• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI DASAR TEORI

B. Stres Kerja

5. Faktor-Faktor yang dapat Membangkitkan Stres Kerja

Landy & Conte (2004 : 555) menjelaskan bahwa stressor merupakan suatu tuntutan fisik dan psikologis yang akan direspon oleh individu. Munandar (2001 : 380) juga menjelaskan pengertian stressor sebagai faktor-faktor pembangkit stres. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa setiap aspek pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Namun demikian, hanya individulah yang dapat menentukan sejauh mana situasi yang sedang dihadapi tersebut merupakan situasi stres atau tidak. Munandar (2001 : 380) memilah stressor menjadi beberapa bagian, yaitu :

a. Intrinsik dalam Pekerjaan

Pada faktor ini, Munandar (2001 : 381) memilahnya lagi menjadi dua tuntutan, yaitu :

1). Tuntutan Fisik

Munandar dan Schultz & Schultz (1994 : 416) menjelaskan bahwa suatu kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Lebih lanjut lagi, Menurut Munandar (2001 : 382), tuntutan fisik tersebut seperti lingkungan yang berdebu, kotor, tempat beristirahat yang kurang baik, toilet yang kurang memadai dapat dikatakan sebagai faktor yang tinggi pembangkit stres.

2). Tuntutan Tugas

Beban kerja berlebih dan terlalu sedikit dapat mempengaruhi stres kerja (Schultz & Schultz, 2006 : 366 ; Landy & Conte, 2004 : 556 ; Munandar, 2001 : 383). Lingkungan militer merupakan lingkungan dimana prajurit selalu siaga 24 jam. Kapten Inf Faisal A.Y (wawancara pribadi, 10 April 2008) menyatakan bahwa perintah dinas adalah segalanya sehingga bawahan harus selalu loyal dan siaga diperintahkan oleh atasan kapan pun juga. Hal ini dapat membuat pihak bawahan menjadi stres karena sehingga menjadi tidak tenang untuk melakukan aktivitas apapun sekalipun itu tidur (wawancara pribadi, 8 April 2008).

Pembangkit stres pada tuntutan tugas lainnya ialah paparan terhadap resiko dan bahaya. Resiko dan bahaya ini tergantung pada profesi yang dimiliki individu. Munandar (2001 : 389-390) menjelaskan bahwa profesi yang memiliki resiko dan bahaya, salah satunya adalah tentara. Makin besar kesadaran akan bahaya dan akibat dari pembuatan kesalahan maka makin besar depresi dan kecemasan. Anggota TNI mempunyai resiko kematian yang tinggi saat melakukan tugas operasi.

b. Peran dalam Organisasi

1). Konflik Peran (Role Conflict)

Konflik peran terjadi ketika prosedur yang ditetapkan tersebut sulit, tidak dapat diterima atau tidak mungkin untuk disetujui dengan prosedur lain yang sudah ditetapkan (Ivancevich & Matteson ; Sagrestano dalam Thomas & Wadsworth, 2005 : 136). Selanjutnya, Schultz & Schultz (1994 : 415) mendefinisikan konflik peran muncul saat ada perbedaan antara kebutuhan kerja atau antara tuntutan kerja dengan nilai dan harapan individu.

Munandar (2001 : 390) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang mempengaruhi individu sehingga mengalami konflik peran, yaitu :

a). Pertentangan antara tugas-tugas yang harus individu lakukan dengan tanggung jawab yang dimiliki

b). Tugas-tugas yang harus dilakukan, menurut pandangan individu bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.

c). Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan atau orang lain yang dinilai penting bagi individu.

d). Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadi sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.

2). Peran yang Ambigu

Thomas & Wadsworth (2005 : 136) berpendapat ketaksaan peran ada saat individu tidak memberikan informasi yang cukup atau menjelaskan kepentingan perannya, pekerjaan yang obyektif dan kemampuan untuk mengerti mengenai tanggung jawab dari pekerjaannya. Munandar (2001 : 392) menjelaskan faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaan peran, yaitu, ketidakjelasan dari tujuan-tujuan kerja, kesamaran tentang tanggung jawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja, kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, kurang adanya timbal balik kerja

c. Hubungan dalam Pekerjaan

Argyris & Cooper (dalam Munandar, 2001 : 395) mengungkapkan bahwa hubungan yang baik antar anggota dari

satu kelompok kerja merupakan faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Selain itu, adanya ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan kerja yang rendah, penurunan kondisi kesehatan dan rasa diancam oleh atasan dan rekan kerjanya (Kahn dalam Munandar, 2001 : 395).

Mayor Siswono (2005 : 28) mengungkapkan bahwa cukup banyak perwira yang sering mengeluarkan kata-kata ancaman serta dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi. Hal tersebut pada akhirnya dapat menghambat karir anggotanya. d. Struktur dan Iklim Organisasi

Struktur dan iklim organisasi ini tergantung dari cara individu mempersepsikan kebudayaan, iklim dan kebiasaan organisasi.

Perilaku kepemimpinan yang kurang merupakan salah satu faktor pembangkit stres. Pola kepemimpinan dimana seorang pemimpin tidak menerima bawahan untuk mengambil bagian dalam membuat keputusan (Schultz & Schultz, 2006 : 368).

Peraturan Disiplin Militer juga menyebutkan bahwa prajurit TNI harus menghormati dan patuh kepada atasannya. Perintah dinas adalah segalanya (wawancara pribadi, 10 April 2008). Pola kepemimpinan militer adalah pola kepemimpinan yang cenderung otoriter (wawancara pribadi, 10 April 2008). Kapten Inf Faisal AY menjelaskan bahwa perintah atasan merupakan

segala-galanya dan mutlak. Heriyono (dalam Gema Infanteri 2005 : 18) juga menambahkan bahwa perintah atasan seringkali berubah-ubah dan tidak jelas, adanya perintah yang berlebihan di luar jam dinas, pemaksaan kehendak dan tanpa memikirkan kepentingan bawahannya.

e. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan

Munandar (2001 : 397) menjelaskan tuntutan di luar organisasi melingkupi segala unsur kehidupan seseorang yang berkaitan dengan kejadian dalam kehidupan dan kerja pada suatu organisasi sehingga dapat memberikan tekanan pada individu. Permasalahan tersebut seperti isu tentang keluarga, krisis kehidupan, keuangan, dan sebagainya. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.

f. Ciri-Ciri Individu

1). Nilai dan Kebutuhan

Pada setiap organisasi memiliki kebudayaan yang berarti adanya keyakinan, nilai dan norma yang mendukung organisasi dalam menghadapi permasalahan. Individu belajar beradaptasi dan menginternalisasi nilai yang dianggap penting. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka akan terjadi pertentangan nilai sehingga ada

pertentangan kebutuhan dan mengalami stres (Munandar, 2001 : 401).

2). Kecakapan

Individu yang sedang mengalami masalah dan merasa tidak mampu memecahkan masalah tersebut, padahal masalah tersebut dianggap penting baginya akan merasa terancam dan mengalami stres. Di sisi lain, individu yang merasa mampu menghadapi permasalahannya akan merasa tertantang dan motivasi meningkat. Individu tersebut mengalami eustress.

Kecakapan tersebut dapat juga diistilahkan dengan kata lain, yaitu cognitive appraisal, artinya bagaimana interpretasi kognitif dan penilaian individu terhadap stressor. Penilaian kognitif ini merupakan pusat untuk mendefinisikan situasi seperti seberapa besar ancamannya dan dapat mengatasi ancaman atau tidak. Selain itu juga untuk mengukur diri apakah memiliki kemampuan untuk mengatasi ancaman tersebut (Gerrig&Zimbardo, 2008 : 397).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respon adaptif individu terhadap tuntutan eksternal baik fisik maupun psikologis dari lingkungannya. Stres kerja berarti tuntutan atau ancaman yang berasal dari tempat kerja. Tuntutan tersebut seperti faktor intrinsik dalam

pekerjaan, resiko dan bahaya pekerjaan, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari luar organisasi, dan ciri-ciri individu. Respon tersebut dipengaruhi oleh penilaian kognitif individu. Individu yang melihat tuntutan tersebut sebagai suatu tantangan sehingga lebih termotivasi akan mengalami eustress. Sedangkan individu yang melihat tuntutan sebagai suatu ancaman maka akan mengalami distress. Respon stres individu terhadap lingkungannya terdiri dari 4 aspek. Pertama, respon psikologis seperti cemas, depresi, kelelahan, dan sebagainya. Kedua, respon fisiologis seperti keringat dingin, jantung berdebar, gangguan perut dan sebagainya. Ketiga, respon perilaku dimana individu akan merokok berlebihan, terjadi kekerasan di tempat kerja, dan sebagainya. Aspek yang terakhir yaitu respon kognitif, konsentrasi dan perhatian yang menurun pada individu, sulit membuat keputusan, dan sebagainya.