• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor – Faktor yang Berkontribusi dalam Insiden Keselamatan Pasien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

D. Faktor – Faktor yang Berkontribusi dalam Insiden Keselamatan Pasien

IOM melalui laporannya yang berjudul “To Err is Human: Building a Safety Health System” pada tahun 2000 menekankan bahwa yang meningkatkan pencegahan terhadap insiden (adverse event) adalah berupa faktor yang sistemik, artinya tidak hanya berasal dari kinerja seorang perawat, dokter, atau tenaga kesehatan lain menurut Sanders, 1993 dalam Kohn (2000). Laporan tersebut juga memberi perhatian pada faktor komunitas manusia yang terlibat pada masalah pelayanan kesehatan. Insiden keselamatan pasien dihasilkan dari interaksi atau kecenderungan dari beberapa faktor yang diperlukan kecuali beberapa faktor yang tidak sesuai. Kekurangan pada faktor – faktor tersebut terlihat pada sistem, telah lama ada sebelum terjadi suatu insiden. Yang menjadi poin penting adalah pada pemahaman bahwa, ada kebutuhan untuk menyadari dan memahami fungsi dari banyaknya sistem yang masing – masing berkaitan dengan setiap penyedia layanan kesehatan dan bagaimana kebijakan, serta tindakan yang diambil pada suatu bagian (dalam sistem tersebut) akan berdampak pada keamanan, kualitas, dan efisiensi pada sistem bagian lainnya (Kohn, 2000). Adanya laporan tersebut berdampak pada gerakan untuk melakukan program keselamatan pasien di setiap rumah sakit di

34

seluruh dunia untuk mengatasi masalah insiden keselamatan pasien yang sering terjadi di berbagai rumah sakit yang ada di dunia.

Beberapa peneliti telah mengusulkan beberapa model sistem dengan faktor. salah satunya yakni WHO tahun 2009 mengembangkan empat kategori faktor dengan sepuluh topik yang sangat berhubungan dengan penyebab insiden keselamatan pasien.

Tabel 2.1 Faktor yang Berpengaruh terhadap Insiden Keselamatan Pasien (WHO, 2009) No Kategori Topik 1 Individu 1. Stres 2. Kelelahan 3. Kewaspadaan Situasi 4. Pengambilan Keputusan 2 Organisasi 5. Komunikasi 6. Budaya Keselamatan 7. Kepemimpinan Manajer 3 Kerjasama Tim 8. Kerjasama tim

9. Supervisor

4 Lingkungan 10. Lingkungan Kerja dan Budaya Sebuah istilah yang dikenal dalam bidang keselamatan pasien adalah bahwa setiap sistem secara sempurna dirancang untuk meraih hasil yang didapatkan (Henriksen et al., 2008). Beberapa peneliti telah mengusulkan beberapa model sistem dengan faktor. Perbandingan elemen – elemen model pada sistem sosioteknikal sebagai berikut:

35

Tabel 2.2 Faktor Model Sistem yang Berkontribusi dalam Insiden Keselamatan Pasien (Henriksen et al., 2008)

No Penulis Faktor Pada Model Sistem

1 Henriksen et al., 1993 1. Karakteristik individu 2. Sifat dasar pekerjaan

3. Interaksi antara sistem dan manusia 4. Lingkungan fisik

5. Lingkungan sosial/organisasi 6. Manajemen

7. Lingkungan Eksternal 2 Vincent, 1998 1. Karakteristik pasien

2. Faktor pekerjaan 3. Faktor individu 4. Lingkungan kerja

5. Faktor manajemen dan organisasi 3 Carayon, 2000 1. Manusia (disiplin ilmu)

2. Teknologi dan perangkat 3. Lingkungan fisik

4. Target organisasi 5. Proses pelayanan

Pelayanan kesehatan tidak terlepas dari sebuah sistem yang kompleks. Terdiri dari berbagai bagian sistem yang saling bertautan. Pendekatan sistem memberikan perspektif yang luas untuk mencari solusi dalam lingkungan secara fisik dan budaya. Sebagai contoh, yakni bagaimana pengaturan unit, prosedur pelayanan kesehatan, transfer pengetahuan oleh organisasi, kesalahan teknis, kurangnya kebijakan dan prosedur, komunikasi antar tim, dan isu dalam ketenagaan mempengaruhi seorang individu dalam memberikan layanan yang aman dan berkualitas. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan menghasilkan error atau kesalahan (Carayon, 2003).

36

Menurut Carayon (2003), tipe error dan bahaya dapat terklarifikasi menurut domain atau kejadian dalam spectrum pelayanan kesehatan. Akar permasalahan dari bahaya teridentifikasi menurut definisi berikut:

1. Latent Failure, yaitu melibatkan pengambilan keputusan yang mempengaruhi kebijakan, prosedur organisasi, dan alokasi sumber daya. 2. Active Failure, yaitu kontak langsung dengan pasien.

3. Organizational failure, yaitu kegagalan secara tidak langsung yang melibatkan manajemen, budaya, organisasi, proses atau protokol, transfer pengetahuan, dan faktor eksternal.

4. Technical failure, yaitu kegagalan secara tidak langsung dari fasilitas atau sumberdaya eksternal.

Menurut AHRQ (2003), faktor yang dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien adalah komunikasi, arus informasi yang tidak adekuat, masalah SDM, hal – hal yang berhubungan dengan pasien, transfer pengetahuan di rumah sakit, alur kerja, kegagalan teknis, serta kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat.

Adapun menurut Depkes (2008), faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya insiden keselamatan pasien adalah faktor eksternal atau luar rumah sakit, faktor organisasi dan manajemen, faktor lingkungan kerja, faktor kerjasama tim, faktor petugas dan kinerja, faktor tugas, faktor pasien, dan faktor komunikasi.

Pada gambar 2.1, menunjukkan bahwa komponen – komponen yang terdapat dalam sebuah sistem perlu dipahami tentang dasar terjadinya insiden keselamatan pasien. Setiap faktor saling berinteraksi satu sama lain. Ketika

37

komponen – komponen tersebut berfungsi secara bersamaan akan terbentuk barrier atau sistem pertahanan terhadap insiden keselamatan pasien yang sebenarnya dapat dicegah. Namun, apabila terdapat kekuarangan atau ketidaksesuaian pada komponen – komponen tersebut dan satu sama lain bergerak terpisah, maka hal itulah yang menjadi kekurangan sistem sehingga adanya insiden keselamatan pasien (Henriksen et al, 2008). Gambar 2.1 juga menunjukkan akar permasalahan sampai penyebab langsung terjadinya insiden keselamatan pasien. Meski tersusun secara bertingkat, setiap faktor tersebut tetap memiliki pengaruh terhadap insiden keselamatan pasien.

38 Eksternal Environment Knowledge Base Demographics New Technology Government intiatives Economic Pressure Healthcare Policy Public Awareness Political climate Management Patient load Staffing Resource Availability

Organizational Accessibility of Personnel Structure Safety Culture Empluyee Development Leadership Involvement Phisical Environment Lighting Notice Temperature Workplace Layout Ventilation Human System Interfaces Medical Devices Equipment Location Controls & Displays Software Control Paper/Electronic Org/Social Environment Authority Gradients Group Norms Communication Local Procedures Work Life Quality

Nature of the Work Treatment Complexity Workflow Individual vs Teamwork Competing task Interupption Physical/Cognitive Individual Characteristics Knowlwdgw/Skill Experience Sensory Capability Fatique Motivation Cultural Competency Sub-Standard Performance Acceptable Performance

Preventable Adverse Event

L aten t Co n d itio n Ac ti ve Er ro rs

Gambar 2.1 Faktor – Faktor yang Berkontribusi Pada Insiden Keselamatan Pasien di Pelayanan Kesehatan (Henriksen et al, 2008)

39

Faktor yang berkontribusi dalam insiden keselamatan pasien yang disampaikan oleh Henriksen et al. (2008) dan WHO (2009) dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Karakteristik Perawat

a. Usia

Menurut Depkes (2002) dalam Hasmoko (2002), kemampuan dan keterampilan seseorang seringkali dihubungkan dengan usia, sehingga semakin lama usia seseorang, maka pemahaman terhadap masalah akan lebih dewasa dalam bertindak dan berpengaruh terhadap produktivitas dalam bekerja.

Teori Robbins (2003) mengemukakan bahwa usia dapat mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Hal tersebut berarti bahwa semakin dewasa usia perawat, maka semakin baik kinerjanya dalam memberikan asuhan keperawatan yang aman atau tidak menyebabkan insiden keselamatan pasien. Staf dengan usia muda umumnya memiliki kekurangan karena cepat bosan, kurang tanggung jawab, dan turn over tinggi. Staf dengan usia lebih tua kondisi fisiknya kurang tetapi bekerja lebih ulet, tanggung jawab besar, dan turn over rendah.

Menurut Mulyana (2013), perawat yang berusia kurang dari 30 tahun memiliki risiko asuhan keperawatan yang tidak aman, sehingga hal ini dapat menyebabkan terjadinya insiden keselamatan pasien. Semakin muda usia perawat kecenderungan terjadinya insiden keselamatan pasien semakin besar, sementara semakin meningkatnya usia perawat maka

40

terjadinya insiden keselamatan pasien semakin kecil. Perawat dengan usia yang lebih dewasa atau tua memiliki kematangan dalam berpikir dan bertindak serta memiliki kemampuan untuk mengenali dan mencegah bahaya yang didapatkannya seiring dengan perkembangan usia dan kematangannya. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Suhartati (2002) bahwa terdapat kecenderungan semakin tua usia perawat semakin etik dalam melakukan asuhan keperawatan, sehingga hal ini akan membuat perawat lebih berhati – hati dalam memperhatikan secara seksama terhadap asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien.

Menurut Amstrong dan Giffin (1987) dalam Mustikawati (2011), usia petugas tidak mempengaruhi jumlah konsultasi dan jumlah kunjungan rawat yang dilakukan pada klien. Usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan perawat, semakin bertambah usia akan menunjukkan kemampuan membuat keputusan yang baik, bijaksana, dapat mengendalikan emosi, taat prosedur, dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan. Hal tersebut dapat pula berpengaruh pada menurunnya angka insiden keselamatan pasien.

b. Pengetahuan

Menurut Kuncoro (2012), dalam menerapkan keselamatan pasien di rumah sakit ada beberapa aspek yang harus dibangun, salah satunya yakni aspek pengetahuan. Pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien sangat penting untuk mendorong pelaksanaan program keselamatan pasien.

41

Berdasarkan Laporan FDA Safety tahun pada 2001 mengungkapkan bahwa yang menjadi kesalahan yang berhubungan dengan faktor manusia antara lain berhubungan dengan kurangnya pengetahuan sebesar 12,3%. Hal yang sama disampaikan oleh Carayon tahun 2003 bahwa tipe error dan bahaya diklarifikasikan menjadi tiga, salah satunya yakni organizational failure. Kegagalan secara tidak langsung yang melibatkan salah satunya yaitu transfer pengetahuan. AHRQ tahun 2003 menyatakan bahwa faktor yang dapat menimbulkan insiden keselamatan pasien, salah satunya yakni transfer pengetahuan di rumah sakit (WHO, 2009).

Menurut Gunibala (2015), pengetahuan merupakan faktor penting dalam seseorang mengambil keputusan, namun tidak selamanya pengetahuan seseorang bisa menghindarkan dirinya dari kejadian yang tidak diinginkannya. Misalnya, perawat yang tingkat pengetahuannya baik, tidak selamanya menerapkan keselamatan pasien dengan baik karena segala tindakan yang dilakukan berisiko menimbulkan terjadinya kesalahan. Faktor lainnya adalah kurangnya minat belajar perawat, yakni perawat yang tidak mempunyai keinginan untuk mengakses teori – teori baru dalam bidang keperawatan khususnya mengenai keselamatan pasien.

Meliono (2007) berpendapat bahwa seseorang yang kurang memahami sesuatu tidak dapat melakukan tindakan dengan baik. Perawat yang memiliki pengetahuan kurang dalam memahami tentang keselamatan pasien tidak mampu menerapkan keselamatan pasien dengan

42

baik sehingga melakukan kesalahan yang dapat menyebabkan insiden keselamatan pasien.

Upaya meningkatkan pengetahuan yang bersifat tetap merupakan suatu hal yang penting khususnya dalam konteks keselamatan pasien. Hal tersebut didukung oleh pendapat Notoadmodjo (2009) yang menyatakan bahwa pengetahuan yang menunjang keterampilan perlu diberikan agar staf dapat melakukan tugasnya berdasarkan teori – teori yang dapat dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan hal tersebut Henriksen et al. (2008) juga menyatakan bahwa keterbatasan pengetahuan sumber daya manusia memiliki peran penting dalam menyebabkan keterbatasan institusi pelayanan untuk mengelola pelayanan yang berorientasi pada keselamatan pasien. Hal tersebut berarti bahwa keterbatasan pengetahuan merupakan hal penting yang sangat perlu dipertimbangkan demi keamanan asuhan yang diberikan oleh tenaga kesehatan termasuk perawat. Pada intinya, pengetahuan yang baik dapat menjadi tolak ukur dari suatu pelaksanaan, maka pelaksanaan yang baik dan benar harus didasari oleh pengetahuan dan pengalaman. Semakin baik pengetahuan perawat tentang keselamatan pasien, maka akan baik pula penerapan keselamatan pasien sehingga kesalahan – kesalahan yang mengancam keselamatan pasien dapat dihindari atau diminimalisir.

Menurut Rivai dan Sagala (2009), pelatihan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencegah terjadinya insiden keselamatan pasien. Pelatihan sebagai bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem

43

pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat. Lubis (2007) berpendapat bahwa perawat yang tidak mendapat pelatihan atau pembelajaran mempunyai kecenderungan lebih besar untuk melakukan tindakan tidak aman yang menjadi salah satu pemicu terjadinya insiden keselamatan pasien.

Berdasarkan KPPRS (2008), terdapat standar untuk mendidik staf tentang keselamatan pasien yaitu:

1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan, dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.

2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf, serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien dengan kriteria sebagai berikut:

a) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien.

b) Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in service training dan memberikan pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.

3) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.

44 c. Stres

Pada titik tertentu dalam dunia pekerjaan banyak orang akan mengalami stres terkait pekerjaan. Stres dipengaruhi oleh keseimbangan antara persepsi terhadap tuntutan seseorang (misalnya: dengan beban kerja yang ad, bagaimana menilai sumberdaya untuk memenuhi tuntutan tersebut). Ketika tuntutan dirasa lebih utama dari kemampuan, seseorang akan mengalami efek tidak menyenangkan, seperti kelelahan atau perasaan lelah, konsentrasi kurang, dan mudah tersinggung (Arfan, 2014).

Perawat sebagai tenaga kesehatan diharapkan dapat bekerja secara profesional dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Menurut Houtman (2005), stres umumnya lebih banyak dikeluhkan oleh petugas kesehatan seperti perawat. Kesiagaan setiap saat dari seorang perawat dalam menangani pasien, serta situasi pekerjaan dan beban kerja yang ada membuat perawat mengalami tekanan yang membuat stres. Adapun menurut Widyasari (2010), profesi perawat merupakan profesi yang membutuhkan ketrampilan tingkat tinggi dan juga membutuhkan kerjasama tim dalam berbagai situasi sehingga profesi perawat di dalam tempat kerja memiliki banyak stresor.

Hasil penelitian National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dalam Widyasari (2010) mengungkapkan bahwa profesi perawat merupakan profesi yang memiliki resiko tinggi terhadap stres, kondisi ini terjadi karena perawat memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat tinggi terhadap keselamatan nyawa manusia. Selain itu,

45

penelitiannya mengungkapkan bahwa pekerjaan perawat memiliki karakteristik cukup sulit karena tekanan dan tuntutan kerja yang tinggi. Karakteristik tersebut terdiri dari: 1) otoritas bertingkat ganda, 2) heterogenitas personalia, 3) ketergantungan dalam pekerjaan dan spesialisasi, 4) budaya kompetitif di rumah sakit, 5) jadwal kerja yang ketat dan harus siap kerja setiap saat, serta 6) tekanan – tekanan dari teman sejawat. Begitu pula hasil survei Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada tahun 2006, sekitar 50,9% perawat rumah sakit yang bekerja di empat provinsi mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, serta gaji rendah tanpa insentif memadai.

Menurut Manojlovich (2007), stres kerja memiliki efek yang negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan fisik perawat. Perawat yang mengalami stres kerja yang tinggi tidak dapat menunjukkan kinerja yang optimal. Hasil penelitian Olaleye (2002) juga mengungkapkan bahwa stres pekerjaan berpengaruh sigifikan terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan perawat dalam melayani pasien. Pengaruh stres pada kesehatan fisik muncul dalam bentuk, yakni sakit kepala, sakit punggung atau leher, nyeri otot, tekanan darah tinggi, sedangkan pengaruhnya terhadap kondisi psikis adalah munculnya perasaan cemas, merasa tertekan, kurang konsentrasi, dan kesulitan dalam membuat keputusan. Dari gambaran tersebut diketahui bahwa, kesehatan fisik dan mental dipengaruhi oleh stres kerja yang secara tidak langsung akan

46

mempengaruhi konsentrasi dan kinerja dari perawat itu sendiri sehingga berpengaruh ketika melayani pasien.

Oleh karena itu, manajemen stres penting untuk diterapkan di unit kerja dimana responden mengalami stres kerja demi mengurangi angka insiden keselamatan pasien. Adapun beberapa cara yang direkomendasikan oleh para ahli berdasarkan kebutuhan dan tingkat stres yang dialami. WHO tahun 2009 menyatakan bahwa stres dapat dicegah dengan tiga cara, yakni secara primer, sekunder (meliputi: mendeteksi dan mengelola gejala), dan tersier (meliputi: efek stres yang dapat diobati). Berdasarkan penelitian oleh Everly & Mitchell tahun 1999 menyarankan melakukan Insiden Kritis Manajemen Stres (CISM) untuk tim atau individu yang mungkin terkena situasi stres tinggi (WHO, 2009).

Menurut Sauter et al. (1990), identifikasi risiko dapat dikelola dengan berbagai cara, misalnya dengan memastikan jumlah staf yang memadai dan memberikan pelatihan yang tepat. Selain itu, organisasi dapat mengurangi stres kerja, misalnya dengan memungkinkan periode pemulihan setelah periode beban kerja yang tinggi, memberikan peran atau tugas yang jelas, serta meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan promosi jabatan.

d. Kelelahan

Menurut Budiono (2003), kelelahan merupakan suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan dalam bekerja. AHRQ (2003) mengungkapkan bahwa dampak kelelahan yang dialami perawat

47

mengakibatkan medical error. Lingkungan kerja dan pekerjaan perawat dapat menjadi sumber kelelahan perawat. Sumber kelelahan tersebut dapat ditimbulkan dari pengaturan shif kerja, jam kerja, rotasi, lama kerja, karakteristik pekerjaan, pengaturan waktu istirahat, beban kerja, kondisi kerja, dan iklim kerja.

Menurut Peters and Peters (2008), salah satu penyebab medical error disebabkan faktor manusia akibat kelelahan yang dialami. Jam kerja yang lama dan kelebihan beban kerja dapat memungkinkan menghasilkan gejala fisik dan mental seperti: merasakan kelelahan dan kecerobohan kognitif. Perasaan subjektif dari kelelahan mengacu pada rasa kelelahan, kekurangan energi, dan mengurangi motivasi yang disertai dengan kewaspadaan mental menurun, gangguan prestasi kerja, meningkatnya rasa kantuk, tertidur pada saat bekerja, dan pada tingkat yang lebih tinggi dapat menyebabkan kecelakaan.

Drake et al. (2005) dalam Mulyana (2013) menyatakan bahwa pengaturan dinas dapat menimbulkan gangguan tidur pada perawat, tidur yang tidak adekuat menyebabkan perawat mengalami rasa mengantuk saat bekerja, menurunnya kemampuan bekerja dengan efisien, aman, dan menurunnya tingkat kewaspadaan. Hal tersebut sangat beresiko menimbulkan insiden keselamatan pasien.

2. Karakteristik Organisasi

a. Komunikasi

Komunikasi efektif adalah komunikasi yang pada prosesnya dapat menghasilkan persepsi, perilaku, dan pemahaman yang berubah menjadi

48

sama antara pemberi informasi dan penerima informasi. Menurut Jalaluddin (2008), komunikasi yang efektif ditandai dengan adanya pengertian, dapat menimbulkan kesenangan, mempengaruhi sikap, meningkatkan hubungan sosial yang baik, dan pada akhirnya menimbulkan suatu tindakan.

Menurut Salim (2006) dan Hamdani (2007), komunikasi harus terjadi dalam pola dua arah, dari pimpinan ke personel garis depan dan sebaliknya. Demikin juga, tindakan diam terhadap kesalahan harus diganti dengan keterbukaan, serta kejujuran mengenai kejadian yang menyangkut dengan keselamatan pasien. Pelaporan dan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan pasien merupakan parameter yang dijadikan tolak ukur berjalannya komunikasi keselamatan yang efektif dan menjadi elemen penting untuk mewujudkan pelayanan yang aman, serta menuju keselamatan pasien.

Dalam komunikasi, efektifitas merupakan hal yang paling penting karena komunikasi efektif merupakan salah satu strategi untuk membangun budaya keselamatan pasien. Komunikasi efektif sangat berperan menurunkan insiden keselamatan pasien dalam sebuah asuhan medis pasien. Strategi tersebut ditetapkan oleh The Joint Comission on Acreditation of Healthcare Organization (JCAHO) sejak tahun 2010 sebagai tujuan nasional keselamatan pasien. Strategi yang diterapkan JCAHO bertujuan untuk menciptakan proses komunikasi efektif melalui pendekatan standarisasi komunikasi yakni pada saat serah terima pasien (hand over). Hal tersebut dikarenakan komunikasi saat proses transisi

49

perawatan pasien dapat berisiko terjadinya kesalahan ketika informasi yang diberikan tidak akurat.

Menurut Nurmalia (2012), keterbukaan pada komunikasi juga melibatkan pasien. Pasien mendapatkan penjelasan akan tindakan dan juga kejadian yang telah terjadi. Pasien mendapatkan informasi tentang kondisi yang akan menyebabkan risiko terjadinya kesalahan. Perawat memberi motivasi untuk memberikan setiap hal yang berhubungan dengan keselamatan pasien.

Komunikasi terhadap berbagai informasi mengenai perkembangan pasien antar profesi kesehatan di rumah sakit merupakan komponen yang fundamental dalam perawatan pasien (Riesenberg, 2010 dalam Marjani 2015). Menurut Alvarado, et al. (2006) dalam Marjani (2015) mengungkapkan bahwa ketidakakuratan informasi dapat menimbulkan dampak yang serius pada pasien, hampir 70% kejadian sentinel yaitu kejadian yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius di rumah sakit disebabkan karena komunikasi yang buruk. Adapun Angood (2007) dalam Marjani (2015) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil kajian data terhadap adanya insiden keselamatan pasien di rumah sakit, masalah yang menjadi penyebab utama adalah komunikasi.

WHO (2009) menyatakan bahwa beberapa masalah yang berhubungan dengan kegagalan komunikasi diantaranya yaitu: efek status yang menghambat staf junior untuk berbicara kepada atasan dan kesulitan transmisi informasi antara organisasi atau unit, sehingga kemungkinan kurangnya umpan balik positif dan diskusi disebabkan

50

karena masih ada perawat ataupun petugas kesehatan junior yang segan untuk berbicara langsung kepada atasannya, serta masih ada sekat status yang menghalangi proses komunikasi yang berlangsung diantara keduanya.

b. Implementasi Standar Operasional Prosedur (SOP)

Menurut Setyarini (2013), Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan suatu standar atau pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. SOP merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.

Adapun menurut Musdalifah (2013), pelaporan kejadian dan feedback yang baik harus terus ditingkatkan dengan rasa saling percaya dan no blame culture, artinya bila staf melakukan kesalahan staf lainnya tidak menilai sebelah mata atas kesalahan yang telah dilakukan oleh staf tersebut dan memberikan umpan balik kepada staf yang telah melapor. Apabila staf melaporkan setiap kesalahan, maka tidak berarti staf tersebut harus dipersalahkan (di blame) ataupun dihukum atas kesalahan yang telah dilakukan. Setiap anggota organisasi memiliki peran dalam melindungi staf atau rekan yang telah melaporkan kesalahan dengan tidak mengecilkan hati rekan yang telah melakukan kesalahan. Bila keadaan ini mampu dibangun dan dipertahankan, tentu akan dapat meningkatkan frekuensi pelaporan kejadian. Hamdani (2007) berpendapat bahwa organisasi kesehatan harus mampu menciptakan lingkungan yang nonpunitive yang tujuannya adalah supaya setiap

51

elemen staf tidak takut untuk melaporkan kejadian. Ketika sistem punishment dijalankan, maka staf akan enggan melaporkan insiden. Kejadian yang tidak dilaporkan tersebut membuat organisasi tidak belajar dari kesalahan dan kurang peduli terhadap pelayanan.

Melalui pelaksanaan SOP yang sudah ditetapkan di rumah sakit diharapkan terjadinya insiden keselamatan pasien menurun. Menurut Cahyono (2008), pengembangan dan ketersediaan standar, pedoman, dan protokol mendukung program keselamatan pasien. Standarisasi memiliki tujuan menetapkan tingkat tampilan minimal yang harus dipenuhi seseorang dalam setiap proses, tindakan, keterampilan klinis, penampilan, lingkungan kerja, serta kondisi alat yang harus terstandarisasi.

Hal tersebut ditunjang oleh teori Wood dalam Cahyono (2008)