DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN TANAH LAUT, PROVINSI
KALIMANTAN SELATAN)
DEDE ROHADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Analisis Persepsi dan Strategi Petani dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha
Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta
dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan) adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Dede Rohadi
DEDE ROHADI. Analysis of Farmer’s Perceptions and Strategies in Smallholder Timber Plantation Business (Case studies of Smallholder Timber Plantations at Gunungkidul District, Special Province of Yogyakarta and Tanah Laut District,
Province of South Kalimantan). Under direction of HARIADI
KARTODIHARDJO, BRAMASTO NUGROHO and DUDUNG DARUSMAN.
Smallholder timber plantations play strategic roles in forestry development in
Indonesia, particularly on improving farmers’ livelihood at rural areas, supplying
wood materials for forest industries and supporting forest rehabilitation program. The potential for developing smallholder timber plantations in Indonesia is huge, given the vast areas of critical land in Indonesia as well as high demand for wood. The facts however showed that the development of smallholder timber plantations in Indonesia only concentrates in Java. This dissertation aims to identify alternatives on policy intervention to support the development of smallholder
timber plantations in Indonesia through better understanding on farmer’s
perceptions and strategies on timber plantation practices. The study was conducted through case studies of smallholder timber plantations at Gunungkidul district, the province of Yogyakarta and Tanah Laut district, the province of South Kalimantan. Data was collected through household surveys, interviews with key informants, focus group discussions, inventory of smallholder timber plantation plots, and by collecting secondary publication materials at the two case study sites. The results showed that timber plantations play major roles as household
saving accounts and as farmers’ safety net. Farmer’s investment of timber
plantations management depends on the relative benefits of timber plantations as compared to other farming options. Access to markets and timber selling price are the main driving factors for farmers to invest more on their timber plantations. The availability of land area ownership and production-input capital are also important factors. Governments need to develop policies that strengthen farmers' access to timber markets, such as through institutional strengthening of farmer groups on timber marketing collective action, developing micro credit facilities for farmers and simplifying timber transport document regulations. Governments
are also advised to strengthen farmers’ capacity on timber value-added activities and building business partnership with timber industries.
Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi
Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO,
BRAMASTO NUGROHO dan DUDUNG DARUSMAN.
Tanaman kayu rakyat memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan kehutanan di Indonesia, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan, penyediaan bahan baku kayu bagi industri kehutanan dan rehabilitasi sumber daya hutan. Potensi pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia sangat besar mengingat luasnya areal lahan kritis di Indonesia serta tingginya permintaan terhadap bahan baku kayu. Namun demikian, fakta sejauh ini menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Diperlukan intervensi kebijakan yang lebih baik agar pertumbuhan tanaman kayu rakyat di Indonesia dapat lebih ditingkatkan.
Disertasi ini bertujuan untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman tersebut penting untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan intervensi kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi petani, sehingga lebih efektif dalam memotivasi petani untuk menanamkan investasi di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pendekatan analisa dan pengembangan kelembagaan digunakan di dalam disertasi ini untuk memahami proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani sebagai aktor utama di dalam sistem usaha tanaman kayu rakyat.
Data dan informasi yang digunakan di dalam analisa ini didasarkan atas studi kasus tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Pada kedua lokasi studi kasus tersebut, dilakukan pengamatan tanaman kayu rakyat melalui inventarisasi tanaman kayu petani, survey rumah tangga terhadap sejumlah responden petani, diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion
(FGD), wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat dan aparat instansi pemerintah dan pengumpulan data sekunder dari bahan-bahan publikasi yang tersedia.
Hasil penelitian disertasi ini memperlihatkan bahwa pada umumnya petani memandang usaha tanaman kayu sebagai salah satu upaya dalam meragamkan (diversifikasi) sumber pendapatan keluarga. Tanaman kayu dianggap mempunyai peranan penting sebagai tabungan keluarga. Persepsi lainnya dari petani terhadap usaha tanaman kayu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan kondisi setempat (site specific).
Gunungkidul dijumpai secara merata pada seluruh petani.
Di Kabupaten Tanah Laut persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu lebih didominasi oleh aspek ekonomi. Para petani memandang usaha tersebut mempunyai prospek yang baik dalam upaya diversifikasi pendapatan keluarga, terutama karena pengaruh intervensi pihak luar, yaitu perusahaan yang menjanjikan akan menampung kayu hasil tanaman (pada kasus di Desa Asam Jaya) dan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan dan instansi kehutanan lainnya) dalam rangka program pengembangan hutan rakyat (pada kasus di Desa Ranggang). Namun demikian, pandangan positif terhadap usaha tanaman kayu di Kabupaten Tanah Laut tersebut hanya terbatas pada sebagian kecil petani.
Strategi yang diterapkan petani di dalam sistem usaha tanaman kayu berbeda antara Kabupaten Gunungkidul dan Tanah Laut. Di Kabupaten Gunungkidul, karena keterbatasan luas kepemilikan lahan, sementara prospek ekonomis kayu jati yang cukup baik, para petani menerapkan strategi subsisten (coping strategy) dan diversifikasi (diversified strategy) sumber pendapatan. Fokus usaha tani masih terletak pada produksi tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri untuk menimbulkan rasa aman terhadap ancaman kekurangan pangan (safety first), sedangkan tanaman jati berfungsi sebagai tabungan keluarga yang mudah diuangkan apabila petani dihadapkan kepada kebutuhan mendesak akan uang tunai. Pola budidaya tanaman jati dilakukan secara tumpang sari (pola agroforestri) dengan umur tanaman yang beragam untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dengan luas yang terbatas dalam rangka memenuhi kedua tujuan di atas. Strategi pemanenan kayu lebih dikaitkan dengan saat petani membutuhkan uang tunai (tebang butuh) daripada rencana pemanenan dengan rotasi tebang tertentu. Di Kabupaten Tanah Laut, strategi petani dalam usaha tanaman kayu lebih bersifat diversifikasi pendapatan dengan pola budidaya yang lebih spesialis (specialized strategy), dalam pengertian penanaman kayu dilakukan secara monokultur dan umur tegakan seragam dan dengan target rotasi tebang tertentu.
perlu dilakukan pemerintah dalam rangka mendorong perkembangan usaha tanaman kayu rakyat di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat perlu dilakukan dengan memperhatikan permasalahan-permsalahan pada kondisi lokal. Secara umum kebijakan pemerintah perlu diarahkan untuk memperkuat akses pasar dan posisi tawar petani di dalam pemasaran hasil tanaman kayu mereka. Penguatan kelembagaan kelompok tani dalam upaya pemasaran kayu secara bersama merupakan salah satu program yang perlu dilakukan secara intensif oleh pemerintah daerah. Upaya pemasaran kayu secara bersama tersebut dapat diintegrasikan dengan penyediaan kredit mikro bagi petani untuk mencegah penebangan kayu yang terlalu dini (premature harvesting) sehingga belum mencapai nilai jual optimal. Penguatan kelembagaan kelompok tani dalam rangka pemasaran bersama dapat menjadi batu loncatan untuk mengembangkan kontrak kerjasama penjualan kayu antara kelompok tani dengan industri pengolahan kayu atau industri hutan tanaman. Pemerintah (pusat dan daerah) juga perlu menghilangkan aturan tata niaga kayu (SIT dan SKAU) yang cenderung menjadi kendala pemasaran kayu rakyat serta menimbulkan biaya transaksi tinggi. Pemerintah juga disarankan untuk meningkatkan kapasitas petani di dalam proses pengolahan kayu, agar petani memiliki peluang untuk terlibat di dalam aktivitas peningkatan nilai tambah bahan baku kayu menjadi produk-produk olahan setengah jadi.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN TANAH LAUT, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN)
DEDE ROHADI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, MS. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS.
Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan)
Nama : Dede Rohadi
NIM : E. 061 060 121
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Ketua
Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Naresworo Nugroho, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr.
berjudul “Analisis Persepsi dan Strategi Petani Dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul
Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan
Selatan)” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Penelitian dalam rangka disertasi ini telah dilakukan pada tahun 2007
sampai 2010.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi
Kartodihardjo, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Bramasto
Nugroho, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA., selaku anggota
komisi, atas segala bimbingan dan arahannya. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Sudarsono
Soedomo, MS. yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian
Tertutup dan kepada Bapak Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, MSc. serta Dr. Ir.
Supriyanto selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. Penulis juga
menyadari bahwa disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa dukungan
yang diberikan dari segenap jajaran pimpinan IPB, khususnya Rektor IPB, Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan, dan Ketua Departemen Manajemen Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Center for International Forestry Research dan Australian Center for International Agricultural Research
yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang sangat berarti di dalam
pelaksanaan penelitian disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Kepala Pusat
Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan atas dukungan yang diberikan selama
penulis melaksanakan pendidikan doktor ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan dengan setulus-tulusnya kepada
isteri, anak, ibu, ayah (alm) dan sanak saudara yang telah memberikan do’a dan
kasih yang sebesar-besarnya dan semoga Allah Yang Maha Pemurah jua lah yang
akan berkenan membalas kebaikan Ibu/Bapak/Saudara tersebut.
Akhirnya penulis berharap agar disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi
upaya pengembangan ilmu serta program pembangunan kehutanan di Indonesia.
Bogor, Februari 2012
Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 22 Maret 1959,
merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara dari pasangan Sambas
Adiwidjaja (alm) dan Ilis Idah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1
pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun
1982. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan S2 (Master in Forestry Science) pada The University of Melbourne, Australia dengan dukungan beasiswa dari Australian International Development Assistance Bureau (AIDAB). Penulis menempuh program pendididikan S3 Pascasarjana IPB sejak September tahun
2006.
Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Penulis memulai karir Pegawai Negeri Sipil dengan
bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Penulis pernah ditugaskan sebagai Kepala Balai
Penelitian Kehutanan di Makassar dan Pematang Siantar, serta sebagai Kepala
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Ciheuleut Bogor. Penulis pernah
diperbantukan sebagai Seconded Scientist pada lembaga penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 1999 sampai 2001 dan sebagai Project Leader pada proyek penelitian “Improving Economic Outcomes for Smallholders Growing Teak in Agroforestry Systems in Indonesia” pada lembaga yang sama pada tahun 2007 sampai 2011.
Penulis telah menyusun beberapa publikasi ilmiah yang terkait dengan topik
kebijakan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, baik dalam bentuk tulisan
pada jurnal ilmiah, bagian dari buku, makalah seminar atau poster. Diantara
publikasi ilmiah tersebut ada yang telah diterbitkan di dalam jurnal internasional,
sebagai bagian dari buku yang diterbitkan oleh CIFOR atau berupa
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 3
1.3.Tujuan penelitian ... 5
1.4.Ruang lingkup Penelitian ... 6
1.5.Manfaat Hasil Penelitian ... 6
1.6.Kebaruan ... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1.Tanaman Kayu Rakyat pada Skala Global ... 9
2.2.Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia ... 16
2.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat ... 24
2.4.Kerangka Analisa Kelembagaan dalam Konteks Persepsi dan Strategi Petani dalam Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat ... 29
III. METODE PENELITIAN... 37
3.1.Pendekatan dan Kerangka Analisa Penelitian ... 37
3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38
3.3.Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 41
3.4.Analisa Data ... 47
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49
4.1.Kabupaten Gunungkidul ... 49
4.2.Kabupaten Tanah Laut ... 52
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59
5.1.Tanaman Jati Rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 59
5.1.1. Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Sistem Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 59
5.1.2. Praktek Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 62
5.1.3. Analisa Kelembagaan: Konsepsi dan Strategi Petani Dalam Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 69
5.1.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengembangan Usaha Tanaman Kayu Rakyat ... 74
5.2.Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Tanah Laut ... 77
5.2.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengusahaan
Tanaman Kayu Rakyat ... 97 5.3.Pembelajaran dan Implikasi Kebijakan ... 99
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105 6.1.Kesimpulan ... 105 6.2.Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 111
1. Tipologi tanaman kayu rakyat pada berbagai tempat di dunia ... 14
2. Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan rakyat di Indonesia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003
(Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004) ... 23
3. Lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta ... 39
4. Komposisi jumlah petani responden pada survey rumah tangga
di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ... 43
5. Kriteria yang digunakan dalam teknik ranking kesejahteraan
keluarga di Desa Ranggang ... 43
6. Distribusi penggunaan lahan di Desa Asam Jaya, Kecamatan,
Jorong Kabupaten Tanah Laut ... 58
7. Harga kayu bulat jati di tingkat pedagang kayu desa pada berbagai
kelas kualitas ... 60
8. Jumlah tanaman jati pada berbagai tipe penggunaan lahan petani
di Kabupaten Gunungkidul ... 63
9. Analisa finansial usaha tani rakyat berbasis tanaman jati ... 68
10. Komponen biaya input dan pendapatan usaha tani kitren dan
tegalan ... 68
11. Persepsi dan strategi petani kayu di dalam sistem pengusahaan
tanaman jati rakyat ... 73
12. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Kalimantan
Selatan ... 79
13. Ringkasan strategi petani dalam sistem pengusahaan tanaman
kayu rakyat di Kabupaten Tanah Laut ... 96
14. Perincian harga kayu yang diterima pabrik PT. Navatani
1. Kegiatan penanaman hutan rakyat di Indonesia... 22
2. Produksi kayu bulat Indonesia ... 23
3. Kerangka analisa kelembagaan (Ostrom, 2006)... 30
4. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Daerah
Istimewa Yogyakarta... 40
5. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi
Kalimantan Selatan ... 41
6. Berbagai pola penanaman jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 62
7. Alasan petani menanam jati berdasarkan hasil survey rumah tangga
di Kabupaten Gunungkidul ... 64
8. Distribusi luas kepemilikan lahan petani jati rakyat di Kabupaten
Gunungkidul ... 65
9. Alokasi penggunaan lahan petani jati rakyat di Kabupaten
Gunungkidul ... 65
10. Struktur pendapatan petani jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 67
11. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden penanam kayu
di Desa Ranggang ... 81
12. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden non penanam
kayu di Desa Ranggang ... 82
13. Alokasi penggunaan lahan petani responden penanam kayu di
Desa Ranggang ... 83
14. Alokasi lahan petani responden non penanam kayu di Desa Ranggang .. 83
15. Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Ranggang... 84
16. Alasan petani menanam beberapa jenis komoditas usaha tani di
Kabupaten Tanah laut ... 85
17. Ilustrasi tanaman mahoni rakyat di Desa Ranggang... 87
18. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden di Desa
Asam Jaya... 87
19. Alokasi penggunaan lahan petani responden di Desa Asam Jaya ... 88
20. Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Asam Jaya ... 89
21. Ilustrasi tanaman jabon rakyat di Desa Asam Jaya ... 89
22. Tanaman akasia model kemitraan antara PT. Hutan Rindang Banua
1. Data kepemilikan lahan petani responden di Kabupaten Gunungkidul ... 119
2. Data kepemilikan lahan petani responden di Kabupaten Tanah Laut ... 126
3. Alasan penanaman kayu menurut respon petani di lokasi penelitian ... 131
4. Rangkuman hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang manfaat
tanaman jati bagi keluarga petani (Wonosari, 2 Desember 2007) ... 132
5. Hasil inventarisasi tanaman jati rakyat pada lahan petani responden di
Kabupaten Gunungkidul ... 135
6. Hasil inventarisasi tanaman kayu pada lahan petani responden di
Kabupaten Tanah Laut ... 142
7. Analisa biaya manfaat usaha tanaman jati rakyat di Kabupaten
Gunungkidul ... 147
8. Ilustrasi transaksi pembelian dan penjualan kayu jati rakyat di
Kabupaten Gunungkidul ... 149
9. Analisa biaya manfaat usaha tanaman kayu jabon di Kabupaten
Tanah Laut ... 150
10. Analisa biaya manfaat usaha tanaman karet di Desa Asam Jaya,
Tanaman kayu rakyat (smallholder timber plantations) secara umum dapat diartikan sebagai tanaman kayu yang ditanam dalam bentuk kebun atau sistem
agroforestry, yang dibangun dan atau dikelola oleh rakyat, baik secara individu maupun berkelompok dan terutama bertujuan untuk memproduksi kayu. Tanaman
kayu rakyat di dalam pengertian ini khususnya mencakup Hutan Rakyat atau
Hutan Hak menurut Undang-undang (UU) No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) No 3 Tahun 2004; Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) menurut batasan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 atau
Permenhut No. 23 Tahun 2007; Hutan Kemasyarakatan (HKm) menurut
Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007.serta bentuk-bentuk tanaman kayu lainnya
yang menempatkan rakyat di tingkat pedesaan sebagai pelaku utama di dalam
kegiatan penanaman dan atau pengelolaannya. Tanaman kayu rakyat dapat
dibedakan dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) terutama dari aspek
pengelolanya dan skala operasionalnya. Dibandingkan dengan HTI, tanaman kayu
rakyat dikelola oleh masyarakat pada tingkat rumah tangga dengan skala luasan
yang relatif kecil.
Tanaman kayu rakyat di Indonesia memiliki peran yang sangat penting di
dalam pembangunan kehutanan. Tanaman kayu rakyat berperan sebagai sarana
pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, pemasok bahan baku kayu bagi
industri perkayuan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya
yang tinggal di wilayah pedesaan. Walaupun belum banyak data yang tersedia
tentang potensi kayu dari areal tanaman kayu rakyat, hasil sensus tahun 2003
mencatat bahwa potensi produksi kayu yang berasal dari areal hutan rakyat di
Indonesia adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara dengan 14 juta1 m3, sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan
45 juta m3 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004). Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh jenis tanaman hutan rakyat yang paling
dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, namun belum
mencakup berbagai jenis lainnya yang lebih spesifik ditanam di wilayah-wilayah
1
tertentu di Indonesia. Potensi tersebut relatif sangat besar apabila bila
dibandingkan dengan kemampuan pasokan kayu berdasarkan Jatah Penebangan
Tahunan (JPT) nasional tahun 2009, yang hanya mencapai 9.1 juta m3 (SK. Dirjen BPK No SK.432/VI-BPHA/2008).
Mengingat peranannya yang cukup nyata dalam pembangunan kehutanan,
berbagai dukungan kebijakan telah dilakukan pemerintah dalam upaya
pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut
bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat luas di dalam upaya
penanaman kayu. Diawali dengan Instruksi Presiden (INPRES) No. 8 pada tahun
1976, kegiatan tanaman kayu rakyat telah digalakkan di Indonesia melalui
program penghijauan dan reboisasi. Pada tahun 2003 pemerintah bahkan telah
menjadikan “perhutanan sosial” (social forestry) sebagai payung dalam pembangunan kehutanan (Rusli 2003) yang pada intinya menempatkan
masyarakat sebagai elemen penting di dalam pengelolaan hutan, termasuk dalam
kegiatan penanaman kayu. Setelah itu berbagai program pemerintah diluncurkan,
seperti Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL dan
kemudian menjadi GERHAN), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), hutan desa dan baru-baru ini program One Man One Tree
(OMOT) dan One Billion Indonesian Trees (OBIT).
Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa luas total areal tanaman kayu
rakyat di Indonesia dewasa ini baru mencapai sekitar 3.7 juta ha yang sebagian
besar berupa hutan rakyat (3.5 juta ha) dan sisanya merupakan gabungan dari
HKm, hutan desa dan HTR (Pusat Humas Kemenhut 2011). Dari jumlah tersebut,
sebagian besar tanaman berupa hutan rakyat yang terkonsentrasi di Jawa, di mana
ketersediaan lahan sangat terbatas. Sementara itu areal lahan kritis di Indonesia
yang berpotensi untuk pengembangan tanaman kayu rakyat kini telah mencapai
sekitar 42 juta ha (Hindra 2006). Nampaknya berbagai dukungan kebijakan yang
telah dilakukan pemerintah masih belum cukup efektif untuk meningkatkan
motivasi masyarakat luas di dalam usaha penanaman kayu rakyat. Oleh karena itu
berbagai upaya masih perlu dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang diterapkan
lebih tepat sasaran dalam memotivasi masyarakat luas di dalam usaha penanaman
1.2. Perumusan Masalah
Pengalaman di berbagai belahan dunia menunjukkan banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan tanaman kayu rakyat. Zhang dan Owiredu (2007)
melaporkan bahwa harga jual kayu merupakan faktor pendorong bagi
perkembangan tanaman kayu rakyat di Ghana. Permintaan yang tinggi atas kayu
serta keterbatasan pasokan kayu dari areal hutan alam telah mendorong
perkembangan hutan tanaman, termasuk tanaman kayu jati rakyat di Laos
(Midgley et al. 2007). Demikian pula di Filipina, perkembangan tanaman kayu
rakyat dipicu oleh permintaan atas kayu yang meningkat serta harga kayu yang
menguntungkan (Bertomeu 2006). Intensitas kebijakan pemerintah yang tinggi,
khususnya yang mendukung perkembangan hutan tanaman memiliki korelasi
yang kuat dengan pertumbuhan hutan tanaman pada skala global (Rudel 2009).
Manfaat ekonomis usaha tanaman kayu rakyat dilaporkan secara
kontradiktif oleh berbagai penulis. Pada kasus di Costa Rica, Kishor dan
Constantino (1993) melaporkan bahwa usaha tanaman kayu rakyat lebih
menguntungkan dibandingkan dengan usaha tanaman pertanian lainnya, apabila
tingkat suku bunga cukup rendah Akan tetapi beberapa kasus yang lain
menunjukkan hasil yang sebaliknya (van Bodegom et al. 2008). Bahkan di negara maju seperti Jepang, agar usaha tanaman kayu rakyat cukup menarik petani,
kadang-kadang subsidi pemerintah masih diperlukan (Ota 2001). Hasil penelitian
di Indonesia menunjukkan bahwa usaha tanaman kayu rakyat hanya memberikan
keuntungan finansial yang marjinal (Race et al. 2009), sementara Siregar et al.
(2007) melaporkan kasus tanaman sengon di Kediri yang ditanam dengan
berbagai pilihan tanaman pertanian memberikan keuntungan pada tingkat suku
bunga yang cukup tinggi (17.53%). Usaha tanaman kayu rakyat pada umumya
berperan hanya sebagai usaha sampingan para petani dan belum menjadi sumber
pendapatan utama (Darusman dan Hardjanto 2006; Lubis 2010; Sitanggang 2009).
Beberapa hal masih menjadi hambatan dalam upaya pengembangan
tanamanan kayu rakyat, seperti masa tunggu yang lama, keengganan para petani
untuk melakukan penjarangan tegakan dan keterbatasan akses mereka terhadap
bibit tanaman yang berkualitas (Midgley et al. 2007). Kebijakan pemerintah yang
dapat menyebabkan usaha tanaman kayu rakyat kurang kompetitif dengan harga
kayu dari hutan alam (Herbohn 2001). Di Kanada, dimana sebagian besar sumber
daya hutan dikuasai negara dan perusahaan besar, kebijakan-kebijakan atas
tanaman kayu sering lebih berpihak kepada perusahaan-perusahaan besar tersebut
dan menyediakan sedikit ruang bagi tanaman kayu rakyat untuk berkembang
(Mitchell-Banks 2001).
Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam
tentang bagaimana sistem usaha tanaman kayu rakyat berlangsung.
Mempertimbangkan bahwa petani kayu merupakan aktor utama di dalam usaha
tanaman kayu rakyat tersebut, maka diperlukan pemahaman yang lebih baik
terhadap proses pengambilan keputusan oleh petani di dalam usaha tanaman kayu
rakyat. Pemahaman tersebut akan sangat bermanfaat dalam perumusan kebijakan
yang lebih tepat untuk mendorong perkembangan tanaman kayu rakyat di
Indonesia.
Armstrong di dalam Clement (2007) menyatakan bahwa proses
pengambilan keputusan dipengaruhi oleh persepsi pembuat keputusan tersebut.
Persepsi biasanya sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena
persepsi didasarkan atas informasi yang diperoleh langsung dari subyek yang
diamati, dan lebih kuat pengaruhnya daripada informasi yang disampaikan secara
tidak langsung oleh pihak lain. Persepsi, menurut kamus bahasa
(http://kamusbahasaindonesia.org/persepsi# ixzz1j QA00R3g, diakses tanggal 14
Januari 2012; http://dictionary.reference.com/ browse/ perception, diakses tanggal
12 Januari 2012) dapat diartikan sebagai perolehan pengetahuan melalui indra
atau pikiran. Persepsi dibedakan dengan sekedar “tahu” atau “awareness”.
Persepsi mengandung pengertian bahwa informasi yang diketahui mempunyai
relevansi dengan kebutuhan subyeknya sehingga memberi pengaruh kepada
perilaku subyek. Perilaku petani akan berubah apabila awareness dan persepsi berkaitan atau berasosiasi (Oladele dan Fawole 2007).
Blaikie dalam Clement (2007) menyatakan bahwa persepsi terhadap suatu
realitas (biofisik) tergantung kepada representasi bentuk sosial yang terbentuk dari
beberapa tahap. Yang pertama adalah bahwa persepsi berubah melalui
Dalam konteks fakta ilmiah tersebut, Searle dalam Clement (2007) menegaskan
perlunya membedakan antara fakta-fakta alamiah (brute facts) dan fakta-fakta kelembagaan (institutional facts). Fakta alamiah relatif bersifat netral karena merupakan penjelasan atau deskripsi dasar atas suatu realitas biofisik, sedangkan
fakta kelembagaan sarat dengan nilai dimana nilai-nilai tersebut tidak harus sama
di antara kelompok-kelompok sosial yang berinteraksi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pemahaman atas persepsi petani
di dalam usaha tanaman kayu perlu dilakukan melalui pengumpulan informasi
atas pandangan petani terhadap usaha tersebut, serta dengan menganalisa
fakta-fakta alamiah dan kelembagaan yang dapat menjelaskan proses pengambilan
keputusan oleh petani. Selanjutnya, melalui pengamatan atas fakta-fakta di
lapangan, penelitian ini mencoba memahami strategi petani di dalam menjalankan
usaha tanaman kayu rakyat tersebut pada kondisi realitas kehidupan yang mereka
hadapi. Hasil analisa atas persepsi dan strategi petani tersebut selanjutnya
digunakan untuk mencari pilihan intervensi kebijakan yang lebih efektif untuk
mendorong investasi masyarakat di dalam usaha penanaman kayu rakyat.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menganalisa
persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat dalam rangka
penentuan pilihan-pilihan kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kinerja pengusahaan tanaman kayu rakyat di Indonesia.
Pertanyaan pokok penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini
adalah:
a. Bagaimanakah persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu rakyat dan
faktor-faktor apakah yang mempengaruhi persepsi petani tersebut?
b. Bagaimanakan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu
rakyat tersebut pada kondisi realitas kehidupam yang mereka alami?
c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh para petani dan peluang-peluang
yang tersedia bagi mereka untuk meningkatkan manfaat tanaman kayu rakyat
d. Apakah pilihan-pilihan intervensi kebijakan yang dapat dilakukan untuk
mendorong upaya peningkatan kinerja pengusahaan tanaman kayu rakyat di
Indonesia?
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Tanaman kayu rakyat yang dikaji di dalam penelitian ini difokuskan pada
hutan rakyat pada lahan-lahan milik petani. Beberapa informasi yang berkaitan
dengan bentuk tanaman kayu rakyat lainnya, seperti HKm dan HTR digunakan
sebagai pelengkap bahan kajian. Analisa didalam penelitian didasarkan atas
kasus-kasus pengusahaan tanaman kayu rakyat yang terdapat di dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten
Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.
Analisa atas persepsi dan strategi di dalam pengusahaan tanaman kayu
rakyat difokuskan kepada para petani sebagai aktor utama di dalam usaha ini.
Persepsi dari para aktor lainnya yang terlibat di dalam sistem ini digunakan dalam
konteks untuk menjelaskan persepsi dan strategi petani tersebut. Analisa terhadap
persepsi didasarkan atas respon langsung para petani responden atas pertanyaan
yang disampaikan melalui wawancara dan atau survey rumah tangga serta dengan
mengamati perilaku mereka di dalam tatacara pengusahaan tanaman kayu rakyat.
1.5. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi para
pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat, terutama kepada:
a. Para pengambil keputusan, khususnya para pengambil kebijakan di tingkat
pusat dan kabupaten: Penelitian ini menyajikan informasi yang menjelaskan
bagaimana persepsi petani atas usaha tanaman kayu rakyat dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal dan eksternal mereka serta mempengaruhi strategi
petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat tersebut. Informasi
tersebut sangat berguna sebagai bahan pertimbangan untuk merumuskan
intervensi kebijakan yang lebih adaptif dengan pola pikir para petani sebagai
aktor utama di dalam usaha tanaman kayu rakyat.
b. Kaum akademisi: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan
akan mendalami perilaku petani di dalam usaha penanaman kayu sebagai
respon atas kondisi lingkungan dan berbagai pengaruh lainnya.
c. Agen-agen pembangunan: Hasil penelitian ini memberikan informasi dan
pembelajaran dari studi kasus sistem usaha tanaman kayu rakyat di Jawa dan
luar Jawa, khusunya tentang hambatan yang dihadapi dan peluang intervensi
yang tersedia dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat
tersebut.
d. Masyarakat, khususnya para petani penanam kayu rakyat: Penelitian
memberikan manfaat secara tidak langsung kepada masyarakat melalui
adopsi hasil-hasil penelitian oleh para pengambil kebijakan di dalam
merumuskan kebijakan yang baru yang lebih kondusif bagi pengembangan
usaha tanaman kayu rakyat.
e. Para pengusaha atau penanam modal, khususnya perusahaan-perusahaan
kehutanan: Penelitian ini memberikan informasi dan pembelajaran tentang
potensi dan cara-cara untuk menjalin kemitraan yang berkesinambungan
dengan para kelompok petani tanaman kayu rakyat.
1. 6. Kebaruan
Kebaruan yang dihasilkan dari penelitian ini terletak pada penggunaan
kerangka analisa kelembagaan untuk memahami hubungan sebab akibat antara
strategi petani di dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat dengan persepsi
petani atas usaha tersebut serta faktor-faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi persepsi dan strategi petani tersebut. Pada tataran operasional,
penelitian ini juga menghasilkan beberapa pilihan intervensi kebijakan yang dapat
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kayu Rakyat pada Skala Global
Pada skala global, tanaman kayu rakyat dijumpai dalam beragam tipe, baik
dalam konteks peristilahan, kepemilikan, luasan, tujuan serta tatacara
pengelolaannya (Harrison et al. 2002). Di Amerika Serikat, istilah yang paling sering digunakan adalah Non Industrial Private Forest (NIPF) dan pada umumnya diartikan sebagai kawasan hutan yang dimiliki oleh petani, perseorangan atau
perusahaan yang tidak memiliki pabrik pengolahan kayu. Terdapat berbagai
istilah lain yang biasa digunakan namun dengan frekuensi yang lebih jarang. Luas
total areal NIPF mencakup hampir 60% dari keseluruhan tanaman kayu di
Amerika Serikat dan memasok sekitar 50% dari produksi kayu nasional mereka.
Areal NIPF dimiliki oleh sekitar 7 juta perorangan dimana sekitar 600,000
pemilik mengelola areal lebih dari 40 ha (Harrison et al. 2002). Zhang et al.
(2009) melaporkan bahwa perkembangan tanaman kayu rakyat di Amerika Serikat
pada akhir-akhir ini cenderung meningkat. Dengan luas total areal hutan sekitar
248 juta ha, sekitar 2/3 atau 157 juta ha kini dimiliki secara pribadi. Sekitar 2/3
dari areal hutan milik tersebut kini dikelola oleh lebih dari 10 juta individu
keluarga.
Eropa, dengan luas total areal hutan sekitar 215 juta ha atau sekitar 30% dari
luas total lahan (tidak termasuk bekas negara-negara yang tergabung dalam Uni Sovyet Socialist Republic/USSR), areal hutannya terkonsentrasi di negara-negara Eropa Utara (Nordic countries), daerah Balkan (Baltic countries) dan di beberapa bagian di Eropa Tengah. Swedia dan Finlandia, yang termasuk ke dalam Nordic countries, memiliki lebih dari 50 juta ha areal hutan (Hyttinen 2001). Di negara-negara Eropa Utara (Finlandia, Swedia dan Norwegia) telah lama dikenal istilah
”Family Forestry”. Individu masyarakat mengelola hutan disamping aktivitas ekonomi lainnya seperti usaha tani dan kegiatan non usaha tani. Di negara-negara
ini hutan yang dimiliki individu masyarakat mencakup sekitar 60%-70% dari luas
hutan total. Di Finlandia sendiri terdapat lebih dari 600,000 pemilik hutan yang
cukup banyak individu keluarga (36% di Swedia dan 14% di Finlandia) yang
mengelola hutan dengan luas lebih dari 50 ha (Hyttinen 2001).
Inggris dan Belanda termasuk negara-negara yang hanya sedikit memiliki
sumber daya hutan. Di Inggris, luas total areal hutan hanya sekitar 2.5 juta ha
(Harrison et al. 2002), sementara di Belanda luas kepemilikan hutan hanya sekitar 0.2 ha per keluarga (Hyttinen 2001). Sekalipun luas hutannya tergolong kecil,
istilah “farm woodlands”, “farm forest” dan “privately owned forests” sudah lama
digunakan di Inggris. Di negara ini, sekitar 2/3 dari areal hutannya dimiliki oleh
individu atau perusahaan (Harrison et al. 2002). Di Perancis dan Belgia, lebih dari 90% kepemilikan mempunya luas kurang dari 5 ha. Di negara-negara yang
berbahasa Jerman (Jerman, Austria dan Swiss) luas kepemilikan hutan bervariasi,
dimana sebagian besar (36%) kurang dari 5 ha, namun sekitar 29% pemilik
mengelola lebih dari 1,000 ha (Hyttinen 2001).
Di Eropa bagian timur, sebagian besar areal hutan dimiliki publik, walaupun
proses privatisasi kini sedang terjadi, khususnya di negara-negara bekas
pemerintahan sosialis atau USSR. Pada sebagian besar negara, kepemilikan hutan
dipegang oleh sejumlah besar individu dengan unit pengelolaan yang relatif kecil.
Saat ini luas hutan milik di beberapa negara Eropa Timur masih sangat bervariasi,
sebagai contoh di Rumania dan Republik Czechnya, areal hutan yang dimiliki
secara pribadi masing-masing adalah 6% dan hampir 60%. Secara umum,
kepemilikan lahan hutan secara individu berkisar antara 2-3 ha per keluarga.
Dengan proses privatisasi yang sekarang sedang terjadi, diperkirakan sekitar
35-40% dari seluruh areal hutan akan dimiliki secara pribadi (Harrison et al. 2002). Pada umumnya di negara-negara Eropa, para pemilik hutan telah
terorganisasi dengan baik dalam bentuk berbagai asosiasi yang mengedepankan
praktek-praktek pengelolaan hutan secara lestari. Organisasi-organisasi tersebut
berperan sebagai sarana penghubung di antara pemilik hutan dan menjadi
perwakilan mereka di dalam proses penentuan kebijakan, termasuk memberikan
pelayanan dalam pemasaran hasil kayunya dan praktek-praktek silvikultur dalam
pengelolaan hutan. Pada tingkat wilayah Eropa, salah satu asosiasi yang menjadi
Di Jepang, hutan rakyat sudah mempunyai sejarah panjang sejak lebih dari
tiga abad yang lalu. Dengan luas total areal hutan sebesar 2.51 juta ha atau sekitar
66.5% dari luas total wilayah daratan, seluas 14.6 juta ha merupakan hutan milik
yang dikelola oleh individu keluarga, perusahaan atau kelompok masyarakat.
Terdapat sekitar 2.5 juta individu keluarga pemilik hutan yang sebagian besar
(60%) mengelola hutan dengan luasan kurang dari 1 ha. Selebihnya mengelola
areal hutan dengan luasan antara 1 – 5 ha per keluarga. Perusahaan dan kelompok masyarakat mengelola areal hutan dengan luasan yang juga relatif kecil, yaitu
masing-masing sekitar 34.6 dan 19.3 ha. Hutan tanaman rakyat di Jepang
didominasi oleh dua jenis kayu, yaitu Sugi (Cryptomeria japonica) dan Hinoki (Chamaecyparis obtusa) (Ota 2001).
Jepang merupakan negara pengimpor kayu yang sangat besar dimana
selama kurun waktu tahun 1990an jumlah kayu yang diimpor sekitar 3 sampai 4
kali produksi kayu domestik. Usaha tanaman kayu rakyat kurang dapat bersaing
dengan harga kayu impor yang relatif lebih murah, sehingga banyak areal hutan
tanaman yang diterlantarkan karena alasan ketidak-layakan ekonomi. Keberadaan
hutan milik di Jepang dapat bertahan karena subsidi pemerintah, antara lain
melalui bantuan sampai 68% atas biaya pengadaan tanaman hutan dan
penjarangan komersil pertama. Bantuan juga diberikan setiap tahun dalam bentuk
biaya pemeliharaan jalan dan sumbangan mesin-mesin bagi pembangunan
pedesaan. Peluang di masa depan untuk mempertahankan keberadan tanaman
kayu rakyat di Jepang adalah dengan kebijakan pemerintah yang akan mendukung
fungsi hutan sebagai penghasil jasa lingkungan serta dengan program sertifikasi
hutan rakyat untuk memperoleh harga kayu yang tinggi (premium price) di pasar internasional (Ota 2001).
Di Australia. hutan milik dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu
hutan tanaman industri berskala besar, hutan tanaman skala kecil dan tanaman
untuk konservasi. Sesuai dengan namanya, hutan tanaman industri bertujuan
untuk produksi kayu dan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau
melalui program kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan atau
pemerintah. Tanaman konservasi pada umumnya dilakukan di areal-areal yang
Tanaman konservasi terutama bertujuan untuk mencegah erosi sepanjang aliran
sungai dan mencegah peningkatan permukaan air tanah (water tables) yang menyebabkan salinitas tinggi. Upaya penanaman untuk konservasi ini khususnya
didukung oleh program pemerintah yang disebut “landcare” (Herbohn 2001). Hutan tanaman skala kecil lebih umum disebut sebagai “farm forestry” yang
mencakup kebun kayu (woodlots), tanaman pelindung angin (windbreaks), tanaman penaung (shelterbelts), agroforestry atau tanaman sekat terasering (slope break plantings). Kadang-kadang isitlah farm forestry juga diterapkan pada tanaman kayu hasil program kemitraan antara individu masyarakat dengan
perusahaan hutan tanaman industri. Di luar program kemitraan tersebut,
diperkirakan luas areal hutan tanaman skala kecil di Australia mencapai sekitar
76, 250 ha yang terkonsentrasi di negara-negara bagian Victoria, New South
Wales, Western Australia dan Tasmania.
Di India, terdapat berbagai istilah untuk menggambarkan tanaman kayu
rakyat. Hobley (1996) menggolongkannya ke dalam lima kelompok, yaitu Social Forestry, Farm Forestry, Community Forestry, Joint Forest Management (JFM) dan Rural Development Forestry (RDF). Social Forestry dalam konteks ini didefinisikan sebagai hutan tanaman yang pembangunannya disponsori oleh
pemerintah (Departemen Kehutanan) pada areal-areal lahan tidur seperti
lahan-lahan untuk penggembalaan ternak masyarakat, lahan-lahan-lahan-lahan milik negara,
pinggiran jalan dan sungai. Social Forestry pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970 an dan pembangunannya dilakukan dengan berbagai tingkatan keterlibatan
masyarakat. Farm Forestry adalah hutan tanaman yang dibangun oleh masyarakat pada lahan-lahan milik dengan subsidi bibit dari pemerintah, baik secara
cuma-cuma atau dengan harga yang rendah. Community Forestry mempunyai pengertian yang luas, mencakup sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat
atau hutan tanaman yang dibangun melalui program pemerintah dengan partisipasi
masyarakat. Joint Forest Management sering digolongkan juga ke dalam kelompok ini. Joint Forest Management adalah sistem pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dengan pemerintah dengan model pembagian hasil, tanggung
jawab, pengawasan dan pengambilan keputusan dan diikat dalam bentuk kontrak.
pemerintah, namun model pengelolaan tanaman dan pengembilan keputusan
dalam pengelolaan terutama dilakukan oleh pengguna tanaman, baik secara
individu maupun kelompok. Menurut Harrison et al. (2002) unit pengelolaan tanaman kayu rakyat di India relatif kecil, yaitu sekitar 0.1 ha. Kadang-kadang
tanaman kayu hanya ditanam sepanjang batas pagar atau pinggiran sungai atau
saluran air.
Di Filipina, tanaman kayu rakyat diawali dengan program pemerintah dalam
rehabilitasi hutan oleh Biro Pengelolaan Hutan Filipina (Forest Management Bureau of the Department of Environment and Natural Resources). Pada mulanya program ini terkonsentrasi kepada tanaman hutan industri, namun belakangan
lebih mengarah kepada pengembangan hutan kemasyarakatan. Istilah yang sering
digunakan adalah “Community Based Forest Managament (CBFM)” dan lebih umum lagi adalah “Community Based Resource Management (CBRM)”. Program
ini biasanya diterapkan dalam bentuk penanaman kayu pada lahan-lahan komunal
atau lahan-lahan milik masyarakat untuk tujuan produksi, konservasi lahan atau
kombinasinya. Penanaman pada lahan-lahan milik masyarakat (farm forestry) umumnya dalam bentuk agroforestry (Harrison et al. 2002).
Keragaman dalam bentuk dan model pengelolaan tanaman kayu rakyat akan
bertambah apabila memperhatikan di berbagai belahan dunia lainnya seperti di
Cina dan Afrika. Namun demikian, dari paparan seperti dijelaskan di atas terdapat
gambaran umum tentang bentuk-bentuk dan model pengelolaan tanaman kayu
rakyat pada skala global. Tabel 1 di bawah ini merangkum berbagai tipologi
pengelolaan tanaman kayu rakyat tersebut.
Penelusuran literatur tentang berbagai model tanaman kayu rakyat di
berbagai belahan dunia seperti dipaparkan di atas, serta rangkumannya yang
disajikan pada Tabel 1 memberikan gambaran bahwa model tanaman kayu rakyat
sangat bervariasi di beberapa tempat. Nampaknya akan sulit untuk menarik model
yang bersifat umum dan kecocokan model untuk pengembangannya harus lebih
banyak disesuaikan dengan konteks lokal. Di negara-negara maju, hutan atau
tanaman kayu rakyat cenderung telah dikelola oleh individu masyarakat yang
mandiri. Pengelolaan tanaman kayu rakyat sudah lebih berorientasi bisnis.
cukup kuat terhadap kebijakan pemerintahnya yang berkaitan dengan hutan.
Namun demikian, dukungan pemerintah dalam bentuk subsidi kadang-kadang
masih diperlukan, seperti yang diperlihatkan oleh kasus di Jepang. Kasus di
Australia menunjukkan bahwa insentif yang cukup perlu tersedia di dalam usaha
tanaman kayu apabila ingin usaha ini menarik bagi masyarakat luas.
Tabel 1 Tipologi tanaman kayu rakyat pada berbagai tempat di dunia2
No. Negara/
Tabel 1 (lanjutan) Di negara-negara berkembang seperti di negara-negara Asia, nampaknya
dukungan pemerintah masih sangat kental di dalam pengembangan tanaman kayu
rakyat. Dukungan pemerintah tersebut meliputi hampir keseluruhan aspek
pengelolaan di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Produk hutan tanaman rakyat
tidak harus difokuskan kepada kayu karena nilai ekonomisnya mungkin tidak
akan optimal. Diversifikasi produk nampaknya lebih cocok untuk pengembangan
tanaman kayu rakyat di negara-negara berkembang, sehingga produk hutan
menjadi lebih beragam dengan berbagai produk pertanian lainnya, baik yang
bersifat komersial atau untuk pemenuhan kebutuhan subsisten masayarakat.
Diversifikasi produk dalam bentuk jasa lingkungan nampaknya juga menjadi
kecenderungan dewasa ini di dalam pengelolaan tanaman kayu rakyat di
Pelajaran lain yang sangat penting dari paparan di atas adalah bahwa
tanaman kayu rakyat memiliki kontribusi yang tidak dapat dianggap kecil dalam
hal penyediaan bahan baku kayu. Disamping itu usaha tanaman kayu rakyat dapat
dikaitkan dengan program rehabilitasi hutan yang saat ini banyak dilakukan di
negara-negara berkembang. Dukungan yang bersifat komprehensif serta
disesuaikan dengan kondisi lokal nampaknya perlu dilakukan untuk
pengembangan tanaman kayu rakyat.
2.2. Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia
Perkembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
konteks pembangunan kehutanan secara umum. Berdasarkan catatan sejarah,
kebijakan dalam penataan sumber daya hutan di Indonesia mulai dilakukan
dengan diberlakukannya Undang Undang No. 5 Tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (Basic Forestry Law). Berdasarkan undang-undang ini status kepemilikan hutan telah dikelompokkan menjadi hutan negara dan hutan
milik. Hutan negara terdiri dari kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas
tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik ialah hutan yang
tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang belakangan juga dikenal
dengan istilah hutan rakyat.
Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia
lebih banyak dipusatkan kepada eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pada
masa ini sumber daya hutan dipandang sebagai sumber penghasil devisa negara
dan dijadikan sebagai salah satu motor penggerak bagi pembangunan ekonomi
nasional. Masyarakat tidak banyak dilibatkan di dalam pengelolaan hutan dengan
anggapan bahwa manfaat sumber daya hutan bagi kesejahteraan masyarakat akan
terpenuhi dengan sendirinya apabila pembangunan ekonomi di sektor kehutanan
meningkat. Konsep trickle down effect menjadi paradigma dalam pembangunan di sektor kehutanan pada masa itu.
Pada tahun 1978, Jakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres
Kehutanan Sedunia (The World Forestry Congress) yang ke VIII dengan thema
”forest for people”. Di dalam kongres tersebut perhatian dunia internasional
demikian, dukungan kebijakan atas hak-hak masyarakat tersebut baru diluncurkan
pada tahun 1991 melalui program HPH Bina Desa, berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan (SK. Menhut) No. 61/Kpts-II/1991. Program ini selanjutnya
disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)
pada tahun 1995 melalui penerbitan SK. Menhut No. 69/Kpts-II/1995. Program
PMDH belum memberikan hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada
masyarakat, melainkan hanya memberikan serangkaian kewajiban kepada para
pemegang HPH untuk membantu masyarakat di pedesaan, khususnya yang tinggal
di sekitar areal hutan yang mereka kelola, agar meningkat kesejahteraannya dan
menjadi lebih mandiri dalam perekonomiannya.
Di dalam konsepsinya, pelaksanaannya program PMDH harus diawali
melalui studi diagnostik yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat
desa hutan. Studi diagnostik tersebut harus dituangkan di dalam Rencana Karya
Pengusahaan Hutan (RKPH), Rencana Karya Lima tahun (RKL) dan Rencana
Karya Tahunan (RKT) di dalam pengelolaan hutan. Aspek yang dilakukan di
dalam program PMDH meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dalam hal
usaha tani (melalui program usaha tani menetap), peningkatan ekonomi,
pengembangan sarana dan prasarana (sarpras) umum, pembangunan sosial budaya
dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan. Namun pada prakteknya
program PMDH lebih dipandang sebagai sekedar kewajiban oleh para pemegang
HPH untuk memenuhi persyaratan perolehan pengesahan Rencana Karya
Tahunan (RKT). Program yang dikembangkan umumnya tidak sungguh-sungguh
meningkatkan kemandirian masyarakat, bahkan sebaliknya mendidik masyarakat
menjadi sangat tergantung kepada bantuan HPH dalam pembangunan
infrastruktur desa. Para pemegang HPH lebih menggunakan prinsip “sinterklas” atau memberikan apa saja yang diminta oleh masyarakat setempat karena dikejar
oleh batas waktu pelaporan pelaksanaan fisik yang wajib dibuat setiap bulan dan
triwulan dari pelaksanaan kegiatan PMDHnya. Program umumnya dilaksanakan
tanpa persiapan yang matang dan tidak melibatkan masyarakat sebagai pemangku
kepentingan utama, sehingga pelaksanaan kegiatannya banyak mengalami
Hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada masyarakat baru diberikan
melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan pemerintah
pada tahun 1995, berdasarkan SK. Menhut No. 622/Kpts-II/1995. Di dalam
program HKm, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan
hutan dan memperoleh hak pemanfaatan atas hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Izin pengelolaan HKm ditetapkan berdasarkan kontrak perjanjian antara pemohon
(perorangan, kelompok atau koperasi) dengan Dinas Kehutanan Provinsi
setempat. Izin pengelolaan HKm oleh masyarakat diperluas melalui kebijakan
Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) yang ditetapkan berdasarkan
SK. Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) No. 677/Kpts-II/1998.
Dengan hak tersebut, masyarakat diberi kewenangan untuk memanfaatkan hasil
hutan, tidak hanya HHBK, namun juga termasuk kayu (Hindra 2005). Kebijakan
tersebut telah diimplementasikan melalui pemberian izin pengusahaan HKm
kepada sekitar 92,000 ha di wilayah Nusa Tenggara. Dengan diberlakukannya
Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ketentuan tentang HKm tersebut di
atas menjadi tidak berlaku. Tahun 2001 kembali dikeluarkan kebijakan baru
tentang HKm melalui SK. Menhut No. 31/Kpts-II/2001. Surat keputusan tersebut
memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah Tingat II (Bupati atau Walikota)
untuk memberikan izin hak pengusahaan HKm. Namun demikian ketentuan
tersebut kembali menjadi tidak jelas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
(PP) No. 34 Tahun 2002 tentang penataan dan perencanaan pengelolan hutan,
yang mengembalikan kewenangan perizinan kepada Menteri Kehutanan
(Colchester 2002).
Setelah era reformasi, kondisi sumber daya hutan di Indonesia telah
mengalami kerusakan yang cukup parah dengan laju kerusakan hutan yang tinggi
sehingga mencapai besaran 1.9 juta ha per tahun (FAO 2007). Perhatian
pemerintah mulai terpusat kepada upaya-upaya rehabilitasi hutan. Pada tahun
2003 pemerintah memperkenalkan kebijakan perhutanan sosial (Social Forestry) yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya yang tinggal di
areal sekitar hutan, di dalam pengelolaan sumber daya hutan. Di dalam pidato
Livelihoods, Forest and Biodivesity di Bonn pada tahun 2003, perwakilan resmi Indonesia (Wardoyo 2003) menyatakan bahwa perhutanan sosial merupakan suatu
pendekatan yang menyeluruh yang meliputi ideologi, strategi dan implementasi
dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya
hutan. Kebijakan tersebut memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk
mengelola sumber daya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan
sekaligus melestarikan hutan. Azas penyelenggaraan social forestry meliputi: pemberdayaan masyarakat, pemberian hak pengelolaan areal hutan tertentu
kepada masyarakat, tujuan pengelolaan hutan yang disesuaikan dengan fungsi
hutan, pembagian tanggung jawab yang jelas (cost sharing) antara masyarakat dengan pemerintah dan pelaksanaan kegiatannya menggunakan pendekatan
pembangunan Daerah Aliran Sungai DAS (Pasaribu 2003). Untuk memperkuat
kebijakan tersebut, pada tahun 2004 Departemen Kehutanan menerbitkan
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 1/Menhut-II/2004 tentang
pemberdayaan masyarakat di dalam program social forestry (Hindra 2005).
Permasalahan kerusakan hutan dan lingkungan yang semakin serius telah
mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan aksi massal dalam
rehabilitasi hutan. Aksi tersebut dituangkan dalam bentuk program Gerakan
Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL dan kemudian menjadi
GERHAN) sejak tahun 2003. Program GERHAN didasari oleh Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko KESRA),
Menko Perekonomian dan Menko Politik dan Keamanan (POLKAM) No.
09/KEP/MENKO/ KESRA/III/2003; KEP.16/M.EKON/03/2003;
KEP.08/MENKO/ POLKAM/III/ 2003. Surat Keputusan Bersama tersebut
membetuk Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan pada tingkat nasional. Kegiatan
GERHAN mempunyai target untuk merehabilitasi areal hutan seluas 3 juta ha
sampai tahun 2009, yang dipusatkan di areal DAS yang tergolong kritis. Program
GERHAN dilaksanakan dengan memadukan program-program pemerintah serta
dengan melibatkan masyarakat secara intensif (Fathoni 2003). Terlepas dari
tingkat keberhasilannya yang kontroversial, program GERHAN telah melakukan
penanaman hutan secara masif, termasuk pada areal-areal hutan milik atau hutan
Perkembangan terkini dalam upaya pelibatan masyarakat di dalam
rehabilitasi hutan adalah dengan peluncuran program Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) sejak tahun 2006. Program ini juga dikaitkan dengan upaya pemerintah
untuk mengentaskan kemiskinan (pro poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro job) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro growth) (Emila dan Suwito 2007). Program HTR mempunyai target yang cukup ambisius, yaitu
terbangunnya hutan tanaman yang dikelola masyarakat seluas 5.4 juta ha pada
tahun 2016. Hutan tanaman tersebut akan dibangun di kawasan hutan produksi
yang sudah tidak produktif dengan pemberian hak kelola atas kawasan hutan
kepada individu masyarakat atau kelompok (melalui koperasi) selama 60 tahun
dengan kemungkinan perpanjangan izin selama 35 tahun. Setiap pemegang izin
HTR berpeluang untuk mengelola kawasan hutan produksi seluas 15 ha untuk
usaha tanaman kayu dengan pilihan jenis-jenis kayu yang telah ditentukan.
Pemerintah juga menyediakan dukungan finansial untuk usaha tanaman kayu
tersebut dengan memberikan kredit berbunga ringan yang akan disalurkan oleh
sebuah Badan Layanan Umum (BLU) Departemen Kehutanan (Direktorat Bina
Pengembangan Hutan Tanaman 2008). Berbagai produk kebijakan telah
diterbitkan untuk mendukung program HTR tersebut, diantaranya adalah:
Permenhut No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam
Hutan Tanaman,
Permenhut No. P. 41/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Permenhut No.
9/Menhut-II/2009 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan
Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan
Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,
Permenhut No. P. 5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri
Kehutanan No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam
Hutan Tanaman,
Permenhut No. P. 9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan
untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman
Permenhut No. P. 62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman
Rakyat.
Permenhut No. P. 69/Menhut-II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan,
Permenhut No. P. 14/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Permenhut No. P.
62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat,
Permenhut No. P. 64/Menhut-II/2009 tentang Standard Biaya Pembangunan
Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat,
Sementara itu kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hutan rakyat
(hutan milik) relatif tidak banyak. Pada awal tahun 1980an, pemerintah telah
mulai menggalakkan kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan lahan dengan
tanaman kayu melalui Instruksi Presiden (INPRES) No. 6 Tahun 1982. Setelah
Departemen Kehutanan berdiri tahun 1983, kegiatan reboisasi dan penghijauan
tersebut dilaksanakan melalui Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) di
seluruh Indonesia. Di antara jenis kayu yang banyak digunakan adalah jenis
sengon (Paraserianthes falcataria) sehingga program penghijauan tersebut sering
juga disebut dengan istilah ”Sengonisasi”. Kebijakan lain yang berkaitan dengan
pembangunan hutan rakyat adalah ketentuan tentang pedoman pemanfatan hutan
rakyat (melalui Permenhut No. P 26/Menhut-II/2005) dan tata tertib perdagangan
kayu yang dihasilkan dari areal hutan rakyat yang diatur dengan dokumen Surat
Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU), melalui Permenhut No. P.
51/Menhut-II/2006.
Data terkini mengenai potensi hutan rakyat belum terdokumentasi dengan
baik dan masih memerlukan verifikasi. Data Statistik Kehutanan Indonesia tahun
2008 (Departemen Kehutanan 2009) memperkirakan luas total areal hutan rakyat
di Indonesia saat ini mencapai sekitar 1.8 juta ha (lihat Gambar 1). Sebagian besar
areal hutan rakyat tersebut ditanam atas usaha swadaya masyarakat dan menyusul
kemudian tanaman hutan rakyat yang dibangun melalui program GERHAN.
Mengenai produksi kayu dari areal hutan rakyat, data yang cukup akurat
tersebut tercatat bahwa potensi produksi kayu yang berasal dari areal hutan rakyat
di Indonesia (Jawa dan luar Jawa) adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara
dengan 14 juta3 m3, sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan 45 juta m3 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004). Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh jenis
tanaman hutan rakyat yang paling dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh
wilayah Indonesia, yaitu untuk jenis-jenis akasia (Acacia mangium), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus (Pinus merkusii), sengon (Paraserianthes falcataria), sonokeling (Dalbergia latifolia) dan sungkai (Peronema canescens). Tabel 2 menyajikan ringkasan dari hasil sensus produksi kayu hutan rakyat yang telah dilakukan pada tahun 2003.
Gambar 1 Kegiatan penanaman hutan rakyat di Indonesia.
Berdasarkan data tersebut maka potensi hutan rakyat sebagai pemasok
bahan baku kayu sebenarnya sangat besar. Apabila dibandingkan dengan data
produksi kayu bulat nasional (Departemen Kehutanan 2009), seperti terlihat pada
Gambar 2, maka pada tahun 2004 potensi produksi kayu tanaman rakyat telah
menempati urutan pertama. Informasi-informasi tersebut di atas memberikan
beberapa bukti bahwa hutan rakyat memiliki peran yang sangat besar di dalam
pemenuhan pasokan bahan baku kayu.
3
Tabel 2 Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan rakyat di Indonesia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004)
No.
Jenis kayu Cadangan tegakan
(Jumlah pohon)
Potensi produksi (Jumlah pohon) Nama
lokal Nama ilmiah Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa 1 Akasia Acacia spp 22,611,068 9,409,011 7,730,365 4,339,330 2 Jati Tectona grandis 50,119,621 29,592,858 11,506,947 6,939,077 3 Mahoni Swietenia
macrophylla
39,990,730 5,268,811 8,323,125 1,174,067
4 Pinus Pinus merkusii 3,521,107 2,302,757 1,369,783 1,345,793
5 Sengon Paraserianthes falcataria
50,075,525 9,758,776 19,579,689 5,033,539
6 Sonokeling Dalbergia latifolia
2,008,272 344,379 604,525 138,018
7 Sungkai Peronema canescens
108,550 902,223 63,088 318,192
Total 168,434,873 57,578,815 49,177,522 19,288,016
Catatan: Data sensus tidak termasuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Gambar 2 Produksi kayu bulat Indonesia.
Data tahun 2006 melaporkan bahwa luas areal hutan rakyat di Indonesia
mencapai sekitar 1.5 juta ha, dimana sekitar setengah dari jumlah tersebut tersebar
di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di beberapa wilayah seperti Sumatra (14%),
Sulawesi (13%), Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur
(NTT) (12%), dan sejumlah kecil di wilayah-wilayah Kalimantan, Maluku dan