ABSTRAK
Hapsari Retno Dewi (2008). Hubungan Antara Stres Kerja Pada Prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian ini bertujan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Pada penelitian ini terdapat hipotesis yang berbunyi ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Subjek dalam penelitian ini adalah prajurit bergolongan tamtama yang sudah menikah di Yonif 400/Raider. Adapun jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 104 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Metode pengunpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala pengukuran model Likert, yaitu skala stres kerja dan skala kekerasan dalam rumah tangga. Uji coba skala dilakukan pada 80 prajurit tamtama yang sudah menikah di Yonif 203/AK. Koefisien reliabilitas pada skala stres kerja sebesar 0,907 dan pada skala kekerasan dalam rumah tangga sebesar 0,899. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi yang bernilai 0,497 (p < 0,05).
Kata kunci : stres kerja, kekerasan dalam rumah tangga
ABSTACT
Hapsari Retno Dewi (2008). The correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.
This objective of this research was to find out the correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. The hypothesis proposed in this research was that there was a correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. The subjects in this research were tamtama soldiers of Yonif 400/Raider who have been married. The sample of this research was included 104 soldiers that acquired by purposive sampling technique.
Data gathering method used in this research was used Likert rating scales, which were divided into stress in the workplaces scale and domestic violence scale. The try out scale had been done to 80 tamtama soldiers who have been married. The reliability coefficient on stress in the workplace scale was 0,907 and 0,899 on domestic violence scale. The data was analyzed by using correlational Product Moment technique, and the result showed that there was a correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. This result can be seen from the correlation coefficient in the amount of 0,497 (p <0,05).
Keyword : stress in the workplace, domestic violence
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Hapsari Retno Dewi NIM : 049114054
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2008
MOTTO
Lord didn’t promise that life would become easy…
but
He promises to go with you in every step of your way and don’t
be afraid in everything problem..
‘cause
There is nothing impossible with God..
Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak
akan hilang
Ams 23:18
so..
When you weak, try to up
When you hopeless, try to hope again
When you badmood, try to change it to good
When you alone, believe GOD always with you
Kupersembahkan Karya ini untuk :
♥
Tuhan Yesus, tumpuan hidupku
♥
Bapak dan Ibu tercinta
♥
Mas Pandu tercinta
♥
Kandaku…Mas Nando yang kucintai
ABSTRAK
Hapsari Retno Dewi (2008). Hubungan Antara Stres Kerja Pada Prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian ini bertujan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Pada penelitian ini terdapat hipotesis yang berbunyi ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Subjek dalam penelitian ini adalah prajurit bergolongan tamtama yang sudah menikah di Yonif 400/Raider. Adapun jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah 104 orang dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Metode pengunpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala pengukuran model Likert, yaitu skala stres kerja dan skala kekerasan dalam rumah tangga. Uji coba skala dilakukan pada 80 prajurit tamtama yang sudah menikah di Yonif 203/AK. Koefisien reliabilitas pada skala stres kerja sebesar 0,907 dan pada skala kekerasan dalam rumah tangga sebesar 0,899. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara stres kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi yang bernilai 0,497 (p < 0,05).
Kata kunci : stres kerja, kekerasan dalam rumah tangga
ABSTACT
Hapsari Retno Dewi (2008). The correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. Yogyakarta : Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.
This objective of this research was to find out the correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. The hypothesis proposed in this research was that there was a correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. The subjects in this research were tamtama soldiers of Yonif 400/Raider who have been married. The sample of this research was included 104 soldiers that acquired by purposive sampling technique.
Data gathering method used in this research was used Likert rating scales, which were divided into stress in the workplaces scale and domestic violence scale. The try out scale had been done to 80 tamtama soldiers who have been married. The reliability coefficient on stress in the workplace scale was 0,907 and 0,899 on domestic violence scale. The data was analyzed by using correlational Product Moment technique, and the result showed that there was a correlation between stress in the workplace at soldier of TNI-AD in Yonif 400/Raider and domestic violence. This result can be seen from the correlation coefficient in the amount of 0,497 (p <0,05).
Keyword : stress in the workplace, domestic violence
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan kepada Tuhan Yesus,akhirnya selesai juga karya ilmiah ini. Rasa
syukur yang tak henti-hentinya penulis ungkapkan karena berkat dan
bimbingan-Nya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan.
Pada proses penyelesaian karya ilmiah ini, banyak pihak yang memberikan
bantuan, doa, dukungan semangat, dan motivasi tiada hentinya kepada penulis
sehingga sampai pada tahap ini dengan baik.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak
terima kasih dengan ketulusan dan hati yang paling dalam pada :
1. Ibu M.L.Anantasari,S.Psi.,M.Si. Terima kasih ya bu atas semangat yang
telah diberikan sehingga penulis menjadi yakin bahwa skripsi ini bisa cepat
selesai. Terima kasih juga atas saran dan bimbingan yang telah diberikan
selama ini sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan lancar.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto,S.Psi.,M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ijn untuk
mengadakan penelitian ini.
3. Bapak V.Didik Suryo Hartoko,S.Psi.,M.Si. Terima kasih telah memberikan
semangat dan bantuan konsultasi sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing
akademik dan penguji skripsi. Terima kasih atas bimbingan dan semangat
yang diberikan. Terima kasih juga atas bantuan konsultasi penelitian ini.
5. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si selaku dosen penguji skripsi.
Terima kasih atas bimbingan dan konsultasi yang diberikan pada penelitian
ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi. Terima kasih karena telah memberikan
ilmu, wawasan, pengetahuan, dan membuat pola pikir peneliti menjadi lebih
dewasa dan bijaksana sehingga menjadi seseorang yang lebih baik.
7. Pak Giyanto, Mas Gandung, Mas Muji dan Mba Nanik atas semua bantuan,
kesabaran dan keramahan sikap dalam melayani kepentingan akademik.
8. Bapak, Ibu, Mas Pandu. Terima kasih buat dukungan semangat, perhatian
dan kebaikan hati membantu penelitianku. Terima kasih sekali karena telah
membantu penelitianku semaksimal mungkin dan selalu mendampingiku
hingga keluar kota. Tanpa kalian, penelitianku ini ga bisa selesai. Aku
sayang banget sama kalian, aku ingin membuat kalian bangga.
9. My lovely Lettu.Inf Fernando Batubara. Terima kasih ya nda atas dukungan
doa, semangat yang tiada henti-hentinya. Terima kasih juga buat bantuannya
memecahkan tiap permasalahan skripsiku.
10. Lettu.Inf Leo Abi Melek Sibuea, Kapt.Inf Faisal Akbar Yunus dan rekan
yang lain. Terima kasih atas bantuan informasi yang diberikan pada penulis
sehingga penelitian berjalan dengan lancar.
11. Letk.Inf Masduki Yonif 203/AK Tangerang. Terima kasih karena telah
menyediakan waktu khusus untuk membantu menyebarkan kuisioner try-out. Bagi prajurit di Yonif 203/AK, terima kasih atas kesediaan waktu di tengah kesibukan untuk mengisi kuisioner penelitian sehingga penelitian
berjalan dengan lancar.
12. Letk.Inf Sachono Yonif 400/Raider. Terima kasih karena telah membantu,
memberikan ijin serta kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian di Yonif 400/Raider Semarang.
13. Kapt.Inf Amrul Huda. Terima kasih ya Bang atas kebaikannya karena telah
membantu kelancaran penelitian. Terima kasih telah membantu
mengumpulkan anggota-anggotanya dan memberikan informasi mengenai
Yonif 400/Raider. Terima kasih juga buat prajurit di Yonif 400/Raider ini
atas ketulusan hati dan kebaikannya membantu mengisi kuisioner ini.
14. Cratz Family. Jenk Ndul tengkiu ya selalu mendukung dan memberi
semangat, temenin aku mencari bahan-bahan penelitian. Jadi wanita jalanan
ya kita jenk kemaren. Buat Jenk Munz, tengkiu ya atas semangat dan
dukungannya. Juga buat Jenk Tya...terima kasih selalu dengerin
curhatanku..Jenk Mae..tengkiu ya atas semangatnya..Tak tunggu lo
kalian..Semangat !!!
15. Buat Canna Exclusive. Funz, Jegeg, M’Nur, Weni, Lia, Nana, Cahya, Tinul
dan exclusive lainnya. Tengkiu buat perhatian dan pengertiannya. Maaf ya
jadi jarang ngumpul n pegi bareng tiap malem..Tengkiu mao dengerin
keluhan skripsiku...tengkiu buat dukungan dan bantuannya...tengkiu...
16. Buat Humas. Pak Tatang. Terima kasih ya Pak atas kebaikan hatinya
membantu kelancaran penelitianku. Buat anak-anak Humas. Intan, Oneng,
Oon, Sheila, Berta, Lita, Rahma, Feri, Mbak Bunga, Mbak Ratih. Terima
kasih ya buat semangatnya, perhatian dan dukungannya.
Fiuh...akhirnya...ayo, kalian juga harus semangat.
17. Buat anak-anak psikologi 2004. Terima kasih telah membantu kelancaranku
dalam SPSS. Betty, tengkiu buat sharingnya sehingga bisa saling bertukar
informasi penting. Buat temen-temen yang lain, terima kasih buat dukungan
dan semangatnya. Ayo, kita harus mengharumkan angkatan kita, semangat !!
18. Miss Luci di Lembaga Bahasa USD. Makasih ya Miss buat bantuannya
sehingga skripsiku dapat berjalan dengan lancar.
19. Bagi semua pihak yang belum disebutkan satu persatu. Penulis
mengucapkan terima kasih atas semua dukungan dan bantuannya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa hasil karya ini belum dapat
dikatakan sempurna. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati penulis
menerima semua saran dan kritikan dari semua pihak. Semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi siapa saja.
Hormat Penulis,
Hapsari Retno Dewi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
DAFTAR GAMBAR ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoretis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 10
A. TNI-AD... 10
1. Pengertian TNI ... 10
2. Peraturan Disiplin Militer pada TNI-AD... 10
B. Stres Kerja... 11
1. Pengertian Stres Kerja... 11
2. Jenis-Jenis Stres... 12
3. Respon-Respon Stres ... 13
4. Faktor-Faktor yang Dapat Membangkitkan Stres ... 15
C. Agresi yang dialihkan ... 22
D. Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 24
1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 24
2. Dimensi Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 25
3. Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 28
E. Hubungan Antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 34
F. Hipotesis Penelitian ... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 41
A. Jenis Penelitian ... 41
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41
C. Definisi Operasional ... 41
1. Stres Kerja ... 41
2. Kekerasan dalam Rumah Tangga... 43
D. Subjek Penelitian ... 45
E. Metode Pengumpulan Data ... 46
1. Skala Stres Kerja ... 46
2. Skala Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 46
F. Uji Coba Alat Ukur ... 49
G. Validitas dan Reliabilitas ... 49
1. Validitas ... 49
2. Seleksi Item ... 51
a. Stres Kerja ... 50
b. Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 52
3. Reliabilitas ... 58
H. Metode Analisis Data ... 58
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60
A. Orientasi Kancah Penelitian ... 60
1. Profil Yonif 400/Raider ... 60
B. Pelaksanaan Penelitian ... 61
C. Deskripsi Subjek Penelitian ... 63
D. Uji Asumsi Hasil Penelitian ... 64
1. Uji Normalitas ... 65
a. Sebaran Data Variabel Stres Kerja ... 65
b. Sebaran Data Variabel KDRT ... 65
2. Deskripsi Data Penelitian ... 66
3. Uji Linearitas ... 66
E. Uji Hipotesis ... 69
F. Pembahasan ... 70
BAB V KESIMPULAN, SARAN... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 79
1. Bagi Pihak Satuan ... 79
2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 81
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Blue Print Skala Stres Kerja (sebelum uji coba) ... 47
Tabel 3.2 : Blue Print Skala KDRT (sebelum uji coba) ... 48
Tabel 3.3 : Hasil Korelasi Item Total Skala Stres Kerja ... 52
Tabel 3.4 : Item yang Sahih dan Gugur pada Skala Stres Kerja ... 52
Tabel 3.5 : Distribusi Item Skala Stres Kerja untuk Penelitian ... 53
Tabel 3.6 : Hasil Korelasi Item Total Skala KDRT ... 54
Tabel 3.7 : Item yang Sahih dan Gugur pada Skala KDRT ... 54
Tabel 3.8 : Distribusi Item Skala KDRT untuk Penelitian ... 57
Tabel 4.1 : Deskripsi Suku Bangsa Subjek Penelitian... 63
Tabel 4.2 : Deskripsi Lama Bekerja Subjek Penelitian... 64
Tabel 4.3 : Deskripsi Lama Menikah Subjek Penelitian ... 64
Tabel 4.4 : Data Hasil Penelitian ... 66
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Skala Try Out ………... 86
Lampiran Skala Penelitian ...…….…….. 102
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out Stres Kerja …….………..…... 114
Lampiran Koefisien Reliabilitas Skala Try Out KDRT ………..…... 121
Lampiran Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian ... 127
Lampiran Hasil Uji Linearitas Data Hasil Penelitian ... 128
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Fisik ...129
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Psikologis ...132
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Seksual...135
Lampiran Hasil Uji Hipotesis dan Mean Kekerasan Finansial...138
Lampiran Verbatim Subjek Penelitian ...141
Lampiran Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 162
Lampiran Surat Keterangan Penelitian ... 163
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Hubungan Antara Stres Kerja dan KDRT ... 39
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena yang akhir-akhir ini marak terjadi dalam kehidupan
sehari-hari adalah kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh lapisan
masyarakat manapun. Kekerasan dalam rumah tangga yaitu pola perilaku
yang bersifat menyerang sehingga menciptakan ancaman atau melukai yang
dilakukan oleh pasangannya (Kyriacou dalam Luhulima, 2000:54-55).
Berdasarkan hasil penelitian dan kasus yang banyak terjadi, Tamtiari (2005 :
14) menjelaskan bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan suami terhadap
istri terbukti paling banyak terjadi. Maka, pada penelitian ini, fenomena
kekerasan dalam rumah tangga dibatasi berdasarkan relasi gender antara
suami dengan istri. Poerwandari menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah
tangga tersebut dapat dipilah ke dalam berbagai bentuk, yaitu kekerasan
fisik, psikologis, seksual, finansial dan spiritual (Luhulima, 2000 : 11-12).
Menurut psikolog Jari, Ida Hidayat dan Endang Sukawati
(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/042007/21/0105.htm), dari
tahun ke tahun, KDRT dengan korban wanita cenderung meningkat. Pada
bulan April 2002 hingga bulan Maret 2007, Jari telah menangani 134 kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh
perempuan adalah kekerasan psikis dan fisik.
Kekerasan dalam rumah tangga ini juga dapat terjadi dimanapun,
termasuk dalam satuan militer, salah satunya TNI-AD. Adib & Muttaqin (2005 :
17) juga menjelaskan bahwa di daerah militer banyak terjadi kekerasan terhadap
perempuan. Pelaku kekerasan tersebut berasal dari kalangan militer. Bentuk
kekerasan yang dilakukan berupa kekerasan fisik, seksual dan psikologis. Lebih
lanjut lagi, berdasarkan data kasus yang dimiliki LSM Rifka Annisa pada tahun
2006, terdapat 17 kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polri. Kekerasan tersebut
terdiri dari 12 kekerasan terhadap istri, 4 kekerasan dalam pacaran, dan 1
perkosaan. Lettu Inf. Leo.A.S yang merupakan Pasi Intel Yonif 726/Tamalatea
juga mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di Kompi-C
pada Yonif 726/Tamalatea (wawancara pribadi, 21 Februari 2008). Lettu Inf.
Leo.A.S menjelaskan bahwa istri prajurit TNI-AD yang memiliki golongan
Tamtama tersebut mengalami kekerasan fisik yaitu dipukul oleh suaminya.
Namun demikian, prajurit itu membela diri dengan mengatakan bahwa yang
salah adalah istrinya. Kesalahan istrinya ialah berhutang uang di berbagai
tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (wawancara pribadi, 21 Februari
2008).
Fenomena ini dapat dikatakan unik karena banyak terjadi dalam
kehidupan sehari-hari namun demikian sering ditutupi sehingga tidak dapat
diketahui oleh banyak orang dengan alasan tabu, aib keluarga, dan dianggap
urusan intern keluarga (Andari, 2005:22 ; Tursilarini, 2004:41 ; Prastyowati,
seberapa besar dan seberapa banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
sedang terjadi.
Kekerasan dalam rumah tangga ini dapat terjadi karena berbagai faktor.
Langley, dkk (dalam Prastyowati, 2003 : 62-63) menyatakan bahwa budaya
patriarki menempatkan laki-laki untuk memegang kekuasaan dalam keluarga
Pernyataan tersebut juga didukung oleh Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 :
14-16) mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Struktur sosial dan pembagian
kekuasaan masyarakat juga mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga.
Struktur sosial ini memberikan hak istimewa dengan mengutamakan laki-laki.
Selain itu, faktor psikis dapat membuat suami melakukan kekerasan pada istri.
Faktor psikis tersebut antara lain penyelewengan seks, citra diri yang rendah,
frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya
untuk menyelesaikan masalah (Langley dalam Djannah, 2003 :20).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kekerasan dalam rumah tangga
yaitu stres kerja. Diahsari (2001 : 363) menjelaskan stres kerja sebagai ancaman
yang berasal dari tuntutan pekerjaan atau kurang terpenuhinya kebutuhan
individu di tempat kerja. Respon stres yang muncul pada individu yaitu
perilaku, kognitif, fisiologis, dan psikologis. Respon perilaku meliputi
peningkatan konsumsi pada rokok dan alkohol, tidak nafsu makan atau makan
berlebihan, dan sebagainya. Pada respon kognitif meliputi ketidakmampuan
mengambil keputusan, sulit berkonsentrasi, peka terhadap ancaman, dan
besar, dan sebagainya (Handoyo, 2001 : 65-66). Respon psikologis seperti
marah, cemas, frustrasi, dan sebagainya.
Pada saat individu mengalami stres kerja maka salah satu respon
psikologis yang muncul yaitu frustrasi (Spector, 1994 : 419). Frustrasi ialah
suatu situasi pada individu saat tidak tercapainya tujuan karena ada rintangan
yang menghalangi individu tersebut (Rukminto, 1994 : 165). Hal ini didukung
oleh Mulyati (1999) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara stres kerja
dengan perilaku agresi pada anggota ABRI. Kekerasan dalam rumah tangga
merupakan salah satu manifestasi dari agresi. Selain itu, juga ada penelitian dari
berbagai peneliti (Utami, 2005:18 ; Salmah, 2004:63 ; Prastyowati, 2003:63)
yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kekerasan dalam
rumah tangga yaitu stres pekerjaan.
Stres kerja pada prajurit TNI-AD dapat dipengaruhi oleh disiplin militer.
Pada Bab 1 Pasal 1 Peraturan Disiplin Militer (2005 : 2-3) menyebutkan disiplin
militer sebagai segala bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai
ketaatan dan kepatuhan terhadap semua perintah kedinasan dari tiap-tiap atasan
dengan seksama dan bertanggung jawab. Hal ini berarti prajurit TNI patuh dan
taat dalam melaksanakan tugas dan kewajiban kedinasan maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Namun demikian, ada indikasi disiplin tersebut
disalahgunakan oleh atasan sehingga terjadi penyimpangan disiplin militer.
mengeluarkan kata-kata berupa ancaman dan dendam karena tidak terpenuhinya
kebutuhan pribadi sehingga menghambat karir anggota-anggotanya.
Heriyono (dalam Gema Infanteri 2005 : 18) juga menjelaskan bahwa
terkadang perintah atasan sering berubah, tidak jelas dan berlebihan di luar jam
dinas. Selanjutnya, terkadangpun terjadi pemaksaan kehendak dan tanpa
memikirkan kepentingan bawahannya. Lebih lanjut lagi, kondisi fisik juga
mempengaruhi stres kerja. Ada indikasi bahwa pekerjaan sebagai TNI-AD
mempunyai resiko kematian yang tinggi.
Selanjutnya, perintah komandan bersifat mutlak (prerogatif). Schultz & Schultz (2006:368) mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan merupakan
salah satu pembangkit stres. Pembangkit stres yang terakhir adalah ciri-ciri
individu. Individu yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat
beradaptasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi
organisasi tersebut. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka dapat
menimbulkan stres.
Respon individu pada tuntutan lingkungan tergantung dari penilaian
kognitif dan kemampuan individu dalam pemecahan masalah mengenai tuntutan
tersebut. Individu akan mengalami distress jika merasa tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap penting baginya
sehingga memandang permasalahan sebagai suatu ancaman. Sebaliknya,
sebagai suatu tantangan yang dapat memotivasi dirinya (Schultz & Schultz,
2006:358 ; Munandar, 2001:399-400). Individu yang mengalami stres akan
muncul gejala-gejala seperti fisiologis, psikologis, kognitif dan perilaku.
Ada indikasi bahwa ketidakberanian individu untuk mengungkapkan
perasaan ini membuat perasaan menjadi tertekan terutama yang bersifat negatif
sehingga dialihkan ke anggota keluarga yang mempunyai kedudukan lebih
lemah dari dirinya (Sears, 2005:23-24). Salah satu bentuk pengalihan
perasaannya tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan
manifestasi dari agresi.
Kekerasan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu. Sejak masa
anak-anak ada yang diberi pelajaran mengenai perilaku yang boleh dan tidak boleh
dilakukan dengan memberikan hukuman fisik. Hal ini menjadi proses belajar
sosial pada masa anak-anak bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar
dilakukan. Proses belajar pada anak-anak tersebut berkembang menjadi karakter
kepribadian individu.
Pada penelitian ini, individu yang akan diteliti adalah prajurit TNI-AD.
Prajurit TNI-AD termasuk individu yang jarang diteliti dalam penelitian
sehingga penelitian ini akan menjadi menarik dan unik. Selain itu, pada satuan
militer masih jarang membicarakan sisi psikologis suatu kehidupan di
lingkungan tersebut. Individu tersebut yaitu prajurit pada tingkat Tamtama
karena merupakan tingkat yang paling rendah dibandingkan bintara dan
pernikahan minimal 6 bulan dan bertempat tinggal di rumah dinas Yonif
400/Raider Semarang.
Peneliti ingin membahas mengenai stres kerja yang dialami prajurit
TNI-AD dengan kekerasan dalam rumah tangga pada istrinya. Diharapkan dengan
adanya penelitian ini akan menambah pemahaman dan kesadaran di lingkungan
bahwa masalah ini merupakan tanggung jawab bersama baik di keluarga,
masyarakat, pemuka agama, dan lain sebagainya.
A. Rumusan Masalah
Penelitian ini ingin meneliti “Apakah ada hubungan antara stres kerja
pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga
yang terdiri dari dimensi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan
seksual dan kekerasan finansial.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara stres kerja pada
prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam rumah tangga yang
terdiri dari dimensi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan khasanah
ilmu psikologi khususnya psikologi klinis mengenai hubungan antara stres
kerja pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider dan kekerasan dalam
rumah tangga.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat untuk satuan militer
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi satuan
yang diteliti agar dapat menjadi bahan evaluasi mengenai hubungan
antara stres kerja dan kekerasan dalam rumah tangga secara
menyeluruh dan mendalam.
b. Manfaat bagi Pimpinan-Pimpinan Militer
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pimpinan
militer untuk menjadi bahan refleksi mengenai hubungan antara stres
kerja dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, pimpinan juga
dapat menggunakan penelitian ini sebagai dasar kebijakan dalam
memberikan pengarahan kepada prajurit mengenai hubungan antara
c. Manfaat bagi Prajurit TNI-AD
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
prajurit-prajurit TNI-AD sebagai bahan evaluasi diri mengenai hubungan
BAB II DASAR TEORI
A. TNI-AD
1. Pengertian TNI
Berdasarkan UU RI No.34 tahun 2004 tentara adalah warga
negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas
pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun
ancaman bersenjata. Sedangkan TNI merupakan alat negara yang
berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tentara merupakan prajurit yang lulus dari pendidikan untuk
membentuk prajurit siswa menjadi prajurit TNI. Pasal 29 pada UU RI
No.34 Tahun 2004 ayat 1 mengatakan bahwa pendidikan untuk
pengangkatan prajurit terdiri atas pendidikan perwira, bintara, dan
tamtama.
Pasal 32 pada UU RI No.34 Tahun 2004 menjelaskan bahwa
Tamtama dibentuk dari pendidikan pertama tamtama yang berasal
langsung dari masyarakat dengan lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama.
Pimpinan berhak untuk memberi perintah dan hukuman apabila
melanggar disiplin militer yang telah ditetapkan. Hukuman disiplin
diberikan apabila prajurit melakukan pelanggaran yang ringan,
sedangkan pelanggaran yang berat diserahkan bagian Mahkamah
Militer Penyidik (peraturan disiplin prajurit TNI, 2005:2).
Pada penelitian ini, peneliti mengambil subjek penelitian pada
golongan tamtama. Alasannya adalah karena tamtama termasuk
pangkat terendah yang mempunyai banyak pemimpin sehingga ruang
lingkup geraknya menjadi terbatas.
1. Peraturan Disiplin Militer pada TNI-AD
Pada Bab 1 Pasal 1 (peraturan disiplin prajurit TNI, 2005:1),
Peraturan Disiplin Prajurit Tentara Indonesia menyatakan bahwa
Peraturan Disiplin Prajurit TNI yang selanjutnya disebut peraturan
disiplin adalah segala bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan
tentang ketaatan dan kepatuhan terhadap semua perintah kedinasan
dari tiap-tiap atasan dengan seksama dan bertanggung jawab, yang
berlaku bagi para prajurit TNI, baik dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban kedinasan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
B. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Kerja
Gerrig & Zimbardo (2008:389) menjelaskan stres sebagai pola
respon yang dibuat oleh individu berdasarkan stimulus yang
merupakan peristiwa yang mengganggu keseimbangan atau melebihi
Stres yaitu respon adaptif dari karakter individu atau proses
psikologis yang merupakan konsekuensi dari berbagai perilaku/situasi
eksternal/tuntutan fisik, psikologis individu (Thomas & Wadsworth,
2005 : 130).
Taylor (dalam Douglas, 2002 : 378) mendefinisikan stres sebagai
emosi negatif dan proses fisiologis yang terjadi saat individu mencoba
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan.
Westen (1996 : 426) mendefinisikan stres sebagai kesempatan
individu untuk menyanggupi beradaptasi pada tuntutan internal
maupun eksternal sehingga akan terjaga secara fisiologis dan
membebani secara emosional. Proses adaptasi tersebut akhirnya akan
menimbulkan respon kognitif atau perilaku.
Pada penelitian ini, stres yang diteliti adalah stres di tempat kerja.
Stres kerja merupakan ancaman yang berasal dari tuntutan pekerjaan
atau kurang terpenuhinya kebutuhan individu di tempat kerja
(Diahsari, 2001 : 363).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah pola respon
individu secara fisiologis, perilaku, kognitif dan psikologis saat
beradaptasi pada tuntutan pekerjaan.
2. Jenis – Jenis Stres
Selye (dalam Landy & Conte, 2004 : 554) membedakan stres
kekuatan yang positif dimana individu melihat situasi stres sebagai
suatu tantangan sehingga memotivasi individu untuk bekerja keras dan
dapat mencapai tujuannya. Distress yaitu melihat situasi stres sebagai suatu hal yang sangat berlebihan sehingga dapat mengurangi kapasitas
kerja dan dapat mengalami berbagai penyakit yang berat (Thomas &
Wadsworth, 2005 : 131).
3. Respon – Respon Stres
Stres di tempat kerja mempunyai ancaman yang serius bagi
kesehatan individu di suatu organisasi. Spector (1996 : 283)
menjelaskan bahwa ancaman tersebut disebabkan karena adanya
tuntutan kerja sehingga menimbulkan berbagai respon stres seperti
respon psikologis, respon fisik dan respon perilaku. Pendapat ini
dilengkapi lagi oleh Wadsworth (2005 : 132) yang menambahkan
respon kognitif pada respon-respon stres yang telah dijelaskan
sebelumnya. Respon – respon stres, yaitu :
a. Respon Psikologis
Thomas & Wadsworth (2005 : 133) menjelaskan respon
stres tersebut seperti cemas dan depresi. Lebih lanjut lagi,
Spector (1996 : 284) menambahkan respon stres seperti marah,
frustrasi, tidak adanya kepuasan kerja dan kehidupan. Selain itu,
pada stres yaitu kelelahan secara psikologis, dan rendahnya harga
diri.
b. Respon Fisiologis
Sagrestano (dalam Thomas & Wadsworth, 2005 : 132)
berpendapat respon stres yang muncul yaitu meningkatnya
tekanan darah dan meningkatnya aktivitas hormon. Spector
(1996 : 283) menambahkan respon stres seperti sakit kepala,
pusing, keringat dingin, gangguan tidur dan gangguan perut.
Hawari (2006 : 41) juga menjelaskan respon stres seperti
lambung terasa mual, mulas, kembung, pedih dan diare.
c. Respon Perilaku
Spector (1996 : 283) menjelaskan bahwa respon perilaku
yang muncul pada individu adalah menggunakan zat-zat kimia
yang dapat mengganggu kesehatan, merokok berlebihan dan
kecelakaan. Thomas & Wadsworth (2005 : 133) menambahkan
juga respon perilaku saat stres seperti kekerasan di tempat kerja,
gangguan makan, adanya permasalahan dalam keluarga,
minum-minuman alkohol yang berlebihan.
d. Respon Kognitif
Respon kognitif yang mungkin muncul saat stres pada
individu yaitu kurangnya konsentrasi dan perhatian, kurangnya
133). Selain itu, individu juga sulit untuk membuat keputusan,
terutama jika berada dalam tekanan (Landy & Conte, 2004 :
361).
Jadi, ada 4 respon pada individu saat menghadapi tuntutan
yang berasal dari lingkungan yaitu respon psikologis, fisiologis,
perilaku dan kognitif. Respon psikologis seperti marah, kecewa,
sedih, bingung, dan sebagainya. Respon fisiologis seperti
keringat dingin, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan perut,
dan sebagainya. Respon perilaku seperti tidak ada nafsu makan
atau makan berlebihan, kesulitan komunikasi, menunda
pekerjaan, dan sebagainya. Respon yang terakhir yaitu respon
kognitif seperti sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan.
5. Faktor-Faktor yang dapat Membangkitkan Stres Kerja
Landy & Conte (2004 : 555) menjelaskan bahwa stressor
merupakan suatu tuntutan fisik dan psikologis yang akan direspon oleh
individu. Munandar (2001 : 380) juga menjelaskan pengertian stressor
sebagai faktor-faktor pembangkit stres. Lebih lanjut lagi dijelaskan
bahwa setiap aspek pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Namun
demikian, hanya individulah yang dapat menentukan sejauh mana
situasi yang sedang dihadapi tersebut merupakan situasi stres atau
tidak. Munandar (2001 : 380) memilah stressor menjadi beberapa
a. Intrinsik dalam Pekerjaan
Pada faktor ini, Munandar (2001 : 381) memilahnya lagi menjadi
dua tuntutan, yaitu :
1). Tuntutan Fisik
Munandar dan Schultz & Schultz (1994 : 416)
menjelaskan bahwa suatu kondisi kerja tertentu dapat
menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Lebih lanjut
lagi, Menurut Munandar (2001 : 382), tuntutan fisik
tersebut seperti lingkungan yang berdebu, kotor, tempat
beristirahat yang kurang baik, toilet yang kurang memadai
dapat dikatakan sebagai faktor yang tinggi pembangkit
stres.
2). Tuntutan Tugas
Beban kerja berlebih dan terlalu sedikit dapat mempengaruhi
stres kerja (Schultz & Schultz, 2006 : 366 ; Landy & Conte, 2004 :
556 ; Munandar, 2001 : 383). Lingkungan militer merupakan
lingkungan dimana prajurit selalu siaga 24 jam. Kapten Inf Faisal
A.Y (wawancara pribadi, 10 April 2008) menyatakan bahwa
perintah dinas adalah segalanya sehingga bawahan harus selalu
loyal dan siaga diperintahkan oleh atasan kapan pun juga. Hal ini
dapat membuat pihak bawahan menjadi stres karena sehingga
menjadi tidak tenang untuk melakukan aktivitas apapun sekalipun
Pembangkit stres pada tuntutan tugas lainnya ialah paparan
terhadap resiko dan bahaya. Resiko dan bahaya ini tergantung pada
profesi yang dimiliki individu. Munandar (2001 : 389-390)
menjelaskan bahwa profesi yang memiliki resiko dan bahaya, salah
satunya adalah tentara. Makin besar kesadaran akan bahaya dan
akibat dari pembuatan kesalahan maka makin besar depresi dan
kecemasan. Anggota TNI mempunyai resiko kematian yang tinggi
saat melakukan tugas operasi.
b. Peran dalam Organisasi
1). Konflik Peran (Role Conflict)
Konflik peran terjadi ketika prosedur yang ditetapkan
tersebut sulit, tidak dapat diterima atau tidak mungkin
untuk disetujui dengan prosedur lain yang sudah ditetapkan
(Ivancevich & Matteson ; Sagrestano dalam Thomas &
Wadsworth, 2005 : 136). Selanjutnya, Schultz & Schultz
(1994 : 415) mendefinisikan konflik peran muncul saat ada
perbedaan antara kebutuhan kerja atau antara tuntutan kerja
dengan nilai dan harapan individu.
Munandar (2001 : 390) menjelaskan bahwa ada
beberapa hal yang mempengaruhi individu sehingga
mengalami konflik peran, yaitu :
a). Pertentangan antara tugas-tugas yang harus individu
b). Tugas-tugas yang harus dilakukan, menurut
pandangan individu bukan merupakan bagian dari
pekerjaannya.
c). Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan,
rekan, bawahan atau orang lain yang dinilai penting
bagi individu.
d). Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadi
sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.
2). Peran yang Ambigu
Thomas & Wadsworth (2005 : 136) berpendapat
ketaksaan peran ada saat individu tidak memberikan
informasi yang cukup atau menjelaskan kepentingan
perannya, pekerjaan yang obyektif dan kemampuan untuk
mengerti mengenai tanggung jawab dari pekerjaannya.
Munandar (2001 : 392) menjelaskan faktor-faktor yang
dapat menimbulkan ketaksaan peran, yaitu, ketidakjelasan
dari tujuan-tujuan kerja, kesamaran tentang tanggung
jawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja, kesamaran
tentang apa yang diharapkan oleh orang lain, kurang adanya
timbal balik kerja
c. Hubungan dalam Pekerjaan
Argyris & Cooper (dalam Munandar, 2001 : 395)
satu kelompok kerja merupakan faktor utama dalam kesehatan
individu dan organisasi. Selain itu, adanya ketegangan
psikologikal dalam bentuk kepuasan kerja yang rendah,
penurunan kondisi kesehatan dan rasa diancam oleh atasan dan
rekan kerjanya (Kahn dalam Munandar, 2001 : 395).
Mayor Siswono (2005 : 28) mengungkapkan bahwa cukup
banyak perwira yang sering mengeluarkan kata-kata ancaman
serta dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi. Hal
tersebut pada akhirnya dapat menghambat karir anggotanya.
d. Struktur dan Iklim Organisasi
Struktur dan iklim organisasi ini tergantung dari cara
individu mempersepsikan kebudayaan, iklim dan kebiasaan
organisasi.
Perilaku kepemimpinan yang kurang merupakan salah satu
faktor pembangkit stres. Pola kepemimpinan dimana seorang
pemimpin tidak menerima bawahan untuk mengambil bagian
dalam membuat keputusan (Schultz & Schultz, 2006 : 368).
Peraturan Disiplin Militer juga menyebutkan bahwa prajurit
TNI harus menghormati dan patuh kepada atasannya. Perintah
dinas adalah segalanya (wawancara pribadi, 10 April 2008). Pola
kepemimpinan militer adalah pola kepemimpinan yang
cenderung otoriter (wawancara pribadi, 10 April 2008). Kapten
segala-galanya dan mutlak. Heriyono (dalam Gema Infanteri
2005 : 18) juga menambahkan bahwa perintah atasan seringkali
berubah-ubah dan tidak jelas, adanya perintah yang berlebihan di
luar jam dinas, pemaksaan kehendak dan tanpa memikirkan
kepentingan bawahannya.
e. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan
Munandar (2001 : 397) menjelaskan tuntutan di luar
organisasi melingkupi segala unsur kehidupan seseorang yang
berkaitan dengan kejadian dalam kehidupan dan kerja pada suatu
organisasi sehingga dapat memberikan tekanan pada individu.
Permasalahan tersebut seperti isu tentang keluarga, krisis
kehidupan, keuangan, dan sebagainya. Lebih lanjut lagi
dijelaskan bahwa stres dalam pekerjaan mempunyai dampak
yang negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.
f. Ciri-Ciri Individu
1). Nilai dan Kebutuhan
Pada setiap organisasi memiliki kebudayaan yang
berarti adanya keyakinan, nilai dan norma yang mendukung
organisasi dalam menghadapi permasalahan. Individu
belajar beradaptasi dan menginternalisasi nilai yang
dianggap penting. Jika individu tidak dapat beradaptasi
pertentangan kebutuhan dan mengalami stres (Munandar,
2001 : 401).
2). Kecakapan
Individu yang sedang mengalami masalah dan merasa
tidak mampu memecahkan masalah tersebut, padahal
masalah tersebut dianggap penting baginya akan merasa
terancam dan mengalami stres. Di sisi lain, individu yang
merasa mampu menghadapi permasalahannya akan merasa
tertantang dan motivasi meningkat. Individu tersebut
mengalami eustress.
Kecakapan tersebut dapat juga diistilahkan dengan
kata lain, yaitu cognitive appraisal, artinya bagaimana interpretasi kognitif dan penilaian individu terhadap
stressor. Penilaian kognitif ini merupakan pusat untuk
mendefinisikan situasi seperti seberapa besar ancamannya
dan dapat mengatasi ancaman atau tidak. Selain itu juga
untuk mengukur diri apakah memiliki kemampuan untuk
mengatasi ancaman tersebut (Gerrig&Zimbardo, 2008 :
397).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respon adaptif
individu terhadap tuntutan eksternal baik fisik maupun psikologis dari
lingkungannya. Stres kerja berarti tuntutan atau ancaman yang berasal
pekerjaan, resiko dan bahaya pekerjaan, pengembangan karir,
hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari
luar organisasi, dan ciri-ciri individu. Respon tersebut dipengaruhi oleh
penilaian kognitif individu. Individu yang melihat tuntutan tersebut
sebagai suatu tantangan sehingga lebih termotivasi akan mengalami
eustress. Sedangkan individu yang melihat tuntutan sebagai suatu ancaman maka akan mengalami distress. Respon stres individu terhadap lingkungannya terdiri dari 4 aspek. Pertama, respon
psikologis seperti cemas, depresi, kelelahan, dan sebagainya. Kedua,
respon fisiologis seperti keringat dingin, jantung berdebar, gangguan
perut dan sebagainya. Ketiga, respon perilaku dimana individu akan
merokok berlebihan, terjadi kekerasan di tempat kerja, dan sebagainya.
Aspek yang terakhir yaitu respon kognitif, konsentrasi dan perhatian
yang menurun pada individu, sulit membuat keputusan, dan
sebagainya.
C. Agresi yang Dialihkan (Displacement Agression)
Baron&Byrne (2005 : 144) mengungkapkan bahwa frustrasi
merupakan salah satu faktor yang secara potensial menyebabkan agresi.
Frustrasi terkadang menghasilkan agresi karena adanya hubungan yang
mendasar antara afek negatif (perasaan yang tidak menyenangkan) dengan
perilaku agresif. Hal ini didukung dengan pernyataan Berkowitz (dalam
mediator penting antara frustrasi dan agresi. Frustrasi merupakan salah satu
kejadian aversif yang dapat menimbulkan afek negatif dalam bentuk marah.
Kejadian aversif tersebut seperti ketakutan, kesakitan fisik, atau
ketidaknyamanan secara psikologis.
Lebih lanjut lagi, Sears (2005 : 23-24) mengatakan bahwa ada
perasaan agresi yang tidak dapat diekspresikan terhadap penyebab marah
disebut sebagai agresi yang dialihkan. Agresi yang dialihkan akan
mengekspresikan agresi terhadap sasaran pengganti. Terkadang orang
merasa kesal atau marah terhadap orang lain tetapi tidak dapat
membalasnya. Hal tersebut disebabkan karena orang yang menyebabkan
marah itu terlalu kuat, terhambat melakukannya atau terlalu cemas mengenai
akibat ke depannya. Inilah yang membuat seseorang ingin mengalihkan
perasaan agresinya dengan cara yang lain. Sears (2005 : 24) menjelaskan
bahwa pada umumnya agresi yang dialihkan diarahkan pada sasaran yang
dipersepsi lebih lemah atau kurang kuat. Pernyataan ini di dukung oleh
Krahe (2005 : 56) yang menyatakan bahwa orang yang takut akan hukuman
akan mengalihkan agresinya ke orang yang lebih lemah darinya.
Selanjutnya, Murpraptomo (1992 : 7) menjelaskan bahwa kekerasan
C. Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan UU No.34 Tahun 2004 (http://www.kowani.or.id/
main/index.asp?lang=id&p=101&f=apr012005001), kekerasan dalam
rumah tangga yang biasa disingkat menjadi KDRT ialah :
Setiap perbuatan terhadap perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kyriacou, dkk (dalam Luhulima, 2000) menjelaskan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang bersifat
menyerang sehingga menciptakan ancaman atau melukai yang
dilakukan oleh pasangannya.
Kekerasan ini terjadi pada area domestik dalam bentuk intimate violence atau private violence. Yuarsi (dalam Tursilarini, 2004 : 63) menyatakan intimate violence ini terjadi antara suami-istri yang berupa perbuatan kekerasan secara seksual pada istri oleh suami. Selanjutnya,
Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 13) menyatakan bahwa pelaku
dan korban memiliki hubungan keluarga atau kedekatan seperti istri,
pacar atau anak.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan dalam arena domestik
dengan konteks rumah tangga yaitu oleh suami terhadap istri.
Kekerasan ini berupa perbuatan untuk menyakiti atau melukai
dalam rumah tangga ini khususnya pada istri. Tamtiari (2005 : 14)
menjelaskan berdasar pada hasil penelitian dan kasus yang banyak
terjadi, bahwa fenomena kekerasan yang dilakukan suami terhadap
istri terbukti paling banyak terjadi.
2. Dimensi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 11) menyatakan ada 4
dimensi dari kekerasan dalam rumah tangga. Dimensi-dimensi tersebut
yaitu :
a. Kekerasan Fisik
Adib & Muttaqin (2005 : 12) menjelaskan bahwa kekerasan
fisik merupakan setiap tindakan yang dapat menyebabkan rasa
sakit, luka, cedera pada tubuh, dan menyebabkan kematian baik
yang dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat.
Bentuk-bentuk tersebut antara lain seperti menampar, memukul
(dengan tangan ataupun benda), menarik rambut, menyundut
dengan rokok, mengabaikan kesehatan istri, melukai dengan
senjata, dan lain-lain (Hayati, dkk, 1999 : 1). Purnianti &
Kolibonso (2003 : 32) menambahkan bentuk-bentuk kekerasan
antara lain penganiayaan, pengurungan (dikurung di dalam
b. Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis adalah segala perbuatan atau ucapan
yang dapat mengakibatkan ketakutan atau hilangnya kepercayaan
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak serta perasaan tidak
berdaya pada korban (Adib & Muttaqin,2005 : 12-13). Kekerasan
psikologis ini tidak menimbulkan bekas seperti kekerasan fisik
namun demikian dapat meruntuhkan harga diri bahkan
menimbulkan dendam di hati istri kepada suami. Kekerasan ini
bahkan lebih sulit di atasi daripada kekerasan fisik (Djannah,
dkk, 2003 : 34-35).
Bentuk-bentuk kekerasan psikologis tersebut menurut
Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 11) seperti
berteriak-teriak, menghina, menguntit, mengancam (misalnya dicerai,
dipukul, dibunuh), merendahkan, pengabaian, tuduhan,
penolakan, membentak, menyumpah, mengatur, memata-matai,
dan tindakan-tindakan yang menyebabkan rasa takut. Selain itu,
perbuatan, pembatasan, pemutusan hubungan dengan masyarakat
maupun dengan keluarga, melarang istri bekerja, sering
meninggalkan rumah tanpa alasan dan teror merupakan
bentuk-bentuk kekerasan psikologis yang lain (Purnianti & Kalibonso,
2003 : 33). Hayati (1999 : 1) menambahkan bentuk-bentuk
kemasyarakatan dan memisahkan istri dengan anak-anak bila
tidak menuruti keinginan suami.
c. Kekerasan Seksual
Budi Sampurna (dalam Luhulima, 2000 : 56) mengatakan
bahwa kekerasan seksual ini adalah segala sesuatu yang bersifat
penyerangan terhadap perempuan dalam konteks seksual.
Kekerasan ini berupa ajakan ke arah seksual seperti gurauan,
melecehkan atau merendahkan yang mengarah kepada seksual,
menyentuh, meraba, mencium, memaksa berhubungan seksual
saat istri sedang tidak menginginkannya (mungkin karena sedang
haid atau sakit). Hayati (1999 : 2) menambahkan bentuk
kekerasan antara lain tidak memenuhi kebutuhan seksual istri,
memaksa istri melakukan hubungan seksual dengan cara yang
tidak disukai istri, menggugurkan kandungan istri, dan memaksa
istri melakukan hubungan seksual dengan orang lain.
d. Kekerasan Finansial
Poerwandari (dalam Luhulima, 2000 : 12) menyebutkan
bentuk-bentuk kekerasan finansial seperti mengambil uang,
menahan atau tidak memberikan kebutuhan finansial,
mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai
sekecil-kecilnya, serta menghambat karir pasangannya. Semua hal
tersebut dimaksudkan untuk dapat mengendalikan tindakan
Jadi, ada 4 dimensi kekerasan dalam rumah tangga. Pertama,
kekerasan fisik yaitu kekerasan yang menyebabkan rasa sakit
atau luka pada tubuh istri. Kekerasan tersebut seperti menampar,
menarik rambut, memukul, dan sebagainya. Kedua, kekerasan
psikologis ialah segala ucapan yang menyebabkan rasa takut,
kehilangan kepercayaan diri atau tidak berdaya pada istri.
Misalnya berteriak, mengatur, menguntit, mengancam, dan
sebagainya. Ketiga, kekerasan seksual yang menyerang atau
menyakiti dalam konteks seksual. Misalnya, meraba, menyentuh
atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa karena istri
tidak menginginkannya. Kekerasan yang terakhir yaitu kekerasan
finansial yang menyakiti istri dalam konteks finansial.
Contohnya adalah menahan, mengawasi atau mengendalikan
pengeluaran uang, menghambat karir istri, dan sebagainya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Djannah, dkk (2003 : 21) mengungkapkan bahwa ada beberapa
hal yang dapat menjelaskan mengapa tindakan kekerasan terjadi.
Faktor-faktor tersebut ialah :
a. Faktor Internal
Faktor internal ini berasal dari dalam diri individu.
Purnianti & Kolibonso (2003 : 3-4) mengemukakan bahwa
dirasakan dan keluarga adalah tempat pembenaran normatif
kekerasan terjadi pada masa kanak-kanak. Hukuman (kekerasan
fisik) tersebut digunakan untuk mengajarkan jenis-jenis perilaku
apa saja yang boleh dan tidak diperbolehkan, di sisi lain juga
sebagai proses belajar sosial pada anak yang membenarkan
penggunaan kekerasan.
Proses belajar tersebut awalnya ialah mengasosiasikan cinta
dengan kekerasan pada masa kanak-kanak. Orang tua ialah orang
terdekat yang dapat memukul anaknya untuk melatih mana yang
baik dan yang buruk. Pada tahap ini, anak belajar bahwa orang
terdekat menjadi wajar jika memukulnya (melakukan kekerasan).
Selain itu juga memberi pengajaran dan budaya untuk
membenarkan tindakan kekerasan. Purnianti & Kolibonso (2003
: 4) memberikan contoh, orang tua sering menahan diri untuk
melakukan pemukulan hingga orang tua tidak dapat menahan
kemarahan atau rasa frustrasi atas tindakan anaknya. Pada situasi
ini, anak mempelajari bahwa kemarahan dan rasa frustrasi yang
mendalam dapat membenarkan untuk melakukan tindakan
kekerasan. Pendapat ini dilengkapi oleh Poerwandari (dalam
Luhulima, 2000 : 14) yang mengungkapkan bahwa individu yang
sedang tertekan karena menghadapi suatu konflik atau masalah,
merespon perasaan tertekannya dengan melakukan kekerasan
Hayati, dkk (2000 : 5) juga menambahkan bahwa perilaku
meniru mempengaruhi individu dalam melakukan tindak
kekerasan. Seorang anak yang hidup dengan orang tua yang
senang memukul sebagai cara berkomunikasi untuk
menyelesaikan masalah maka akan meniru perilaku orang tuanya
dan diterapkan pada pasangannya. Tindak kekerasan sebagai
hasil belajar sosial tersebut akan terinternalisasi ke hubungan
sosial lain terutama dalam hubungan yang dekat seperti suami
dan istri. Perilaku meniru ini juga bisa diperoleh melalui media
lain, misalnya lingkungan masyarakat, televisi atau yang lain.
Selain itu, tanpa mendapatkan kekerasan pada masa kanak-kanak
dapat juga dengan mengamati kekerasan yang terjadi pada orang
tuanya. Semakin sering anak mendapatkan hukuman fisik maka
semakin tinggi juga kemungkinan pemukulan terhadap pasangan
(Straus dalam Purnianti & Kolibonso, 2003 : 4).
Pernyataan-pernyataan di atas di dukung juga oleh pendapat
Langley, dkk (dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah dkk : 2003 :
20) yang mengemukakan bahwa kondisi psikis sebagai faktor
internal pada individu dalam melakukan tindak kekerasan.
Kondisi psikis tersebut seperti sakit mental, pecandu alkohol dan
obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya
komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah,
sumber daya untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan
dari keluarga atau orang tua. Utami (2002 : 18) mendukung
pernyataan tersebut dengan mengungkapkan bahwa suami
melakukan kekerasan terhadap istri karena frustrasi atau stres
pekerjaan.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini berasal dari luar diri individu. Faktor ini
terdiri dari dua hal, yaitu :
1). Persepsi tentang kekerasan pada masyarakat
Kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabu yang
harus ditutup agar tidak diketahui oleh lingkungan
masyarakat karena merupakan permasalahan intern. Tamtiari
(2005 : 11) menjelaskan juga bahwa struktur sosial budaya
menjunjung tinggi kehormatan suatu rumah tangga sehingga
apabila terjadi kekerasan akan disembunyikan. Ia pun
menambahkan bahwa perempuan mempunyai tugas untuk
menjaga keharmonisan rumah tangganya sehingga
perempuan cenderung untuk menutupi tindak kekerasan yang
dialaminya.
2). Struktur Sosial dalam Masyarakat (Budaya Patriarki)
Menurut Darwin (dalam Tamtiari, 2005 : 9), dilihat
secara keseluruhan masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang istimewa,
memiliki nilai yang lebih unggul, diutamakan. Sedangkan
perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan,
lemah, dinomorduakan dan berperan di belakang (Hayati,
dkk, 1999 : 5).
Budaya patriarki tersebut sudah disosialisasikan dalam
lingkup keluarga sejak masa kanak-kanak. Poerwandari
(dalam Luhulima, 2000 : 16-17) berpendapat bahwa sejak
usia dini, laki-laki telah disosialisasikan untuk menyukai
kekerasan. Hal tersebut dilakukan melalui bentuk permainan
yang keras, olah raga yang keras, program televisi yang
menyajikan kekerasan sebagai cara untuk mendapatkan apa
yang diinginkan dan menyelesaikan masalah.
Andari (2005 : 33) menjelaskan bahwa struktur sosial
budaya mengkonstruksikan perempuan untuk menjadi istri
yang menyenangkan hati suami dan menjaga keutuhan
keluarga sehingga istri dapat dikatakan harus bertanggung
jawab untuk menjaga keharmonisan keluarganya. Selain itu,
istri akan menggantungkan kehidupan ekonominya kepada
suaminya. Gelles & Moors (dalam Djannah, dkk, 2003 : 3)
menyatakan bahwa salah satu faktor penyebab kekerasan
pada suami sehingga istri mungkin akan direndahkan oleh
suaminya.
Budaya patriarki yang telah di pupuk sejak dini ini
akhirnya terinternalisasi pada individu masing-masing
sehingga dikembangkan menjadi karakteristik kepribadian
dan pola adaptasi tertentu pada hidupnya (Poerwandari dalam
Luhulima, 2000 : 16). Laki-laki yang lebih diutamakan
tersebut merasa diri mampu dan mengendalikan anak
sehingga istri dan anak harus tunduk pada dirinya
(Poerwandari, 2000 : 16). Tamtiari (2005 : 15-16)
menambahkan bahwa pernikahan mencerminkan kepemilikan
istri menjadi milik suami (men’s property), sehingga suami dianggap pantas jika melakukan kekerasan dengan alasan
mendidik istrinya. Didikan tersebut sebagai wujud rasa
sayang dan perhatian suami terhadap istrinya. Pernyataan
tersebut juga di dukung Suparno (dalam Tamtiari, 2005 : 16)
yang mengemukakan bahwa suami dianggap sah dan berhak
memperlakukan istri sekehendak hatinya.
Jadi, kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan yang
dilakukan oleh suami untuk melukai atau menyakiti istrinya. Perbuatan
menyakiti istri dalam berbagai bentuk yaitu secara fisik seperti
menampar, menjambak rambut, memukul, dan sebagainya. Selain itu
sebagainya. Selanjutnya secara seksual seperti meraba, menyentuh,
atau melakukan tindakan yang bersifat memaksa. Bentuk yang terakhir
adalah secara finansial seperti menghambat karir istri, menahan dan
mengawasi pengeluaran uang.
Ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan dalam rumah
tangga yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
merupakan faktor yang berasal dari diri individu seperti kondisi psikis
(misalnya penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, frustrasi,
kurangnya komunikasi, dan sebagainya) dan proses belajar pada masa
kanak-kanak. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri
individu seperti persepsi tentang kekerasan pada masyarakat dan
budaya patriarki.
C. Hubungan antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lingkungan militer mempunyai disiplin militer yang tinggi. Namun
demikian, disiplin tersebut terkadang disalahgunakan oleh atasan sehingga
terjadi penyimpangan disiplin militer. Pada karya militer yang dibuat May.
Siswono (2005 : 28) mengatakan bahwa ada penyimpangan disiplin militer
yang dilakukan atasan kepada bawahannya. Penyimpangan yang dilakukan
oleh atasan seperti memerintahkan prajurit untuk kepentingan pribadi, di
luar jam dinas. Cukup banyak perwira yang mengeluarkan kata-kata
ancaman serta dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi. Hal
Perasaan diancam baik oleh atasan maupun oleh rekan kerjanya tersebut
juga dapat mempengaruhi kesehatan individu dan organisasi sehingga
memunculkan stres kerja (Kahn dalam Munandar, 2001 : 395).
Lebih lanjut lagi, Heriyono (dalam Gema Infanteri 2005 : 18)
mengungkapkan bahwa perintah atasan seringkali berubah-ubah dan tidak
jelas, ada perintah yang berlebihan di luar jam dinas, pemaksaan kehendak
dan tidak memikirkan kepentingan bawahannya. Kapt. Inf. Faisal A.Y
menjelaskan bahwa golongan tamtama merupakan golongan pelaksana yang
melaksanakan perintah atasan sehingga tidak ada job desk yang jelas (wawancara pribadi, 3 April 2008). Hal ini membuat prajurit TNI
mengalami role ambiguity. Selanjutnya, kondisi fisik juga mempengaruhi stres kerja. Pekerjaan sebagai TNI-AD mempunyai resiko kematian yang
tinggi. Mayjen. TNI Agus Soeyitno (dalam Gema Diponegoro, 2007 : 52)
menyatakan bahwa tentara bersumpah sebelum dilantik untuk setia
mengabdi kepada negara apapun resikonya. Tentara bertugas untuk menjaga
keamanan negara sehingga sering dikirim untuk operasi militer pada
wilayah-wilayah yang membutuhkan keamanan.
Ruang gerak bawahan menjadi terbatas karena adanya penyimpangan
disiplin militer yang dilakukan oleh atasan. Hal tersebut dapat memunculkan
frustrasi karena ada keinginan yang tidak terpenuhi pada individu dalam
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Waktu yang ada lebih banyak
dihabiskan untuk memenuhi perintah atasan yang berlebihan di luar jam
Kapt. Inf Faisal A.Y mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan pada
militer cenderung otoriter (wawancara pribadi, 10 April 2008). Bagi
pimpinan, perintah adalah segala-galanya dan bersifat mutlak, bawahan juga
jarang ikut ambil bagian dalam membuat keputusan. Schultz & Schultz
(2006 : 368) menyatakan bahwa pola kepemimpinan merupakan salah satu
pembangkit stres. Pembangkit stres yang terakhir adalah ciri-ciri individu.
Individu yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat beradaptasi
dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi organisasi
tersebut. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka dapat menimbulkan
stres.
Respon individu pada tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh
lingkungan berbeda-beda. Respon tersebut tergantung dari penilaian kognitif
dan kemampuan individu dalam memecahkan permasalahan mengenai
tuntutan tersebut. Individu akan mengalami distress jika merasa tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan, padahal
permasalahan tersebut dianggap penting bagi dirinya. Individu akan
memandang permasalahan sebagai suatu ancaman bagi dirinya. Sebaliknya,
individu akan mengalami eustress jika merasa mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap penting bagi dirinya. Individu akan
memandang permasalahan sebagai suatu tantangan sehingga dapat
memotivasi dirinya (Munandar, 2001 : 399-400 ; Schultz & Schultz, 2006 :
Individu yang mengalami stres kemudian muncul gejala-gejala seperti
fisiologis, psikologis, kognitif dan perilaku. Gejala fisiologis yang dialami
prajurit TNI seperti keringat dingin dan gangguan perut saat dipanggil untuk
menghadap atasan. Selain itu juga merasa ada gangguan tidur karena
terbayang-bayang dengan tugas yang sedang diberikan dan bayangan
mengenai atasannya. Sedangkan gejala psikologis seperti kesal, kecewa dan
bosan karena atasan terkadang tidak puas dengan hasil dari tugas yang
diberikan (wawancara pribadi, 10 April 2008).
Pada gejala kognitif, prajurit TNI merasa sulit berkonsentrasi dalam
bekerja, berkurangnya nafsu makan sehingga berat badan menurun
(wawancara pribadi, 10 April 2008). Selanjutnya, ketidakberanian prajurit
mengutarakan perasaan ini dapat membuat perasaannya tertekan terutama
yang bersifat negatif sehingga dialihkan ke anggota keluarga yang
mempunyai kedudukan lebih lemah dari dirinya. Salah satu pengalihan
perasaannya tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut Darwin (dalam Tamtiari, 2005 : 9) struktur sosial budaya
yang sudah tersebar luas di lingkungan masyarakat yaitu budaya patriarki.
Budaya ini mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan yang
menerapkan bahwa laki-laki mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada
perempuan. Pengertian ini menganggap bahwa perempuan merupakan hak
milik laki-laki dan laki-laki mempunyai hak untuk mendidik pasangannya.
Didikan tersebut juga dapat dilakukan dengan cara kekerasan yang diartikan
Kekerasan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu. Keluarga
merupakan tempat awal yang mengenalkan bahwa kekerasan merupakan hal
yang wajar (Purnianti & Kolibonso, 2003 : 3-4). Sejak individu masih
anak-anak ada yang diberi pelajaran mengenai perilaku yang boleh dan tidak
boleh dilakukan dengan memberikan hukuman fisik. Hal ini menjadi proses
belajar sosial pada masa anak-anak bahwa kekerasan merupakan hal yang
wajar dilakukan. Selain itu, perilaku meniru juga mempengaruhi tindak
kekerasan (Hayati, dkk, 2000 : 5). Orang tua ada yang melakukan kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini akan ditiru oleh
anak-anak dan diterapkan pada pasangannya. Proses belajar pada anak-anak-anak-anak
tersebut berkembang menjadi karakter kepribadian individu.
Selain itu, kondisi psikis individu juga dapat mempengaruhi seseorang
melakukan kekerasan. Langley, dkk (dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah
dkk : 2003 : 20) menyebutkan kondisi psikis tersebut seperti sakit mental,
pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan,
kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah,
frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya
untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan dari keluarga atau orang
tua. Berikut ini dijabarkan bagan hubungan antara stres kerja dan kekerasan
Gambar 1
Hubungan Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Faktor Eksternal :
1. Persepsi masyarakat mengenai kekerasan
2. Budaya Patriarki 3. Perilaku Meniru
Faktor Internal : 1. Perilaku Meniru
2. Pengalaman kekerasan pada masa kanak-kanak 3. Kondisi Psikis
Pembangkit Stres :
1. Penyimpangan disiplin militer oleh atasan 4. Konflik Peran 2. Beban kerja berlebih 5. Ciri-Ciri Individu
3. Resiko kematian yang tinggi 6. Struktur organisasi yang kaku
Penilaian Kognitif
Merasa lebih tidak mampu mengatasi, memandang Rumah Tangga : Fisik,
D. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini yaitu :
1. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan fisik pada anggota
di Yonif 400/Raider.
2. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan psikologis pada
anggota di Yonif 400/Raider
3. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan seksual pada
anggota di Yonif 400/Raider
4. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan finansial pada
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini ialah penelitian kuantitatif. Penelitian korelasional
ini bertujuan melihat hubungan antara stres kerja dengan kekerasan dalam
rumah tangga.Penelitian korelasional yaitu penelitian yang berusaha untuk
memastikan bagaimana dua atau lebih variabel saling berhubungan satu
dengan yang lainnya (Clark, 2004 : 287 ; Elmes et al, 1995 : 172).
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Pada penelitian diteliti hubungan antara dua variabel, yaitu :
1. Variabel Bebas : Stres Kerja
2. Variabel Tergantung : Kekerasan dalam Rumah Tangga
C. Definisi Operasional 1. Stres Kerja
Stres kerja yaitu respon fisiologis, psikologis, perilaku, dan
kognitif individu terhadap situasi yang disebabkan oleh stressor yang
muncul pada pekerjaan yang sedang dijalaninya. Respon stres kerja
diukur menggunakan skala stres kerja dengan metode skala Likert.
Skala tersebut merupakan skala psikologis sehingga mengukur respon
stres kerja melalui jawaban yang diberikan subjek pada kuisioner.