• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kabupaten Gunungkidul

Kabupaten Gunungkidul terletak pada garis lintang selatan 70 46’– 80 09’ dan bujur timur 110021’ – 110050’. Gunungkidul merupakan salah satu dari lima kabupaten di wilayah administrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ibu kota kabupaten adalah Wonosari yang terletak sekitar 39 km di sebelah selatan kota Yogyakarta. Kabupaten Gunungkidul memiliki 18 kecamatan, 144 desa dan 1,536 dusun. Luas wilayah kabupaten adalah 1,485.36 km² dan mencakup sekitar 46% dari luas wilayah Provinsi DIY (Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2008).

Wilayah kabupaten pada umumnya berbukit dan setengah dari luas wilayahnya memiliki kemiringan lebih dari 15%. Berdasarkan kondisi topografinya, wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi ke dalam tiga zone, yaitu daerah perbukitan di bagian utara dan sisi timur yang disebut sebagai zone Baturagung, wilayah pegunungan karst di bagian selatan yang disebut dengan zone Gunung Seribu dan daerah yang relatif datar di bagian tengah yang disebut dengan zone Ledok Wonosari (Soeharto 2008).

Zone Baturagung mempunyai ketinggian antara 200 sampai 700 m di atas permukaan laut (dpl) dan mencakup wilayah kecamatan Patuk, Nglipar, Gedangsari, Ngawen, Semin dan bagian utara dari kecamatan Ponjong. Zone ini dicirikan dengan bentuk wilayah yang berbukit dan bergunung dengan jenis tanah yang didominasi latosol dengan batuan induk vulkanik dan sedimen tufan. Curah hujan per tahun berkisar antara 2,000 – 2,500 mm. Wilayah ini memiliki sungai diatas tanah dan banyak ditemukan sumber air. Wilayah ini potensial untuk tanaman tahunan (tanaman perkebunan, buah-buahan dan kayu-kayuan), tanaman semusim (padi, palawija), budidaya perikanan darat, pembibitan dan penggemukan ternak (Soeharto 2008).

Zone Ledok Wonosari terletak pada ketinggian antara 150 sampai 200 m dpl. dan meliputi kecamatan-kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, bagian utara kecamatan Semanu, dan bagian tengah kecamatan Ponjong. Ledok Wonosari merupakan pusat kegiatan pertanian di kabupaten ini. Zone ini dicirikan dengan bentuk wilayah landai sampai bergelombang, dengan ketinggian antara 150 – 200

m dpl. dan dikelilingi oleh perbukitan pegunungan. Curah hujan per tahun berkisar antara 1,800 – 2,000 mm. Di wilayah ini terdapat sungai permukaan, sumber air dan diduga terdapat sungai bawah tanah. Seperti halnya di wilayah utara, wilayah ini potensial untuk tanaman semusim (padi, palawija dan sayuran), tanaman tahunan seperti tanaman buah-buahan dan kayu-kayuan, budidaya perikanan darat dan usaha penggemukan maupun pembibitan ternak (Soeharto 2008).

Zone Gunung Seribu terletak pada ketinggian antara 100 dan 300 m dan mencakup wilayah-wilayah kecamatan Tepus, Tanjungsari, Panggang, Purwosari, Paliyan, Saptosari, Girisubo, Rongkop, serta bagian selatan kecamatan Semanu dan Ponjong. Zone ini dicirikan dengan bentuk wilayah yang berbukit-bukit dengan ketinggian antara 100 – 300 m dpl. Wilayah ini tersusun dari perbukitan gamping dan banyak mengandung sungai bawah tanah. Wilayah ini potensial untuk tanaman lahan kering (padi gogo dan palawija), tanaman buah-buahan, budidaya perikanan darat (telaga) dan perikanan tangkap serta untuk budidaya ternak (Soeharto 2008).

Jumlah penduduk di kabupaten ini diperkirakan sekitar 685 ribu jiwa, berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 dan survey tahun 2005. Sekitar 66.5% dari jumlah penduduk berada pada usia produktif dimana sebagian besar (82%) bekerja sebagai tenaga buruh atau bekerja pada lahan milik keluarga. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun 2007 berdasarkan harga berlaku adalah Rp 4.9 trilyun, dimana sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar dengan prosentase sebesar 34%. Pendapatan per kapita bruto pada tahun 2007 berdasarkan harga berlaku adalah Rp 7 juta (Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul, 2008). Data statistik pada tahun 2008 tidak merinci PDRB dari sektor pertanian, namun data tahun 2005 melaporkan bahwa pada sektor pertanian, kontribusi terhadap PDRB terbesar diberikan oleh hasil tanaman pangan (64%), diikuti oleh kehutanan (27%), peternakan (6%), perkebunan (2%) dan perikanan (1%) (Gunungkidul Regency 2005).

Perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Gunungkidul tergolong pesat. Pada tahun 1950an kabupaten ini terkenal sebagai wilayah yang gersang dengan total luas tutupan hutan hanya sekitar 3% dari luas wilayah (Filius 1997). Kini

total luas hutan sudah mencapai lebih dari 42 ribu ha, atau sekitar 29% dari luas wilayah kabupaten. Hampir 70% dari hutan tersebut adalah hutan rakyat yang didominasi oleh tanaman jati (Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul 2008).

Filius (1997) telah menyimpulkan sedikitnya terdapat lima faktor yang mendorong perkembangan tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Faktor pertama adalah perkembangan teknologi dalam sistem produksi tanaman pangan. Penggunaan pupuk kimia telah meningkatkan produktivitas lahan sehingga mengurangi tekanan terhadap kebutuhan lahan oleh petani dan mereka lebih leluasa mengalokasikan sebagian lahan mereka untuk tanaman kayu. Faktor kedua adalah sebagai respon mereka atas menurunnya kesuburan lahan. Tanaman kayu, khususnya tanaman buah-buahan relatif dapat tumbuh dengan baik dan bertahan terhadap kondisi kemarau panjang dan tanah yang kurang subur, sehingga mendorong mereka untuk menanam tanaman buah-buahan di pekarangan mereka. Faktor ketiga adalah karena keterbatasan tenaga kerja karena migrasi penduduk ke kota untuk mencari pekerjaan. Keterbatasan tenaga kerja menyebabkan petani memilih tanaman kayu untuk dikembangkan di lahan-lahan mereka karena relatif lebih sedikit memerlukan curahan tenaga kerja. Faktor keempat adalah pengaruh pasar yang positif atas produk tanaman kayu, seperti buah-buahan dan termasuk kayu jati. Faktor kelima adalah dukungan kebijakan dan program pemerintah terhadap penanaman kayu, khususnya sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) tahun 1975 tentang program reboisasi dan penghijauan.

Penuturan beberapa tokoh senior (Bapak Somo Jamin dan Bapak Wirorejo4 9 Mei 2008, komunikasi pribadi) di Kabupaten Gunungkidul menceriterakan bahwa penanaman jati di lahan-lahan milik petani diawali oleh beberapa tokoh masyarakat yang lebih peduli terhadap upaya perbaikan lingkungan. Sutarpan (2005) mendukung pendapat ini dan menyebut seorang tokoh (Bapak Prawirorejo) di Kecamatan Nglipar yang telah memulai penanaman jati sekitar tahun 1960. Sutarpan (2005) membagi masa perkembangan tanaman jati rakyat di

4

Antara lain Bapak Somo Jamin (Desa Katongan) dan Bapak Wirorejo (Desa Kedungkeris), Kecamatan Nglipar yang menyatakan bahwa mereka termasuk kelompok yang mengawali penanaman jati di lahan milik mereka sekitar tahun 1960an dimana saat itu lahan masih didominasi oleh alang-alang.

Gunungkidul menjadi 3 fase, yaitu fase penanaman jati di lahan milik yang dimulai di Kecamatan Nglipar sekitar tahun 1960, fase penanaman jati di hutan penelitian Wanagama, Playen selama tahun 1960 sampai 1970 dan fase penanaman jati pada lahan-lahan milik setelah tahun 1970an yang dimulai di Kecamatan Panggang dan Girisekar. Penulis lain (Awang 2001) membagi fase perkembangan tanaman jati rakyat tersebut kedalam empat fase, yaitu fase lahan kritis sebelum tahun 1960, fase penanaman jati secara independen (inisiatif sendiri) pada tahun 1960 sampai 1970, fase penanaman intensif (dengan dukungan program pemerintah) pada tahun 1970 sampai 1985 dan fase regenerasi alam sejak tahun 1985.

Dokumen terkait