• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP

E. Hukum Patah Titi dan Perkembangannya Pada masyarakat

Para orang tua sejak nenek moyang atu leluhur kita mempunyai semboyan “mencari nafkah untuk anak dan cucu” artinya adalah bahwa para leluhur itu tidak hanya sekedar melahirkan setelah itu anak cucunya dibiarkan kelaparan, tetapi juga diberi harta benda yaitu makanan, pakaian dan rumah. Harta benda sebagai jerih

payah digunakan sebagai bekal bagi anak cucu mereka. Selain itu harta benda itu juga digunakan sebagai sarana untuk memperoleh status sosial dalam masyarakat.95

Tetapi sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam pewarisan masyarakat Aceh umumnya dan masyarakat Gayo pada khususnya yaitu dengan adanya istilah patah titi yang memutuskan hubungan kewarisan antara cucu dengan kakek atau neneknya yang hanya dikarenakan ayah atau ibunya meninggal terlebih dahulu dari kakek atau neneknya.

Inplikasi dari praktek patah titidalam hukum kewarisan adat Aceh umumnya adat Gayo khususnya adalah, munculnya rasa ketidak adilan di antara ahli waris, putusnya hubungan kekerabatan dan hilangnya hubungan silaturrahmi antara paman dan keponakan. Apabila ada suatu acara kenduri (syukuran) di rumah seorang paman, maka keponakan yang berstatus patah titi akan mengatakan bahwa ia tidak ada hubungan saudara dengan pamannya itu.

Dari hasil penelitian di tiga desa yaitu desa Bebesen, desa Kemili, desa Belang gele, kecematan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah provinsi Nangro Aceh Darusalam, mengenai hukum patah titi yang mengandung ketidak adilan dalam pembagian harta warisan.

95

Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat,laksbang Yustitia Surabaya, 2011, halaman 125

Tabel 5 (lima)

Pendapat responden tentang ketidak adilan dalam hukumpatah titi

dalam pembagian warisan

n = 30

No Nama Desa Jemlah

Responden Setuju (responden) Tidak Setuju (responden) 1 Bebesen 10 10 0 2 Kemili 10 8 2 3 Belang gele 10 8 2 4 Jumlah 30 26 4 5 Total % 100% 86,67% 13,33%

Dari tabel 5 (lima) diatas bahwa hanya 13,33% (tiga belas koma tiga puluh tiga persen) yang tidak setuju bahwa hukumpatah titiini mengandung ketidak adilan yaitu dengan alasan sebagai berikut:

a. Karena hanya anak-anaknyalah yang berhak atas warisan bapaknya bukan cucunya.

b. Tidak ada lagi penghubung kewarisan antara kakek dengan cucu karena telah putus oleh ayah atau ibunya yang meninggal dahulu dari pewaris.

c. Kecuali harus dengan persetujuan semua ahli waris baru cucu bisa mendapat hak waris mengantikan bapaknya.

Mantan Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Bebesen Bapak Drs. Halihasimi mengatakan bahwa akibat adanya hukum patah titi ini mengakibatkan:96

a. Menimbulkan pertengkaran antara kelurga paman dengan keluarga keponakan yang merupkan sama-sama keturunan dari pewaris yaitu bapak dari pamanya dan cucu dari kakek pewaris.

b. Memutuskan hubungan keluarga atau seraturrahmi antara paman dengan keponakan.

c. Seharusnya anak-anak yatim itu harus disantuni bukan di zalimmi. d. Memakan hak anak yatim.

Dengan demikian praktek patah titi tersebut lebih besar dampak negatifnya dibandingan kepastian hukum patah titi itu sendiri serta tidak mencerminkan nilai- nilai universal hukum kewarisan Islam. Di samping itu praktekpatah tititerasa tidak layak, tidak patut, tidak adil, tidak manusiawi menghukum seseorang untuk tidak berhak menerima warisan yang semestinya diterima ayahnya, hanya karena faktor ajal ayahnya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, apalagi saat kakeknya meninggal, semua anak-anaknya sudah berkecukupan, sedangkan para cucu disebabkan ditinggal yatim ayahnya melarat miskin. Apakah dianggap adil

96Wawancara dengan Halihasimi mantan Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan

melenyapkan hak mereka untuk memperoleh apa yang semestinya diperoleh bapaknya.

Berikut ini hasil penelitian tentang pendapat responden terhadap keberadaan hukum patah titi di desa Bebeseb, desa Kemili, desa Belang gele di kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalam.

Tabel 6 (enam)

Pendapat responden terhadap keberadaan hukumpatah titi

n = 30

No Nama Desa Jumlah

Responden Setuju (responden) Tidak setuju (responden) 1 Bebesen 10 0 10 2 Kemili 10 3 7 3 Belang gele 10 2 8 4 Jumlah 30 5 25 5 Total (%) 100% 16,67% 83,33%

Dari tabel 6 (enam) diatas menunjukan bahwa 83,33% (delapan puluh tiga koma tigapuluh tiga persen) responden tidak setuju dengan hukum patah titi ini dikarenakan tidak sesuai dengan hati nurani dan rasa keadilan terhadap cucu yang sudah yatim yang ditinggal oleh orang tuanya sepatutunya kita menyantuninya dengan kasih sayang.

Dalam agama Islam dikatakan dan apabila sewaktu pembagian itu hadir beberapa kerabat anak-anak yatim dan orang-orang miskin maka berilah mereka dari

harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.97 Dalam ayat ini jelas orang yang hadir saja bisa mendapat bagian harta, bagai mana dengan cucu yang jelas-jelas keturunan dari pewaris seharusnya berhak juga atas harta warisan tersebut.

Dari 16,67% (enam belas koma enam puluh tujuh persen) yang setuju dengan hukumpatah titiini, dan para responden sangat hati-hati dalam menjawab pertanyaan ini bahkan rata-rata responden banyak yang tidak mau memberikan jawaban masalah ini, karena sangat bertentangan dengan hati nurani, dipihak yang lain memangpatah titiini dirasa tidak adil tapi dilain pihak memang begitulah ketentuan yang ada dalam hukum Islam kita tidak boleh merubahnya kata responden tersebut.

Menurut Tengku Sally, bahwa hukum patah titiitu tidak bisa lagi diterapkan dikarenakan telah ada unsur tidak baik dari para ahli waris, dia mencontohkan sebagai berikut: seorang bapak meninggal dunia terlebih dahulu dari kakek, maka anak dari bapak tersebut yaitu cucu dari kakek yang mewaris tidak mendapat bagian, dalam pembagian warisan tersebut semua ahli waris mengatakan dengan lantang bahwa keponakanya tersebut telah patah titi telah putus hubungan, yang menjadi motipasi paman-pamannya tersebut agar harta tersebut tidak berkurang dalam pembagiannya.

Tengku sally juga mengatakan tapi kenapa kalau menjadi wali dalam pernikahan cucu perempuan tersebut seorang paman dapat menjadi walinya kenapa

97

hanya dalam kewarisan saja putus hubungan sedangkan dalam hubungan kekeluargaan tidak adapatah titi.98

Berikut ini hasil penelitian tentang pendapat responden dengan pertanyaan, bahwa didalam Kompilasi Hukum Islam, dalam pasal 185 ayat 1 ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari si pewaris maka kedudukanya dapat digantikan oleh anaknya.

Tabel 7 (tujuh)

Pendapat responden terhadap ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam

n = 30

No Nama Desa Jumlah

Responden Tahu (responden) Tidak Tahu (responden) 1 Bebesen 10 4 6 2 Kemili 10 7 3 3 Belang gele 10 2 8 4 Jumlah 30 13 17 5 Total (%) 100% 43,39% 56,67%

Dari hasil angket tersebut diatas kita dapat melihat bahwa kebanyakan masyarakat Gayo ini tidak mengetahui tentang adanya peraturan pemerintah yaitu Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991.

98

Wawancara dengan Tengku Sally, mantan Pegawai Syar’iyah Takengon Aceh Tengah, tanggal 4 Mei 2012

Dari data diatas bisa kita simpulkan sebagai berikut:

a. Dari data diatas hanya kampung Kemili saja yang hampir semua responden mengetahui peraturan ini, ini mungkin karena kampung Kemili ini terletak di pusat kota Takengon Ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, yang memang masyarakatnya lebih modern dan berpendidikan dan semua informasi dengan mudah didapat masyarakat kampung Kemili.

b. Data diatas bahwa kampung Belang gele dari 10 orang yang di tanya masalah peraturan ini hanya 2 orang saja yang mengetahui peraturan KHI ini, mungkin karena kampung Belang gele ini terlalu jauh dari kota dan mungkin juga informasi yang masuk kekampung tersebut dan juga faktor pendidikan masyarakat kampung tersebut sangat mempengaruhi pengetahuan mereka. c. Pada kampung Bebesen ini hampir berimbang pengetahuan masyarakatnya

tentang peraturan ini, ini disebabkan kampung Bebesen ini tidak terlalu jauh dari kota takengon.

Dari data diatas bahwa 56,67% masyarakat di ketiga desa tersebut tidak mengetahui peraturaan ini karena kurang sosialisasinya peraturan Kompilasi Hukum Islam ini sehingga masyarakat tidak mengetahuinya.

Dalam sistem hukum kewarisan Islam di Indonesia, istilah waris pengganti baru muncul setelah dikeluarkanya Kompilasi Hukum Islam ( Instruksi Presiden RI. Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991). Satria Effendi M. Zein mengatakan:99

Bila kita lihat dari segi waktu munculnya, maka jelas sekali sebelum muncul Kompolasi Hukum Islam, belum pernah dikenal konsep ahli waris penganti dikalangan mazhab-mazhab Fiqih Sunni yang berlaku di dunia Islam umumnya dan di Indonesia khususnya. Konsep ahli waris penganti, meskipun sudah lama muncul dalam pikiran seperti yang pernah dikemukakan oleh Hazairin, tetapi sebelum muncul Kompilasi Hukum Islam, pemikiran seperti itu belum dianggap “Islam”. Kompilasi Hukum Islam itulah yang “mengislamkan” konsep ahli waris pengganti.

Dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam pasal 185 ayat (1) di atas memberi peluang yang sangat besar kepada seseorang yang ketika kakeknya meninggal dunia ia mendapat bagian warisan dari hak orang tuanya karena orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu dari pada kakkeknya, walaupun si cucu ini mewaris bersama-sama dengan anak laki-laki.

Ulama ahlusunah memberi pemahaman yang diskriminatif terhadap cucu dalam mewaris, mereka menganggap hanya cucu dari anak laki-laki saja yang berhak mewaris sedangkan cucu dari anak perempuan walaupun mereka akui mempunyai pertalian darah dengan pewaris tetapi dalam kewarisan cucu ini diposisikan sebagai zawil arham yaitu orang yang tidak menerima warisan.100

99

M. Anshary MK,Op.Cit, halaman, 61

100

Pendapat ahlusunah dalam membedakan keturunan anak laki-laki dari anak perempuan itu jelas menunjukan sisa adat jahiliyah yang belum terkikis dari pemikiran para ulama ahlusunah.101

Semangat pembelaan dan perhatian serta perlindungan terhadap cucu yang bapak dan/atau ibunya telah meninggal dunia, telah lebih dahulu dilakukan di beberapa negara Islam, seperti Pakistan dan Mesir. Mesir dalam memecahkan masalah cucu ini memilih jalan dengan memberi porsi dari harta warisan melalui lembaga wasiat wajibah sebagai mana tertuang dalam Undang-undang Mesir tahun 1946 pada salah satu pasalnya disebutkan, yang artinya sebagai berikut:102

Apabila pewaris tidak berwasiat kepada cucunya yang orang tuanya telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pada si pewaris, meski pun meninggalnya berdasarkan putusan pengadilan, maka sebagimana anak berhak memperoleh bagian dari tirkah (harta peninggalan), demikian juga cucu berhak memperolehnya melalui wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) bagian dengan syarat ia bukan ahli waris,

Kalau kita lihat dari segi hubungan nasabmaupun kemanusiaan, cucu adalah termasuk orang yang sangat dekat dengan pewaris (kakek dan neneknya), sebutan cucu disini mempunyai konotasi orang yang ayah dan atau ibunya telah meninggal dunia mendahului kakek atau neneknya. Maka semestinya harus tetap mendapatkan perhatian tersendiri dengan di beri bagian dari harta peninggalan kakek atau neneknya ketika kakek atau neneknya meninggal dunia.

101

Ibit,halaman, 70

102

Masalah kebe meninggal terlebih da tegas baik dalam Al suatu penafsiran terh konsekuensi kepada p

Bunyi dari sur

Walikullin ja’ Perbedaan penafsiran Didalam Al-Qur’an y mengartikan kata“wa kata “mawaaliya” d demikian apabila di mempunyai arti sebag ditinggalkan ibu bapa

Didalam kitab kata walikullin diar

103

Ibit,halaman,

eberadaan cucu sebagai penganti dari ayah dahulu dari pewaris tidak ada ketentuan yang m Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi. Yang a terhadap Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 33 a perbedaan pandangan dan pemikiran terhadap

surat An-Nisaa ayat 33 tersebut :

’alnaa mawaaliya mimmaa tarakal waalidaa ran adalah terletak pada kata “walikullin” da yang terjemahannya oleh Departemen Agama walikullin”adalah “dan bagi tiap-tiap harta pe diartikan dengan “pewaris-pewarisnya (ah diartikan ayat yang dikutip diatas secara le bagai berikut, “bagi tiap-tiap harta peninggal

pa dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pe

itab tafsir Ibnu abbas, Tanwirul Miqbas, disan iartikan dengan “bagi tiap-tiap ahli war

n, 64

h atau ibunya yang g menerangkan secara g ada hanya terdapat 33, yang membawa ap cucu.

daani wal aqrabuuna. dan kata mawaaliya. ma Repulik Indonesia peninggalan” adapun (ahli waris), dengan lengkap maka akan galan dari harta yang

pewarisnya”.103

isana dijumpai bahwa aris”sedangkan kata

mawaaliya, diartikan dengan “penganti mewaris” dengan demikian jika ayat ini diterjemahkan mempunyai pengertian “dan bagi tiap-tiap ahli waris kami jadikan mawalinnya/penggantinya-pengantinya terhadap harta yang ditinggalkan ibu bapa dan karib kerabat”disini ayat 33 tersebut menghendaki adanya waris penganti, yaitu dari kata“mawaaliya(penganti ahli waris).104

Hazairin mengungkapkan adanya sistem pengantian tempat dalam hukum kewarisan Islam berdasarkan pada Ayat Allah dalam surat An-Nisaa ayat 33 dengan istilah mawali, yaitu ahli waris karena pengantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dengan si pewaris.105

Sajuti Thalib berpendapat bahwa ahli waris penganti itu diambil dari pengertianmawali, makdudnya adalah ahli waris yang mengantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu dikarekan telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Mereka yang menjadi mawali ini ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, atau keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris, (bentuknya dapat saja dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.106

Dan Sajuti Thalib juga mengatakan bahwa, pada ajaran kewarisan bilateral menurut Al-Qur’an dalam masalah cucu dengan menafsirkan ayat Al-Qur’an surat

104

Ibit,halaman, 65

105

Hazairin,Op.Cit,halaman, 8

106

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Bina Aksara 1981, halaman, 63

An-Nisaa ayat 33, yang diuraikan dalam beberapa garis hukum, adalah sebagai berikut:

a. Dan bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris penganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapanya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).

b. Dan bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan agrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).

c. Dan bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris penganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).

d. Maka berikanlah kepada mereka bagian warisan mereka.107

Dengan adanya ketentuan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam maka ketentuan hukum patah titi dengan sendirinya tergeser dan terkesampingkan oleh Kompilasi Hukum Islam itu.

Penyelesaian kasus patah titi ini biasanya dilakukan secara adat dan agama dengan mengumpulkan orangtua kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengan demikan nampak bahwa sedikit sekali yang menyelesaikannya di Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah. Pemahaman masyarakat akan kasus ini pun masih sangat terbatas masyarakat tidak terlalu memahami aturan-aturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam dan juga tidak terlalu memahami ajaran-ajaran yang ada dalam kitab fiqih. Masyarakat hanya akan bertanya kepada guru-guru mereka, dalam hal ini kepada Ulama, jika mereka mendapatkan kesulitan.

107

Salah satu Putusan Mahkamah Agung RI, dalam putusannya Nomor. 273K/AG/1996, tanggal 15 juni 1998, yang menghapus hukumpatah titidi Aceh.

Gambar 4 (empat) Kasus Posisi

Almh Ibu Kandung Alm. Ayah kandung Almh Ibu tiri

meninggal meninggal meninggal

1958 1989 1979

6 6.1 5 4 3 2 Pewaris 1 7 8 9 10

6.2 6.3 6.4 6.5 5.1 5.2

Pada bulan Oktober 1979 telah meninggal dunia seorang laki-laki bernama Muhmmad bin Miga, meninggalkan ahli waris:

1. Ratna seorang isteri

2. Syamsarif bin Miga (saudara laki-laki kandung) 3. Abu Bakar bin Miga (saudara laki-laki kandung) 4. Umrah binti Miga (saudara perempuan kandung)

5. Ahli waris alm. Nyak Alam binti Miga, (saudara perempuan kandung meninggal tahun 1989) yaitu:

5.1 M.Amin (anak saudara kandung) 5.2 Nurmala (anak saudara kandung)

6. Ahli waris alm. Ummi Kalsum binti Miga (saudara perempuan kandung, meninggal tahun 1958) yaitu:

6.2 Nurma, (anak saudara kandung) 6.3 Zulkifli, (anak saudara kandung) 6.4 Imran, (anak saudara kandung) 6.5 Bahrun (anak saudara kandung)

7. Aisyah binti Miga (saudara perempuan seayah) 8. Zainab binti Miga (saudaraa perempuan seayah) 9. Syarifuddin bin Miga (saudara laki-laki seayah) 10. Zainun bin Miga (saudara laki-laki seayah)

Putusan Pengadilan Agama Banda Aceh

Dalam putusan Pengadilan Agama Banda Aceh, dalam putusannyaa nomor: 09/Pdt/1994/PA-BNA, tanggal 8 Desember 1984.

Bahwa:

7. Aisyah binti Miga. 8. Zainab binti Miga.

9. Syarifuddin bin Miga. 10. Zainun bin Miga.

Adalah saudara seayah yangterhijaboleh saudara kandung, dengan demikian tidak berhak mewaris atas harta warisan pewaris. Dan ahli waris yang berhak mewaris adalah:

1. Ratna (isteri)

2. Syamsarif bin Miga (saudara kandung) 3. Abu Bakar bin Miga (saudara kandung)

4. Umrah binti Miga ( saudara perempuan kandung)

5. Ahli waris Nyak Awan binti Miga (anak saudara perempuan kandung) yaitu:

5.1 M. Amin (anak saudara kandung) 5.2 Nurmala (anak saudara kandung)

6. Ahli waris Ummi Kalsum binti Miga (anak saudara perempuan kandung), yaitu:

6.2 Nurma, (anak kandung) 6.3 Zulkifli, (anak kandung) 6.4 Imran, (anak kandung) 6.5 Bahrun (anak kandung)

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh

Dalam putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh nomor: 25/Pdt.G/1995/PTA- BNA, tanggal 29 Desember 1995, memberikan pertimbangan terhadap perkara tersebut sebagai berikut:

Bahwa, pertimbangan hakim pertama yang memasukan ahli waris dari almh. Ummi Kalsum binti Miga dan ahli waris dari almh. Nyak Awan binti Miga, sebagai ahli waris penganti dalam memperoleh harta warisan dari alm. Muhammad bin Miga adalah tidak tepat, dan memberikan pertimbangan sebagai berikut:

1. Bahwa, almh. Ummi Kalsum binti Miga dan almh. Nyak Awan binti Miga yaitu saudara perempuan seayah-seibu dari alm. Muhammad bin Miga.

2. Bahwa, walaupun dalam pasal 185 KHI, disebutkan secara umum bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukanya dapat di gantikan oleh anaknya, ketentuan pasal tersebut dapat di artikan bahwa jalur keanakan yang dapat mengantikan ahli waris yang lebih dahulu meninggal dari pada si pewaris adalah anak-anak dari golongan ahli waris yang tidak mengalami hijab hirman sama sekali apa bila berkumpul semua ahli waris dari pihak laki-laki dan ahli waris dari pihak perempuan.

Bahwa pertimbangan hukum oleh Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh tersebut dapat diketahui bahwa Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh memahami

penerapan pasal 185 KHI disyaratkan anak-anak dari golongan ahli waris yang tidak mengalamihijab hirman sama sekali. Dengan demikian menurut Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh tersebut bahwa anak-anak almh. Ummi Kalsum dan anak-anak almh. Nyak Awan adalah terhijab hirman oleh saudara laki-laki.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dalam putusan Mahkamah Agung RI dalam putusanya nomor: 273K/AG/1996, tanggal 15 juni 1998 telah memberikan pertimbangan sebagai berikut:

Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh telah salah menerapkan hukum, karena telah mempersempit pengertian ahli waris penganti yang diatur dalam pasal 185 KHI, karena seluruh ahli waris yang diatur dalam pasal 174 KHI yang meninggal lebih dahulu dari pewaris dapat digantikan oleh keturunannya sebagai ahli waris penganti, kecuali keturunan dari Ibu, duda/janda, bapak, dan keturuna ahli waris yang diatur dalam pasal 173 KHI, sehingga seharusnya anak-anak dari almh. Nyak Awan binti Miga dan anak-anak dari almh. Ummi Kalsum binti Miga termasuk sebagai ahli waris dari alm. Muhammad bin Miga.

Selanjutnya dalam pertimbangan Mahkamah Agung tersebut menyatakan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh tersebut dan

menguatkan putusan Pengadilan Agama Banda Aceh diatas dengan sedikit merubah amar putusanya.

Dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung tersebut dapat ditarik beberapa garis hukum:

1. Mahkamah Agung secara konsisten menegakkan sistem waris penganti, yang keberlakuannya di daerah Aceh akan mengeser sistem patah titi. Karena sistem kewarisan patah titidi Aceh menghendaki semua ahli waris yang oleh KHI dinyatakan dapat mengantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris.

2. Sistem penggantian tempat dalam kewarisan, Mahkamah Agung menghendaki mengunakaan pengertian secara luas karena itu untuk menafsirkan ketentuan pasal 185 KHI harus berpatokan kepada ketentuan pasal 174 KHI dengan demikian ahli waris pengganti tidak hanya berlaku dalam garis keturunan lurus kebawah, akan tetapi berlaku juga secara menyamping, seperti putusan Mahkamah Agung Di atas memberi bagian kepada anak dari saudara pada saat saudara telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris.