• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUH

D. Faktor Kompilasi Hukum Islam

Seiring dengan perkembangannya azas persamaan hak dan kedudukan (equal right and equal status) yang diperankan oleh azas hukum warisan baru, pandangan lama tersebut telah mengalami perluasan (extend) dan pembaharuan. Sejalan dengan pembaharuan tersebut, telah diakui hak dan kedudukan keturunan dari anak perempuan yang meninggal terlebih dahulu dari orang tuanya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 185 KHI, yang menegaskan: “Ahli Waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya”.

Padahal paham yang dinut sebelum KHI, Hukum Islam (Kitab Fiqih) tidak membenarkan kedudukan ahli waris pengganti dari keturunan anak perempuan, bahkan ahli waris Pengganti dari keturunan anak laki-laki jika diantara Ahli Waris tersebut terdapat anak laki-laki maka cucu dari keturunan anak laki-laki yang meningal terlebih dahulu dari Pewaris menjadi terdinding (terhijab).

Apa alasan perumus KHI mencantumkan Pasal 185 tersebut, Menurut M. Yahya Harahap.Barangkali didasarkan atas berbagai pemikiran. Antara lain, bertitik tolak dari alasan Sosial Ekonomi pada satu sisi dikaitkan dengan larangan monopoliistik atas harta warisan serta alasan kepatutan dan kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya anak yatim yang ditinggal oleh ayah atau ibunya, lebih lemah dan lebih sengsara di banding saudara ayahnya atau ibunya.115

Menurut ketentuan pasal 185 tersebut, menyatakan “dapat digantikan oleh anaknya” dari ketentuan tersebut dapat di pahami bahwa orang-orang yang dapat di tampilkan sebagai ahli waris penganti itu adalah keturunan-keturunan dari ahli waris itu, tidak berlaku bagi para leluhur pewaris, dengan demikian ahli waris penganti dalam ketentuan ini hanya yang berada dalam jalur hubungan bunuwwah (garis keturunan) dan ukhuwwah (persaudaraan) saja, sebab suatu hal yang tidak mungkin adanya ahli waris pengganti dari keturunanubuwwah (orang tua), sebab ketika orang tua meninggal dunia keturunan dari orang tua itu telah ditampilkan sebagai ahli waris.116

Apabila pada saat kakek atau nenek meninggal dunia, saudara ayah atau ibu hidup lebih mapan ekonominya, sedang mereka sebagai anak yatim, hidup terlantar. Pantaskah, layakkah, dan manusiawikah menyingkirkan mereka untuk mewarisi harta

115

Dikutif dari penelitian, Sobirin, Ahli Waris Penganti Dalam Kewarisan Islam Perspektif Madzhab Nasional.

116

Isak Munawar,Teori Ahli Waris Penganti Dalam Sistem Hukum Kewarisan Islam,Artikel Halaman, 19

kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya? Budayakah dalam hal seperti itu, saudara-saudara mendiang ayah atau ibunya memonopoli harta warisan kakek/neneknya, meskipun keadaan kehidupan sosial ekonominya sudah kuat dan mapan.

Problematika Porsi Ahli Waris Pengganti. Berdasarkan pasal 185 ayat (2) KHI, tentang porsi ahli waris Pengganti dinyatakan bahwa “Bagian bagi ahli waris Pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.

Menurut keterangan Bapak Ketua Mahkamah Syar’iyah Takengan, memang jarang sekali terjadi bahwa masalah hukum patah titi ini sampai ke mahkamah Syar’iyah, semenjak saya menjadi ketua disini saya belum pernah menangani perkara ini karena orang Gayo kebanyakan malu berperkara masalah warisan di mahkamah ini, tapi banyak terjadi masalah patah titi ini di masyarakat akan tetapi diselesaikan secara musyawarah di kampung mereka masing-masing. Tapi bila ada perkara tersebut kami akan memutuskan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam walaupun hanya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.117

Walau pun KHI ini telah di berlakukan sejak tahun 1991 tapi masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui peraturan ini, khususnya masyarakat Gayo yang

117Wawancara dengan H.M. Yacoeb Abdullah, Ketua Mahkamah Syar’iyah Takengon Aceh

berada di Kabupaten Aceh Tengah, mereka mengetahuinya dikarenakan apa bila sudah terjadi perselisihan dalam pembagian warisan dan sibuk menanyakan kepada orang-orang yang mengerti tentang kewarisan atau langsung menanyakan permasalahan ke Mahkamah Syar’iyah, hal ini mungkin kurang sosialisasinya peraturan ini atau pada masyarakat Gayo.

Contoh kasus: Bapak Sulaiman

Berdasarkan keterangan yang didapat dari responden adalah: Bapak Sulaiman ini juga terkena hukum patah titi setelah bapaknya meninggal pada tahun 1999 dan pada tahun 2005 meninggalah kakeknya yang meninggalkan tiga orang anak yaitu paman-pamannya.

Setahun kemudian meninggalah neneknya yaitu tahun 2006 dengan demikian tinggallah ahli waris paman-pamannya dan dibagikanlah harta tersebut kepada ketiga pamannya tersebut, sedangkan Bapak Sulaiman tidak mendapatkan warisan karena dianggap telahpatah titioleh paman-pamannya dan bibinya.

Bapak sulaiman yang hanya seorang supir tidak mengerti tentang masalah pembagian warisan, dan pada suatu hari dia bercerita dengan seseorang yang bekerja di Mahkamah Syar’iyah bahwa ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mendapatkan hak warisnya.

Dengan penjelasan dari seorang teman di Mahkamah Syar’iyah tersebut maka Bapak Sulaiman menjumpai paman-pamannya tersebut bahwa berdasarkan Kompilasi Hukum Islam bahwa cucu juga mendapat hak waris menggantikan bapaknya yang meninggal terlebih dahulu.

Bahwa, paman-pamannya dan bibinya tersebut tetap pada pendiriannya bahwa kamu telahpatah titiitulah jawaban paman-pamanya tersebut, sempat ada ketegangan tapi tidak sampai terjadi keributan, maka bapak Sulaiman mengatakan akan membawa kasus ini ke Mahkamah Syar’iyah.

Maka paman-pamannya tersebut akhirnya mau memberikan haknya tersebut karena malu untuk berperkara di Mahkamah Syar’iyah dan menyelesaikan masalah ini dengan cara perdamaiaan dan musyawarah dengan keponakanya tersebut.

Dengan adaanya Kompilasi Hukum Islam tersebut akhirnya paman-pamannya memberikan hak warisnya kepada bapak Sulaiman walaupun tidak banyak karena Bapak Sulaiman pun mengerti setelah mendapat penjelsan dari teman yang bekerja di Mahkamah Syar’iyah tersebut tidak lebih dari bagian paman-pamanya dan bibinya.

Kasus ini tidak sampai didaftarkan ke Mahkamah Syar’iyah karena paman- pamannya malu untuk berperkara dimahkamah Syar’iyah apa lagi masalah warisan sangat memalukan bagi orang Gayo.

Dengan adanya konsep ahli waris pengganti yang terdapat dalam KHI pasal 185 merupakan terobosan terhadap pelenyapan hak cucu atas harta warisan ayah apabila ayah lebih dahulu meninggal dari pada kakek. Sehingga cucu bisa mendapatkan bagian dari warisan tersebut. Lembaga ahli waris pengganti ini lebih cenderung sebagai semi platsvervulling (penggantian tempat) sebagai yang dikenal dalam BW

Adanya konsep ahli waris pengganti merupakan konsep asas keadilan yang berimbang di karenakan masalah cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu dari pewaris, menjadi masalah keadilan yang benar. Sehingga perumusan ahli waris pengganti itu sangat beralasan, karena dapat memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan dalam lingkungan komunitas keluarga. Hal ini sekaligus dapat menutup kekecewaan dari pihak-pihak tertentu. Sementara dari segi persaudaraan, diharapkan dapat melihara keutuhan dan hubungan harmoni dengan anggota keluarga.

Namun demikian, mereka yang menerima keberadaan pembaruan penafsiran ini mendasarkan pada bahwa Islam juga membawa nilai keadilan, ukhuwah, persamaan, menjunjung tinggi anak yatim. Karena alasan inilah mereka menganggapnya sebagai suatu yang penting untuk dipraktekkan di Indonesia.

Meski demikian walau di dalam hukum adat di Aceh pada umumnya dan Gayo pada khususnya tidak dikenal dengan penggantian ahli waris, pada prakteknya

banyak juga ahli waris yang memberikan sedikit atau sebagian hartanya untuk anak- anak yatim yang ditinggalkan orang tuanya tadi.

Dari keempat faktor diatas yang paling dominan dalam mempengaruhi pergeseran hukum patah titi dalam masyarakat Gayo adalah faktor agama hal ini disebabkan karena masyarakat Gayo sangat panatik dengan Agama Islam dan hukum Islam.

Agamalah yang sangat mempengaruhi terjadinya pergeseran hukumpatah titi di masyarakat Gayo, karena semakin fahamnya masyarakat terhadap ajaran Agama Islam yang se utuhnya masyarakat Gayo tidak lagi mengunakan hukum adat dalam pembagian warisan. Karena hukum patah titi mengandung ketidak adilan bagi anak yang ditinggalkan orang tuanya yang meninggal terlebih dahului dari pewaris.118

Ada ungakapan adat masyarakat Gayo yang selalu di dihayati yaitu: Agama urum edet, lagu zet urum sifet, Agama kin senuwen, edet kin peger, yang artinya Agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat, Agama sebagai tanaman, adat sebagai pagarnya. Ungkapan tersebut jelas dan tegas, bahwa antara adat dan Agama Islam sangat erat dan saling menunjang.

118

Wawancara dengan Bapak Abbas Tokoh Msyarakat Gayo kampung terminal tanggal, 27 Mei 2013

Ada beberapa ayat Al-Qur’an yang mempengaruhi pergeseran hukum patah titiini di dalam masyarakat Gayo diantaranya:119

Dan hendaklah orang-orang itu takut bila saja mereka meninggalkan keturunan yang lemah setelah mereka wafat, yang mereka khawatirkan kesejahteraannya. Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan berkata dengan perkataan yang benar.(Al-Qur’an An-Nisaa ayat 9)

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Al-Qur’an An-Nisaa ayat 10)

Tujuan syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan tersebut diantaranya didasarkan kepada yaitu: Memelihara keturunan (hifzh an-nashl), Memelihara harta kekayaan (hifzh al-mal) Keterkaitan dengan ahli waris pengganti ini, nampaknya tidak terlepas dari jangkauan tujuan hukum Islam dalam makna memelihara keturunan dan memelihara kekayaan

119

Wawancara dengan Bapak Tengku Mahmud Imam Masjid Kampung Tereminal Tanggal 27 Mei 2013