• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

B. Faktor- Faktor Risiko Stunting Pada Anak 1.Asupan Makanan

Asupan makanan yang kurang akan sangat mempengaruhi

keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Tidak tersedianya makanan

dirumah akan berdampak pada asupan makan anak. Apabila

mendapatkan makanan bergizi yang kurang (Krisnansari, 2010).

Ketersedian makanan di rumah juga akan membentuk pola makan

anak pada periode selanjutnya (Almatsier dkk., 2011).

Pola makan yang terbentuk dalam keadaan kurangnya

konsumsi makanan bergizi, pada akhirnya anak akan terbiasa untuk

mengonsumsi makanan kurang bergizi. Kurangnya makan yang

bergizi dalam jangka waktu lama akan menyebabkan tubuh

mengalami kekurangan gizi.

Energi sangat baik untuk angka pertumbuhan anak usia 7 –

10 tahun, diperkirakan rata-rata kenaikan berat badan anak usia 7 –

10 tahun adalah 5 – 12 gr/hari (Sharlin dan Edelstein, 2011). Kurangnya asupan makanan sehingga berdampak pada kekurangan

energi akan dapat menyebabkan kehilangan berat badan, gangguan

pertumbuhan berat badan dan terhambatnya pencapaian tinggi

badan (Sharlin dan Edelstein, 2011).

Kebutuhan energi pada anak usia sekolah akan meningkat

karena meningkatnya ukuran tubuh dan aktifitas fisik (Thompson

dkk., 2011). Kebutuhan total energi setiap anak berbeda tergantung

dari usia, berat badan dan level aktifitas fisik (Thompson dkk.,

2011). Rekomendasi kebutuhan energi di Indonesia berpedoman

pada Angka Kecukupan Gizi 2013, digambarkan pada tabel berikut

Tabel 2.1

Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Energi Tahun BB (kg) TB (cm) Energi Anak 4-6 tahun 19 112 1,600 Anak 7 – 9 tahun 27 130 1.850 Laki - Laki 10 – 12 tahun 34 142 2.100 Perempuan 10 – 12 tahun 36 145 2.000 Rata - Rata 1.887,5

Tabel 2.l, menunjukan bahwa kebutuhan energi setiap

tingkatan usia anak sekolah dasar berbeda-beda. Anak sekolah

dasar merupakan tahapan pertumbuhan pada usia 6 hingga 12

tahun.

Hasil penelitian yang dilakukan Wardani (2007)

menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi

dan konsumsi energi dengan nilai p = 0,049 dan OR= 205,5 artinya

adalah anak balita yang mengalami kurang konsumsi energi akan

memiliki risiko mengalami gizi buruk 205,5 kali lebih besar jika

dibandingkan dengan dengan anak balita yang memiliki konsumsi

energi cukup (Wardani, 2007).

Protein merupakan nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk

membantu pertumbuhan yang optimal pada anak (Sharlin dan

Edelstein, 2011). Kebutuhan protein setiap anak berbeda – beda tergantung dengan berat badan anak, yaitu 0,95 gr/kg/hari atau

10% – 20% dari total energi (Thompson dkk, 2011, Sharlin dan edelstein, 2011). Hal ini setara dengan 1 ukuran ayam bagian paha

bawah yang berbentuk seperti pemukul drum dengan direbus atau

dipanggang kemudian ditambah dengan 2 gelas susu (Thompson

dkk., 2011). Rekomendasi untuk memenuhi kebutuhan protein di

Indonesia berpedoman pada Angka Kecukupan Gizi 2013,

digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 2.2

Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Protein Tahun BB (kg) TB (cm) Protein (gr) Anak 4-6 tahun 19 112 35 Anak 7 – 9 tahun 27 130 49 Laki - Laki 10 – 12 tahun 34 142 56 Perempuan 10 – 12 tahun 36 145 60 Rata rata 50

Tabel 2.2 diketahui bahwa rekomendasi yang dianjurkan

untuk memenuhi kebutuhan protein di Indonesia berbeda dengan

rekomendasi yang dikutip dalam buku The Scienc of Nutrition.

Kebutuhan protein di Indonesia berdasarkan usia dan jenis

kelamin.

Rekomendasi ini dibentuk demi memastikan bahwa energi

untuk tubuh yang berasal dari semua nutrisi tercukupi. Sehingga,

kelebihan persediaan protein digunakan untuk pertumbuhan dan

Anak sangat berisiko mengalami kekurangan protein,

terutama pada anak – anak dengan keluarga yang pendapatannya rendah, alergi protein hewani dan diet vegetarian yang tidak

mengonsumsi sumber hewani (Sharlin dan Edelstein, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan Wardani (2007)

menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi

dan konsumsi protein dengan nilai p = 0,011, dengan nilai dan OR

= 87,9, artinya adalah anak balita yang mengalami kurang

konsumsi protein akan memiliki risiko mengalami gizi buruk 87,9

kali lebih besar jika dibandingkan dengan anak balita yang

memiliki konsumsi protein cukup (Wardani, 2007).

Asupan lemak menjadi aturan main dalam pembentukan

otak pada usia 3 tahun. Lemak membentuk minimal 60% sistem

saraf pusat dan sistem saraf tepi, hal ini penting untuk mengontrol,

menjaga dan menyatukan sistim tubuh sehingga asupan lemak

penting dalam proses pertumbuhan anak (Sharlin dan Edelstein,

2011). Akan tetapi, makanan rendah lemak akan menyebabkan

mudah lapar dan kemudian menyebabkan makan berlebih.

Sehingga tidak semua lemak baik untuk pertumbuhan (Sharlin dan

Edelstein, 2011).

Lemak sebaiknya berasal dari polysaturated fat dan monosaturated fat seperti ikan, sebagian besar kacang – kacangan dan minyak sayur, lemak ini membantu menjaga kolesterol tetep

jenis ini merupakan kolesterol yang baik (Sharlin dan Edelstein,

2011).

Makanan tinggi lemak jenuh seperti mentega, keju dan

olahan daging sapi akan menyebabkan kolesterol menjadi tinggi

dan Low Density Lipoportein (LDL) tinggi, akhirnya menyebabkan obesitas (Sharlin dan Edelstein, 2011).

Meskipun demikian, lemak merupakan kunci kebutuhan

gizi pada anak usia sekolah dasar dibutuhkan 25% hingga 35% dari

total energi harus terdiri dari lemak (Thompson dkk., 2011).

Namun, lemak yang dimaksud adalah lemak baik yang dapat

diperoleh dari kacang – kacangan, ikan, susu rendah lemak, keju mozzarella rendah lemak, yogurt rendah lemak dan mengurangi

asupan makanan yang diolah dengan cara digoreng (Thompson

dkk., 2011). Rekomendasi lemak di Indonesia berpedoman pada

Tabel 2.3

Angka Kecukupan Gizi 2013 Untuk Lemak Tahun BB (kg) TB (cm) Lemak (gr) Anak 4-6 tahun 19 112 62 Anak 7 – 9 tahun 27 130 72 Laki - Laki 10 – 12 tahun 34 142 70 Perempuan 10 – 12 tahun 36 145 67 Rata rata 67,75

Tabel 2.3 diketahui bahwa kebutuhan lemak berbeda sesuai

usia dan jenis kelamin. Kebutuhan lemak untuk perempuan lebih

sedikit jika dibandingkan dengan kebutuhan lemak laki – laki. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013)

ditemukan hubungan yang bermakna antara asupan lemak terhadap

kejadian gizi kurang dengan nilai p = 0,038 (Putri dan Wahyono,

2013). Artinya, ada hubungan yang bermakna antara kekurangan

asupan lemak dengan kejadian gizi kurang pada anak.

Metode pengukuran asupan makanan dapat dilakukan

dengan metode sejarah diet atau Dietery History untuk melihat asupan makanan sudah terpenuhi atau belum terpenuhi. 24-hour recall dan food record merupakan salah dua dari banyak metode untuk melihat kebiasaan makan seseorang / sejarah diet (Dietery History). Sejarah diet digunakan untuk melihat latar belakang makan seseorang secara realistis dan mengidentifikasi status

keseimbangan nutrisi seseorang (Whitney dan Rolfes, 2008).

Sehingga, pada akhirnya tujuan gizi dapat tercapai.

24-hour recall adalah salah satu metode yang dikembangakan untuk melihat sejarah diet dengan melakukan

wawancara terhadap subjek penelitian (Gibson, 2005). Subjek

penelitian diminta untuk mengingat kembali makanan apa saja

yang sudah dimakan dalam waktu 24 jam. Kemudian asupan

nutrisi dapat dihitung dengan daftar komposisi makanan (Gibson,

2005).

24-hour recall menyediakan data perkiraan asupan makanan selama satu hari. Klien akan diminta untuk menceritakan

segala sesuatu yang dimakan atau diminum dalam jangka waktu 24

jam atau sehari sebelumnya. Keuntungan recall adalah mudah untuk dilakukan dan cenderung akurat karena hanya diminta data

24 jam sebelumnya. Namun, recall tidak dapat melihat kebiasan makan sesorang tersebut (Whitney dan Rolfes, 2008).

Food Record merupakan metode selain food recall 24 hour untuk melihat sejarah diet. Food record adalah catatan makan seseorang termaksud jumlah dan cara pengolahannya (Whitney dan

Rolfes, 2008). Makanan dalam food record ini termaksud didalamnya minuman kemasan dan semua makanan ringan yang

telah dimakan (Gibson, 2005). Food record dapat menjadi bahan informasi klien untuk melihat faktor yang menyebabkan makan

klien yang ingin bekerja sama, karena dalam food record klien akan diminta untuk menjaga asumsi makanan setiap saat (Whitney

dan Rolfes, 2008).

Kelebihan food record adalah dapat menjadi bahan acuan konseling bagi klien yang kelebihan gizi, kekurangan gizi atau

alregi terhadap makanan. Namun food record harus berkelanjutan dalam menulis makanan dan klien diminta untuk menjaga hasil

pencatatan makanannya, terkadang hal itu dapat menyulitkan klien

(Whitney dan Rolfes, 2008).

Jika dibandingkan antara metode 24-hour recall dengan metode food record. Pada anak tidak dianjurkan untuk menggunakan 24-hour recall, karena metode ini membutuhkan ingatan yang baik. Sehingga, metode food record lebih dapat diandalkan untuk mengukur asupan makanan pada anak dan lansia

(Gibson, 2005).

Recall memang tidak dianjurkan untuk dilakukan pada anak, namun penelitian ini tetap menggunakan metode food record 24-hour untuk anak. Hal tersebut dikarenakan, peneliti ingin mengetahui asupan makanan anak ketika disekolah, mengingat

belum tentu ibu mengetahui apa saja yang dikonsumsi anak saat di

sekola. Sehingga, anak tetap akan dilakukan recall 24-hour selama tiga kali, yang pengisiannya dilakukan dengan bantuan peneliti.

Lembar record tidak diberlakukan pada anak karena dikhawatirkan lembar record akan hilang atau bahka anak tidak

mengisi lembar tersebut. Sehingga, lembar record diharapakan akan mengurangi bias asupan makanan anak pada penelitian ini.

2. Penyakit Infeksi

Infeksi dan asupan nutrisi merupakan sebuah lingkaran

yang saling berhubungan timbal balik (Nency dan Arifin, 2005).

Rendahnya asupan makanan dapat menurunkan imunitas dalam

tubuh sehingga tubuh mudah mengalami infeksi yang

menyebabkan gizi kurang atau sebaliknya tubuh yang mengalami

infeksi akan menganggu penyerapan zat gizi oleh sehingga tubuh

akan mengalami kurang gizi.

Ada hubungan yang signifikan antara penyakit infeksi

dengan kejadian stunting p = 0,021 yaitu OR = 2,2 . Artinya anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi akan memiliki risiko 2,2

kali lebih besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki riwayat penyakit infeksi (Arifin

dkk., 2012).

Penyakit infeksi yang dapat mempengaruhi status gizi

adalah diare dan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Pada

anak usia sekolah dasar, masalah kesehatan yang banyak ditemui

adalah rendahnya perilaku mencuci tangan dengan sabun.

Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun merupakan perilaku yang

dapat menurunkan risiko terkena penyakit ISPA dan diare

tangan dengan sabun memperbesar risiko anak – anak terkena penyakit ISPA dan diare.

Penyakit infeksi biasanya memiliki tingkat kegawatan yang

beragam. Dimulai dari yang tingkat ringan, tiba – tiba berubah menjadi akut kemudian kronis. Akhirnya menjadi penyakit yang

diderita seumur hidup (Cherry dkk., 2014). Infeksi bisa disebabkan

oleh virus, bakteri, jamur dan lain – lain. Waktu maksimal yang dibutuhkan oleh virus untuk menginfeksi organ sistem adalah 2

hingga 7 hari, kemudian jika berlanjut (akut) mencapai 2 minggu

atau 14 hari (Cherry dkk., 2014).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan satu

dari banyak penyakit infeksi yang dipercaya memiliki hubungan

erat dengan masalah gizi (Welasasih dan Wirjatmadi, 2012).

Selain itu, ISPA yang diderita anak biasanya disertai dengan

kenaikan suhu badan. Kondisi ini menyebabkan kebutuhan makan

anak juga bertambah,. Namun, dalam kondisi yang sama ISPA juga

menyebabkan penurunan nafsu makan. Sehingga anak akan

mengalami kekurangan nutrisi yang dapat mengganggu

pertumbuhan (Anshori, 2013).

ISPA merupakan penyakit disebabkan oleh virus, bakteri,

jamur atau sejenisnya yang menyerang, menginfeksi atau meracuni

organ pernafasan selama 14 hari / 2 minggu. ISPA dibedakan

sesuai dengan bagian organ pernafasan yang terinfeksi yaitu ISPA

bagian atas trakea, dan ISPA bagian bawah yang terdiri dari

bronkus, bronkiolus dan alveoli (Hockenberry dan Wilson, 2007).

ISPA dapat menyebar dari satu bagian kebagian lainnya,

karena membran mokus yang membungkus seluruh saluran

pernafasan. Sehingga ISPA lebih sering melibatkan bagian lain

saluran pernafasan dibandingkan struktur tunggal. Meskipun

demikian efek pada satu struktur dapat mendominasi setiap

penyakit ISPA yang terjadi (Hockenberry dan Wilson, 2007).

Berikut tanda dan gejala anak yang mengalami ISPA :

1. Demam tinggi (39 oC hingga 40 oC) selama 14 hingga 28 hari

2. Dapat juga disertai dengan kejang demam

3. Sakit kepala, sakit punggung dan leher

4. Tidak memiliki selera makan

5. Muntah, diare sakit perut

6. Batuk, pilek, sakit tenggorokan dan terdapat suara mengi disaat

bernafas.

Ada hubungan yang signifikan antara penyakit ISPA

dengan status gizi yaitu p = 0,002 (Ernawati, 2006). Artinya,

seseorang yang mengalami ISPA akan cenderung memiliki nafsu

makan rendah, sehingga mereka akan mengalami kekurangan

asupan makan (Ernawati, 2006).

Dalam penatalaksanaan penyakit ISPA, dibedakan dalam

tindakan tatalaksananya, yakni ISPA tanpa Pneunomia dan ISPA

yang terjadi pada parenkim paru (alveoli dan bronkhus, bagian

sistem pernafasan bawah) yang termaksud dalam infeksi akut

(Ward dkk., 2006).

Pneunomia merupakan radang yang terjadi pada parenkim

paru. Penyakit tersebut umumnya menyerang masa bayi, anak usia

sebelum sekolah atau anak usia sekolah (Hockenberry dan Wilson,

2007). Penyebab pneunomia tidak berbeda dari penyebab ISPA

tanpa pneunomia yaitu virus, bakteri, jamur dan lain – lain. Ada beberapa jenis pneunomia, yang dibedakan berdasarkan morfologi,

jenis agen atau asal penyakit klinis (Hockenberry dan Wilson,

2007). Berikut penjelasan tipe pneunomia:

1. Menurut Morfologi (Hockenberry dan Wilson, 2007)

a. Lobar Pneunomia : merupakan pneumonia yang

menginfeksi semua atau sebagian besar bagian lobar

paru – paru. Jika kedua lobar paru – paru positif terkena, maka dinyatakan dengan pneunomia ganda.

b. Bronchopneumonia : Tersumbatnya bronkiolus oleh eksudat mukopurulen sehingga membentuk bercak

di lobus terdekat. Bronchopneunomia bisa juga disebut dengan pneunomia lobular.

c. Pneunomia Intersititial : Proses peradangan yang

terjadi didalam dinding alveoli (interstitial) dan jaringan

2. Berdasarkan jenis agent (Hockenberry dan Wilson, 2007) :

virus, bakteri, mycoplasma dan masukya zat asing

3. Berdasarkan asal penyakit klinis (Ward dkk., 2006): komunitas

dan rumah sakit

Selain infeksi saluran pernafasan, penyakit infeksi diare

juga merupakan penyakit infeksi yang sering dihubungkan dengan

status gizi atau stunting. Diare menyebakan kematian anak dibeberapa negara (KEMENKES, 2014). Selain itu, diare

merupakan penyakit endemis yang berpotensi untuk menyebabkan

KLB (Kejadian Luar Biasa) di Indonesia (KEMENKES, 2014).

Gambaran pasien yang mengalami diare di Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, menunjukan

68,9% anak yang mengalami diare memiliki status gizi kurang dan

15,5% mengalami gizi buruk (Yusuf dan Abidin, 2011). Indonesia,

memiliki frekuensi kejadian diare lebih banyak 2 – 3 kali jika dibandingkan dengan negara maju (Sudoyo dkk., 2007).

Diare merupakan defekasi atau buang air besar dengan tinja

setengah padat, setengah cair atau cair dan biasanya cairan ini

sebanyak 200 ml/ 24 jam (Sudoyo dkk., 2007). Definisi lainnya

dengan menggunakan istilah frekuensi yaitu diare merupakan

keadaan meningkatnya frekuensi pengeluaran tinja dari biasanya

mencapai lebih dari 3 kali sehari, ditandai dengan keenceran atau

kelembekan tinja, bertambahnya volume tinja dan terkadang

Diare yang berhubungan dengan kejadian gizi kurang

adalah diare kronik yang terjadi selama 2 minggu berturut – turut atau lebih dari 14 hari untuk anak sekolah dan 3 minggu berturut –

turut atau lebih dari 21 hari untuk orang dewasa. Diare kronik

terdiri dari 3 jenis diare, yang salah satunya adalah diare kronik

osmotik. Diare kronik osmotik merupakan faktor malabsorpsi

akibat dari adanya gangguan absorbsi karbohidrat, lemak atau

protein. Gangguan yang sering terjadi adalah malabsorbsi lemak

(Mansjoer dkk., 2009).

Banyak penyebab yang dapat menyebabkan diare salah

satunya adalah infeksi baik infeksi dari bakteri, virus, parasit,

keracunan makanan, penyalahgunaan obat – obatan dan lain –

lainnya (Sudoyo dkk., 2007). Dalam hal ini diare yang dimaksud

adalah diare yang disebabkan oleh infeksi. Faktor agen dan faktor

host memiliki peran besar dalam terjadinya diare. Faktor host atau

penjamu terdiri merupakan kemampuan daya tahan tubuh untuk

menangkis atau mempertahankan diri terhadap agen penyebab

diare seperti bakteri, virus atau parasit yang terdiri dari imunitas

tubuh, lingkungan saluran pencernaan seperti keasaaman lambung,

motilitas usus dan mikroflora usus. Sedangkan faktor agen atau

penyebab diare adalah kemampuan agen dalam memproduksi

toksin didalam lingkungan saluran cerna sehingga mempengaruhi

Proses perjalanan atau patofisisologis diare yang

disebabkan oleh infeksi diawali dengan masuknya agen atau

kuman ke dalam lingkungan saluran pencernaan, kemudian

berkembang dalam usus dan merusak atau meracuni mukosa usus.

Sehingga masuknya kuman ke dalam lingkungan pencernaan

menyebabkan penurunan daerah permukaan usus (Hidayat, 2008).

Penurunan daerah permukaan usus menyebabkan perubahan

kapasitas usus sehingga kemampuan absorpsi cairan dan elektrolit

(fungsi utama usus) terganggu (malabsorpsi) (Hidayat, 2008).

Malabsorpsi ini akan menggeser air dan elektrolit ke rongga usus

sehingga meningkatkan isi rongga usus. Padahal, rongga usus

sedang mengalami penurunan permukaan. Sehingga pada akhinya

terjadilah diare (Hidayat, 2008).

Penyakit infeksi dapat didiagnosis berdasarkan kriteria

gejala klinis (Primayani, 2009). Seperti halnya diare dapat

ditanyakan terkait gejala frekuensi buang air besar dan konsistensi

tinja. Sementara ISPA dapat ditanyakan dengan gejala terkait batuk

berdahak, demam dan lain sebagainya.

3. Akses Pangan Yang Tidak Terjangkau

Akses terhadap makanan atau akses pangan ialah

kemampuan masing – masing orang dalam memperoleh pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan ini dapat

pangan yang diperoleh melalui bantuan orang lain (Adriani dan

Wijatmadi, 2012).

Ada tiga hal yang mempengaruhi akses terhadap makanan

seseorang, yaitu: Akses ekonomi (pendapatan, kesempatan kerja

dan harga pangan). Akses fisik (sarana - prasarana perhubungan

dan infrastuktur pedesaan). Akses sosial (preferensi terhadap jenis

pangan, pendidikan dan tidak adanya konflik, perang dan bencana

alam) (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

Akses ekonomi sangat tergantung terhadap pendapatan,

kesempatan kerja dan harga pangan. Harga pangan yang tinggi,

kesempatan kerja menurun dan pendapatan yang rendah, akan

mempersulit akses seseorang terhadap makanan. Berbeda jika

akses ekonomi sudah terpenuhi, namun akses fisik (sarana dan

prasarana perhubungan serta infrastruktur) dalam pedesaan yang

kurang mendukung. Sehingga, hal ini juga mempersulit seseorang

dalam akses terhadap makanannya. Ketika akses ekonomi dan

akses fisik sudah baik namun akses sosial buruk (sedang terjadi

perang atau bencana alam) maka akses terhadap makanan akan

tetap sulit.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa akses ekonomi, akses

fisik dan akses sosial merupakan 3 hal yang saling berkaitan.

Ketiga hal tersebut merupakan hal penting yang harus terpenuhi

Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan

protein dengan pendapatan per kapita dengan nilai p = 0,014

(Khomsan dkk., 2013). Semakin tinggi pendapatan keluarga, maka

semakin tinggi pula asupan protein anak balita (Khomsan dkk.,

2013). Selain itu, semakin banyaknya preferensi terhadap

keanekaragaman pangan, maka semakin meningkat pula ketahanan

pangan. Pada akhirnya, hal tersebut akan mengatasi kerawanan

pangan baik pada individu, rumah tangga atau pada kelompok

masyarakat (Khomsan dkk., 2013).

4. Pola Asuh Anak

Pola asuh merupakan interaksi yang terjadi di antara ibu

dan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Semakin eratnya

interaksi ibu dan anak, maka semakin baik pula kualitas dan

kuantitas peranan ibu dalam mengasuh anak. Hal tersebut karena

pola asuh merupakan indikator atas peran ibu dalam mengasuh

anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Sehingga, pola asuh

merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kurang gizi atau

terganggunya perkembangan anak (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

Kasih sayang merupakan kebutuhan dasar untuk menunjang

pertumbuhan yang sempurna dalam tahap tumbuh kembang anak.

Hal ini dapat terwujud melalui kehadiran seorang ibu. Kontak fisik

menciptakan rasa aman bagi bayi dan menciptakan ikatan erat

antara ibu dan bayi (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh terkait

praktek pemberian makan dengan kejadian stunting dengan nilai p = 0,001. Hal ini menggambarkan bahwa ibu yang memperhatikan

pemberian, persiapan dan penyimpanan makanan anak, lebih

banyak memiliki anak yang mengalami pertumbuhan panjang

badan normal (Renyoet dkk., 2013).

5. Pelayanan Kesehatan Dasar yang Tidak Terjangkau dan Lingkungan Tidak Sehat.

Kemampuan seseorang dalam mencapai sarana dan

prasarana kesehatan yang memadai dan sanitasi lingkungan

merupakan penyebab tidak langsung terhadap status gizi (Marut,

2007). Seseorang yang mengalami kesulitan untuk mencapai

sarana dan prasarana kesehatan yang memadai akan cenderung

tidak menggunakan fasilitas yang tersedia (Marut, 2007).

Ada hubungan yang signifikan antara ibu yang

memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita

dengan nilai p < 0,001. Hal ini menggambarkan anak balita yang

memiliki status gizi baik lebih banyak dimiliki oleh ibu yang

memanfaatkan pelayanan kesehatan (Hidayat dan Jahari, 2012).

Selain itu, ada hubungan yang signifikan antara ibu yang

memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan angka kesakitan anak

terhadap angka kesakitan pada bayi lebih tinggi terjadi pada ibu

yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan ibu yang

memanfaatkan pelayanan kesehatan (Hidayat dan Jahari, 2012).

Lingkungan yang tidak mendapatkan sanitasi yang baik

akan berisiko tinggi untuk menyebabkan penyakit infeksi seperti

diare, cacingan dan lain-lain (Marut, 2007). Air, jamban dan jenis

alas rumah/lantai merupakan bagian dari lingkungan yang dapat

menimbulkan diare. Sumber air yang banyak digunakan di

Indonesia adalah sumber air sumur dan sumber air PDAM. Sumber

air yang diminum memiliki hubungan yang signifikan dengan

kejadian diare dengan OR 1,389. Artinya, balita yang meminum air

dari sumber air sumur akan memiliki risiko 1,389 kali lebih besar

untuk terkena diare jika dibandingkan dengan balita yang minum

air sumber PDAM (Pradiga dkk., 2013).

Rumah tangga setidaknya harus memiliki 1 buah jamban

yang harus memenuhi syarat layak pakai. Ada hubungan yang

signifikan antara kepemilikan jamban rumah tangga yang

memenuhi syarat dengan OR 4,339. Artinya, rumah tangga yang

tidak memiliki jamban atau memiliki jamban namun tidak

memenuhi syarat akan berisiko 4,339 kali lebih besar untuk

mengalami diare jika dibandingkan dengan rumah tangga yang

memilik jamban dan jamban memenuhi syarat (Pradiga dkk.,

6. Pendapatan Pendidikan Pengetahuan Ibu terkait Gizi dan banyaknya Jumlah Anggota Keluarga

Pendapatan, pendidikan, pengetahuan ibu dan banyaknya

jumlah anggota keluarga merupakan faktor tidak langsung yang

berkontribusi dalam manifestasi masalah gizi. Akibat keadaan

ekonomi, kemampuan manusia (pengetahuan dan banyaknya

jumlah anggota keluarga) dapat mempengaruhi seseorang dalam

mengambil keputusan dan berperilaku, berikut penjelasannya:

a) Pendapatan

Ketersediaan kebutuhan rumah tangga tergantung dari

pendapatan rumah tangga (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

Selain itu, pendapatan rumah tangga juga menentukan jenis