• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAIT, SELF CONTROL DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP CYBERLOAFING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAIT, SELF CONTROL DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP CYBERLOAFING"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh :

Lukas Liani

NIM: 11150700000063

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAIT, SELF CONTROL

DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP CYBERLOAFING

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh: Lukas Liani NIM: 11150700000063

Pembimbing

Drs. Akhmad Baidun, M.Si NIP. 196408142001121001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TRAIT, SELF CONTROL DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP CYBERLOAFING” telah diajukan dalam siding munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana psikologi (S.Psi) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 20 Juli 2020 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Wakil/

Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota

Dr. Zahrotun Nihaya, M.Si Bambang Suryadi, Ph.D

NIIP.19620724198903 2 001

Anggota

Desi Yustari Muchtar, M.Psi.,Psikolog Miftahudin, M.Psi

NIP. 198212142008012006 NIP. 197303172006041001

Drs. Akhmad Baidun, M.Si NIP.19640814200112 1 001

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa;

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 Juli 2020

Lukas Liani

(5)

v MOTTO

SEBAIK – BAIK MANUSIA ADALAH YANG

PALING BERMANFAAT UNTUK SESAMA

(6)

vi ABSTRAK A) Fakultas Psikologi

B) Juli 2020 C) Lukas Liani

D) Pengaruh Big Five Personality Trait, Self Control dan Faktor Demografi Terhadap

Cyberloafing

E) Xxx + 103 halaman + lampiran

F) Cyberloafing adalah penggunaan teknologi mobile dan internet untuk keperluan pribadi selama jam kerja. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perilaku

cyberloafing terjadi di tempat kerja diantaranya faktor big five personality trait, self

control dan faktor demografi. Untuk itu, Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh big five personality trait, self control dan faktor demografi terhadap

cyberloafing.

Populasi Penelitian menggunakan Pegawai PT. Bank X sekitar 27.211 yang tersebar di seluruh Indonesia . Karakteristik Populasi penelitian ini yaitu: (1) Pegawai PT. Bank X pria atau wanita (2) berusia (18-60) tahun (3) Menggunakan Akses Internet Kantor (4) Aktif menggunakan internet saat bekerja. Sampel Penelitian sebanyak 206 responden. Metode dan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

non-probability sampling dan accidental sampling. Alat ukur yang gunakan untuk

mengukur cyberloafing adalah skala cyberloafing scale yang telah dikembangkan oleh Blanchard dan Henle (2008) dan dimodifikasi menjadi 48 item. Big Five

Personality Trait menggunakan alat ukur The Big Five Personality yang

dikembangkan oleh Oliver P . John (2009). Self Control diukur dengan menggunakan Skala Self Control yang mengadaptasi dimensi teori Averill (1973). Sedangkan, Pengukuran Demografi didapatkan dari identitas responden.

Uji Validitas alat ukur penelitian menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan bantuan Lisrel 7.8. Pengujian hipotesis menggunakan analisis regresi berganda dengan bantuan Software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh Big Five Personality Trait, Self Control dan Faktor Demografi terhadap Cyberloafing sebesar 21,1%. Koefisien regresi yang telah diuji pada seluruh variabel, terdapat 3 variabel yang berpengaruh secara signifikan yaitu Extraversion,

Neuroticism dan Usia.

Kata Kunci: Cyberloafing, Big Five Personality Trait, Self Control, Faktor Demografi

(7)

vii Abstrack

A) Faculty of Psychology B) Juli 2020

C) Lukas Liani

D) Effect of Big Five Personality Trait, Self Control and Demography Factor on Cyberloafing

E) Xxx + 103 page + attachment

F) Cyberloafing is the use of mobile technology and the internet for personal use during working hours. There are many factors that influence cyberloafing behavior in the workplace, including the big five personality trait, self-control and demographic factors. This study aims to examine the effect of big five personality traits, self-control and demographic factors on cyberloafing.

Research using employees of PT. Bank X is around 27,211 spread throughout Indonesia. Characteristics of the population of this study are: (1) Employees of PT. Bank X male or female (2) aged (18-60) years (3) Using Office Internet Access (4) Actively using the internet while working. The research sample was 206 respondents. The sampling method and technique used are non-probability sampling and accidental sampling. The measuring instrument used to measure cyberloafing is the cyberloafing scale which has been developed by Blanchard and Henle (2008) and modified into 48 items. Big Five Personality Trait uses the measuring tool The Big Five Personality developed by Oliver P. John (2009). Self Control is measured using the Self Control Scale which adapts the dimensions of Averill's theory (1973). Meanwhile, Demographic Measurement is obtained from the identity of the respondent.

Test the validity of the research measuring instrument using Confirmatory Factor Analysis (CFA) with the help of Lisrel 7.8. Hypothesis testing uses multiple regression analysis with the help of SPSS software. The results showed that there was an influence of the Big Five Personality Trait, Self Control and Demographic Factors on Cyberloafing by 21.1%. The regression coefficient that has been tested on all variables, there are 3 variables that have a significant effect, namely Extraversion, Neuroticism and Age.

Keyword: Cyberloafing, Big Five Personality Trait, Self Control, Demography Factor

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang tiada henti-hentinya memberikan nikmat dan limpahan keberkahan yang senantiasa Penulis rasakan. Salah satu ni’mat yang penulis rasakan adalah dapat menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Jujungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, keluarga serta para umatnya illa yaumul akhir. Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad

wa’ala sayyidina Muhammad.

Skripsi ini dapat terwujud dan terselesaikan pada waktunya bukanlah hasil seorang diri, melainkan banyak pihak yang terlibat dalam proses penyelesaiannya. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu selesainya skripsi ini. Terutama penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si, Selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Bapak Drs. Akhmad Baidun M.Si Selaku Dosen Pembimbing yang penuh dengan kesabaran telah meluangkan waktu, ilmu, saran, motivasi dan kritik yang membangun sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas ilmu dan nasihat yang telah diberikan. Semoga Allah SWT memberikan pahala kebaikan yang terus mengalir. Aamiin

3. Dosen Pembimbing Akademik, Ibu Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si yang telah membimbing dan memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang sudah memberikan ilmu yang bermanfaat dan bantuan dalam menyelesaikan keperluan akademik.

5. Kedua Orang tua, adik dan keluarga tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan selama penyusunan skripsi baik itu berupa moril, materil dan mental spiritual.

6. Pimpinan dan Seluruh Jajaran Pejabat PT. Bank X yang telah mengizinkan penulis mengambil sampel di tempatnya. Terima Kasih yang tak terhingga kepada Chief

Executif Officer (CEO), Kepala Sumber Daya Manusia (SDM) dan Pimpinan Unit Research and Development (R&D). Seluruh Pegawai PT. Bank X yang telah

meluangkan waktunya untuk mengisi butir-butir item kuesioner serta dukungannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini bisa selesai.

7. Pusat Karir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Forum Human Capital Indonesia (FHCI) yang sudah

(9)

ix

memberikan kesempatan kepada penulis mengikuti Program Magang Bersertifikat BUMN. Pengalaman magang selama 6 bulan di BUMN sangat memberikan pelajaran yang sangat berharga.

8. Bidikmisi UIN Jakarta yang sudah memberikan kesempatan menempuh pendidikan S-1 Psikologi di UIN Jakarta dengan beasiswa.

9. Pak Dr. Abdul Rahman Harahap, M.T, C.T yang senantiasa memotivasi penulis agar segera lulus dari kampus ini.

10. Keluarga Besar Yayasan Pendidikan dan Sosial Indonesia Maju (YPSIM) Banten Kang Asep Nugraha, Abdul Rosid, Uu Suhendar dan seluruh Tim Penerbit YPSIM. Terima kasih atas dukungannya.

11. Keluarga Besar Annaz Julian yang sudah memberikan kesempatan untuk tinggal di kediamannya selama penyusunan skripsi. Terima kasih kepada Mas Toyib, Bu Le’ Ana yang sudah menerima selama penyusunan skripsi berlangsung.

12. Sahabat Penulis selama menempuh studi di Ciputat yang Penulis Sayangi, Annaz Julian, Haidar Rasyid, Widad Maulana, Reza Yudiansyah, Lathifah Azizah, Robi Sugara, Kak Ifa, Kak Nuris, Kang Mamen, Kang H. Ridwan, Bang Dodi dan Kang Zemi, Yoga Aditama, Fariz Fadhillah, Dhea Hayatin, Fathya Rizkillah, Bang Habibullah

13. Teman-teman Seperbimbingan Kindy Islamiaty, S.Psi, Raditio Andaru, S.Psi dan Kak Siti Rosidah Amalia, Rahma Ayu Fajar Riany, Yossi Amelia, Chorunniza Zakiyah Azahidah (Choi).

Jakarta, 20 Juli 2020

(10)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL………. ii

LEMBAR PENGESAHAN……… iii

LEMBAR PERNYATAAN……… iv

MOTTO……….. v

ABSTRAK………. vi

ABSTRACK……… vii

KATA PENGANTAR……… viii

DAFTAR ISI……….. x

DAFTAR TABEL……….. xiii

DAFTAR GAMBAR………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xv

BAB 1 Pendahuluan ………. 1

1.1. Latar belakang masalah……… 1

1.2. Pembatasan dan perumusan masalah……… 11

1.2.1. Pembatasan masalah………. 11

1.2.2. Perumusan masalah……….. 12

1.3. Tujuan dan manfaat penelitian……….. 13

1.3.1. Tujuan penelitian……….. 13

1.3.2. Manfaat penelitian……… 14

BAB 2 Landasan Teori……….. 15

2.1. Cyberloafing ……… 15

2.1.1. Definisi Cyberloafing……… 15

2.1.2. Dimensi Cyberloafing ………. 17

2.1.3. Pengukuran Cyberloafing ……… 18

2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing………… 19

2.2. Big Five Personality Trait ……… 24

2.2.1. Definisi Big Five Personality Trait ……….. 24

2.2.2. Dimensi Big Five Personality Trait ………. 27

2.2.3. Pengukuran Big Five Personality Trait ……… 30

2.2.4. Pengaruh Big Five Personality Trait terhadap Cyberloafing. 31 2.3. Self Control……… 32

2.3.1. Definisi Self Control ………. 32

2.3.2. Dimensi Self Control……….. 35

2.3.3. Pengukuran Self Control……… 36

2.3.4. Pengaruh Self Control terhadap Cyberloafing………... 37

2.4. Demografi……….. 37

2.4.1. Definisi demografi………. 37

2.4.2. Dimensi demografi………. 38

2.4.2.1. Jenis kelamin ………... 39

2.4.2.2. Usia……….. 39

2.4.3. Skoring variabel jenis kelamin……….. 40

2.4.4. Skoring variabel usia………. 40

2.4.5. Pengaruh Demografi terhadap Cyberloafing ……… 41

(11)

xi

2.6. Hipotesis Penelitian……….. 48

BAB 3 Metode Penelitian ……….. 50

3.1. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel……… 50

3.1.1. Populasi ……… 50

3.1.2. Sampel ………. 50

3.1.3. Teknik pengambilan sampel………. 50

3.2. Variabel Peneltian dan Definisi Operasional ……….. 51

3.2.1. Variabel penelitian……… 51

3.2.2. Definisi operasional……….. 52

3.2.2.1. Cyberloafing……… 52

3.2.2.2. Big Five Personality Trait ………. 52

3.2.2.3. Self Control …………..……… 54

3.2.2.4. Variabel Demografi…..……….. 55

3.3. Variabel penelitian dan Definisi Operasional……….. 56

3.3.1. Cyberloafing ………. 57

3.3.1.1. Alat ukur penelitian ……… 57

3.3.1.2. Skoring……… 58

3.3.2. Big five personality trait ……….. 59

3.3.2.1. Alat ukur penelitian ……… 59

3.3.2.2. Skoring ……….. 59

3.3.3. Self Control ……….. 60

3.3.3.1. Alat ukur penelitian ……… 60

3.3.3.2. Skoring ……….. 61

3.3.4. Demografi ……… 62

3.3.4.1. Jenis kelamin ………. 62

3.3.4.2. Skoring Jenis Kelamin ……….. 62

3.3.4.3. Usia….. ………. 62

3.3.4.4. Skoring Usia ……….. 63

3.4. Uji Validitas ……… 63

3.4.1. Uji Validitas Konstruk Cyberloafing ……….. 64

3.4.2. Uji Validitas Konstruk Big Five Personality Trait………… 66

3.4.3. Uji Validitas Konstruk Self Control ………. 72

3.4.4. Coding Variabel Jenis Kelamin ………. 74

3.4.5. Coding Variabel Usia ………... 74

3.5. Teknik Analisis Data……….. 75

3.6. Prosedur Penelitian………. 76

Bab 4 Hasil Penelitian ………... 78

4.1 Gambaran Subjek Penelitian………. 78

4.2 Hasil Analisis Deskriptif……….. 79

4.3 Kategorisasi Skor Variabel Penelitian ………. 81

4.4 Uji Hipotesis Penelitian……… 82

4.1.1. Analisis Regresi Variabel Penelitian……… 82

4.5 Proporsi Varian……… 90

Bab 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran ……… 93

5.1. Kesimpulan……….. 93

(12)

xii

5.3. Saran……… 96

5.3.1. Saran Teoritis……… 96

5.3.2. Saran Praktis……… 97

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. The Big Five Factors of Personality ……..……….. 30

Tabel 3.1. Blue Print Skala Cyberloafing……….……….. 58

Tabel 3.2. Blue Print Skala Big Five Personality Trait ………. 59

Tabel 3.3. Blue Print Skala Self Control ………... 63

Tabel 3.4. Muatan Faktor item cyberloafing……….. 65

Tabel 3.5 Muatan Faktor item openness to experience……….. 67

Tabel 3.6 Muatan Faktor conscientiousness……… 68

Tabel 3.7 Muatan Faktor extraversion ……….. 70

Tabel 3.8 Muatan Faktor Agreeableness………. 71

Tabel 3.9 Muatan Faktor Neuroticism……….... 72

Tabel 3.10 Muatan Faktor variabel self control ………. 73

Tabel 3.11 Coding Jenis Kelamin……….. 74

Tabel 3.12 Coding Variabel Usia……….. 74

Tabel 4.1. Gambaran Umum Subjek………. 78

Tabel 4.2. Tabel Analisis Deskriptif……….. 80

Tabel 4.3. Norma Kategorisasi Skor Variabel Penelitian………... 81

Tabel 4.4 Presentase Kategorisasi Skor Tiap Variabel………... 81

Tabel 4.5 Model Summary Analisis Regresi………. 83

Tabel 4.6 ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV……… 84

Tabel 4.7 Koefisien Regresi……….. 85

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian……… 105 Lampiran 2 Syntax dan Path Diagram……… 111 Lampiran 3 Output Regresi………. 120

(16)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Cyberloafing merupakan tantangan baru dalam dunia kerja. Fenomena cyberloafing

muncul terutama dalam organisasi yang menggunakan fasilitas internet sebagai penunjang semua aktivitas kerjanya (Abdullah et al., 2014). Cyberloafing terjadi ketika fasilitas internet yang disediakan oleh organisasi dimanfaatkan secara pribadi oleh individu untuk aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Aktivitas cyberloafing umumnya dilakukan untuk kegiatan hiburan individu pada saat waktu kerja (Blanchard & Henle, 2008).

Cyberloafing dianggap kontraproduktif ditempat kerja karena bertolak

belakang dengan tujuan utama dalam organisasi . Perilaku kontraproduktif individu dikatakan sebagai tindakan indisipliner dan tidak menaati etika organisasi. Tindakan kontraproduktif dalam organisasi mengandung resiko bagi anggota, sebab dapat menyalahi aturan dan tata tertib dalam organisasi. Tindakan kontraproduktif yang dapat dilihat, seperti melakukan browsing dan e-mailing dengan fasilitas organisasi atau di lingkungan organisasi. Perilaku kontraproduktif

cyberloafing bila dibiarkan dalam waktu lama dapat melalaikan tugas dan tanggung

jawab utama individu dan berdampak pada kinerjanya (Lim & Chen, 2012). Potensi fasilitas internet dapat dimaksimalkan dalam rangka menciptakan kinerja dan memobilisasi semua kegiatan yang berbasis e-government yang saat ini sedang dicanangkan. Keberadaan internet membantu banyak kegiatan berbasis bisnis dan

(17)

meminimalisasi biaya seperti, memperpendek siklus pemasaran produk dengan biaya minimal dalam organisasi (Anandarajan et al., 2000). Sumber daya internet dapat teroptimalisasi dengan baik dan sistem organisasi menjadi lebih berintegritas.

Organisasi dengan kemudahan koneksi internet dan berbasis sistem informasi data online yang terkoneksi dengan data berbasis internet dan web dengan kemudahan bertujuan untuk melakukan perubahan dengan cepat menggunakan metode teknologi yang terhubung dengan internet. Manajemen organisasi dapat dengan mudah dikendalikan lewat teknologi informasi dan organisasi bisa bersaing sesuai kebutuhannya. Tuntutan persaingan industri dibentuk melalui perilaku setiap Individu dalam organisasi supaya menyesuaikan dengan kebutuhan manajemen organisasi. Upaya demikian dilakukan untuk mengoptimalisasi Sumber daya yang tersedia, baik berupa peralatan internet yang canggih maupun Sumber Daya Manusia yang kompeten (Rivai, 2003).

Menetapkan kebijakan dengan menggunakan teknologi internet dalam manajemen organisasi hal ini tidak lain untuk meningkatkan produktivitas organisasi untuk melayani setiap kebutuhan pelanggan dengan efisien dan cepat, mendapatkan solusi dengan cepat dari permasalahan yang ada pada organisasi. Begitupun Pemberian Fasilitas internet kepada pegawai tujuannya untuk meningkatkan keuntungan (profitabilitas) yang baik pada proses bisnis sesuai tujuan awal yang telah ditetapkan organisasi (Sastrohadiwiryo, 2001). Perkembangan teknologi internet yang semakin canggih tidak menutup kemungkinan meningkatnya persaingan dan perubahan cepat pada ekonomi global

(18)

multi nasional karena kemudahan transformasi data dan komunikasi yang modern, mudah dan murah (Çınar & Karcıoğlu, 2015).

Revolusi Industri 4.0 menuntut segala aktivitas pekerjaan terkoneksi dengan jaringan internet. Akibatnya segala perusahaan Platform Teknologi mengahadirkan segala macam peralatan canggih seperti, tablet, smarthphone, computer yang menyebar luas dalam dunia inudtri. Teknologi internet menjadi sebuah keunggulan karena memberi kemudahan aktivitas bagi anggota yang bekerja didalamnya (Çınar & Karcıoğlu, 2015).

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan kantor merupakan suatu potensi yang dapat digunakan untuk mencapai keunggulan kompetitif Organisasi (Sugiarto & Wahyono, 2014). Kehadiran Internet dalam dunia Industri seharusnya dapat memberikan produktivitas dan kinerja terbaik organisasi. Namun kenyatannya menghadapkan organisasi terhadap perilaku kontraproduktif anggota organisasi dengan penyalahgunaan fungsi internet untuk kerpeluan yang tidak seharusnya dalam pekerjaan atau disebut dengan cyberloafing (Lim, 2002). Cyberloafing juga bisa dikatakan penggunaan fasilitas Organisasi seperti komputer dan internet untuk aktivitas yang tidak produktif namun tidak merusak organisasi (Ahmad & Omar, 2017).

Beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori cyberloafing diantaranya:

chatting, bermain game online, berkirim e-mail, belanja online dan melihat media online (Ahmad & Omar, 2017). Beberapa penelitian menyebutkan perilaku cyberloafing disebut sebagai perilaku menyimpang. Dampak kerugian yang

(19)

Organisasi seperti; kehilangan jumlah bandwith internet yang besar, ancaman infeksi virus komputer dan berpotensi melanggar hukum (Lim, 2002). Oleh sebab itu, dapat dikatakan karyawan yang melakukan cyberloafing mengambil keuntungan dari organisasi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap organisasi.

Sebuah artikel yang dimuat pada sebuah media di Afrika menyebutkan dampak kerugian kegiatan cyberloafing bila dikonversikan ditaksir bisa mencapai jutaan Rupiah. Namun, keadaan ini sulit untuk diperkirakan karena minimnya informasi tentang praktek cyberloafing di tempat kerja. Fenomena kerugian

cyberloafing umumnya terutama dialami oleh perusahaan yang bergerak dalam

bidang informatika yang notabene memiliki akses internet penuh (Benjamin, 2011). Metode pengurangan cyberloafing dapat diatasi dengan memasang perangkat pemantau aktivitas berbasis web, akan tetapi upaya ini membuat individu terganggu privasinya dan menciptakan lingkungan kerja yang kurang nyaman bagi setiap Individu (Republika, 2017).

Fenomena Cyberloafing terjadi pada pegawai di kantor wilayah Bank X yang terhubung dengan jaringan internet. Hasil Pengamatan yang dilakukan selama proses magang pada 13 Agustus 2019 sampai 1 November 2019 yang tersebar di Salah salah satu kantor wilayah menemukan sebagian pegawai yang terlihat santai dan tidak ada aktivitas yang dikerjakan di kantor terlibat dalam cyberloafing. Pegawai yang masuk dalam lingkungan kerja diketahui juga tidak diberikan batasan membawa dan menggunakan teknologi mobile seperti smartphone dan

(20)

pegawai seperti, menonton youtube di handphone dan laptop, membuka media sosial, membaca berita online dan melakukan chatting saat jam kerja.

Tema Penelitian lebih mefokuskan pada perilaku cyberloafing di tempat kerja. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJI) tahun 2017 yang mencatat pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 54,68% dari total 262 juta jiwa penduduk Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 143,26 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna Internet (Apji, 2017). Fasilitas internet yang disediakan oleh organisasi berupa hotspot atau jaringan nirkabel yang bisa diakses oleh semua perangkat baik berupa smartphone maupun laptop. Namun fasilitas yang seharusnya disediakan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan menambah wawasan skill kerja seringkali disalahgunakan untuk kepentingan pribadi seperi untuk memeriksa

e-mail, chatting, berbelanja online, mengunduh file membaca berita online atau blog

atau kegiatan lain yang tidak relevan dengan pekerjaan aktivitas ini lebih mungkin terjadi di laboratorium atau tempat yang terkoneksi langsung dengan internet (Varol & Yıldırım, 2017).

Fakta cyberloafing sejalan dengan temuan hasil penelitian Ardilasari dan Firmanto, (2017) pada 90 orang Pegawai Negeri Sipil di beberapa instansi milik Pemerintah daerah di kota Malang seperti pada Dinas Pertanian, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, Dinas Kesehatan dan Dinas Kepemudaan dan Olahraga yang menemukan 80% Pegawai Negeri lebih terlibat dalam minor cyberloafing sedangkan 20% lainnya terlibat dalam kategori serious cyberloafing.

(21)

Minor cyberloafing dapat diartikan Mengakses konten internet ringan dalam

rangka memanfaatkan fasilitas internet adalah seperti mengirim dan menerima

e-mail pribadi, mengunjungi situs olahraga, memperbarui status jejaring social media

(seperti facebook dan twitter) dan belanja online (e-commerce) sedangkan akvititas yang dikategorikan dalam serious cyberloafing adalah segala aktivitas internet yang mengarah kepada penggunaan internet beresiko dan berbahaya. Kegiatan yang termasuk dalam serious cyberloafing adalah judi online, mengelola situs pribadi, serta membuka situs yang mengandung pornografi (Blanchard & Henle, 2008).

Kegiatan cyberloafing dalam batas yang wajar masih dapat dimaklumi karena memberikan manfaat terhadap individu. Cyberloafing yang dilakukan ditempat kerja bagi individu memiliki manfaat untuk memaksimalkan potensinya menjadi lebih kreatif (Blanchard & Henle, 2008). Penelitian lain menyebutkan peningkatan 1 jam dalam cyberloafing untuk kegiatan pendidikan akan meningkatkan individu lebih produktif sampai tiga kali lipat (Saleh et al., 2018). Pindek et al. (2018) memberikan argumentasi bahwa kegiatan cyberloafing yang dilakukan ditempat kerja sebagai bentuk mekasime coping dari keadaan jenuh dalam bekerja.

Fakta cyberloafing tidak berbanding lurus dengan kemungkinkan yang timbul dalam organisasi hal ini karena beresiko besar bagi organisasi (Oosthuizen et al., 2018). Resiko dampak negatif yang mungkin muncul bagi Organisasi seperti: mengurangi kinerja, melalaikan kewajiban kerja, kinerja sistem jaringan terdegradasi, sumber daya komputasi berlebih dan kecepatan bandwith menurun. Potensi perbuatan berbahaya lain yang muncul bagi individu adalah melakukan

(22)

pelanggaran hukum atau tindak pidana (Blanchard dan Henle dalam Budiana, 2018).

Selain itu, potensi kerugian lain yang dapat terjadi dalam organisasi seperti pemborosan modal, baik finansial maupun waktu. Hasil Penelitian Paulsen di Amerika menemukan bahwa cyberloafing menurunkan produktivitas sekitar 30% - 40% akibatnya Organisasi mengalami kerugian sebesar 544 Milyar (Paulsen, 2015). Hal ini terjadi karena individu melakukan cyberloafing dalam satu bulan dapat mengorupsi waktu kerja hingga lebih dari satu jam dalam sehari atau sama seperti 2,5 hari jam kerja penuh (Antariksa, 2012).

Beberapa penelitian yang telah diulas mengatakan Cyberloafing dapat dianggap sebagai salah satu perilaku yang menyimpang di tempat kerja. perilaku ini merefleksikan berbagai macam motif psikologis. Terdapat Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing pegawai di tempat kerja diantaranya adalah faktor Organisasi, faktor situasi dan faktor Individual (Ozler & Polat, 2012). Menurut Ozler & Polat, (2012) Diantara faktor Individual penyebab munculnya perilaku cyberloafing ialah Personality trait, self control dan demografi.

Salah satu variabel yang memiliki hubungan dengan perilaku cyberloafing adalah kepribadian atau personality trait. Menurut Ones et al., (dalam Jia, Jia, & Karau, 2013) Personality trait adalah atribut individu yang secara konsisten membedakan individu satu sama lain dalam hal kecenderungan dasar berpikir, merasakan, dan bertindak dengan cara tertentu. Dengan kata lain, Personality trait merupakan persepsi yang mencerminkan kondisi pikiran individu terhadap stimulus dan representasi tindakannya terhadap stimulus yang datang.

(23)

Menurut Tresyagati (2014) dari hasil penelitiannya mengenai Big Five

Personality Trait terhadap minor cyberloafing pada pegawai pajak menunjukkan

hasil yang signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Personality trait diprediksi menjadi prediktor kuat yang menyebabkan perilaku cyberloafing. Penelitian yang dilakukan oleh Jia et al., (2013) menemukan bahwa dimensi

extroversion dari variabel Big five personality trait memiliki hasil signifikan dan

positif dengan perilaku cyberloafing sehingga dalam hal ini perilaku cyberloafing dapat dipengaruhi oleh faktor kepribadian atau personality trait.

Penelitian dengan menggunakan prediktor dimensi Big Five Personality

Trait menjadi penjelas terhadap konseptual sifat-sifat domain yang spesifik seperti

bermain-main komputer milik organisasi erat kaitannya dengan dimensi openess to

experience (Jia & Jia, 2015). Sementara itu, Abdullah et al., (2014) melalui

penelitiannya menemukan hasil bahwa conscientiousness dan agreeableness memiliki hasil yang signifikan dan negatif terhadap cyberloafing sehingga dua dimensi dari variabel Big Five Personality Trait ini sebagai prediktor pengurang tendensi cyberloafing.

Variabel self control diperkirakan menjadi prediktor yang menyebabkan Individu melakukan cyberloafing pada organisasi. Menurut Chaplin, (2001)

Self-Control merupakan kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri atau

kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls atau tingkah laku impulsif.

Self-control ada dalam individu sebagai pengendali individu dari tindakan yang

tidak menguntungkan individu di masa depan. Self control erat kaitannya dengan mengarahkan individu kepada perilaku-perilaku yang positif. Oleh karena

(24)

cyberoafing adalah tindakan kontraproduktif dan bertolak belakang dengan

perilaku positif individu maka self control berperan sebagai pembimbing perilaku individu dari perbuatan yang tidak produktif.

Self control merupakan faktor terpenting yang harus diminimalisir untuk

menurunkan aktivitas cyberloafing di tempat kerja (Ramadhan & Diah Sari, 2018). Menurut Sari (2014) dari hasil peneletiannya pada Pegawai Perpustakaan menemukan variabel Self control berpengaruh negatif dengan perilaku cyberloafing yang artinya semakin tinggi self contol maka semakin rendah cyberloafing. Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan jika individu memiliki self control rendah maka kemungkinan besar individu cenderung tinggi dalam melakukan

cyberloafing.

Begitupun hasil penelitian Ardilasari dan Firmanto (2017) terhadap self

control dan cyberloafing pada Pegawai Negeri Sipil di beberapa Dinas di

Kabupaten Malang menemukan hasil signifikan dan negatif. Semakin tinggi self

control maka semakin rendah tindakan cyberloafing pada individu di tempat kerja.

Perilaku kontraproduktif seperti cyberloafing ditempat kerja kemunculannya dimungkinkan berpengaruh terhadap kinerja pegawai yang akhirnya berdampak kepada kepuasan hasil kerja (Ardilasari & Firmanto, 2017).

Variabel lain yang turut memberikan pengaruh terhadap perilaku

cyberloafing di tempat kerja adalah demografi. Penelitian yang dilakukan oleh

(Azzahra, 2018) dengan menggunakan dimensi jenis kelamin dari variabel demografis pada mahasiswa tidak menemukan hasil yang signifikan dengan perilaku cyberloafing. Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Özcan

(25)

et al., (2017) pada 287 mahasiswa program sarjana yang studi di Fakultas Pendidikan, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Administrasi di Universitas Negeri menemukan hasil bahwa Mahasiswa Laki-laki lebih tinggi dalam melakukan cyberloafing daripada perempuan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Garret dan Danziger, (2008) dengan menggunakan dimensi Status pekerjaan, Pendapatan dan Pendidikan ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cyberloafing di tempat kerja.

Penelitian dengan tema cyberloafing sudah pernah dilakukan pada beberapa instansi pemerintah. Penelitian ini mengangkat cyberloafing pada pegawai Bank. Hal ini dikarenakan Pegawai Bank memiliki tanggung jawab kerja yang tinggi dan memiliki bertanggung jawab terhadap data nasabah dan perusahaan. Oleh karena itu, studi cyberoafing pada pegawai bank perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dan mencegah kerugian bagi pegawai dan bagi perusahaan.

Berdasarkan uraian latar belakang maka penelitian ini hendak mengkaji pengaruh dari lima dimensi dalam Big Five Personality Trait yang dikemukana oleh Soto dan John, (2009) terdiri dari Pribadi yang terbuka terhadap pengalaman (Openess to experience), Pribadi yang patuh atau disiplin diri (Conscientiousness), Pribadi yang hangat menjalin hubungan sosial (Extraversion), Pribadi yang ramah

(Agreeableness) dan Pribadi yang pencemas (Neuroticism). Tiga dimensi self contol yang dikemukakan oleh (Averill, 1973) terdiri dari kontrol perilaku (Behavioral control), kontrol kognitif (Cognitive control), kontrol keputusan (Decisional Control). Tiga dimensi dari variabel demografi yang terdiri dari jenis

(26)

kelamin dan usia terhadap perilaku cyberloafing. Oleh Karena itu, penelitian ini berjudul “Pengaruh Big Five Personality Trait, Self Control dan Faktor Demografi terhadap Cyberloafing”

1.2 Pembatasan dan perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Terdapat banyak variabel yang mempengaruhi perilaku cyberloafing pada karyawan, namun untuk memfokuskan masalah penelitian ini adalah Big Five

Personality Trait, Self Control, dan variabel Demografi. Perincian masalah ini

untuk menghindari ketidakjelasan dan meluasnya permasalahan dalam penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan batasan konsep sebagai berikut :

1. Cyberloafing adalah Penggunaan secara pribadi e-mail dan internet selama bekerja.

2. Openess to experience adalah dimensi Big Five Personality yang ada pada individu secara konsisten menelusuri pengalaman yang berbeda dengan beragam dengan hal baru.

3. Conscientiousness adalah dimensi Big Five Personality yang menggambarkan individu teratur terkontrol, terorganisasi, ambisius, fokus pada pencapaian dan memiliki disiplin diri.

4. Extraversion adalah dimensi Big Five Personality yang memiliki sifat semangat, antusias, dominan, mudah bergaul, ramah dan asertif.

5. Agreeableness adalah adalah dimensi Big Five Personality pada individu yang digambarkan memiliki kepribadian yang ramah, altruism, senang membantu orang lain, murah hati, pengalah mudah mengikuti orang lain dan lembut hati

(27)

6. Neuroticism adalah adalah dimensi Big Five Personality yang digambarkan dengan sifat pencemas, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional dan rentan terhadap pada gangguan stress.

7. Self control adalah kemampuan seseorang untuk membimbing dirinya dan menekan impuls yang muncul di dalam dirinya secara disengaja dan sadar. Dimensi self control yang diteliti dalam penelitian ini adalah behavioral

control, cognitive control, dan decisional control

8. Demografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis kelamin dan usia diukur dari data identitas sampel yang diperoleh.

9. Responden yang digunakan dalam penelitian ini ialah Pegawai di PT.Bank X yang tersebar di salah satu kantor wilayah.

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan pemaparan fenomena dab permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Big Five Personality trait, Self

control dan faktor demografi terhadap perilaku cyberloafing ?

2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Openess to experience pada variabel

Big Five Personality trait terhadap Cyberloafing ?

3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Conscientiousness pada Big Five

Personality trait terhadap Cyberloafing ?

4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Extraversion pada Big Five

(28)

5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Agreeableness pada variabel big five

personality trait terhadap Cyberloafing ?

6. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan Neuroticism pada variabel Big Five

Personality trait terhadap Cyberloafing ?

7. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan variabel Self Control terhadap

Cyberloafing ?

8. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi jenis kelamin pada variabel demografi terhadap cyberloafing ?

9. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dimensi usia pada variabel demografi terhadap Cyberloafing ?

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Penejelasan yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah penelitian ini maka peneliti hendak melakukan penelitian dengan tujuan :

1. Menguji pengaruh Big Five Personality trait, Self control dan faktor demografi terhadap cyberloafing

2. Menguji pengaruh setiap dimensi pada variabel Big Five Personality trait

(Openess to experience, Conscientiousness, Extraversion Agreeableness dan Neuroticism) terhadap perilaku Cyberloafing

3. Menguji pengaruh variabel Self control terhadap perilaku Cyberloafing

4. Menguji pengaruh variabel demografi (Jenis kelamin dan usia) terhadap

(29)

1.3.2 Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengembang keilmuan baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis, diantaranya :

1. Secara teoritis penelitian ini menambah wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan permasalahan Cyberloafing khususnya bagi psikologi industri dan organisasi agar lebih dapat memahami variabel penyebab Cyberloafing di tempat kerja.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pemangku kebijakan di organisasi untuk mengurangi perilaku Cyberloafing di tempat kerja demi meningkatkan produktivitas dan optimalisasi pegawai saat kerja.

(30)

15 BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Cyberloafing

2.1.1 Definisi cyberloafing

Cyberloafing merupakan turunan dari konstruk perilaku kontraproduktif (Counterproductive Behavior) atau perilaku menyimpang di tempat kerja (deviant workplace behaviour) didefinisikan sebagai perilaku sukarela melanggar norma

organisasi secara signifikan dan mengancam kesejahteraan anggota-anggotanya (Robbins & Judge, 2008). Pengertian ini menjelaskan perilaku kontraproduktif merupakan perilaku yang tidak sejalan dengan budaya organisasi sehingga berpotensi merugikan baik bagi perusahaan maupun stakeholder yang terkait dengan perusahaan tersebut.

Sementara itu, menurut Aamodt, (2010) menjelaskan perilaku kontraproduktif dapat dapat ditunjukkan melalui sikap karyawan yang tidak senang dengan pekerjaannya cenderung lebih sering terlambat, dan mangkir dari pekerjaan lebih sering daripada karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya serta memiliki komitmen dengan organisasi. Karyawan yang merasa tidak puas, terutama mereka yang tidak dapat berhenti bekerja juga terlibat dalam perilaku kontraproduktif lainnya dalam organisasi, seperti perilaku cyberloafing. Karyawan yang merasa tidak puas dengan organisasinya akan terlibat dalam cyberloafing untuk menghabiskan waktu bekerjanya untuk melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan pekerjaan serta komitmen yang dibuat perusahaan, sehingga dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan efektivitas kerja

(31)

Cyberloafing adalah konstruk yang pertamakali diperkenalkan oleh (Lim, 2002)

yaitu tindakan sukarela karyawan yang menggunakan akses internet organisasinya selama jam kerja berlangsung untuk menjelajah situs web yang tidak terkait dengan pekerjaan untuk keperluan pribadi (termasuk menerima dan mengirim) email pribadi sebagai penyalahgunaan fasilitas internet. Akses internet yang sedianya digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas organisasi tetapi digunakan untuk aktivitas yang tidak terkait dengan pekerjaan. Fenomena ini tentu dipandang sebagai aktivitas yang merugikan bagi organisasi yang menyediakan fasilitas internet sebagai dampak penurunan produktivitas karyawan dalam melaksanakan tugas pekerjaan utama.

Menurut Blanchard dan Henle, (2008) Cyberloafing adalah penggunaan akses e-mail dan internet untuk keperluan pribadi selama bekerja. Teknologi mobile dan akses internet merupakan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan untuk tujuan kepentingan perusahaan, namun disalahgunakan untuk mengakomodir keperluan pribadi. Penggunaan fasilitas internet perusahaan untuk kepentingan pribadi dilakukan ketika jam kerja berlangsung sehingga dapat menurunkan produktivitas organisasi.

Cyberloafing didefinisikan sebagai perilaku terkait penggunaan e-mail dan

internet yang disediakan perusahan saat bekerja oleh karyawan secara sukarela (Vardi & Weitz, 2003; Doorn, 2011; Rogelberg, 2007). Penggunaan e-mail yang dimaksud adalah aktivitas membaca dan membalas e-mail yang berisi konten yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan pada saat jam kerja dan hanya dilakukan di saat tertentu saja. Namun, penggunaan internet seperti mengakses portal berita

(32)

online, chatting dan lain sebagainya, lebih banyak dilakukan karyawan karena

memiliki waktu tertentu untuk mengaksesnya.

Menurut Akbulut et.al. (2017) Cyberloafing didefinisikan secara operasional sebagai penyalahgunaan karyawan terhadap internet selama jam kantor untuk penjelajahan pribadi atau e-mail. Sumber utama perilaku itu dianggap keadilan yang dirasakan antara karyawan yang cenderung terlibat dalam

cyberloafing sebagai metode netralisasi untuk mengembalikan keadilan. Artinya

terjadi pertukaran antara karyawan dan pengusaha dimana waktu dan upaya karyawan dalam melakukan pekerjaan ditukar dengan kompensasi finansial, material barang, kehormatan dan penghargaan dari pengusaha.

Jadi cyberloafing yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penggunaan secara pribadi e-mail dan internet selama bekerja. Penggunaan akes internet untuk menghubungkan teknologi mobile ini seperti perangkat komputer dengan jenis laptop dan telepon seluler pintar (smarthphone) saat bekerja untuk keperluan hiburan, belanja online, berkirim pesan (chatting), mengakses media sosial, mengunduh video dan lagu. Cyberloafing pada penelitian ini, dilakukan dengan menggunakan jaringan internet kantor seperti jaringan nirkabel wi-fi dan Local

Area Network (LAN) dengan perangkat Mobile berupa Handphone, tablet, laptop

dan Komputer untuk keperluan pribadi. Definisi cyberloafing dalam penelitian ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Blanchard & Henle (2008).

2.1.2 Dimensi cyberloafing

Cyberloafing adalah sebuah konstruk multidimensi dalam kerangka teori yaitu

(33)

yang dipertimbangkan dalam kegiatan penelitian ini yaitu kegiatan sosial, akses informasi, kenyamanan serta emosional virtual (Doorn, 2011). Menurut Blanchard & Henle (2008) dimensi cyberloafing memuat dua hal yaitu minor dan serious. Aktivitas cyberloafing yang dikategorikan dalam minor adalah segala aktivitas penggunaan internet dan e-mail secara umum. Sedangkan, cyberloafing yang termasuk dalam dimensi serius adalah segala aktivitas virtual yang mengarah pada perbuatan berdampak negatif. Sementara itu, Akbulut, Dursun, Dönmez, & Şahin, (2016) menyusun lima dimensi yang menggambarkan konstruk cyberloafing yaitu konten berbagi (sharing), konten berbelanja (Shopping), update media sosial (real

time updating), mengakses musik dan video (Accesing online content) dan akses

game atau berjudi (game / gambling).

Kemudian fokus penelitian ini adalah penggunaan dimensi cyberloafing yang dikemukakan oleh (Blanchard & Henle, 2008) yang menjelaskan bahwa

cyberloafing terdiri dari dua dimensi minor cyberloafing dan serious cyberloafing.

Dimensi minor cyberloafing mengacu kepada penggunaan fasilitas mobile internet untuk mengakses e-mail dan akses internet dalam kategori sedang. Dimensi serious

cyberloafing mengacu kepada penggunaan fasilitas internet kantor saat jam kerja

untuk mengakses konten yang mengandung resiko bagi individu dan organisasinya. 2.1.3 Pengukuran cyberloafing

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur Cyberloafing Questioner yang dikembangkan dari teori yang dikemukakan oleh Anita L. Blanchard & Henle (2008) Cyberloafing adalah penggunaan akses e-mail dan internet untuk keperluan pribadi selama bekerja. Definisi yang dikemukakan oleh

(34)

Blanchard & Henle (2008) digunakan sebagai konstruk operasional untuk mengukur perilaku cyberloafing. Konstruk ini, dikembangkan menjadi 18 Indikator. Hasil Pengembangan 18 indikator yang telah dibuat kemudian dibuat untuk menjadi acuan menulis item. Sehingga, pada penelitian ini item yang berhasil dibuat sebanyak 48 item untuk mengukur cyberloafing.

2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi cyberloafing

Menurut Ozler dan Polat, (2012) Beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi perilaku cyberloafing terdiri dari faktor organisasi, faktor individual dan faktor situasional. Faktor individual yang berperan signifikan dalam membentuk perilaku

cyberloafing terdiri dari Personality trait, self control dan faktor demografi (Ozler

& Polat, 2012). Berikut faktor-faktor yang bisa dijelaskan menurut beberapa literatus yang digunakan sebagai sebagai prediktor yang dapat mempengaruhi

cyberloafing Seperti Faktor Personality trait, Faktor Self Control, Faktor

Demografi, Faktor Kecanduan Smartphone, Faktor Kebijakan Penggunaan Internet dan Komputer, Stres Kerja, Konflik Peran, Regulasi Diri, Burnout, Komitmen Pada Supervisor yang dijelaskan sebagai beriku:

1. Faktor Personality trait

Personality trait adalah atribut khas individu yang menampilkan individu berperilaku. Personality trait dapat memprediksi perilaku dan performa individu dalam konteks pekerjaan salah satunya adalah dimensi Big five personality trait. Dimensi Big five Personality trait memiliki hasil signifikan sebagai prediktor

cyberloafing. Bukti ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh

(35)

signifikan faktor big five personality trait terhadap cyberloafing, dimana dimensi

Openessto experience, Conscientiousness, Agreeableness memiliki hasil signifikan

negatif terhadap cyberloafing sedangkan dimensi Extraversion dan Neuroticism memiliki hasil signifikan positif terhadap cyberloafing. Artinya semakin tinggi dimensi extraversion dan neuriticism pada diri individu maka kecenderungan untuk melakukan cyberloafing semakin tinggi pula.

2. Faktor Self Control

Self control atau kendali diri merupakan kemampuan untuk membimbing tingkah

laku diri sendiri atau kemampuan untuk menghalangi tingkah laku impulsif (Chaplin, 2001). Self control membentuk faktor yang dapat mempengaruhi perilaku

cyberloafing. Penelitian yang dilakukan oleh Sari, (2014) terhadap pegawai di

perpustakaan negeri menemukan bahwa self control diprediksi kuat menjadi faktor yang berperan dalam mengurangi cyberloafing di tempat kerja. Artinya jika faktor

self control yang dimiliki oleh individu baik maka tindakan-tindakan

kontraproduktif seperti cyberloafing ditempat kerja dapat diminimalisir. 3. Faktor Demografi

Demografi adalah ilmu tentang populasi manusia dalam hal ukuran, kepadatan, lokasi, umur, jenis kelamin, ras, mata pencaharian, dan terkait data statistik lainnya (Kotler dan Armstrong dalam Sangadji & Sopiah, 2013). Penelitian menggunakan faktor demografi yang dilakukan oleh (Garret & Danziger, 2008) pada dimensi jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, status pekerjaan memiliki hasil yang signifikan sebagai faktor yang menentukan cyberloafing di tempat kerja. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Dursun et al., 2018) menemukan faktor bahwa laki-laki

(36)

cenderung lebih tinggi melakukan cyberloafing dalam tiga jenis yaitu pada aktivitas mengakses situs belanja online, mengakses konten online dan bermain game. 4. Faktor Kecanduan Smarthphone

Kecanduan smartphone (smartphone addiction) adalah penggunaan berlebih terhadap smartphone oleh individu akibat ketidakmampuannya untuk mengendalikan perilaku serta berdampak negatif dalam kehidupannya (Park dan Lee dalam Gokcearslanaet al., 2018). Hasil penelitian dengan menggunakan variable smartphone addiction yang dilakukan oleh Gokcearslana et al., (2018) menemukan hasil bahwa cyberloafing memiliki pengaruh signifikan dengan kecanduan smartphone. Sedangkan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Sahin, et al.,(2016) menggunakan sampel mahasiswa menemukan bahwa durasi penggunaan internet dan kecanduan smartphone keduanya berdampak positif dengan perilaku

cyberloafing.

5. Faktor Kebijakan Penggunaan Internet dan Komputer

Kebijakan penggunaan internet dan komputer adalah peran organisasi dan

stakeholder dalam membuat batasan penggunaan internet dan komputer yang tidak

sesuai dengan fungsiya. Organisasi sebagai pembuat kebijakan berperan sebagai pemantau, penegak aturan dan pemberi sanksi terhadap perilaku indisipliner. Salah satu bentuk perilaku indisipliner di tempat kerja adalah penggunaan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi secara berlebihan (Ahmad & Jamaludin, 2015). Artinya, semakin organisasi memberikan batasan individu untuk memanfaatkan fasilitas kantor yang tidak sesuai fungsinya maka peluang untuk melakukan aktivitas kontraproduktif di tempat kerja semakin kecil. Asumsi ini didukung oleh penelitian

(37)

yang dilakukan oleh Ahmad dan Jamaluddin, (2015) pada 347 pegawai di 6 lembaga kementerian ditemukan bahwa kebijakan pembatasan penggunaan internet dan komputer di tempat kerja berperan sebagai pengendali individu untuk tidak berselancar dan bersenang-senang di dunia maya dengan fasilitas internet organisasi.

6. Stres Kerja

Stres adalah reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi saat tujuan individu mendapat halangan dan tidak ada solusi untuk mengatasinya (Baron dan Greenberg dalam Margiati, 1999). Stres kerja merupakan tanggapan patologis individu terhadap tekanan psikologis dan sosial dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar (Margiati, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh (Oktapiansyah, 2018) dengan menggunakan variabel stress kerja pada karyawan bank ditemukan signifikan terhadap cyberloafing. Hasil penelitian ini mengartikan bahwa semakin tinggi stress kerja individu semakin tinggi pula cyberloafing yang dilakukan di tempat kerja.

7. Regulasi Diri

Regulasi Diri (Self Regulation) adalah sebuah proses individu untuk berusaha mengontrol segala pikiran, perasaan dan impuls yang dirasakannya (Hefferon & Boniwell, 2011). Regulasi diri berperan sebagai pencegah perilaku cyberloafing. Penelitian yang dilakukan oleh (Anugrah & Margaretha, 2013) dengan menggunakan variabel Regulasi diri terhadap mahasiswa ditemkan berpengaruh secara signifikan dengan cyberloafing.

(38)

8. Konflik Peran

Konflik peran dapat dijelaskan sebagai tingkat ketidaksesuaian antara tugas, sumber daya manusia, peraturan atau kebijakan dan orang. Pegawai yang terlibat dalam Kondisi ini dituntut menghadapi berbagai harapan peran (Robbins dalam Runing S. & Cahyadin, 2012). Konflik peran mengakibatkan karyawan berada pada situasi dengan dua harapan yang bertentangan. Penelitian yang dilakukan oleh (K, Parawansa, & Jusni, 2019) menggunakan variabel role conflict untuk mengukur

cyberloafing. Variabel role conflict berpengaruh secara positif dan signifikan

dengan cyberloafing. Artinya, jika semakin tinggi role conlict yang dirasakan oleh pegawai maka semakin tinggi pula cyberloafing yang dilakukan.

9. Burnout

Salah satu permasalahan dalam dunia kerja adalah kelelahan emosional, mental, fisik yang disebabkan oleh stress berkepanjangan dalam pekerjaan. Istilah ini disebut dengan Burnout yaitu istilah psikologis yang digunakan untuk menggambarkan perasaan gagal dan lesu akibat tuntutan yang menguras kemampuan energi individu. Istilah burnout dikenalkan pertama kali oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Burnout digambarkan seperti bangunan megah dan indah yang sibuk dengan aktivitas didalamnya, namun kemudian bagian dalam bangunan terbakar hangus dan kosong. Begitupun dengan individu yang terdampak

burnout, jika dilihat dari tampilan fisik tidak ditemukan masalah. Namun, pada

hakikatnya individu yang mengalami burnout merasa kacau secara psikologis (Gehmeyr dalam Hardiani, Rahardja, & Yuniawan, 2017).

(39)

Penelitian yang dilakukan oleh Hardiani, Rahardja dan Yuniawan, ( 2017) mengukur variabel burnout pada cyberloafing kepada 150 orang pegawai PT. PLN (Persero). Hasilnya, variabel burnout berpengaruh secara signifikan terhadap

cyberloafing. Jadi, secara tidak langsung kelelahan kerja akibat stress

berkepanjangan memiliki dampak kepada individu untuk berbuat cyberloafing. 10. Komitmen Pada Supervisor

Komitmen pada supervisor tidak dijelaskan secara spesifik dalam literatur dan tidak banyak riset yang dilakukan selama ini. Namun Menurut Chen, Tsui dan Farh (2002) komitmen pada supervisor mengacu pada identifikasi, keterikatan, dan dedikasi bawahan untuk terlibat pada supervisor atau organisasi. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Sawitri, (2012) dengan menggunakan variabel Komitmen pada atasan ditemukan berpengaruh secara negatif. Hasil penelitian ini memberi arti, jika komitmen pegawai pada atasan semakin tinggi maka perilaku cyberloafing di tempat kerja semakin rendah.

2.2 Big Five Personality Trait 2.2.1 Definisi big five personality trait

Menurut Laura A. King (2010) Kepribadian didefinisikan sebagai suatu pola pemikiran, emosi dan perilaku yang khas dan bertahan lama yang mencirikan seseorang beradaptasi dengan dunia (King, 2010). Individu memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku yang secara terus menerus dan konsisten untuk menghadapi suatu situasi yang menjadikan ciri khas pribadinya. Kepribadian dipahami sebagai cara unik dimana setiap individu memiliki sikap dan perilaku berbeda-beda dalam menghadapi suatu situasi.

(40)

Pervin dan Cervone (2013) mendefinisikan kepribadian sebagai kualitas psikologis yang berkontribusi pada pola perasaan, pemikiran dan perilaku individu yang khas dan menetap. Kepribadian memiliki sikap menetap yang artinya, jika individu dihadapkan pada situasi yang sama maka akan memunculkan respon yang sama meskipun terjadi ditempat berbeda. Sifat individu yang relatif stabil dan menetap akan berlaku secara konsisten dalam menghadapi suatu situasi dan merupakan cara yang digunakan untuk beradaptasi dengan lingkungan sehingga menjadikan ciri khas individu (Pervin & Cervone, 2013).

Sementara itu, Feist dan Rosenberg (2009) mendefinisikan kepribadian adalah seperangkat perilaku, perasaan, pikiran, dan motif yang unik dan menetap sebagai ciri khas individu. Setiap individu memiliki karakteristik berbeda dan menjadi ciri khas individu tersebut. Walaupun Individu satu dan lainnya secara umum memiliki sifat sama tetapi ada karakteristik yang berbeda dalam situasi yang sama.

Beberapa definisi kepribadian yang sudah dipaparkan oleh sebagian tokoh diatas maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah sebuah pola pikir, perasaan atau seperangkat sifat psikologis yang menetap pada diri individu yang berkarakteristik unik mempengaruhi interaksi individu saat beradaptasi dengan lingkungan.

Five factor model adalah sebuah model trait kepribadian yang terdiri atas

sifat-sifat individu yang pada akhirnya mengarahkan para peneliti untuk memahami dimensi perbedaan individu dalam menunjukkan pola-pola konsisten dari gaya berpikir, perasaan, dan tindakan (McCrae & Costa, 2003). Big Five Personality

(41)

merupakan sebuah pendekatan yang merupakan hasil taksonomi yang telah disepakati tentang perbedaan individu dalam disposisi kepribadian dan sifat sifatnya. Kelima dimensi ini muncul dari penelitian faktor analisis melalui berbagai macam tes dan skala kepribadian (Pervin & Cervone, 2013). Big memiliki arti bahwa setiap faktor menggolongkan trait yang lebih spesifik dalam jumlah yang besar.

Big five personality berawal dari Friske sebagai orang yang pertama

menemukannya, tetapi hasil penyelidikannya belum bisa mengedidentifikasi struktur secara tepat. Pada tahun 1961 Tupes dan Christal menguji struktur yang disebut five factor model yang terdiri dari surgency atau extraversion,

agreeableness, conscientiousness. Emotional stability dan culture. Struktur ini

kemudian direplikasi oleh Norman pada tahun 1963 dengan nama Big Five

Personality. Kemudian, dipakai sebagai pendekatan untuk melihat kepribadian

yang telah dibentuk melalui analisis faktor. Big Five Personality terdiri dari kata OCEAN yang berarti O (Openess) memiliki arti keterbukaan, C

(Conscientiousness) yang berarti hati nurani, E (Extraversion) yang berarti extrovert, A (Agreeableness) yang berarti ramah dan N (Neuroticism) yang berarti

neurotisme.

Jadi Big five personality trait dalam penelitian ini adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat kepribadian manusia yang telah dibentuk melalui trait yang tersusun dalam 5 dimensi yaitu Openess to experience, extraversion,

agreeableness dan neuroticism. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John dan

(42)

2.2.2 Dimensi big five personality trait

Trait merupakan suatu pola tingkah laku yang relatif menetap secara terus menerus

dan konsekuen yang diungkapkan individu dalam suatu deretan keadaan. Trait dalam 5 dimensi dari Big Five Personality meliputi openness to experience,

conscientiousness, extraversion agreeableness dan neuroticism. Penjelasannya

sebagai berikut:

1. Openess to experience

Menurut Feist dan Feist (2006) Openess to experience membedakan individu yang memilih keragaman dengan individu yang mempunyai kebutuhan atas akhir yang sempurna serta mendapatkan kenyamanan dalam pergaulan dalam hal-hal yang akrab dengan individu lain. Individu yang memiliki dimensi openness to experience secara konsisten menelusuri pengalaman yang berbeda dan beragam serta mempertanyakan nilai tradisional. Sedangkan, individu yang memiliki nilai

openness to experience rendah cenderung mendukung nilai-nilai tradisional dan

mempertahankan gaya hidup yang konstan. Individu yang memiliki nilai openness

to experience tinggi umumnya kreatif, imajinatif, penuh penasaran, terbuka dan

mengutamakan keragaman. Sebaliknya individu yang memiliki nilai openness to

experience rendah umumnya konvensional, sederhana, konservatif, kurang

penasaran terhadap sesuatu dan rendah hati (Feist & Feist, 2006). Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi openness to experience yaitu inovatif dan memiliki minat seni berdasarkan teori yang digunakan oleh John dan Soto (Soto & John, 2009).

(43)

2. Conscientiousness

Menurut Feist dan Feist (2006) Conscientiousness menggambarkan individu yang teratur, terkontrol, terorganisasi, ambisius, fokus pada pencapaian, dan memiliki disiplin diri. Individu yang memiliki nilai tingi pada dimensi coscientiousness adalah pekerja keras, teliti, tepat waktu, berhati-hati, teratur, disiplin dan mampu bertahan. Sedangkan, individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi

coscientiousness umumnya tidak teratur, ceroboh, pemalas, tidak memiliki target,

mudah menyerah saat menemui suatu kesulitan dalam mengerjakan sesuatu. Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi coscientiousness yaitu teratur dan disiplin berdasarkan teori yang digunakan John dan Soto (Soto & John, 2009). 3. Extraversion

Dimensi extraversion merupakan faktor terpenting dalam kepribadian. Extraversion dapat memprediksi tingkah laku sosial. Individu yang tinggi pada dimensi ini lebih banyak memegang kontrol dan keintiman. Menurut (Friedman & Schustack, (2016) individu extrovert atau juga disebut surgency memiliki sifat semangat, antusias, dominan, mudah bergaul, ramah dan asertif. Sedangkan individu yang rendah pada dimensi extrovert cenderung pemalu, tidak percaya diri, sensitif dan pendiam. Sementara itu menurut Cloninger, (2004) melaporkan individu extrovert dalam interaksinya dengan teman sebaya dianggap sebagai individu individu yang ramah, menyenangkan, penuh kasih sayang dan banyak bicara (talkactive). Indikator yang digunakan untuk mengukur extraversion yaitu asertif dan penuh semangat berdasarkan teori yang dikembangkan oleh John dan Soto (John , Pervin, & Robins , 2008).

(44)

4. Agreeableness

Menurut Feist dan Feist (2006) dimensi Agreeableness membedakan individu yang berhati lembut dengan individu yang kejam. Individu yang berada dimensi ini memiliki kepribadian yang ramah, altruism, senang membantu orang lain, murah hati pengalah, menghindari konflik, mudah mengikuti orang lain dan tidak keras kepala. Menurut Friedman & Schustack, (2016) individu yang tinggi pada dimensi

Agreeableness cenderung ramah, kooperatif, mudah percaya dan hangat.

Sedangkan individu yang rendah pada dimensi ini cenderung mudah marah, dingin, menyukai konflik, dan tidak ramah. Indikator yang digunakan untuk mengukur agreeableness yaitu altruism dan tidak keras kepala berdasrkan teori yang digunakan John dan Soto (Soto & John, 2009).

5. Neuroticism

Neuroticism menggambarkan stabilitas emosi dengan cakapan perasaan negatif.

Menurut Feist dan Feist (2006) individu yang memiliki skor tinggi pada neuroticism cenderung pencemas, temperamental, mengasihani diri sendiri, sadar diri, emosional dan rentan terhadap gangguan yang berhubungan dengan stress. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi ini cenderung lebih puas terhadap dirinya sendiri, tidak temperamental, tenang dan tidak emosional (Feist & Feist, 2006). Indikator yang digunakan untuk mengukur dimensi Neuroticism yaitu mudah depresi dan mudah cemas berdasarkan teori yang digunakan oleh John dan Soto (Soto & John, 2009).

(45)

Tabel 2.1. The Big Five Factor of Personality

Sumber: (Feist & Feist, 2006)

2.2.3 Pengukuran big five personality trait

NEO-PI-R adalah sebuah alat ukur yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa dengan menggunakan kuesioner yang dirancang untuk mengukur Big five personality. Alat ini bersifat self-report yang artinya penilaian terhadap kepribadian yang dilakukan oleh responden itu sendiri dan berisi beberapa pertanyaan mengenai dimensi kepribadian responden. Menurut De Raad dan Perugini, NEO-PI-R merupakan revisi dari NEO-PI (neuroticism-extraversion-openess personality inventory) yang merupakan pengembangan untuk mengukur tiga dari lima ciri-ciri kepribadian. De Raad dan Perugini juga menambahkan bahwa NEO-PI-R dibedakan masing-masing berdasarkan lima dimensi kepribadian tersebut dengan menembangkan enam facet yang sifatnya lebih spesifik (Johnson dalam Fauzi, 2017). Setiap facet diukur oleh 8 item, maka NEO-PI-R terdiri dari 240 item.

Skala Trait Karakteristik Skala

Trait Karakteristik Rendah Skor

Openes to experience Imajinatif, kreatif, asli, menyukai variasi, ingin tahu, bebas

Merendah, tidak kreatif, konvensional, menyukai kerutinan, tidak sadar, konservatif

Conscientiousness Teliti, pekerja keras, terorganisir dengan baik, tepat waktu, ambisius, tekun

Lalai, malas, tidak terorganisasi, tidak tepat waktu, tidak memliki tujuan jelas, berhenti

Extraversion Penyayang, mudah bergaul, banyak bicara, penuh cinta, memiliki gairah yang tinggi

Pendiam, senang menyendiri, pasif, tidak berperasaan, sederhana, tenang

Agreeableness Berhati lembut, penuh kepercayaan, murah hati, mudah sepakat, toleran, baik hati

Kejam, mudah curiga, pelit, menentang, kritis, pemarah

Neuroticism Pencemas, temperamental, mengasihani diri sendiri, canggung, emosional, rentan stres

Tenang, pandai mengendalikan diri, puas terhadap diri sendiri, nyaman, tabah

(46)

Kelebihan dari alat ukur ini yaitu yang cross cultural sehingga memudahkan untuk mereplikasi jika terdapat budaya-budaya yang berbeda. Penerapan NEO-PI-R cukup fleksibel karena dapat digunakan dengan baik dalam populasi masyarakat, klinis serta dalam psikologi industri dan organisasi (Johnson dalam Fauzi, 2017).

The Big Five Inventory (BFI) yang telah dikembangkan oleh Oliver P. John pada dasarnya The Big Five Inventory adalah pengembangan dari alat ukur NEO-PIR. Menurut John dan Sotoda dalam (John , Pervin, & Robins , 2008), BFI meneliti kepribadian pada tingkat yang lebih spesifik dan membantu menuju pemahaman yang komprehensif tentang struktur kepribadian. Tes ini terdiri dari 44 item pertanyaan dengan 10 facet pada kelima dimensi kepribadian.

Berdasarkan uraian alat ukur diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini untuk mengukur Big Five Inventory akan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh (Soto & John, 2009) karena alat ukur tersebut lebih spesifik dalam menjelaskan Big Five Inventory dan relevan apabila digunakan dalam penelitian ini.

2.2.4. Pengaruh Big Five Personality Trait terhadap Cyberloafing

Penelitian mengenai Big Five Personality dilakukan untuk memprediksi sifat individu yang sudah melekat dalam dirinya. Penggunaan Big Five Personality Trait erat kaitannya dengan segala aktivitas yang selalu ditampilkan secara menetap oleh individu dalam dalam segala kondisi. Misalnya Ones, Viswesvaran dan Dilchert (dalam Jia, Jia, & Karau, 2013) menyebut kepribadian atau personality trait adalah atribut individu yang secara konsisten membedakan individu satu sama lain dalam hal kecenderungan dasar berpikir, merasakan, dan bertindak dengan cara tertentu.

Gambar

Gambar 2.1.  Kerangka berpikir penelitian ............................…………..  48
Tabel 2.1. The Big Five Factor of Personality

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan menggunakan teknik analisis regresi berganda. Perhitungan model regresi linear berganda dilakukan dengan SPSS 20.0.

Uji Hipotesis Pengujian terhadap hipotesis dilakukan secara multivariate dengan menggunakan uji regresi linier berganda, Menurut Gujarati 2003 dalam Ghozali 2012, analisis

Pengujian Analisis Regresi Linier Berganda Pengujian hipotesis menggunakan pendekatan analisis regresi linier berganda, merupakan pengujian untuk mengetahui pengaruh

Pengujian dilakukan menggunakan Exploratory Factor Analysis (EFA) dan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Hasil menunjukkan bahwa kuesioner CYRM versi Bahasa Indonesia memiliki

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda, dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh antara faktor kontekstual dan

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda, dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh antara faktor kontekstual dan

Pengujian statistik yang digunakan adalah uji asumsi klasik, analisis regresi berganda, koefisien korelasi, koefisien determinasi, uji hipotesis, dan juga menggunakan bantuan program

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan regresi berganda serta uji hipotesis dengan uji simultan Uji F menunjukkkan bahwa variabel modal kerja dan bantuan pemerintah secara