.0 - < 2.5 2.5 - < 3.0 > 3.0 Total Lainnya Kebun karet Kebun kayu Tegalan Sawah Pekarangan

Jatiatmana15, komunikasi pribadi) tujuan penanaman akasia tersebut adalah untuk memasok industri serpih dengan rotasi tebang antara 6 sampai 7 tahun. Sistem pembagian hasil antara perusahaan dengan pemilik lahan adalah 60:40 dari harga jual kayu yang disepakati setelah dikurangi biaya produksi. Ilustrasi tanaman akasia pola kemitraan tersebut terlihat pada Gambar 22.

Gambar 20 Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Asam Jaya.

Gambar 21 Ilustrasi tanaman jabon rakyat di Desa Asam Jaya.

15

Bapak Andri Jatiatmana adalah perwakilan PT. Hutan Rindang Banua, beralamat di Jl. Sei Baru RT 06 RW 04, Desa Asam-Asam, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut. 33 24 12 12 12 4 2 2 0 5 10 15 20 25 30 35

Buruh non usaha tani

Karyawan tetap

Pedagang

Buruh usaha tani

Tanaman Pangan

Ternak

Jasa

Gambar 22 Tanaman akasia model kemitraan antara PT. Hutan Rindang Banua dengan masyarakat di Kecamatan Jorong.

Sebagaimana telah dijelaskan, penanaman kayu jabon di desa ini dipicu oleh tawaran dari PT. Hendratna, sebuah perusahan kayu lapis yang memiliki pabrik di Banjarmasin. Sebagian besar petani (65%) menerima tawaran tersebut karena menganggap bahwa tanaman jabon akan menjadi sumber pendapatan (tabungan) keluarga yang cukup menjanjikan. Tujuan ekonomi merupakan motif utama penanaman kayu seperti diperlihatkan oleh Gambar 16.

Jaminan kepastian pasar juga menjadi isu penting yang berkembang di kalangan para petani kayu jabon pada akhir-akhir ini. Pada saat investasi penanaman dilakukan, para petani merasa yakin bahwa tanaman jabon mereka akan ditampung oleh perusahaan kayu lapis yang memberikan bibit secara cuma- cuma. Namun demikian perusahaan tersebut kini mengalami kebangkrutan dan sudah tidak beroperasi sehingga mengganggu harapan petani. Beberapa petani yang diwawancarai kini kurang menaruh perhatian terhadap tanaman jabon mereka dan mulai mengurangi intensitas pemeliharaan tegakan jabon mereka. Pada beberapa kasus bahkan dijumpai petani yang telah mengganti tanaman jabon mereka dengan tanaman karet yang dianggap memiliki prospek pasar yang lebih menjanjikan (lihat Gambar 23).

Gambar 23 Tanaman jabon rakyat yang ditebang oleh pemiliknya karena akan diganti dengan kayu karet.

Hasil FGD yang dilakukan bersama beberapa perwakilan tokoh masyarakat dan petani di Desa Asam Jaya menunjukkan bahwa kegiatan pendampingan dari instansi pemerintah di sektor kehutanan relatif masih terbatas, sehingga para petani belum memperoleh banyak kesempatan untuk terlibat di dalam program- program pengembangan tanaman kayu rakyat. Kecamatan Jorong sebenarnya telah memperoleh alokasi lahan untuk pengembangan HTR, namun masyarakat di Desa Asam Jaya belum mengetahui tentang program tersebut.

5.2.3. Analisa Kelembagaan: Persepsi dan Strategi Petani dalam Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat

Petani melihat usaha tanaman kayu rakyat sebagai sebuah peluang untuk memperoleh tambahan pendapatan. Kemiripan antara kasus di kedua desa penelitian adalah, bahwa pemicu minat masyarakat terhadap usaha tanaman kayu tersebut berasal dari pihak luar. Pada kasus di Desa Ranggang, petani melihat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dengan terlibat pada program pengembangan tanaman kayu yang digagas instansi pemerintah. Selain petani memandang bahwa kayu mahoni memiliki prospek ekonomi yang baik, keterlibatan tersebut juga akan menjadi akses mereka terhadap berbagai bantuan

yang disediakan oleh pemerintah16. Pemilihan jenis mahoni sebagai jenis yang dikembangkan merupakan pilihan rasional petani, karena disamping jenis kayu tersebut mempunyai harga jual yang tinggi, kayu tersebut juga dapat digunakan untuk keperluan sendiri. Di berbagai negara, khususnya di Asia Tenggara, program-program dan kebijakan yang diberikan pemerintah berpengaruh positif terhadap ekspansi tanaman kayu (Rudel 2009).

Secara ekologis, kayu mahoni juga cocok dengan kondisi lingkungan di Kabupaten Tanah Laut yang memiliki wilayah dengan ketinggian antara 0 – 1000 m dpl. dan curah hujan yag beriklim tropis basah. Kayu mahoni cocok dengan kondisi tersebut dan toleran terhadap berbagai jenis tanah (Whitmore dalam Krisnawati et al. 2011b; Lamb dalam Krisnawati et al. 2011b; Martawijaya et al. 2005).

Tidak diketahui dengan pasti apakah petani di Desa Ranggang telah memiliki pengetahuan tentang kesesuaian tempat tumbuh jenis kayu tersebut. Namun demikian pemilihan atas jenis kayu tersebut merupakan keputusan yang cukup strategis. Petani tidak memilih kayu jati, yang mungkin mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dari mahoni karena kayu jati kurang begitu cocok dengan kondisi lingkungan setempat. Wilayah Kabupaten Tanah Laut tidak memiliki musim kemarau yang nyata dan jenis tanah yang kurang mengandung kapur yang biasa dibutuhkan tanaman jati. Kayu karet tidak menjadi pilihan petani karena jenis ini tidak termasuk ke dalam jenis yang ditawarkan oleh pemerintah. Jenis kayu karet baru termasuk ke dalam jenis tanaman kehutanan sejak diperkenalkan program HTR yang relatif baru.

Para petani di desa Asam Jaya melihat tanaman jabon sebagai salah satu peluang karena mereka umumnya memiliki lahan yang cukup luas. Sementara itu

Dokumen terkait