TINJAUAN PUSTAKA
METODOLOGI PENELITIAN
H. Rata - Rata Jumlah Anak Dalam Keluarga
I. Hubungan Variabel Intervenning Asupan Energi Protein Lemak Terhadap Stunting
Berdasarkan hasil analisis hubungan langsung antara asupan
energi, protein dan lemak memiliki nilai T Test < 1,97. Hal ini
energi, protein dan lemak terhadap kejadian stunting di MI Muhammadiyah, Haurgeulis, Indramayu tahun 2015.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Anshori (2013)
yang menyatakan bahwa asupan energi tidak berhubungan dengan
kejadian stunting dengan p value > 0,05 yaitu 0,163. Anshori (2013) menyatakan bahwa kejadian stuntimg lebih berisiko terjadi ketika anak kekurangan asupan protein (OR : 11,8) yang artinya anak yang
kekurangan protein lebih 11,8 kali lebih berisiko mengalami stunting jika dibandingkan dengan kekurangan energi (OR : 0,45) yang hanya berisiko
0,45 kali untuk mengalami stunting (Anshori, 2013).
Namun, hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hidayati dkk (2010) yang menyatakan bahwa kekurangan
energi meemiliki hubungan yang signifikan dengan p : 0,035 dan OR :
3,46 terhadap kejadian stunting. Artinya, anak yang mengalami kekurangan energi akan memiliki risiko 3,46 kali lebih besar untuk
mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kekurangan energi(Hidayati dkk., 2010).
Melihat hasil analisis hubungan antara protein dan stunting, penelitian ini sejalan dengan penelitian Ardiyah (2015), yang menyatakan
bahwa asupan protein tidak berhubungan dengan kejadian stunting (p > 0,05) (Aridiyah, 2015).
Namun, hasil tersebut tidak sejalan dengan Anshori, (2013) yang
menyatakan bahwa protein berhubungan dengan kajadian stunting (p < 0,05 , p : 0,009) dengan nilai OR 11,8 (Anshori, 2013). Hal ini berkaitan
dengan hasil rata – rata asupan protein yaitu dimana rata – rata semua kelompok baik case dan control memiliki asupan kurang dari asupan yang disarankan oleh AKG 2013. Meskipun tidak memiliki hubungan
langsung namun menurut Anshori (2013) bahwa anak yang kekurangan
asupan protein akan memiliki risiko 11,8 kali lebih besar untuk mengalami
stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki kekurangan protein (Anshori, 2013).
Kemudian, hasil analisis hubungan antara lemak dan stunting, penelitian ini sejalan dengan penelitian Anshori (2013) yang menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara asupan lemak dengan kejadian stunting (p > 0,05 , p : 0,08) dengan nilai OR 2,7 (Anshori, 2013). Anshori (2013)
menyatakan bahwa kejadian stunting lebih berisiko jika anak mengalami kekurangan protein, karena kekurangan lemak memiliki risiko lebih kecil
jika dibandingkan dengan risiko kekurangan protein yaitu sebesar 2,7 kali
lipat.
Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitan yang
dilakukan oleh Oktarina dan Sudiarti (2013), yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara asupan lemak dengan kejaidan stunting yaitu p : 0,02 dan OR : 1,31. Artinya, anak yang mengalami kekurangan
lemak akan memiliki risiko 1,31 kali lebih besar untuk mengalami stunting jika dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kekurangan asupan
lemak (Oktarina dan Sudiarti, 2013).
Stunting merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kekurangan nutrisi selama menahun. Jadi, ketika asupan energi tidak
mencukupi kebutuhan tubuh, maka metabolisme dalam tubuh tergangu
maka akan ada perubahan fisiologis organ – organ utama tubuh untuk menyesuaikan cadangan gizi tubuh. Perubahan fisiologis tubuh ini
dilakukan untuk menghemat persedian nutrisi dalam tubuh terutama lemak
dan protein (Briend dkk., 2015).
Jika kekurangan makanan ini bersamaan dengan masa
pertumbuhan, maka perubahan besar terjadi pada otak, jatung, ginjal dan
otot – otot. Penyesuaain ini diikuti oleh perubahan kadar insulin dan glukagon yang menjadi kunci utama dalam regulasi enzim, sehingga tubuh
secara otomatis menyalakan status hemat energi. penggunaan status hemat
energi ini, membuat persedian lemak dan protein dalam tubuh akan
menjadi kunci utama dalam proses metabolisme. Padahal, nutrisi otak
tidak dapat diperoleh dari protein karena kebanyakan protein tidak dapat
dengan mudah melewati penghalang antara darah dan otak sehingga massa
otak akan berkurang, hal ini lebih sering terjadi pada anak – anak karena massa otak anak lebih besar dari pada massa otak orang dewasa (Briend
dkk., 2015).
Status hemat energi akan banyak menggunakan persedian protein
dalam otot, yang pada akhirnya organ – organ tubuh akan mengalami perubahan bentuk atau mengecil terutama otot tubuh. Hal ini karena asam
amino yang didalam otot juga digunakan untuk mempertahankan
metabolisme protein.
Ketika persediaan protein sudah habis dalam tubuh, maka
akan menyebabkan kematian jika persedian lemak dalam tubuh sudah
habis. Singkatnya, ketika terjadi malnutrisi maka penyesuaian tubuh untuk
melakukan metabolisme akan menyebabkan penurunan massa otot dan
penurunan lemak. Perubahan komposisi tubuh ini tercerminkan secara
tidak langsung dari indeks antropometri stunting (Briend dkk., 2015). Energi merupakan nutrisi utama sebagai bahan bakar kerja
metabolisme dalam tubuh, namun energi tidak memiliki persediaan dalam
tubuh. Sehingga jika tubuh mengalami kekurangan energi, tubuh akan
secara langsung menyalakan mode hemat energi. Kekurangan energi ini
akan dialihkan kepada persediaan protein. Persediaan protein merupakan
kunci utama untuk mepertahankan tubuh, dan biasaannya kekurang protein
ini terjadi bersamman ketika kekurangn energi sehingga kerja protein akan
2 kali lebih berat.
Dalam pertumbuhan anak, protein merupakan nutrisi yang sangat
dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan yang optimal (Sharlin dan
Edelstein, 2011). Sehingga kekurangan protein ini yang banyak
mempengaruhi pertumbuhan seperti otot, otak dan tulang. Karena
kekurangan protein ini lah yang banyak mempengaruhi komposisi tubuh.
Jika persediaan protein sudah habis, kebutuhan untuk bahan bakar
metabolisme akan dialihkan kepada persediaan lemak dalam tubuh.
Biasanya, kehabisan lemak dalam tubuh akan diikuti dengan kematian.
Tidak ada hubungan antara asupan energi, protein dan lemak. Hal
ini disebabkan karena hasil univariat menunujkkan bahwa rata – rata asupan energi, protein dan lemak antara kelompok case dan control tidak
memiliki perbedaan tingkat asupan energi, protein dan lemak. Berdasarkan
hasil food recall dan food record, diketahui bahwa tidak banyak keanekaragaman makanan responden baik pada kelompok case dan control seperti sarapan lebih sering dengan nasi lengko, nasi kuning atau lontong sayur. Lauk yang sering keluar adalah tempe, tahu dan jajan yang
sering dikonsumsi adalah jajanan yang ada diwarung rata – rata yaitu snack dalam kemasan. Sehingga, hal ini menyebabkan kesamaan rata –
rata tingkat asupan energi, protein dan lemak pada kelompok case dan control.
Hasil analisis food recall dan food record juga menunjukkan bahwa meskipun tidak ada perbedaan rata – rata asupan energi, protein dan lemak. Namun, sumber protein yang dikonsumsi pada kelompok case lebih banyak berasal dari sumber protein nabati sepeti tempe, tahu dan
kacang tanah. Hal ini bukan berarti pada kelompok case tidak mengonsumsi makanan sumber protein. Kebanyakan dari mereka
mengonsumsi makanan sumber protein hewani seperti bakso pentol
(biasanya bakso berisikan potongan telur), bakso ikan, bakso sapi atau
bakso ayam yang mana bakso ini memiliki kandungan protein lebih rendah
jika dibandingkan dengan ayam, ikan, telur dan daging yang belum diolah
menjadi bakso. Berdasarkan hasil uji U pada BAB IV menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaam rata – rata asupan protein nabati pada kelompok case dan control. Namun, ada kecenderungan bahwa asupan protein nabati kelompok case lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok control. Sehingga, peneliti memprediksi bahwa kurang adekuatnya asupan protein
hewani pada kelompok case yang menyebabkan kelompok case mengalami stunting
Selain asupan protein yang berasal dari hewani, asupan kalsium
pada kelompok case lebih rendah jika dibandingkan dengan asupan kalsium kelompok control. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan, namun asupan kalsium pada kelompok case lebih rendah jika dibandingkan dengan asupan kalsium kelompok total. Namun, ada
kecenderungan bahwa asupan kalsium kelompok case lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok control. Sehingga, peneliti memprediksi bahwa kurang asupan kalsium yang mengahambat pertumbuhan tulang
pada kelompok case dan menyebabkan kelompok case mengalami stunting.
Protein dan kalsium merupakan zat gizi yang memiliki dampak
besar pada pertumbuhan tulang. Pertumbuhan fisik anak terutama dalam
pembentukan tulang dan otot sangan membutuhkan asupan protein yang
adekuat (Primasoni, 2012). Protein lebih penting dalam penyusunan
bentuk tubuh jika dibandingkan dengan zat gizi energi (Primasoni, 2012).
Hal ini terkait dengan molekul – molekul yang membentuk protein, molekul pembentuk protein terdiri dari rantai – rantai asam amino (N, C, H, O, dan terkadang S, P, Fe) yang terikat satu sama lainnya dalam ikatan
peptida dan moleku – moleku ini tidak dimiliki oleh zat gizi lain seperti lemak atau karbohidrat (Primasoni, 2012).
Protein bersumber dari protein hewani dan protein nabati. Protein
amino pada protein hewani (Primasoni, 2012). Sehingga, protein sumber
nabati memperlukan kombinasi sumber protein nabati lainnya untuk
melengkapi kandungan asam amino yang kurang (Primasoni, 2012).
Misalkan, mencampurkan tepung gandum dengan kacang – kacangan, dimana tepung gandum kekurangan asam amino lisin tetepi kelebihan
asam amino belerang, sebaliknya kacang – kacangan memiliki kelebihan asam amino lisin dan kekurangan asam amino belerang. Oleh karenanya,
kombinasi tepung gandung dengan kacang – kacangan akan meperlengkap kandungan asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh (Primasoni, 2012).
Selain itu, mengingat bahwa stunting merupakan kekurangan asupan nutrisi menahun, makan membutuhkan waktu yang cukup lama
juga agar anak tidak mengalami stunting pada masa remajanya. Maka, anak disarankan untuk meningkatkan asupan makanan yang bergizi. Oleh
karena itu, peneliti menyarankan bagi ibu untuk meningkatkan makanan
ringan yang bergizi. Seperti, kacang hijau dengan ketan hitam dan selai
kacang dengan roti. Agar kebutuhan oprotein tubuh tetep dapat terpenuhi.
J. Hubungan Variabel Intervenning Penyakit Infeksi Dengan Variabel