• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI DASAR TEORI

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Uji Hipotesis

Langkah yang dilakukan setelah data terdistribusi normal dan linear, yaitu menganalisis data. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson melalui program SPSS for Windows versi 12. Korelasi ini digunakan untuk mengukur besarnya hubungan linier antara dua variabel yang mempunyai data interval (Uyanto, 2006 : 192). Pada penelitian ini, taraf signifikasi menggunakan uji Two-Tailed (p <0,05). Hal ini dilakukan sebab hipotesis dalam penelitian ini merupakan hipotesis dua arah (belum berarah).

Uji hipotesis dilakukan pada tiap dimensi kekerasan dalam rumah tangga. Pada kekerasan fisik, uji hipotesis menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,321 (0,00 < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang positif antara stres kerja dengan kekerasan fisik. Koefisien determinasi pada penelitian ini sebesar 0,103 yang berarti stres kerja memberikan sumbangan 10,3 % terhadap terjadinya kekerasan fisik. Sumbangan 89,7 % terhadap kekerasan fisik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.

Uji hipotesis pada kekerasan psikologis menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,807 (0,00 < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang positif antara stres kerja dengan kekerasan psikologis. Koefisien determinasi pada penelitian ini sebesar 0,652. Hal ini berarti stres kerja memberikan sumbangan 65,2 % terhadap kekerasan psikologis. Sumbangan 34,8 % terhadap kekerasan psikologis dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.

Pada kekerasan seksual, uji hipotesis menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,419 (0,00 < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang positif antara stres kerja dengan kekerasan seksual. Koefisien determinasi sebesar 0,176. Hal ini berarti stres kerja memberikan sumbangan 17,6 % terhadap kekerasan seksual. Sumbangan 82,4 % terhadap kekerasan seksual dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.

Uji hipotesis pada kekerasan finansial menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,209 (0,017 < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang positif antara stres kerja dengan kekerasan finansial. Koefisien determinasi pada penelitian ini sebesar 0,044. Hal ini berarti stres kerja memberikan sumbangan 4,4 % terhadap kekerasan finansial. Sumbangan 95,6 % terhadap kekerasan finansial dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.

F. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis statistik, keempat hipotesis menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara stres kerja dengan kekerasan dalam rumah tangga yang terdiri dari dimensi kekerasan fisik (r = 0,321), kekerasan psikologis (r = 0,807), kekerasan seksual (r = 0,419), dan kekerasan finansial (r = 0,209). Artinya, bila stres kerja tinggi maka kekerasan dalam rumah tangga yang terdiri dari dimensi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan kekerasan finansial juga tinggi. Begitu juga sebaliknya, bila stres kerja rendah maka kekerasan dalam rumah

tangga yang terdiri dari dimensi kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual dan kekerasan finansial juga rendah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan tesis Rika Mulyati yang menyatakan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan perilaku agresi pada prajurit ABRI. Selain itu juga ada penelitian Utami (2005:18) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya kekerasan dalam rumah tangga yaitu frustrasi atau stres pekerjaan. Frutrasi merupakan salah satu reaksi psikologis dari stres kerja sehingga frustrasi juga merupakan faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini didukung juga dalam penelitian Prastyowati (2003:63) dan Salmah (2004:87) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu keadaan pelaku misalnya frustrasi.

Stres kerja disebabkan stressor yang ada di tempat kerja. Stressor-stresor tersebut yaitu beban kerja yang berlebih, resiko kematian yang tinggi, struktur organisasi yang kaku, cirri-ciri individu, konflik peran, dan penyimpangan disiplin militer yang kaku. Pada hasil penelitian, subjek rata-rata bekerja pada usia 6 tahun hingga 8 tahun.

Respon-respon yang muncul seperti respon fisiologis, perilaku, kognitif, dan psikologis. Respon fisiologis seperti sakit kepala, pusing, dan gangguan perut (Hawari, 2006 : 41). Respon perilaku seperti gangguan makan, minum-minuman dan merokok yang berlebihan, dan meningkatnya kecelakaan (Thomas & Wadsworth, 2005 : 133). Selanjutnya, respon kognitif yang muncul seperti kurangnya konsentrasi dan perhatian (Thomas

& Wadsworth, 2005 : 133) serta sulit membuat keputusan (Landy & Conte, 2004 : 361). Respon yang terakhir yaitu respon psikologis seperti marah, frustrasi kelelahan secara psikologis (Spector, 1996 : 284 ; Schultz & Schultz, 1994 : 419).

Perasaan frustrasi yang dialami prajurit telah peneliti amati selama penelitian ini. Pada saat peneliti melakukan wawancara pribadi dengan prajurit, prajurit melakukan faking good karena pada saat wawancara, atasan berada di ruangan yang sama dengan prajurit. Prajurit merasa ketakutan akan dimarahi oleh atasan jika mengatakan hal yang kurang baik mengenai lingkungan mereka. Akan tetapi, pada saat peneliti mewawancarai prajurit tanpa ada atasannya di lingkungan tersebut, prajurit mengatakan apa adanya, jujur tanpa adanya tekanan dari pihak lain.

Pada lingkungan masyarakat, struktur sosial budaya telah tersebar luas (Tamtiari, 2005 : 9). Struktur sosial merupakan budaya patriarki yang menerapkan ajaran bahwa laki-laki mempunyai posisi yang lebih tinggi daripada perempuan sehingga laki-laki menganggap perempuan sebagai hak miliknya. Laki-laki mempunyai hak untuk mendidik pasangannya meskipun dengan cara kekerasan yang diartikan sebagai rasa sayang dan cinta kepada pasangannya.

Pada hasil penelitian, 94 prajurit memiliki suku bangsa Jawa dari 103 prajurit. Budaya Jawa memiliki struktur sosial budaya patriarki. Suparkan dkk (2002 : 67-68) menjelaskan bahwa tersubordinasinya wanita Jawa berkaitan dengan cara pandang budaya Jawa melihat posisi wanita. Wanita

dipandang sebagai makhluk lemah sehingga membutuhkan perlindungan laki-laki sehingga nasib bergantung laki-laki. Selain itu, wanita juga diciptakan untuk berbakti pada laki-laki sehingga harus melayani laki-laki terutama kebutuhan seks. Terakhir ialah wanita hanya mengurusi permasalahan domestik dan urusan dapur. Ideologi tersebut akhirnya menuntut wanita untuk taat dan tidak boleh membantah suami, pasrah dan mengalah demi suami. Selain itu, prajurit lainnya bersuku bangsa Ambon, Maluku, Buton, Kalimantan, dan Bugis yang juga memiliki struktur sosial budaya patriarki.

Lebih jauh lagi, latar belakang kekerasan dalam keluarga pada individu saat masih kanak-kanak mempengaruhi seseorang dalam melakukan kekerasan. Kekerasan yang diajarkan pada saat kanak-kanak tersebut seperti hukuman fisik yang pernah diberikan oleh orang tua dengan tujuan untuk memberitahu perilaku apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Hal ini merupakan proses belajar pada anak karena anak-anak akan berpikir bahwa kekerasan untuk mendidik seseorang merupakan hal yang wajar untuk dilakukan (Purnianti & Serena, 2003 : 3-4). Selain itu, perilaku meniru juga mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan dengan pasangannya (Hayati, dkk : 2000 : 5). Perilaku meniru tersebut diinternalisasi ke hubungan sosial lain terutama hubungan dekat seperti suami dan istri.

Sejak dini, lingkungan militer membina prajurit dengan cara kekerasan. Hal ini bertujuan untuk membentuk prajurit agar mempunyai

fisik yang kokoh dan jiwa yang kuat. Atasan mempunyai hak untuk memberi hukuman pada prajurit yang melanggar disiplin militer. Hukuman yang diberikan cenderung ke arah hukuman fisik. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan dan pola pikir prajurit. Prajurit akan terbiasa menerapkan kekerasan sebagai hukuman atau sebagai cara untuk menyelesaikan kekerasan. Hal ini juga didukung oleh Langley, dkk (dalam Salmah, 2004 : 87 ; Djannah, 2003 : 20) yang menjelaskan bahwa kondisi psikis seperti kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Prajurit yang berada pada suatu lingkungan kerja harus dapat beradaptasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang dianggap penting bagi organisasi tersebut. Jika prajurit tidak dapat beradaptasi dengan baik maka akan menimbulkan stres. Selain itu, respon prajurit pada tuntutan-tuntutan yang diberikan oleh lingkungan berbeda-beda. Respon tersebut tergantung dari penilaian kognitif dan kemampuan prajurit dalam memecahkan permasalahan mengenai tuntutan tersebut. Prajurit yang merasa tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah maka akan memandang masalah sebagai ancaman bagi dirinya. Pada tahap ini, prajurit mengalami distress. Demikian pula sebaliknya, individu yang merasa mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dianggap penting baginya akan memandang permasalahan sebagai tantangan. Pada tahap ini, prajurit

mengalami eustress (Munandar, 2001 : 399-400 ; Schultz & Schultz, 2006 : 358).

Peraturan disiplin membuat prajurit tidak berani untuk mengatakan perasaan dan pikirannya pada atasan sehingga menimbulkan perasaan tertekan yang bersifat negatif. Perasaan tersebut dialihkan ke prajurit keluarga yang mempunyai kedudukan lebih lemah dari dirinya. Salah satu bentuk pengalihan perasaan tersebut ialah kekerasan dalam rumah tangga. Miller (dalam Krahe, 2005 : 56) menjelaskan bahwa frustrasi menyebabkan sejumlah respon yang berbeda, salah satunya yaitu agresi. Akan tetapi, munculnya agresi bergantung pada tujuannya. Krahe menambahkan (2005 : 56) bahwa takut akan hukuman dapat menghambat agresi sehingga seringkali agresi tersebut dialihkan dari penyebab agresi ke target yang mudah diakses atau kurang mengintimidasi (displacement aggresion). Hal ini didukung oleh meta-analisis Marcus-Newhall, Pedersen, Carlson dan Miller (dalam Krahe, 2005:56-57) yang menemukan hasil yang konsisten pada 49 penelitian mengenai pengalihan agresi dari sumber frustrasi ke target yang kurang kuat atau yang mudah diakses. Salah satu manifestasi dari agresi yaitu kekerasan dalam rumah tangga (Murpraptomo, 1992 : 7).

Pada hasil penelitian, usia pernikahan subjek rata-rata 6 bulan hingga 1,5 tahun. Dave (2008 :2) menjelaskan bahwa pada tahun-tahun awal pernikahan, individu sedang beradaptasi dengan pasangannya. Selanjutnya, Dave juga menjelaskan bahwa individu yang memasuki kehidupan pernikahan mempunyai persepsi dan harapan yang positif sehingga

menuntut pasangannya agar sesuai dengan harapan. Hal ini terkadang dapat memunculkan konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan psikologis yang dilakukan prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider cenderung tinggi. Namun demikian, kekerasan fisik, seksual dan finansial cenderung rendah. Hal ini dapat dikarenakan individu telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan perkawinan dan pasangannya.

Lebih lanjut lagi, hasil penelitian juga menunjukkan koefisien determinasi. Stres kerja memberikan sumbangan 65,2 % terhadap terjadinya kekerasan psikologis, 17,6 % terhadap kekerasan seksual, 10,3 % pada terjadinya kekerasan fisik dan 4,4 % terhadap terjadinya kekerasan finansial. Namun demikian, sumbangan 34,3 % pada kekerasan psikologis, 82,4 % terhadap kekerasan seksual, 75,3 % terhadap kekerasan finansial dan 89,7 % pada kekerasan fisik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.

Penelitian Haj-Yahia (2002:276) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga seperti ketidakpuasan perkawinan, rendahnya komitmen perkawinan dan pola komunikasi yang negatif. Hasil penelitian Haj-Yahia juga didukung oleh tesis yang dibuat oleh Netti Ginting (2006 : 17) yang hasilnya menyatakan bahwa ada hubungan antara pola komunikasi yang negatif dengan kekerasan terhadap istri. Selanjutnya, penelitian Utami (2005:16) juga menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh penyesuaian diri suami istri yang rendah, kurangnya kematangan sosial, sikap dan nilai serta pengaruh lingkungan sosial. Hal ini juga didukung oleh tesis yang dibuat

Sudaryana (2005 : 17) yang menjelaskan bahwa kekerasan terhadap istri dipengaruhi juga oleh rendahnya kepuasan perkawinan dan stabilitas perkawinan.

Lebih lanjut lagi, mean teoretis pada stres kerja dan kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan finansial lebih besar daripada mean empiriknya. Hal ini berarti stres kerja pada prajurit Yonif 400/Raider cenderung rendah. Begitu pula, kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan finansial yang dilakukan prajurit Yonif 400/Raider terhadap istrinya juga cenderung rendah. Namun demikian, mean empiris kekerasan psikologis lebih tinggi daripada mean teoritiknya. Hal ini berarti kekerasan psikologis pada prajurit TNI-AD di Yonif 400/Raider cenderung tinggi.

Hasil penelitian ada yang jauh berbeda dengan wawancara yang dilakukan pada subjek dan saat pengisian kuisioner. Peraturan disiplin menyatakan bahwa atasan mempunyai hak untuk memberi hukuman apabila prajuritnya melanggar disiplin militer yang telah ditetapkan (peraturan disiplin prajurit TNI, 2005 : 2) dilanjutkan May.Siswono (2005 : 28) yang menyatakan adanya kemungkinan terjadi penyimpangan disiplin karena pemimpin terkadang menyalahgunakan disiplin tersebut. Salah satu kemungkinan rendahnya tingkat kekerasan dalam rumah tangga pada subjek ini disebabkan karena adanya social desirability yang tinggi pada subjek. Prajurit merasa takut jika hasil pengisian kuisioner yang telah dikerjakan terbaca atau ketahuan oleh atasan dan atasan merasa marah kemudian menghukumnya. Namun demikian, peneliti telah berusaha mengatasi social

desirability ini dengan cara menyerahkan langsung kuisioner ke prajurit dan pada proses penelitian ini tidak dihadiri oleh atasan.

Rendahnya tingkat stres kerja dimungkinkan dapat terjadi karena adanya perbedaan pembinaan yang dilakukan oleh atasan. Pembinaan yang baik ini menghasilkan stres kerja dan kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung rendah juga.

Selain itu juga disebabkan karena disiplin dan profesionalisme yang telah melekat pada pribadi prajurit masing-masing sehingga melihat disiplin militer bukan sebagai distress melainkan sebagai eustress. Bilmenova (2006 : 11-12) menjelaskan bahwa lama bekerja berhubungan positif dengan komitmen. Komitmen berarti loyalitas dan hubungan yang aktif dengan organisasi. Maksudnya yaitu individu mempunyai tujuan untuk memberikan segala usaha demi keberhasilan organisasi yang bersangkutan karena individu sangat memikirkan dan mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Pada penelitian ini, prajurit rata-rata telah bekerja selama 6-10 tahun. Berarti prajurit telah memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan stressor di tempat kerjanya. Hal ini didukung oleh Ubaydilah (2008 : 3) yang menyatakan bahwa semakin baik kemampuan beradaptasinya maka semakin rendah tingkat stresnya.

BAB V