• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Landasan Teori

2.1. Cyberloafing

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing

Menurut Ozler dan Polat, (2012) Beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi perilaku cyberloafing terdiri dari faktor organisasi, faktor individual dan faktor situasional. Faktor individual yang berperan signifikan dalam membentuk perilaku

cyberloafing terdiri dari Personality trait, self control dan faktor demografi (Ozler

& Polat, 2012). Berikut faktor-faktor yang bisa dijelaskan menurut beberapa literatus yang digunakan sebagai sebagai prediktor yang dapat mempengaruhi

cyberloafing Seperti Faktor Personality trait, Faktor Self Control, Faktor

Demografi, Faktor Kecanduan Smartphone, Faktor Kebijakan Penggunaan Internet dan Komputer, Stres Kerja, Konflik Peran, Regulasi Diri, Burnout, Komitmen Pada Supervisor yang dijelaskan sebagai beriku:

1. Faktor Personality trait

Personality trait adalah atribut khas individu yang menampilkan individu berperilaku. Personality trait dapat memprediksi perilaku dan performa individu dalam konteks pekerjaan salah satunya adalah dimensi Big five personality trait. Dimensi Big five Personality trait memiliki hasil signifikan sebagai prediktor

cyberloafing. Bukti ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh

signifikan faktor big five personality trait terhadap cyberloafing, dimana dimensi

Openessto experience, Conscientiousness, Agreeableness memiliki hasil signifikan

negatif terhadap cyberloafing sedangkan dimensi Extraversion dan Neuroticism memiliki hasil signifikan positif terhadap cyberloafing. Artinya semakin tinggi dimensi extraversion dan neuriticism pada diri individu maka kecenderungan untuk melakukan cyberloafing semakin tinggi pula.

2. Faktor Self Control

Self control atau kendali diri merupakan kemampuan untuk membimbing tingkah

laku diri sendiri atau kemampuan untuk menghalangi tingkah laku impulsif (Chaplin, 2001). Self control membentuk faktor yang dapat mempengaruhi perilaku

cyberloafing. Penelitian yang dilakukan oleh Sari, (2014) terhadap pegawai di

perpustakaan negeri menemukan bahwa self control diprediksi kuat menjadi faktor yang berperan dalam mengurangi cyberloafing di tempat kerja. Artinya jika faktor

self control yang dimiliki oleh individu baik maka tindakan-tindakan

kontraproduktif seperti cyberloafing ditempat kerja dapat diminimalisir. 3. Faktor Demografi

Demografi adalah ilmu tentang populasi manusia dalam hal ukuran, kepadatan, lokasi, umur, jenis kelamin, ras, mata pencaharian, dan terkait data statistik lainnya (Kotler dan Armstrong dalam Sangadji & Sopiah, 2013). Penelitian menggunakan faktor demografi yang dilakukan oleh (Garret & Danziger, 2008) pada dimensi jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, status pekerjaan memiliki hasil yang signifikan sebagai faktor yang menentukan cyberloafing di tempat kerja. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Dursun et al., 2018) menemukan faktor bahwa laki-laki

cenderung lebih tinggi melakukan cyberloafing dalam tiga jenis yaitu pada aktivitas mengakses situs belanja online, mengakses konten online dan bermain game. 4. Faktor Kecanduan Smarthphone

Kecanduan smartphone (smartphone addiction) adalah penggunaan berlebih terhadap smartphone oleh individu akibat ketidakmampuannya untuk mengendalikan perilaku serta berdampak negatif dalam kehidupannya (Park dan Lee dalam Gokcearslanaet al., 2018). Hasil penelitian dengan menggunakan variable smartphone addiction yang dilakukan oleh Gokcearslana et al., (2018) menemukan hasil bahwa cyberloafing memiliki pengaruh signifikan dengan kecanduan smartphone. Sedangkan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sahin, et al.,(2016) menggunakan sampel mahasiswa menemukan bahwa durasi penggunaan internet dan kecanduan smartphone keduanya berdampak positif dengan perilaku

cyberloafing.

5. Faktor Kebijakan Penggunaan Internet dan Komputer

Kebijakan penggunaan internet dan komputer adalah peran organisasi dan

stakeholder dalam membuat batasan penggunaan internet dan komputer yang tidak

sesuai dengan fungsiya. Organisasi sebagai pembuat kebijakan berperan sebagai pemantau, penegak aturan dan pemberi sanksi terhadap perilaku indisipliner. Salah satu bentuk perilaku indisipliner di tempat kerja adalah penggunaan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi secara berlebihan (Ahmad & Jamaludin, 2015). Artinya, semakin organisasi memberikan batasan individu untuk memanfaatkan fasilitas kantor yang tidak sesuai fungsinya maka peluang untuk melakukan aktivitas kontraproduktif di tempat kerja semakin kecil. Asumsi ini didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Ahmad dan Jamaluddin, (2015) pada 347 pegawai di 6 lembaga kementerian ditemukan bahwa kebijakan pembatasan penggunaan internet dan komputer di tempat kerja berperan sebagai pengendali individu untuk tidak berselancar dan bersenang-senang di dunia maya dengan fasilitas internet organisasi.

6. Stres Kerja

Stres adalah reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi saat tujuan individu mendapat halangan dan tidak ada solusi untuk mengatasinya (Baron dan Greenberg dalam Margiati, 1999). Stres kerja merupakan tanggapan patologis individu terhadap tekanan psikologis dan sosial dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar (Margiati, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh (Oktapiansyah, 2018) dengan menggunakan variabel stress kerja pada karyawan bank ditemukan signifikan terhadap cyberloafing. Hasil penelitian ini mengartikan bahwa semakin tinggi stress kerja individu semakin tinggi pula cyberloafing yang dilakukan di tempat kerja.

7. Regulasi Diri

Regulasi Diri (Self Regulation) adalah sebuah proses individu untuk berusaha mengontrol segala pikiran, perasaan dan impuls yang dirasakannya (Hefferon & Boniwell, 2011). Regulasi diri berperan sebagai pencegah perilaku cyberloafing. Penelitian yang dilakukan oleh (Anugrah & Margaretha, 2013) dengan menggunakan variabel Regulasi diri terhadap mahasiswa ditemkan berpengaruh secara signifikan dengan cyberloafing.

8. Konflik Peran

Konflik peran dapat dijelaskan sebagai tingkat ketidaksesuaian antara tugas, sumber daya manusia, peraturan atau kebijakan dan orang. Pegawai yang terlibat dalam Kondisi ini dituntut menghadapi berbagai harapan peran (Robbins dalam Runing S. & Cahyadin, 2012). Konflik peran mengakibatkan karyawan berada pada situasi dengan dua harapan yang bertentangan. Penelitian yang dilakukan oleh (K, Parawansa, & Jusni, 2019) menggunakan variabel role conflict untuk mengukur

cyberloafing. Variabel role conflict berpengaruh secara positif dan signifikan

dengan cyberloafing. Artinya, jika semakin tinggi role conlict yang dirasakan oleh pegawai maka semakin tinggi pula cyberloafing yang dilakukan.

9. Burnout

Salah satu permasalahan dalam dunia kerja adalah kelelahan emosional, mental, fisik yang disebabkan oleh stress berkepanjangan dalam pekerjaan. Istilah ini disebut dengan Burnout yaitu istilah psikologis yang digunakan untuk menggambarkan perasaan gagal dan lesu akibat tuntutan yang menguras kemampuan energi individu. Istilah burnout dikenalkan pertama kali oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Burnout digambarkan seperti bangunan megah dan indah yang sibuk dengan aktivitas didalamnya, namun kemudian bagian dalam bangunan terbakar hangus dan kosong. Begitupun dengan individu yang terdampak

burnout, jika dilihat dari tampilan fisik tidak ditemukan masalah. Namun, pada

hakikatnya individu yang mengalami burnout merasa kacau secara psikologis (Gehmeyr dalam Hardiani, Rahardja, & Yuniawan, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Hardiani, Rahardja dan Yuniawan, ( 2017) mengukur variabel burnout pada cyberloafing kepada 150 orang pegawai PT. PLN (Persero). Hasilnya, variabel burnout berpengaruh secara signifikan terhadap

cyberloafing. Jadi, secara tidak langsung kelelahan kerja akibat stress

berkepanjangan memiliki dampak kepada individu untuk berbuat cyberloafing. 10. Komitmen Pada Supervisor

Komitmen pada supervisor tidak dijelaskan secara spesifik dalam literatur dan tidak banyak riset yang dilakukan selama ini. Namun Menurut Chen, Tsui dan Farh (2002) komitmen pada supervisor mengacu pada identifikasi, keterikatan, dan dedikasi bawahan untuk terlibat pada supervisor atau organisasi. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Sawitri, (2012) dengan menggunakan variabel Komitmen pada atasan ditemukan berpengaruh secara negatif. Hasil penelitian ini memberi arti, jika komitmen pegawai pada atasan semakin tinggi maka perilaku cyberloafing di tempat kerja semakin rendah.

2.2 Big Five Personality Trait

Dokumen terkait