• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lingkungan militer mempunyai disiplin militer yang tinggi. Namun

BAB II DASAR TEORI DASAR TEORI

C. Hubungan antara Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Lingkungan militer mempunyai disiplin militer yang tinggi. Namun

demikian, disiplin tersebut terkadang disalahgunakan oleh atasan sehingga terjadi penyimpangan disiplin militer. Pada karya militer yang dibuat May. Siswono (2005 : 28) mengatakan bahwa ada penyimpangan disiplin militer yang dilakukan atasan kepada bawahannya. Penyimpangan yang dilakukan oleh atasan seperti memerintahkan prajurit untuk kepentingan pribadi, di luar jam dinas. Cukup banyak perwira yang mengeluarkan kata-kata ancaman serta dendam karena tidak terpenuhinya kebutuhan pribadi. Hal tersebut pada akhirnya dapat menghambat karir anggota-anggotanya.

Perasaan diancam baik oleh atasan maupun oleh rekan kerjanya tersebut juga dapat mempengaruhi kesehatan individu dan organisasi sehingga memunculkan stres kerja (Kahn dalam Munandar, 2001 : 395).

Lebih lanjut lagi, Heriyono (dalam Gema Infanteri 2005 : 18) mengungkapkan bahwa perintah atasan seringkali berubah-ubah dan tidak jelas, ada perintah yang berlebihan di luar jam dinas, pemaksaan kehendak dan tidak memikirkan kepentingan bawahannya. Kapt. Inf. Faisal A.Y menjelaskan bahwa golongan tamtama merupakan golongan pelaksana yang melaksanakan perintah atasan sehingga tidak ada job desk yang jelas (wawancara pribadi, 3 April 2008). Hal ini membuat prajurit TNI mengalami role ambiguity. Selanjutnya, kondisi fisik juga mempengaruhi stres kerja. Pekerjaan sebagai TNI-AD mempunyai resiko kematian yang tinggi. Mayjen. TNI Agus Soeyitno (dalam Gema Diponegoro, 2007 : 52) menyatakan bahwa tentara bersumpah sebelum dilantik untuk setia mengabdi kepada negara apapun resikonya. Tentara bertugas untuk menjaga keamanan negara sehingga sering dikirim untuk operasi militer pada wilayah-wilayah yang membutuhkan keamanan.

Ruang gerak bawahan menjadi terbatas karena adanya penyimpangan disiplin militer yang dilakukan oleh atasan. Hal tersebut dapat memunculkan frustrasi karena ada keinginan yang tidak terpenuhi pada individu dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Waktu yang ada lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi perintah atasan yang berlebihan di luar jam dinas (Heriyono dalam Gema Infanteri 2005 : 18).

Kapt. Inf Faisal A.Y mengungkapkan bahwa pola kepemimpinan pada militer cenderung otoriter (wawancara pribadi, 10 April 2008). Bagi pimpinan, perintah adalah segala-galanya dan bersifat mutlak, bawahan juga jarang ikut ambil bagian dalam membuat keputusan. Schultz & Schultz (2006 : 368) menyatakan bahwa pola kepemimpinan merupakan salah satu pembangkit stres. Pembangkit stres yang terakhir adalah ciri-ciri individu. Individu yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat beradaptasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi organisasi tersebut. Jika individu tidak dapat beradaptasi maka dapat menimbulkan stres.

Respon individu pada tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh lingkungan berbeda-beda. Respon tersebut tergantung dari penilaian kognitif dan kemampuan individu dalam memecahkan permasalahan mengenai tuntutan tersebut. Individu akan mengalami distress jika merasa tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan, padahal permasalahan tersebut dianggap penting bagi dirinya. Individu akan memandang permasalahan sebagai suatu ancaman bagi dirinya. Sebaliknya, individu akan mengalami eustress jika merasa mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap penting bagi dirinya. Individu akan memandang permasalahan sebagai suatu tantangan sehingga dapat memotivasi dirinya (Munandar, 2001 : 399-400 ; Schultz & Schultz, 2006 : 358).

Individu yang mengalami stres kemudian muncul gejala-gejala seperti fisiologis, psikologis, kognitif dan perilaku. Gejala fisiologis yang dialami prajurit TNI seperti keringat dingin dan gangguan perut saat dipanggil untuk menghadap atasan. Selain itu juga merasa ada gangguan tidur karena terbayang-bayang dengan tugas yang sedang diberikan dan bayangan mengenai atasannya. Sedangkan gejala psikologis seperti kesal, kecewa dan bosan karena atasan terkadang tidak puas dengan hasil dari tugas yang diberikan (wawancara pribadi, 10 April 2008).

Pada gejala kognitif, prajurit TNI merasa sulit berkonsentrasi dalam bekerja, berkurangnya nafsu makan sehingga berat badan menurun (wawancara pribadi, 10 April 2008). Selanjutnya, ketidakberanian prajurit mengutarakan perasaan ini dapat membuat perasaannya tertekan terutama yang bersifat negatif sehingga dialihkan ke anggota keluarga yang mempunyai kedudukan lebih lemah dari dirinya. Salah satu pengalihan perasaannya tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Darwin (dalam Tamtiari, 2005 : 9) struktur sosial budaya yang sudah tersebar luas di lingkungan masyarakat yaitu budaya patriarki. Budaya ini mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan yang menerapkan bahwa laki-laki mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada perempuan. Pengertian ini menganggap bahwa perempuan merupakan hak milik laki-laki dan laki-laki mempunyai hak untuk mendidik pasangannya. Didikan tersebut juga dapat dilakukan dengan cara kekerasan yang diartikan sebagai rasa sayang dan cinta kepada pasangannya.

Kekerasan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu. Keluarga merupakan tempat awal yang mengenalkan bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar (Purnianti & Kolibonso, 2003 : 3-4). Sejak individu masih anak-anak ada yang diberi pelajaran mengenai perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan memberikan hukuman fisik. Hal ini menjadi proses belajar sosial pada masa anak-anak bahwa kekerasan merupakan hal yang wajar dilakukan. Selain itu, perilaku meniru juga mempengaruhi tindak kekerasan (Hayati, dkk, 2000 : 5). Orang tua ada yang melakukan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah. Hal ini akan ditiru oleh anak-anak dan diterapkan pada pasangannya. Proses belajar pada anak-anak-anak-anak tersebut berkembang menjadi karakter kepribadian individu.

Selain itu, kondisi psikis individu juga dapat mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan. Langley, dkk (dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah dkk : 2003 : 20) menyebutkan kondisi psikis tersebut seperti sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius, penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, kurangnya komunikasi, penyelewengan seks, citra diri yang rendah, frustrasi, perubahan situasi dan kondisi, dan kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah kebiasaan turunan dari keluarga atau orang tua. Berikut ini dijabarkan bagan hubungan antara stres kerja dan kekerasan dalam rumah tangga.

Gambar 1

Hubungan Stres Kerja dan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Faktor Eksternal :

1. Persepsi masyarakat mengenai kekerasan 2. Budaya Patriarki 3. Perilaku Meniru Faktor Internal : 1. Perilaku Meniru 2. Pengalaman kekerasan pada masa kanak-kanak 3. Kondisi Psikis

Pembangkit Stres :

1. Penyimpangan disiplin militer oleh atasan 4. Konflik Peran 2. Beban kerja berlebih 5. Ciri-Ciri Individu

3. Resiko kematian yang tinggi 6. Struktur organisasi yang kaku

Penilaian Kognitif

Merasa lebih tidak mampu mengatasi, memandang sebagai ancaman Distress : 1. Reaksi Psikologis 2. Reaksi Fisiologis 3. Reaksi Perilaku 4. Reaksi Kognitif Displacement Aggresion Kekerasan dalam Rumah Tangga : Fisik,

Psikologis, Ekonomi, Seksual

D. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini yaitu :

1. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan fisik pada anggota di Yonif 400/Raider.

2. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan psikologis pada anggota di Yonif 400/Raider

3. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan seksual pada anggota di Yonif 400/Raider

4. Ada hubungan antara stres kerja pada kekerasan finansial pada anggota di Yonif 400/Raider

BAB III