• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tanaman Jati Rakyat di Kabupaten Gunungkidul

5.1.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengembangan

Walaupun secara umum perkembangan tanaman jati rakyat di Gunungkidul sudah relatif baik dan mendapat pengakuan dari berbagai pihak, berbagai permasalahan masih dihadapi petani dalam rangka pengembangan usaha tanaman jati lebih lanjut. Kendala pertama berkaitan dengan keterbatasan kepemilikan lahan petani. Dengan rata-rata luas lahan 1 ha per KK, maka tidak banyak yang dapat dilakukan petani untuk melakukan ekspansi tanaman kayu jati karena akan berkompetisi dengan kebutuhan lahan untuk produksi tanaman pangan. Dua hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala ini, yaitu pertama melalui pemberian akses lahan kepada petani atas areal kawasan hutan negara yang kini masih tersisa sekitar 13,000 ha yang berupa kawasan lindung dan areal kurang produktif (Soeharto 2008). Pilihan lainnya adalah melalui peningkatan produktivitas tanaman kayu jati rakyat melalui perbaikan dalam teknik silvikultur.

Pemberian akses kawasan negara kepada petani telah dilaksanakan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten) melalui program pengembangan HKm dan HTR. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang pengurus kelompok tani yang sudah mendapat izin HKm (Bapak Ngabdani10 15 Jan 2011, komunikasi pribadi), program ini mempunyai potensi keberhasilan yang besar karena animo msyarakat Gunungkidul yang tinggi terhadap kesempatan mereka untuk memperoleh akses lahan. Selain untuk pengembangan tanaman kayu jati, akses lahan tersebut bagi petani juga berarti menambah kesempatan untuk meningkatkan produksi pangan melalui penerapan pola tumpang sari di dalam tegakan hutan. Evaluasi atas pelaksanaan program- program tersebut perlu dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah setempat untuk lebih banyak mengalokasikan areal kawasan hutan negara yang tersisa bagi pengembangan hutan rakyat.

10 Bapak Ngabdani adalah Ketua Kelompok Tani HKm “Tani Manunggal” di Desa

Dalam konteks peningkatan produksi kayu, upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kualitas teknik budidaya tanaman jati rakyat dengan penerapan teknologi-teknologi silvikultur yang sesuai dengan kondisi petani. Peningkatan teknik silvikultur tersebut antara lain dapat dilakukan melalui penggunaan bibit jati unggul, teknik pemangkasan yang benar, penerapan penjarangan pada tegakan yang terlalu rapat serta pemeliharaan trubusan melalui penunggalan (singling) pada tanaman jati regenerasi alam. Khusus untuk aspek penjarangan dan pemeliharaan trubusan, adopsi petani sangat lambat karena sistem tersebut belum cukup meyakinkan petani atas manfaatnya. Pembuatan demplot-demplot percontohan akan membantu meyakinkan petani karena dapat melihat langsung pengaruh penerapan teknik-tenik silvikultur tersebut terhadap produktivitas tanaman jati mereka (Rohadi et al. 2011).

Tebang butuh merupakan praktek pemanenan kayu yang dapat mendukung pelestarian hutan rakyat jati, karena pada umumnya praktek penebangan pohon dilakukan secara selektif (berdasarkan ukuran yang sesuai dengan nilai jual yang dibutuhkan petani) dan umumnya dalam jumlah yang terbatas (satu sampai hanya beberapa pohon). Apabila petani tidak didesak oleh kebutuhan uang tunai, mereka cenderung menunda pemanenan kayu jati mereka sampai umur tebang yang optimal (sekitar 30 tahun atau setelah diameter pohon mencapai ukuran kelas kualitas utama). Pada kenyataannya, sebagian besar petani sering berada dalam kesulitan uang tunai sehingga memaksa mereka untuk melakukan penebangan kayu secara dini (premature harvesting) sebelum pohon jati mereka mencapai umur optimal. Kebiasaan tersebut berpotensi merugikan petani karena menutup peluang untuk memperoleh nilai jual kayu jati yang lebih tinggi. Para petani sebenarnya telah memiliki cara tersendiri untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak tersebut, yaitu melalui pengembangan kelembagaan simpan pinjam didalam kelompok tani. Namun demikian, pada umumnya kemampuan lembaga simpan pinjam tersebut dalam penyediaan dana masih relatif terbatas. Kemudahan akses petani terhadap pinjaman uang tunai, seperti melalui pengembangan lembaga kredit mikro di dalam kelompok tani merupakan alternatif upaya yang perlu dikembangkan (Rohadi et al. 2011).

Pada aspek pemasaran kayu, para petani jati rakyat cenderung masih pada posisi sebagai penerima harga (price takers) yang mengindikasikan lemahnya posisi tawar mereka di dalam negosiasi harga dengan para pedagang. Potensi kerugian petani terjadi karena berbagai sebab, seperti kesalahan dalam penaksiran volume pohon oleh pedagang, kurangnya penghargaan pedagang terhadap kualitas kayu dan keterbatasan informasi tentang pasar dan harga kayu. Namun demikian akar permasalahannya adalah karena petani tidak mempunyai pilihan lain selain menjual kayu mereka kepada para pengepul tersebut. Pada sisi lain, para pengepul kayu, yang pada umumnya juga dari kalangan petani itu sendiri, juga mempunyai berbagai keterbatasan untuk meningkatkan harga beli kayu dari petani. Biaya transaksi yang tinggi di dalam pemasaran kayu (lihat Lampiran 8) serta berbagai resiko kerugian yang menjadi beban pengepul (Kurniawan et al. 2008), mendorong mereka untuk menerapkan strategi safety first dalam bentuk penetapan harga beli yang rendah. Peningkatan akses petani terhadap pasar, misalnya melalui pemasaran secara kolektif dan pengembangan kerjasama pasokan kayu dengan industri merupakan salah satu alternatif yang dapat meningkatkan posisi tawar petani di dalam pemasaran kayu jati. Kerja sama tersebut perlu menggali peluang untuk peningkatan nilai tambah kayu jati yang dihasilkan masyarakat. Petani kayu jati misalnya perlu diberikan keterampilan untuk mengolah kayu menjadi bahan-bahan mebel setengah jadi yang kemudian dapat ditampung oleh industri mebel di wilayah sekitarnya. Di Kabupaten Gunungkidul, potensi ini tersedia karena pemerintah daerah sudah memfasilitasi upaya kerjasama tersebut dengan beberapa perusahaan mebel di Yogyakarta. Diperlukan fasilitasi yang lebih intensif kepada kelompok-kelompok masyarakat agar upaya yang telah dirancang di tingkat kabupaten tersebut dapat dilaksanaan di tingkat operasional di desa.

Biaya transaksi yang cukup tinggi dalam pemasaran kayu jati rakyat merupakan dampak dari penerapan aturan tata niaga kayu rakyat yang bersifat disinsentif bagi upaya pengembangan tanaman kayu rakyat. Kewajiban kelengkapan dokumen SIT dan SKSHH dalam perdagangan kayu jati rakyat menyebabkan peningkatan biaya transaksi pemasaran sampai 32% (Lampiran 8). Para pedagang kayu pada umumnya memasukkan biaya pengurusan dokumen

tersebut ke dalam biaya pemasaran yang mendorong mereka untuk menetapkan harga beli yang lebih rendah terhadap para petani. Kewajiban untuk memiliki dokumen-dokumen tersebut juga membuka peluang kepada oknum aparat untuk melakukan berbagai pungutan liar selama perjalanan transportasi kayu. Untuk kasus di Gunungkidul dimana legalitas kayu rakyat sudah terjamin dan pengawasan kawasan hutan mudah dilaksanakan, aturan tata niaga kayu rakyat tersebut perlu ditinjau ulang untuk mengurangi biaya transaksi dalam pemasaran kayu rakyat.

Dokumen terkait