• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Djannah, dkk (2003 : 21) mengungkapkan bahwa ada beberapa

BAB II DASAR TEORI DASAR TEORI

C. Kekerasan dalam Rumah Tangga

3. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Djannah, dkk (2003 : 21) mengungkapkan bahwa ada beberapa

hal yang dapat menjelaskan mengapa tindakan kekerasan terjadi. Faktor-faktor tersebut ialah :

a. Faktor Internal

Faktor internal ini berasal dari dalam diri individu. Purnianti & Kolibonso (2003 : 3-4) mengemukakan bahwa keluarga adalah tempat dimana kekerasan fisik pertama kali

dirasakan dan keluarga adalah tempat pembenaran normatif kekerasan terjadi pada masa kanak-kanak. Hukuman (kekerasan fisik) tersebut digunakan untuk mengajarkan jenis-jenis perilaku apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan, di sisi lain juga sebagai proses belajar sosial pada anak yang membenarkan penggunaan kekerasan.

Proses belajar tersebut awalnya ialah mengasosiasikan cinta dengan kekerasan pada masa kanak-kanak. Orang tua ialah orang terdekat yang dapat memukul anaknya untuk melatih mana yang baik dan yang buruk. Pada tahap ini, anak belajar bahwa orang terdekat menjadi wajar jika memukulnya (melakukan kekerasan). Selain itu juga memberi pengajaran dan budaya untuk membenarkan tindakan kekerasan. Purnianti & Kolibonso (2003 : 4) memberikan contoh, orang tua sering menahan diri untuk melakukan pemukulan hingga orang tua tidak dapat menahan kemarahan atau rasa frustrasi atas tindakan anaknya. Pada situasi ini, anak mempelajari bahwa kemarahan dan rasa frustrasi yang mendalam dapat membenarkan untuk melakukan tindakan kekerasan. Pendapat ini dilengkapi oleh Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 14) yang mengungkapkan bahwa individu yang sedang tertekan karena menghadapi suatu konflik atau masalah, merespon perasaan tertekannya dengan melakukan kekerasan pada orang-orang disekitarnya.

Hayati, dkk (2000 : 5) juga menambahkan bahwa perilaku meniru mempengaruhi individu dalam melakukan tindak kekerasan. Seorang anak yang hidup dengan orang tua yang senang memukul sebagai cara berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah maka akan meniru perilaku orang tuanya dan diterapkan pada pasangannya. Tindak kekerasan sebagai hasil belajar sosial tersebut akan terinternalisasi ke hubungan sosial lain terutama dalam hubungan yang dekat seperti suami dan istri. Perilaku meniru ini juga bisa diperoleh melalui media lain, misalnya lingkungan masyarakat, televisi atau yang lain. Selain itu, tanpa mendapatkan kekerasan pada masa kanak-kanak dapat juga dengan mengamati kekerasan yang terjadi pada orang tuanya. Semakin sering anak mendapatkan hukuman fisik maka semakin tinggi juga kemungkinan pemukulan terhadap pasangan (Straus dalam Purnianti & Kolibonso, 2003 : 4).

Pernyataan-pernyataan di atas di dukung juga oleh pendapat Langley, dkk (dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah dkk : 2003 : 20) yang mengemukakan bahwa kondisi psikis sebagai faktor internal pada individu dalam melakukan tindak kekerasan. Kondisi psikis tersebut seperti sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai

sumber daya untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan dari keluarga atau orang tua. Utami (2002 : 18) mendukung pernyataan tersebut dengan mengungkapkan bahwa suami melakukan kekerasan terhadap istri karena frustrasi atau stres pekerjaan.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini berasal dari luar diri individu. Faktor ini terdiri dari dua hal, yaitu :

1). Persepsi tentang kekerasan pada masyarakat

Kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabu yang harus ditutup agar tidak diketahui oleh lingkungan masyarakat karena merupakan permasalahan intern. Tamtiari (2005 : 11) menjelaskan juga bahwa struktur sosial budaya menjunjung tinggi kehormatan suatu rumah tangga sehingga apabila terjadi kekerasan akan disembunyikan. Ia pun menambahkan bahwa perempuan mempunyai tugas untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya sehingga perempuan cenderung untuk menutupi tindak kekerasan yang dialaminya.

2). Struktur Sosial dalam Masyarakat (Budaya Patriarki)

Menurut Darwin (dalam Tamtiari, 2005 : 9), dilihat secara keseluruhan masyarakat Indonesia adalah masyarakat patriarkis. Budaya patriarki yaitu budaya pada masyarakat

yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang istimewa, memiliki nilai yang lebih unggul, diutamakan. Sedangkan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan, lemah, dinomorduakan dan berperan di belakang (Hayati, dkk, 1999 : 5).

Budaya patriarki tersebut sudah disosialisasikan dalam lingkup keluarga sejak masa kanak-kanak. Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 16-17) berpendapat bahwa sejak usia dini, laki-laki telah disosialisasikan untuk menyukai kekerasan. Hal tersebut dilakukan melalui bentuk permainan yang keras, olah raga yang keras, program televisi yang menyajikan kekerasan sebagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan menyelesaikan masalah.

Andari (2005 : 33) menjelaskan bahwa struktur sosial budaya mengkonstruksikan perempuan untuk menjadi istri yang menyenangkan hati suami dan menjaga keutuhan keluarga sehingga istri dapat dikatakan harus bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan keluarganya. Selain itu, istri akan menggantungkan kehidupan ekonominya kepada suaminya. Gelles & Moors (dalam Djannah, dkk, 2003 : 3) menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga adalah ketergantungannya ekonomi istri

pada suami sehingga istri mungkin akan direndahkan oleh suaminya.

Budaya patriarki yang telah di pupuk sejak dini ini akhirnya terinternalisasi pada individu masing-masing sehingga dikembangkan menjadi karakteristik kepribadian dan pola adaptasi tertentu pada hidupnya (Poerwandari dalam Luhulima, 2000 : 16). Laki-laki yang lebih diutamakan tersebut merasa diri mampu dan mengendalikan anak sehingga istri dan anak harus tunduk pada dirinya (Poerwandari, 2000 : 16). Tamtiari (2005 : 15-16) menambahkan bahwa pernikahan mencerminkan kepemilikan istri menjadi milik suami (men’s property), sehingga suami dianggap pantas jika melakukan kekerasan dengan alasan mendidik istrinya. Didikan tersebut sebagai wujud rasa sayang dan perhatian suami terhadap istrinya. Pernyataan tersebut juga di dukung Suparno (dalam Tamtiari, 2005 : 16) yang mengemukakan bahwa suami dianggap sah dan berhak memperlakukan istri sekehendak hatinya.

Jadi, kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk melukai atau menyakiti istrinya. Perbuatan menyakiti istri dalam berbagai bentuk yaitu secara fisik seperti menampar, menjambak rambut, memukul, dan sebagainya. Selain itu juga secara psikologis seperti berteriak, mengancam, mengatur, dan

sebagainya. Selanjutnya secara seksual seperti meraba, menyentuh, atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa. Bentuk yang terakhir adalah secara finansial seperti menghambat karir istri, menahan dan mengawasi pengeluaran uang.

Ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri individu seperti kondisi psikis (misalnya penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, frustrasi, kurangnya komunikasi, dan sebagainya) dan proses belajar pada masa kanak-kanak. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu seperti persepsi tentang kekerasan pada masyarakat dan budaya patriarki.

C. Hubungan antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga