• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Landasan Teori

2.5. Kerangka Berpikir

Cyberloafing menjadi tren seiring majunya teknologi dan informasi di dunia

industry 4.0 yang notabene semua aktivitas kerja berbasis internet. Selain menjadi tren dan kebutuhan bagi pegawai di organisasi, aktivitas cyberloafing dapat menjadi tantangan bagi kelangsungan organisasi. Aktivitas cyberloafing yang dilakukan oleh pegawai pada saat jam kerja biasanya untuk menghibur diri dari rasa jenuh menyelesaikan suatu tugas saat bekerja. Cyberloafing dibutuhkan pegawai dengan harapan memberikan dampak positif seperti meningkatkan kreativitas, menghilangkan rasa jenuh saat bekerja, demikian juga aktivitas cyberloafing dilakukan dalam kondisi jam kerja malah akan menimbulkan dampak negatif baik untuk individu maupun organisasi. Dampak negatif yang timbul bagi pegawai terutama kondisi fokus yang tidak bisa dikontrol jika berlebihan melakukan aktivitas ini.

Cyberloafing yang berlebihan berdampak negatif untuk pegawai terutama

fokus kerja yang bisa teralihkan dengan aktivitas lain saat jam kerja berlangsung. Dampak negatif yang muncul terutama melalaikan tanggung jawab individu kepada organisasi, menyebabkan degradasi internet kantor, mengurangi kinerja sumber daya teknologi seperti akses internet menjadi lambat, potensi penyebaran virus, bahkan jika tidak terkontrol berpotensi mengarahkan pada perbuatan kriminal.

Akses internet yang dilakukan individu dengan tujuan yang tidak jelas berpotensi membuang waktu dengan menjelajah dunia maya. Aktivitas berselancar di dunia maya misalnya untuk mengakses media sosial (menstalking akun media sosial orang, memposting status pribadi, dan melakukan chatting di jam kerja).

Aktivitas lain yang mungkin dapat terjadi seperti menonton youtube, mengunduh lagu bahkan potensi yang, melanggar kode etik kepegawaian karena bagian dari tindakan indisipliner bagi pelakunya.

Menurut Blanchard & Henle, (2007) perilaku Cyberloafing adalah perilaku individu menggunakan fasilitas akses internet organisasi dengan perangkat mobile seperti komputer, laptop, smartphone, tablet baik milik pribadi maupun milik organisasi pada saat jam kerja untuk aktivitas non-destruktif dan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Cyberloafing dilakukan untuk aktivitas hiburan, belanja online, internet messanging, memposting ke newsgroup, mengunduh lagu dan film.

Cyberloafing adalah konstruk psikologis yang muncul tidak berdiri sendiri.

Konstruk ini muncul dengan berbagai macam motif psikologis. Kepribadian atau

personality merupakan prediktor yang diprediksi kuat menjadi penyebab timbulnya cyberloafing. Kepribadin setiap individu sangatlah beragam sehingga faktor

kepribadian diprediksi menjadi pemicu terjadinya cyberloafing. Salah satu konstruk kepribadian yang bisa dijadikan prediktor untuk mengukur tindakan cyberloafing ialah kepribadian lima faktor besar atau yang disebut dengan Big Five Personality

Trait. Faktor kepribadian ini terdiri dari lima dimensi terdiri dari openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness dan neuroticism.

Dimensi openness to experience pada variabel Big five personality trait berpengaruh pada fenomena ini. Feist dan Feist, (2006) mengemukakan bahwa individu yang berada pada dimensi ini memilih keragaman dan mempunyai kebutuhan atas akhir yang sempurna. Individu yang tinggi pada nilai openess kritis

terhadap hal yang sifatnya tradisional. Individu pada dimensi ini memiliki kreativitas, imajinatif yang tinggi dan penuh rasa penasaran, terbuka, inovatif dan memiliki minat seni, sehingga sangat dimungkinkan individu yang memilki nilai tinggi pada dimensi ini melakukan kegiatan cyberloafing untuk mencari hal-hal baru.

Dimensi extraversion pada variabel big five personality trait memegang banyak kendali dan keintiman dalam melakukan interaksi sosial. Extraversion adalah faktor kepribadian yang memiliki tipe sociability, cheerfulness dan aktif (Cloninger, 2013). Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini dimungkinkan melakukan aktivitas cyberloafing untuk berinteraksi dengan orang - orang yang dikenalnya di media sosial atau dunia maya.

Coscientiousness mendeskripsikan individu yang teratur, terkontrol

terorganisasi, ambisius terfokus pada pencapaian dan memiliki disiplin diri yang baik (Feist & Feist , 2006). Tipe kepribadian ini merefleksikan sosok yang taat aturan dan tidak mudah dipengaruhi oleh situasi yang mengarahkan pada kegiatan kontraproduktif, sehingga dapat dimungkinkan individu yang tinggi pada nilai dimensi ini bertolak belakang untuk melakukan cyberloafing , dalam arti lain individu yang memiliki conscientiousness pantang untuk melakukan aktivitas yang dapat merugikan diri sendiri dan organisasi.

Dimensi Agreeableness pada variabel big five personality trait sering juga sebagai pribadi social adaptability yang mengidentifikasikan individu ramah, senang membantu, memiliki kepribadian pengalah, menghindari konflik, mudah dipengaruhi oleh orang lain dan hangat (Feist & Feist , 2006). Tipe kepribadian ini

dimungkinkan memiliki pengaruh negatif karena berdasarkan tipe yang sudah dikemukakan pada ciri-ciri dimensi Agreeableness.

Kepribadian pencemas atau disebut juga dengan neuroticism menggambarkan individu yang memiliki emosi dengan cakapan perasaan negatif. Tipe kepribadian ini cenderung mudah marah, mengasihani diri sendiri, rentan terhadap faktor yang berhubungan dengan stress (Feist & Feist, 2006). Individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi neuroticism melakukan cyberloafing sebagai coping untuk melepas stress yang mengancam dirinya dari tugas yang kurang disukainya. Dimensi neuroticism pada big five personality trait diprediski memiliki pengaruh positif dengan perilaku cyberloafing pada individu saat bekerja. Selain faktor kepribadian, faktor lain penyebab munculnya cyberloafing ialah self control. Self control merupakan kemampuan diri sendiri untuk membimbing tingkah laku dan menekan impuls dari tingkah laku impulsif (Chaplin, 2001). Self control memiliki tiga dimensi yang merefleksikan upaya mencegah diri dari perilaku bersifat negatif salah satunya perilaku kontraproduktif. Menurut Averill (1973) Self control terdiri dari dimensi kontrol perilaku (Behavioral

control), Kontrol perilaku (Cognitive control) dan kontrol keputusan (decisional control). Masing-masing dimensi pada self control memiliki perannya untuk

mencegah terjadinya perbuatan yang bertentangan dengan etika dan norma yang berlaku dalam organisasi.

Dimensi behavioral control pada variabel self control merupakan benteng pertahanan yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan ini digunakan untuk mengetahui kondisi

suatu stimulus yang tidak dikehendaki untuk dicegah. Behavioral control dapat berpengaruh terhadap perilaku cyberloafing. Asumsi ini dengan alasan individu yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini dapat menahan diri dari stimulus yang tidak dikehendaki oleh diri sendiri dan orang lain terutama organisasi.

Cognitive control merupakan kemampuan individu dalam mengolah

informasi yang tidak diinginkan, dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggambarkan suatu kejadian dalam kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis dan mengurangi tekanan. Dimensi cognitive control memiliki dua komponen utama yaitu memperoleh informasi dan melakukan penilaian. Individu yang dapat melakukan penilaian terhadap suatu keadaan yang tidak baik untuk dirinya maka individu mengantisipasinya dengan berbagai macam pertimbangan. Dimensi ini memiliki pengaruh negatif terhadap perilaku cyberloafing. Individu yang yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini akan menilai bahwa perilaku

cyberloafing adalah perilaku yang bertentangan untuk dilakukan pada saat bekerja.

Dimensi decision control pada variabel self control merupakan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang disetujuinya. Dimensi ini dapat dimungkinkan membuat individu memilih tindakan yang tidak bertentangan untuk dilakukan. Dimensi ini berpengaruh negatif terhadap

cyberloafing dengan asumsi decision control berfungsi sebagai tameng dan

pengendali semua tindakan yang akan dipilih oleh individu.

Dimensi usia pada variabel demografi memberikan pengaruh terhadap perilaku cyberloafing. Asumsi ini dengan alasan individu yang lebih muda dimungkinkan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dibandingkan dengan individu

yang lebih tua. Individu muda melakukan cyberloafing sebagai pencarian jati diri dan sebagai penghibur diri dari perasaan sepi. Individu muda cenderung berpotensi melakukan cyberloafing serius dan menyalahgunakan perilaku sementara individu berusia lebih tua melakukan cyberloafing untuk melakukan aktivitas kontraproduktif (Mastrangelo dalam Weatherbee, 2010).

Jenis kelamin pada variabel demografi memberikan sumbangan sebagai faktor yang mempengaruhi cyberloafing. Hasil penelitian terdahulu menemukan laki-laki memiliki intensitas tinggi pada perilaku cyberloafing (Dursun, Donmez, & Akbulut, 2018). Laki-laki cenderung lebih berani dalam mengambil suatu tindakan yang mengandung resiko, terutama aktivitas mereka yang dapat memberikan hiburan ditengah aktivitas kerja.

Peneitian ini hendak melihat apakah terdapat pengaruh signifikan antara variabel Big five personality trait, self control dan faktor demografi terhadap

cyberloafing. Variabel Big five personality trait sebagaimana yang dikemukakan

oleh (Soto & John, 2009) yang terdiri dari lima dimensi yaitu : openess to

experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness dan neurotisme.

Variabel self control yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yang dikembangkan berdasarkan teori Averill (Averill, 1973). Sedangkan, variabel demografi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dimensi jenis kelamin dan usia. Semua variabel tersebut akan dilihat apakah mempengaruhi perilaku

cyberloafing secara signifikan.

Bagan yang dituangkan dalam gambar 2.1. ialah ilustrasi tentang hububungan antar variable yang akan diteliti dalam penelitian. Gambaran

hubungan antar dimensi dari variabel Big five personality trait, self control dan demografi terhadap cyberloafing yang hendak diukur melalui penelitian seperti pada gambar 2.1.

Gambar 2.1.

Kerangka berpikir penelitian

Dokumen terkait